Share

The Seven Phoenix Shards
The Seven Phoenix Shards
Author: Nona_El

Ambisi

Author: Nona_El
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

"Saya Achillio Isacco Bonaventura bersumpah akan menjaga kestabilan alam, dengan jiwa, dan seluruh darah yang saya miliki."

Hari itu, pengangkatanku sebagai guardian—malaikat pelindung, atas perintah Dewa Naga berkepala tujuh, disaksikan oleh seluruh rakyat Sorcgard. Namun, aku tidak tahu harus bahagia atau bersedih, karena di hari yang selalu kutunggu itu, Allyn—saudari tiriku yang lebih tua lima tahun, juga diangkat menjadi pewaris tahta.

"Berhentilah bersikap seperti orang bodoh, Achilio!" Ratu Elena—ibu tiriku, setengah berbisik padaku. Wanita yang memakai gaun khas Kerajaan Sorcgard itu menatapku tajam. Kemudian, dia memberikan sebilah pedang di depanku.

Aku pun mengambil pedang—pertanda bahwa seseorang telah resmi menjadi guardian, itu tanpa berkata apa pun pada Ratu Elena.

"Aku tidak akan membiarkanmu hidup lebih lama lagi," ucapku dalam hati. Seulas senyum sinis kutampilkan di depan wanita, yang mirip dengan mendiang Ratu Felicia—ibuku, itu.

Suara riuh tepuk tangan memenuhi ruangan bertema interior klasik. Aku melambaikan tangan, dan berpura-pura bahagia. Sebelumnya, aku tidak pernah menyangka, bahwa Raja Eric—ayahku, akan memilih anak tirinya untuk menempati singgasana, dibandingkan dengan putranya sendiri.

Dar!

Ledakan besar menghancurkan setengah bangunan kerajaan. Seketika, rakyat di depan sana berlari berhamburan. Keadaan yang semula hening, berubah drastis menjadi penuh ketakutan.

"Elena, kepemimpinanmu sepertinya tidak sekuat Eric, ya!?" Seorang pria perkasa yang memakai zirah hitam, berjalan mendekat ke arah kami. Di belakangnya, ribuan prajurit yang membawa kapak berlambang bintang kejora, mengiringi langkahnya.

Seluruh prajurit kerajaanku mencoba untuk menghalanginya. Namun, hanya dengan satu kibasan pedangnya, pasukan terbaik Sorcgard jatuh berlumuran darah di lantai. Saat itu, aku benar-benar merasakan ketakutan yang luar biasa.

"Terlalu lemah tapi berpotensi menjadi yang terkuat." Pria bermata hitam pekat bak gelapnya malam itu, memerhatikan diriku dari atas hingga bawah. "Jadi, kamu sudah bangun dari tidur panjangmu, ya?" tanyanya kemudian.

"Arkan, cepat serang penyusup itu!" Ratu Elena berteriak seraya menunjuk ke arah lelaki berambut hitam itu—yang berada di anak tangga paling bawah singgasana—pria bertopeng yang menyerang kerajaan.

Pertarungan antara ksatria terbaik Sorcgard, dan pria bertopeng itu terjadi begitu cepat. Aku tidak menyangka, orang sekuat Arkan pun dapat dikalahkan dengan mudah olehnya. Apakah ia lebih hebat dari mendiang ayah?

Tidak cukup sampai di sana, pria itu juga membantai seluruh garis murni Bonaventura, yang menyerang dirinya. Aku mengarahkan pedang ke arah pria itu, berniat melawannya dengan kemampuan yang kumiliki.

"Ikutlah denganku, Pangeran!" Nona Lily tiba-tiba menarik lenganku, lalu menjauhkanku dari sana.

Ketika berlari meninggalkan ruangan itu, aku melihat Allyn dan Ratu Elena mengeluarkan sihir sempurna mereka. Ya mungkin, mereka akan berlagak menjadi pahlawan seperti biasanya. Namun, aku tidak yakin sihir mereka akan berpengaruh pada pria itu.

Siapa sebenarnya pria dibalik topeng iblis itu? Kenapa rasanya ... mata itu tampak tidak asing?

"Aku sudah cukup kuat sejak lulus dari akademi. Kenapa aku tidak boleh melawan orang jahat itu?" Aku menghentikan langkah saat mencapai puncak bukit—tidak jauh dari ruangan khusus upacara penting itu.

