Part 5
Pria yang terbaring lemah di ranjang khusus pasien itu mengedipkan sebelah mata saat melihat setitik bulir bening luruh dari mata beriris cokelat milik Verda. Jari telunjuknya yang digenggam Verda pun bergerak pelan membentuk huruf-huruf alfabet di telapak tangan gadis tersebut.
Verda mengulaskan senyuman saat memahami arti tulisan acak Kris di telapak tangannya. Gadis tersebut mengusap punggung tangan pria itu sambil berujar, "Aku nangis bahagia, Kang. Bukan sedih."
Kris kembali mengedipkan matanya pertanda paham dengan maksud ucapan Verda. Pria itu sebetulnya ingin berbicara tentang banyak hal, tetapi tenggorokannya terasa sangat sakit dan lidahnya kelu.
Pria berambut tebal itu hanya mampu memandangi saat Verda mengobrol dengan perawat yang tengah mengecek kondisinya. Sesekali gadis itu mengangguk dan tersenyum. Tidak menyadari bila tindakannya itu membuat wajahnya semakin bersinar.
"Kang, Verda pergi dulu, ya. Sama Tris, jadi Akang nggak usah khawatir," ucap Verda sembari merapikan piama biru garis putih yang dikenakan Kris.
Kembali pria itu menggerakkan jarinya, tetapi kali ini Verda tidak bisa mengartikannya. Gadis itu berpikir keras untuk mengira-ngira kata apa yang coba dituliskan Kris.
"Akang nanya Verda dan Tris mau ke mana kan?" tanyanya memastikan.
Kris mengedipkan matanya kembali dan Verda menganggap itu sebagai pernyataan iya.
"Kami ... mau ke tempat kejadian kecelakaan," jelas Verda.
Kris sontak membeliakkan mata, hendak mencegah dengan gelengan kepala, tetapi lehernya sangat kaku untuk digerakkan.
"Akang nggak perlu khawatir, kami pergi bareng mas Hendra," lanjut Verda yang membuat Kris seketika merasa tenang.
Kris mengenal Hendra sejak masih duduk di bangku SMU. Hendra adalah sahabat karib Tris, mereka duduk sebangku sedari kelas 1 SMU. Kris dan Tris memang berbeda sekolah, jadi Kris tidak begitu akrab dengan Hendra.
"Besok pagi Verda ke sini lagi. Akang yang semangat, ya. Kalau sudah cukup kuat, nanti aku ajak keliling taman rumah sakit pakai kursi roda," imbuh Verda sembari mengusap pipi Kris yang tirus.
Semenjak koma satu minggu lebih, berat badan Kris menyusut drastis. Hal itulah yang membuat Bu Henny merasa sedih dan sering menangisi nasib putra pertamanya itu.
Verda menyunggingkan senyuman manis sebelum berdiri dan membalikkan tubuh. Dia jalan menuju pintu tanpa mengira bila tatapan Kris tidak lepas dari punggungnya.
"Hati-hati, Ver," batin Kris, sebelum akhirnya pria itu kembali memejamkan mata karena merasa lelah.
Verda mencium punggung tangan Bu Henny saat berpamitan untuk pergi bersama Tris. Kedua anak muda itu jalan bersisian, tanpa menyadari bila sang ibu merasa senang melihat kedekatan keduanya.
"Mas Hendra udah nunggu di sana," ujar Tris sambil memasang sabuk pengaman.
"Oke, kata Nindy dia juga udah nunggu di depan mini market dekat lampu merah itu," sahut Verda yang dibalas anggukan Tris.
Pria itu mengucapkan doa sebelum bepergian sambil menyalakan mesin. Menarik rem tangan dan mulai menjalankan kendaraan ke luar tempat parkir.
Dalam hitungan menit mereka sudah tiba di tempat Nindy telah menunggu. Perempuan berwajah oval itu bergegas masuk ke kursi tengah sambil membawa kantung plastik berisi minuman ringan dan aneka kudapan pesanan Verda.
