"Kamu terhubung dengan Sean, kan?" Degree tiba-tiba bertanya di sela-sela makan pagi. Hal itu hampir membuatku tersedak."Ke kenapa kamu tanya soal Sean? Kamu, kan, bisa lihat sendiri dengan magicmu, Re." Aku menatapnya dengan wajah kesal.Menurutku, pertanyaannya selalu terdengar aneh. Terkadang hal itulah, yang membuatku sedikit malas untuk menjawabnya."Sean adalah Pangeran Werewolf dengan magic terkuat, yang mati bunuh diri hanya untuk menyelamatkan keseimbangan alam. Ketenarannya bahkan lebih populer, daripada Dewa Naga berkepala tujuh. Aku sangat kagum pada sosok pemberani sepertinya." Degree bercerita panjang lebar."Terus?" Aku mengangkat alis kananku."Sekarang aku tanya, kenapa kamu melakukan hal senaif itu?""Aku nggak bisa biarin bangsa werewolf, dan bangsa vampir terus berperang. Di lain sisi, aku nggak bisa berpikir jernih, saat keadaan genting." Aku mengambil buah apel di keranjang, lalu memotongnya dengan pisau kecil."Kestabilan alam hanya bisa di capai, ketika semua
Aku duduk termenung. Beberapa kali kutiup gelas yang berisi teh hangat, digenggaman. Aku sedikit khawatir tentang keadaan Degree, tetapi Tuan Farren bilang, semuanya akan baik-baik saja. Jadi, aku berusaha berpikir positif, saat itu—yang bisa kulakukan hanya berharap dan terus berharap."Tuan, jangan pernah berpikir hal buruk akan terjadi! Terkadang, hidup itu harus dijalani dengan santai." Tuan Farren duduk di sampingku. "Semuanya akan berjalan sesuai, dengan apa yang Anda inginkan. Hanya saja, tetaplah optimis terhadap keadaan.""Seingatku, Degree tadi ada di belakangku. Kami berenang bersama menuju permukaan." Aku meletakkan gelas di atas meja, lalu menyandarkan tubuh di sofa. "Tapi, bagaimana bisa kami tiba-tiba terpisah? Bahkan, aku tidak menyadarinya sama sekali. Bukankah itu hal yang aneh, Tuan Farren?""Anda jangan memanggilku dengan sebutan 'tuan', Yang Mulia. Panggil saja penyihir atau sebutan nama." Tuan Farren tersenyum padaku."Baiklah, Penyihir." "Jika Anda mengingat de
"Kenapa kamu membunuh ayah, Achilio?" Degree menarik lenganku, lalu menghadapkan wajahku ke arahnya. "Di mana hati nuranimu!? Apa yang membuatmu sampai segila ini!?"Suaranya terdengar menggema, hingga memenuhi sudut ruangan itu. Aku menatapnya dengan sorot mata berkaca-kaca, lalu tersenyum smirk."Jika aku bisa memilih, aku nggak pengen terlahir di dunia ini, Re!" Aku melepaskan cengkeramannya. "Aku hanya bahagia di dalam imajinasiku sendiri. Sedangkan, kamu sama sekali tidak pernah merasakan pedihnya realita.""Ada apa denganmu, Achilio? Apa kamu sudah tidak waras?" Dada Degree tampak naik turun—napasnya mungkin berpacu tak stabil. "Aku masih punya akal, Re.""Jika kamu masih punya akal, kamu harusnya tahu, membunuh adalah hal yang tidak bisa dimaafkan.""Perkataan yang sangat miris!" Aku mengeluarkan api biru dari telapak tanganku. Emosi sepertinya mulai mempengaruhi tindakanku. "Ternyata, kamu sama saja dengan yang lainnya. Membela orang yang jelas-jelas memicu kematiannya sendir
"Bagaimana menurutmu? Tiga hari yang lalu, aku dan Calvin telah menyiapkan segalanya untukmu." Sera menggandeng tanganku. Kami menemui seorang pria yang berdiri, di sana—ujung tebing yang telah dihias dengan berbagai lampu neon."Maafkan aku, Achilio." Calvin mengenakan toxedo yang sangat rapi, hari itu—tidak seperti biasanya. "Calvin ...." Aku menatap nanar pada sahabatku itu. Air mata tidak bisa kubendung lagi."Jangan menangis, Achilio! Kami berdua nggak pengen liat kamu kayak gini. Semangat dong!" Sera mengajakku duduk di sebuah kursi taman."Kalian membuat ini selama berhari-hari? A aku sangat bahagia memiliki orang-orang yang masih menyayangiku." Aku menyeka genangan air mata yang jatuh. "Terima kasih, Orang baik.""Jadi, gue dimaafin apa gak nih? Maksa banget nih gue!" Bibir Calvin nampak mengerucut. "Gue masih ngerasa sakit sama ucapan lo, Vin." Aku merangkul pria itu. "Tapi, bukan berarti gue nggak maafin lo."Calvin berhak mendapatkan kesempatan kedua. Aku berharap, dia ti