"Dia bukanlah orang yang bisa dilawan dengan kekuatan physical, My Lord. Anda masih terlalu muda untuk menyambut maut, Yang Mulia."

Bibirku terasa kelu untuk mengucapkan sepatah kata. Apa yang dikatakan Nona Lily—pengasuhku, itu benar. Aku memiliki kekuatan magic yang lemah, dan mungkin tidak akan bisa mengalahkan orang itu.

"Pergilah ke Blood Forest, Tuan! Tolong, selamatkan masa depan Sorcgard!" Nona Lily menggenggam jemariku lembut. Air matanya mengalir deras.

"Apakah Anda tidak ikut bersamaku, Nona?" Aku bertanya dengan sorot mata penuh harap.

"Kita akan bertemu lagi, dan jangan pernah menemuiku sebelum saatnya tiba! Aku akan selalu menjagamu, Tuan." Wanita berparas cantik yang mengenakan gaun putih bersih itu, memberikan tas, dan sepucuk surat padaku.

"Lari, Pangeran!" Di seberang sana, Arkan berteriak keras, sebelum akhirnya, terpenggal oleh pedang pria itu.

Ruang upacara pengangkatan Sorcgard seketika banjir darah. Aku mundur beberapa langkah, merutuki diri atas ketidakmampuan melindungi mereka. Derai air mata mulai mengalir deras di pipi.

Aku membatin, "Aku belum memiliki kekuatan magic yang cukup. Tapi, kenapa Dewa Naga memilihku? Sungguh, aku tidak ingin melihat semua kehancuran ini!"

"Aku pasti akan membunuhmu, Guardian!" Suara bariton pria itu terdengar sangat lantang. Ia kemudian berjalan sambil menyeret ujung pedangnya, hingga membentuk garis memanjang di lantai.

"Pangeran Achilio, cepatlah pergi dari sini!" Nona Lily tampak menahan pergerakan pria misterius itu, dengan sihirnya.

Tanpa pikir panjang, aku melarikan diri ke Blood Forest—di sebelah utara Sorcgard, dengan berlari secepatnya. Satu-satunya yang kuingat adalah kalimat, "Harvey sang kaisar Darkiles" di bendera yang dibawa oleh para prajurit menyeramkan itu.

Bagaimana pun caranya, aku pasti akan membunuh Kaisar Harvey. Saat itu, aku bertekad untuk menjalankan tugasku sebagai guardian, dan menaklukkan Kekaisaran Darkiles suatu hari nanti.

Selama seminggu aku berlari tanpa tujuan, akhirnya kuputuskan untuk bermalam di gua tengah hutan. Ditemani cahaya api unggun, aku membaca surat wasiat ibu yang kubawa. Tulisan dalam surat itu terlalu sulit untuk dimengerti, karena hanya sedikit kalimat yang memakai bahasa Sorcgard.

Pada tengah isi surat, terdapat kalimat yang membingungkan. Ibu menulis,

"Zay ... bangkitnya kegelapan. Dia berhasil dikalahkan oleh ... mengumpulkan tujuh pecahan kristal phoenix yang jatuh."

Apakah ibu memintaku untuk mencari Zay, lalu menyatukan tujuh kristal? Ah, entahlah aku hanya menebak!

Gar!

Badai petir di luar sana, membuyarkan lamunan. Belum habis detak kencang jantungku karena petir itu, tiba-tiba muncul bayangan lima serigala di mulut gua.

Kawanan serigala yang menyeramkan itu perlahan-lahan menghampiri. Tergesa-gesa, aku menyembunyikan surat yang belum selesai terbaca di tasku.

Salah satu serigala itu berubah menjadi seorang pria yang sangat tampan. Kemudian ia berkata, "Wah, kita sepertinya kedatangan tamu istimewa! Kenapa Anda kemari, Yang Mulia?" Ia menampilkan senyuman yang begitu memikat.

Kenapa rasanya, aku juga seperti pernah melihatnya di suatu tempat? Senyuman itu nampak tidak asing. Kira-kira, dia siapa, ya?