Sepanjang perjalanan menuju titik kejadian perkara, ketiganya mengobrol tentang berbagai hal. Terutama mengenai keseharian Kris, sebelum kejadian memilukan tersebut.
"Aku tetap pada kesimpulan bahwa suaminya Gita terlibat dalam hal itu," ujar Tris dengan raut wajah tegang.
"Aku penasaran dengan sosok Gita ini, dan apakah benar dia dan Kris menjalin hubungan perselingkuhan," timpal Verda.
"Sejauh yang kutahu dan juga dari hasil obrolan dengan teman-temannya akang, mereka yakin bila perselingkuhan itu tidak terjadi. Intinya, David sudah salah paham dan cemburu buta," jelas Tris. "Aku nggak bermaksud ngebelain akang karena dia kakakku, tapi itu fakta dari teman-temannya di kantor radio," lanjutnya.
"Apa Kris nggak pernah cerita tentang hal pribadi, A'?" sela Nindy sembari memajukan wajah di tengah-tengah kursi pengemudi dan penumpang bagian depan.
Tris menggeleng pelan. "Kami memang kembar dan sangat dekat. Tapi untuk urusan pribadi, kami jarang membahasnya," terang Tris.
"Akang itu punya pacar gak sih?" Verda mengubah posisi tubuh hingga menghadap ke Tris.
"Dulu ada, bahkan kupikir mereka bakal nikah, tapi ternyata gak jadi."
"Kenapa begitu?" tanya Verda dan Nindy nyaris bersamaan.
"Pacarnya akang ... menikah dengan kakak iparnya karena istrinya meninggal setelah melahirkan. Turun ranjang gitu," ungkap Tris yang membuat Verda dan Nindy saling beradu pandang.
Setibanya di tempat tujuan, seorang pria telah menunggu di atas motor Tiger hitam. Tris memarkir kendaraan di depan sebuah bangunan terbengkalai yang letaknya tidak jauh dari situ.
Kedua pria itu saling bersalaman dan beradu tinju, sebelum berpelukan dengan menepuk-nepuk pundak. Sesaat mereka lupa dengan keberadaan dua perempuan yang berdiri di belakang Tris sambil bergandengan tangan.
"Ehh ... iya, Hen. Kenalin, ini Verda, pacarku dan Nindy, temannya," ujar Tris sambil menarik tangan Verda yang mendelik tajam ke arahnya.
"Pacar?" tanya gadis itu yang dibalas Tris dengan senyuman mengembang.
"Hai, aku Hendra, temannya Tris." Hendra menyalami kedua perempuan tersebut.
"Hai, aku Verda. Salam kenal," sahut Verda seraya mengulaskan senyuman.
"Dan aku Nindy." Gadis berhidung tidak mancung itu menyunggingkan senyuman yang dibalas Hendra dengan hal serupa.
"Oke, udah ngumpul semua. Mari kita bahas," imbuh Hendra.
"Dimulai dari mana, Dra?" tanya Tris.
"Dari titik Kris berusaha mengelak truk yang nyelonong masuk ke jalur ini." Hendra menunjuk ke sebuah tonggak yang dihiasi pita kuning khas kepolisian, di sebelah kiri jalan yang berjarak sekitar lima belas meter dari tempat mereka berdiri.
"Ini informasi dari beberapa saksi yang berada di warung itu." Kali ini Hendra menunjuk ke sebuah warung makan khas Sunda yang berada tepat di seberang jalan.
"Kata mereka, mobil yang dikemudikan Kris itu seperti zig-zag, kayak nggak bisa berhenti. Sesuai dengan hasil pemeriksaan kondisi mobil, remnya bermasalah. Begitu juga dengan cetakan jejak ban," sambung Hendra.
"Dari situ, mobil yang sudah tidak bisa dikendalikan itu akhirnya nyungsep ke pinggir jurang ini. Untungnya nyangkut di bebatuan dan akar pohon besar, jadi nggak terjun bebas ke dasar jurang."
"Tapi sayangnya, beberapa batang pohon itu menembus kaca mobil dan ada yang menghantam kepala Kris. Itu yang menyebabkannya sampai koma." Hendra menghentikan ucapannya sambil memandangi jurang dengan tatapan kosong.