Aku seringkali merasa bertindak gegabah dalam memutuskan suatu hal. Entah mengapa, ketika emosi mulai mengendalikan diri, aku cenderung tidak mampu berbuat apa-apa. "Tuan Farren tidak kunjung sadarkan diri. Efek dari seranganmu sepertinya berhasil membuatnya koma, Lio." Degree memijat pelipisnya. "Ya ampun, kekuatan magic-mu mengalami peningkatan yang sangat besar. Ini kabar baik, dan sekaligus kabar buruknya." Calvin memperlihatkan layar yang berisi diagram batang. Lima puluh persen data terakhir melambung drastis—lebih tinggi daripada yang lainnya."Kalo sudah begini ya, harus terima aja." Sera duduk di sampingku, lalu memberikan segelas jus jeruk. "Wajar aja, karena Achilio masih labil, dan sering bertindak mengikuti amarah.""Di malam pembunuhan itu, aku nggak ingat semuanya dengan jelas." Aku mengambil jus yang diberikan Sera. "Saat itu, emosiku meningkat karena ayah terus menyiksaku."Pembicaraan terhenti sejenak, saat sinar matahari mulai menerangi balkon; cahayanya sedikit m
"Kenapa kamu selalu memaafkan semua kesalahanku, Vin?" Aku berkata tanpa menoleh ke arah pria itu. "Aku telah membunuh Reizo, orang yang paling kamu sayang, kan?"Dia hanya bergeming tanpa mengucapkan sepatah kata pun."Aku bahkan telah merebut Sera darimu. Apakah kamu benar-benar memaafkanku, di hari itu?" Aku menatapnya dengan air mata yang berlinang."Kamu adalah seorang guardian. Aku percaya kamu akan membawa kita pada kebahagiaan." Calvin mengembangkan senyum khasnya. "Aku akan tetap melakukannya. Meski, aku harus mengorbankan seluruh kebahagiaanku untukmu, Achilio."Deg! Deg! Deg!Jantungku berdetak kencang. Apa yang telah Calvin bicarakan? Apakah aku tidak salah dengar? Kenapa dia mau berjuang keras, untuk mewujudkan mimpiku?"Itu bukan kesalahan siapa pun. Andai Reizo tidak memihak Paman Ergar, mungkin dia tidak akan terbunuh di hari itu." Senyum Calvin tampak memudar, lalu menghilang sepenuhnya. "Bagaimana jika aku nggak bisa menepati janji sebagai seorang guardian?" Aku men
Kami berjalan di tengah lapangan berwarna merah. Tempat itu tampaknya lebih mirip taman hiburan, daripada sebuah perusahaan. Aku melepaskan kacamata, dan memantau keadaan sekitar. Orang-orang di sana masih tetap sibuk bak robot, yang telah diperintahkan untuk patuh; para pekerja itu bergerak dengan sangat kaku.Apakah para pengunjung tidak ada yang curiga? Aneh sekali. Apa memang mataku yang salah lihat? Aku memberikan kode pada Degree—yang ada di samping Calvin. Namun, pria itu sepertinya tidak mengerti apa yang kusampaikan."Sera, bertukar tempat!" Aku memerintah dengan nada setengah berbisik. Wanita yang mengenakan kemeja putih, dengan berbalutkan rok setengah lutut itu tampak mengangguk. Dia sepertinya lebih mudah mencerna informasi daripada Degree."Hei, apa?" Degree menyikut bahuku. Aku memasang wajah kesal, lalu berbisik padanya."Karyawan di sini robot atau manusia, sih?" Aku memicingkan mata kananku. Degree kelihatannya baru menyadarinya juga. Sial! Dia benar-benar lemot."Ak
Karena pusing memikirkan sebuah keputusan, aku pun langsung menggendong gadis itu ke luar. Kepulan asap tebal di dekat pintu utama, memberikanku sebuah ide. "Aku mohon. Semoga kali ini bisa digunakan," gumamku. Gadis kecil itu melihatku dengan keterkejutan di wajahnya. Sorot matanya seakan ingin mengetahui apa rencanaku. Namun, aku tidak bisa membongkar rahasia magic, di depannya."Kak ... aku takut." Mata indah berwarna violet itu terlihat berkaca-kaca. Aku menghentikan langkah, lalu tersenyum hangat padanya."Gadis cantik, tutuplah matamu sebentar." Aku berkata dengan suara yang lembut. Gadis itu bergeming untuk beberapa saat, lalu memejamkan mata.Tanganku mengeluarkan magic berwarna biru. Setelah menoleh ke segala arah, aku pun memperbesar pintu portal di depan kami. Tambahan kekuatan dari magic tingkat dua milik Sean, sepertinya berhasil membuka portal dimensi itu. Asap tebal semakin menutupi penglihatanku. Kami pun masuk ke dalam portal itu, dan dengan cepat tiba di luar Perus