Verda yang tiba-tiba merasa oleng langsung menyambar lengan Tris dan berpegangan dengan kuat. Gadis itu menutup mata untuk memastikan beberapa kelebatan peristiwa di tempat ini pekan lalu.
"Ver, kamu nggak apa-apa?" tanya Tris dengan raut wajah khawatir.
"Dia pasti sedang dapat kelebatan," bisik Nindy. "Biarin aja, nanti juga biasa lagi," sambungnya sembari mengusap punggung Verda.
Keempat orang tersebut sama sekali tidak menyadari bila ada sepasang mata yang memperhatikan mereka dari bagian dalam warung makan.
Verda tiba-tiba membuka mata. Jalan beberapa langkah dan berhenti tepat di bibir jurang. Sepasang mata beriris cokelat itu bergerak-gerak memindai sekitar. Bibirnya bergumam tidak jelas dan membuat Tris sangat penasaran. Pria yang mengikuti pergerakan Verda itu menoleh pada Nindy yang segera meletakkan telunjuk di depan bibir, seakan-akan tengah memberitahu agar Tris tidak menggangu Verda. Hendra yang berdiri di sebelah kiri Verda, memperhatikan tingkah gadis itu dengan saksama. Kala pandangan mereka bertemu, Verda tiba-tiba berucap, "Aku melihat kilas balik peristiwa itu." Hendra mengangguk mengerti dan membiarkan Verda kembali memandangi sekeliling. Gadis itu menutup mata kembali. Kala tubuhnya terasa limbung, Verda segera berpegangan pada Hendra yang langsung mengeratkan pelukan. *** "Kenapa, Kang?" tanya Gita yang tengah memulaskan bedak ke wajah. "Ehm, ini kayak ada yang aneh di mob
TS 07 Verda kembali membuka mata. Memperhatikan sekeliling dengan sedikit bingung, kemudian mengusap peluh di dahi dan lehernya dengan tangan sembari mengatur napasnya yang agak memburu. Hendra mengurai rangkulan dan memandangi Verda dengan lekat. Tangannya bergerak mengusap punggung gadis itu dan berharap bisa sedikit membantu agar Verda lebih tenang. "Neng, kamu lihat apa?" tanya Tris yang ternyata sudah berdiri di sebelah kiri Verda. "Biarkan Verda menenangkan diri dulu, Tris," ujar Hendra. "Oh iya, sorry. Aku cuma penasaran dengan apa yang dia lihat." Tris menggaruk-garuk kepala seraya tersenyum tipis. Dalam hati dia merutuki diri karena kurang pandai menahan rasa sabar. Ketiga pasang mata itu memperhatikan Verda yang masih menenangkan diri. Kala perempuan berparas menawan itu hendak melangkah, Hendra terus memegangi dan mengikuti arah tujuan Verda. Tris dan Nindy mengekor.
TS 08 "Ver, bangun euy!" Suara seorang perempuan berteriak dari depan pintu dan diiringi ketukan nyaris tanpa henti. Verda segera bangkit karena menyadari bahwa itu adalah suara milik mamanya, Sita. "Ver!" Suara itu kembali memanggil dan kali ini mengganti ketukan dengan gedoran di pintu. "Iya, Ma!" balas Verda dengan berteriak pula. "Buruan mandi, habis itu temenin mama ke pasar." "Iya." Sesaat hening. Verda menghela napas panjang dan mengembuskannya perlahan. Merasa lega bahwa mamanya telah beranjak pergi karena suaranya pun menghilang. Beberapa belas menit kemudian, Verda keluar dari kamar dan langsung dipelototi oleh sang mama, yang tengah duduk bersama Vika dan Reno di ruang makan. Revi tengah terlelap di kereta bayi yang berada di ujung kiri meja makan. "Ayo, buruan sarapannya. Kalau kesiangan ke pasarnya itu suka kehabisan stok," pinta Sita sembari menuangk
Bunyi alat medis menjadi satu-satunya suara yang terdengar di ruangan ICU tempat Kris dirawat. Pria yang kembali koma itu tampak sangat pucat. Sementara Henny, Tris, Verda dan Reno yang tengah memerhatikannya tak bisa menutupi rasa was-was dan terpancar di wajah masing-masing.Mereka berempat yang berada di balik jendela besar, hanya bisa berdoa dalam hati agar kondisi Kris bisa stabil kembali. Sebetulnya, kondisinya yang akan kembali memburuk sudah diprediksi oleh tim dokter yang menangani pria periang tersebut. Hantaman dahan yang keras, mengakibatkan kerusakan otak. Masih beruntung Kris tidak amnesia, tetapi kondisinya yang sewaktu-waktu bisa drop itulah yang memprihatinkan. Jutaan kata andai berkelebat di benak Tris. Sebagai saudara kembar, pria berlesung pipi dua itu merasa menyesal karena kurang dekat dengan Kris yang disebabkan oleh kesibukan masing-masing. Keduanya memang berjibaku untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Sek
10Sepasang mata tidak terlalu besar milik Verda memerhatikan keenam ekor burung berbeda ukuran, yang balas menatapnya penuh tanya. Perempuan yang kali ini mengepang satu rambutnya itu mencoba membuka indra keenamnya, agar bisa berbicara dengan hewan. Banyak orang beranggapan bahwa indigo ataupun orang-orang yang memiliki kemampuan untuk berbicara dengan hewan adalah sesat atau bersekutu dengan setan. Akan tetapi, Verda tidak memedulikan hal itu. Bagi Verda, sepanjang dia menggunakan kemampuan untuk menolong sesama, maka itu adalah hal yang baik. Masalah mau dibilang sesat ataupun berbagai julukan negatif dari orang lain, dia tidak peduli. "A', yang bulunya banyak biru itu namanya siapa?" tanya Verda sambil menunjuk burung Nuri yang badannya paling besar dibandingkan yang lainnya. "Harry Potter," jawab Tris. "Wuidih, keren amat!" Verda menyunggingkan senyuman lebar. "Ayah sangat senang nonton film fantasi
TS 11"Mungkin mereka tamu rumah sebelah," ujar Tris, meskipun dalam hati dia meragukan ucapan sendiri. "Masa tamu nggak turun?" tanya Verda sembari mengerutkan dahi. "Atau nunggu orang?" "Udah lama di situ, nggak gerak-gerak dari aku selesai salat." Tris tampak berpikir selama beberapa detik, kemudian beranjak ke pintu dan membuka benda besar bercat putih tersebut sebelum melangkah ke luar. Verda mengekori sambil memegangi ujung kaus hijau tua yang dikenakan Tris.Tiba-tiba mobil langsung meluncur, dan hal itu membuat kecurigaan Verda bertambah besar, demikian pula dengan Tris. Kedua orang tersebut saling beradu pandang selama beberapa saat, sebelum akhirnya sana mengangkat bahu dan kembali memasuki rumah. "Neng, mau makan di sini atau di rumah sakit?" Tris mengulangi lagi pertanyaannya, sesaat setelah mereka tiba di ruang makan. "Di sana aja, A'. Kasian ibu kalau kelamaan nungguin kita."
TS 12Derap langkah bergema di lorong panjang rumah sakit yang sepi. Beberapa kali terdengar omelan Verda bila melihat kelebatan makhluk tak kasatmata yang sepertinya memang sengaja nongkrong di sepanjang koridor untuk mengganggu orang yang melintas. Verda merapatkan tubuh ke samping kiri Tris yang segera merangkul pinggangnya seraya tersenyum. Pria berjaket jin hitam itu kian melebarkan senyuman ketika Verda mengomeli sosok-sosok tak terlihat yang berulang kali hendak menggapainya. "Cuekin aja," ucap Tris. "Udah, tapi pada ngikutin itu," sahut Verda sambil menoleh ke belakang. "Lama-lama kulemparin batu nih!" desisnya sembari berhenti dan merunduk. Menggapai batu berukuran kecil yang berada di pinggir koridor yang digunakan sebagai penutup aneka dedaunan. Verda berdiri dan merapal mantra yang pernah diajarkan oleh neneknya yang juga seorang indigo. Dengan sekuat tenaga dia melempar beberapa batu itu ke belakang dan berhasil
TS 13Suara ribut-ribut disertai dengan kemunculan beberapa orang dari depan blok sontak mengejutkan Tris. Pria berambut cepak itu berdiri bertepatan dengan pukulan keras orang-orang tersebut ke mobil SUV hitam yang berada tidak jauh dari rumah keluarga Verda. Tris segera menghampiri, sementara Verda justru berbalik arah dan keluar bersama dengan Sita yang membawa sapu. Ketika kedua perempuan berbeda usia itu tiba di depan mobil, para pria di sekitar seketika terdiam dan menunggu apa yang akan dilakukan oleh kedua perempuan tersebut."Turun!" sergah Sita sambil memelototi pengemudi yang masih diam di tempat. "Kubilang turun!" bentaknya sambil memukul bagian depan mobil dengan sapu. Sang pengemudi terkesiap. Dia beradu pandang dengan kedua rekannya yang sama-sama bingung. Sesaat suasana hening, sebelum sopir menggertakkan gigi dan hendak menekan pedal gas. Prang! Kaca di bagian pengemudi tiba-tiba pecah dan satu tang
TS 28Hari berganti menjadi minggu. Kondisi Kris masih belum ada perubahan. Meskipun dia sudah bisa menanggapi pembicaraan dengan menggerak-gerakkan kelopak mata ataupun jemari, tetapi Kris masih belum sanggup menyatukan jiwanya ke raga. Tris yang telah berhasil menggadaikan tanah kebun pada Edi, bisa bernapas sedikit lega karena berhasil melunasi biaya pengobatan akangnya, sekaligus tabungan untuk beberapa bulan mendatang. Untuk biaya hidup sehari-hari, Tris mencari tambahan dengan menjadi sopir taksi online saat ada waktu senggang. Seperti hari itu. Seusai salat Subuh, Tris membersihkan mobilnya di pekarangan. Selanjutnya dia mandi dan berganti pakaian. Tris menyempatkan diri menikmati sarapan yang disiapkan sang bibi. Baru kemudian dia melangkah ke luar dan memasuki mobil. Belasan menit berlalu, Tris tiba di sebuah perumahan kelas menengah. Dia berhenti di depan pagar sebuah rumah dua lantai bercat krem. Seorang perempuan muda bermata sipit keluar dengan didampingi kedua pria be
TS 27Hari pertama masuk kerja merupakan hal yang menyebabkan Tris deg-degan. Namun, kekhawatirannya akan rekan-rekan baru ternyata tidak beralasan. Hampir semuanya bersikap ramah, walaupun mereka baru bertemu. Tris duduk di kursi area khusus staf dan menyalakan laptopnya. Seorang pria berkacamata yang merupakan asisten Reno menghampirinya dan memberikan berkas-berkas yang menjadi tugas Tris. Pria berkemeja putih yang bernama Adam, menerangkan berbagai hal yang dulunya adalah tugasnya dan sekarang dilimpahkan pada Tris. Selama beberapa jam berikutnya Tris fokus bekerja. Dia mengoptimalkan semua kemampuan otak yang sudah hampir setahun tidak digunakan, terutama setelah dia terkena perampingan karyawan di perusahaan lama. Menjadi sopir taksi online merupakan jalan singkat bagi Tris agar bisa terus mendapatkan penghasilan. Akan tetapi, setelah Kris koma, pendapatan sebagai sopir taksi habis untuk biaya hidup sehari-hari. Satu demi satu harta warisan dijual demi membiayai pengobatan Kr
TS 26Langit senja telah turun ketika kedua mobil memasuki pekarangan rumah milik orang tua Verda dan Varen. Semua penumpang turun dan mengeluarkan barang-barang dari belakang, kemudian mengangkatnya ke teras. Pintu terbuka dan Sita keluar. Perempuan berusia lima puluh dua tahun menyunggingkan senyuman saat menyambut kedua anaknya beserta sang menantu. Sita menepuk-nepuk pundak Tris saat pria muda itu menyalaminya dengan takzim. "Masuklah, Ibu udah nyiapin puding dan es buah," tutur Sita. "Aku pikir Ibu nyiapin gulai ikan," sahut Varen sembari merangkul pundak sang ibu yang hanya sebatas dadanya. "Ada, itu lauk untuk makan malam. Sekarang makan yang dingin-dingin dulu," jawab Sita sebelum berhenti dan menoleh ke belakang. "Tris, ikut makan di sini, ya. Ayah mau ngomong sesuatu sama kamu," ajaknya yang membuat Tris tertegun sebelum mengangguk. Sesampainya di ruang tengah, Reno hendak mencium anaknya, tetapi didorong Vika yang meminta suaminya mencuci tangan dan wajah terlebih dahu
TS 25Dua buah mobil berbeda jenis dan warna melesat keluar dari pekarangan rumah di daerah Lembang. Yahya dan Ali memandangi hingga kedua kendaraan menghilang di kejauhan. Kemudian mereka memasuki rumah dan mengemasi barang-barang. "Ditumpuk aja, Li. Minggu depan Non Verda dan teman-teman mau kembali ke sini," ucap Yahya pada sang putra yang tengah menggulung kasur di kamar paling belakang. "Semuanya datang?" tanya Ali sembari melanjutkan aktivitas. "Katanya sih nggak. Cuma Non, Den Tris, Den Reno dan Den Varen. Kalau Mas Hendra dan yang lainnya belum pasti. Mereka udah sering cuti, nanti bisa kena surat peringatan." "Yah, aku penasaran. Siapa orang yang mengintai di kebun waktu itu." Yahya tidak langsung menjawab. Dia menghentikan gerakan dan keluar kamar. Ali mengekori ayahnya dan duduk di kursi ruang tamu. Pria yang lebih muda mengamati lelaki paruh baya yang tengah berpikir sambil melipat tangan di depan dada. "Awalnya Ayah pikir itu si Jaya. Dia kan suka mancing sampai mal
TS 24Kabut yang menggantung di pepohonan menjadi pemandangan pertama yang terlihat di seputar area bangunan besar di tanah luas. Sekeliling tempat ditutupi rerimbunsn pepohonan hingga sulit bagi matahari menembus dengan sinarnya. Titik dingin yang masih sama dengan kemarin malam membuat penghuni rumah enggan beraktivitas di luar. Mereka hanya melakukan kegiatan di dapur dan ruang tengah. Selebihnya membetahkan diri di kamar. Seorang perempuan berambut sepundak berdiri di depan jendela yang terbuka lebar. Kedua tangannya memegangi jeruji yang menghalangi jendela. Tatapan perempuan berkaus ungu lengan panjang dan kulot senada mengarah pada langit yang tidak terlalu terang. Perempuan bermata sipit menghela napas dalam-dalam dan mengembuskannya secara penuh. Dia melakukan hal itu beberapa kali dan berharap bisa menentramkan hati. Namun, hingga tarikan terakhir kegundahan masih bercokol dan membuatnya kesal. Perempuan berdagu lancip mengingat sosok pria periang yang selalu membuatnya t
TS 23Hawa panas di sekitar menyebabkan Verda dan Veren kian mempercepat bacaan doa. Sekali-sekali tangan kanan Verda bergerak memutar membentuk setengah lingkaran ke depan. Sementara Varen mengarahkan telapak tangan kanan ke belakang. Keduanya sama-sama mengamalkan olah napas yang pernah diajarkan Kakek mereka beberapa waktu lampau. Verda membatin bila sepertinya sang kakek sudah memberi isyarat bila dirinya dan Varen akan terlibat penyelidikan kasus. Sebab beberapa bulan lalu kakeknya yang bernama Harso mengatakan bila Verda harus rajin melatih olah napas dan menguatkan batin, terutama dalam menghadapi makhluk tak kasatmata.Pada awalnya Verda mengira Harso mengatakan itu karena dia sering diganggu makhluk-makhluk astral di tempat kerja. Namun, sekarang Verda sadar bila apa yang dikatakan Harso ternyata berhubungan dengan kasus Kris. Verda mengingat-ingat wajah pria tersebut. Entah kenapa dia merasa bila Kris tengah berada di sekitar. Tiba-tiba Verda membuka mata dan memindai seki
TS 22Bunyi binatang malam terdengar nyaring di sekeliling kala kelompok yang dipimpin Hendra tiba di belakang warung milik Yahya. Pria berjaket kulit hitam mengangkat tangan untuk memberi isyarat agar anggotanya berhenti. Setelahnya, Hendra memindai sekitar sebelum memberi kode pada Reno dan Tris agar mendekat."Aku sama Darwis nanti jalan paling depan. Kalian di tengah mengapit Verda. Bima dan Varen jalan paling belakang. Pak Yahya tunggu di sini," bisik Hendra. "Kalau kita semua nyeberang, nanti kalau ada apa-apa nggak ada yang bisa minta bantuan," sambungnya. "Siap," jawab Tris. "Tapi harus ada yang jagain tali, Dra," sela Reno. "Anak dan keponakan Bapak nanti ikut kalian. Ali dan Usep udah nunggu di dalam," sela Yahya sembari menunjuk ke bangunan semi permanen di depan mereka. "Tapi mereka jangan ikut ke bawah, Pak," tutur Hendra. "Justru Usep pengen bantu jadi penunjuk jalan. Dia sering masuk ke situ lewat jalan setapak buat nyari rumput untuk pakan kambing dan sapi," teran
TS 21Pekatnya malam menyelimuti area pegunungan di sekitar Lembang. Warga sekitar tidak ada satu pun yang keluar dan memutuskan menggelar diri di peraduan ataupun menikmati kopi sambil menonton siaran televisi. Desir angin yang pada awalnya lembut, perlahan berubah mengencang seiring malam yang bertambah larut. Binatang-binatang berlomba-lomba memperdengarkan suara, seolah-olah menyampaikan pada dunia bila merekalah sang pemilik gelap langit. Keheningan suasana terkoyak kala dua mobil memasuki area perkebunan milik kerabat Yahya yang bila ditelusuri akan mengurai jalan tembus menuju belokan tempat kejadian kecelakaan maut yang menimpa Kris dan Gita. Yahya yang menjadi pengantar meminta Hendra berhenti setelah mereka cukup jauh dari pemukiman. Pria parub baya tersebut membuka pintu mobil dan memindai sekitar sebelum menjejakkan kaki ke tanah kering. Satu per satu penumpang keluar dari kedua mobil. Mereka bekerja sama mengeluarkan peralatan yang akan digunakan sebagai penunjang petu
TS 20Suasana di kediaman Edi kembali ramai Minggu pagi. Namun, bukan karena acara keluarga, melainkan mereka kedatangan rekan-rekan Tris, Kris dan Hendra yang berniat membantu menjadi tim pendukung. Edi tidak ikut urun saran dan hanya memperhatikan kala Hendra serta Tris bergantian membeberkan rencana mereka pada rekan-rekan yang duduk bersila di ruang tamu. Sita dan Vika, serta Randi yang tengah menggendong Revi, mengamati jalannya rapat. Setelahnya mereka melakukan doa bersama memohon diberikan kelancaran pada tim inti yang akan segera berangkat. Reno, Verda dan Varen bergantian menyalami keluarga mereka. Tris, Hendra, Nindy dan beberapa orang lainnya yang akan bergabung di tim utama juga turut bersalaman. Kemudian mereka keluar bersisian dan memasuki beberapa mobil berbeda jenis dan warna. Tris yang mengemudikan mobil milik Reno, menekan klakson sebelum melaju sebagai mobil pembuka konvoi. Darwis dan pengemudi mobil lainnya menyusul, kemudian berpisah di perempatan jalan. Tris