''Aku sedang pergi mencari Zay," jawabku tanpa ragu. Namun, ia tiba-tiba marah dan menyerang. Tidak sempat menghindar, lenganku terkena cakar tajamnya. Tubuhku mati rasa, sebelum akhirnya jatuh ke tanah. Sial! Racunnya menyebar begitu cepat.

Kemudian, pria berambut cokelat itu berubah kembali menjadi seekor serigala. Tatapannya yang tajam, serta gigi runcingnya terlihat seakan ingin membunuh. Ia sepertinya akan menyerang untuk yang ke-dua kalinya.

Jleb!

Cahaya biru tiba-tiba muncul, membentuk sebuah perisai. Seseorang berjubah hitam, dan pedangnya telah menyelamatkanku. Ia begitu cepat berteleportasi, membawaku ke sebuah ngarai.

"Akhir dunia ini ditentukan olehmu, Guardian." Cahaya putih keluar dari tangannya, menyembuhkan lukaku.

"A ... apa maksudmu?"

Tiba-tiba, ribuan panah melesat ke arah kami. Ia langsung memasang pelindung dengan cepat. Celaka! Rombongan prajurit Darkiles telah menemukan keberadaanku.

Lelaki itu membantuku berdiri. "Waktumu sudah tidak banyak lagi, Pangeran Sorcgard."

Ketika ia membuka portal, aku terdorong masuk ke dimensi yang aneh. Semua terjadi begitu cepat. Sial! Aku terjebak dalam ruang yang berdinding cermin.

Sudah tiga hari berkeliling, tetapi tidak ada tanda-tanda kehidupan. Bekal makananku pun sudah habis. Aku mulai dilanda kegundahan, yang bercampur dengan keputusasaan.

"Apakah riwayat hidupku akan berakhir di tempat ini?" Aku bersimpuh sambil menatap sendu ke arah langit-langit. "Tolong, beri aku satu kesempatan untuk kembali, Dewa Kematian!"

Related chapters

  • The Seven Phoenix Shards    Awal Dari Perubahan

    Brak!Aku membanting pintu berlapis emas, seketika gema memenuhi seluruh ruang. Saat melangkah masuk, aku melihat seorang pria berkulit putih pucat, dengan tubuh terikat rantai besi. Ia memiliki mata merah gelap, dan taring tajam yang mencuat keluar."Aku telah menantikanmu selama delapan belas abad di sini, Achilio." Pria itu menatapku dengan sorot yang menakutkan. "Akhirnya, kamu datang menemuiku," lanjutnya kemudian."Dari mana kamu tau namaku?" Aku menghunuskan pedang ke lehernya. "Siapa sebenarnya kamu?"Pria itu terkekeh, lalu berkata, "Reinkarnasi telah menghilangkan ingatanmu, ya? Aku adalah Zay! Orang-orang menyebutku sebagai sang pembunuh hebat!" Sungguh, bertemu dengannya adalah sebuah keberuntungan! Dengan begitu, aku tidak perlu repot untuk mencarinya."Aku membutuhkan bantuanmu, Zay. Nanti, aku akan menceritakan semuanya padamu. Tolong, ikutlah denganku!" ucapku meminta padanya seraya menjauhkan pedang dari lehernya."Ya, aku akan menolongmu, Achilio. Tapi, setelah kamu

  • The Seven Phoenix Shards    Bertemu Kembali

    "Tolong, angkat aku menjadi muridmu, Tuan Lian!" Aku berlutut pada pertapa tua di depanku. Aku membaca selebaran tentang Tuan Lian—guru magic legendaris dari Middleside, di tiang Kota Wateras. Penduduk di sana seringkali membicarakan kehebatannya. Aku pun berniat untuk mempelajari kekuatan magic (kemampuan mengendalikan sihir), agar bisa mengalahkan Kaisar Harvey. "Jika bukan karena wajahmu yang tampan, aku tidak akan mau menjadi gurumu, Bocah ingusan!" Pria tua dengan rambut putih sepunggung itu berdiri, lalu menghujamkan sebuah pedang, yang memiliki simbol berwarna merah—pertanda diterimanya menjadi seorang murid, di hadapanku."Dih, guru yang aneh! Huh, di dunia ini seakan selalu mengedepankan fisik, dibandingkan hal lain!" ucapku menggerutu di dalam hati. Penduduk Wateras bilang, masuk perguruan itu sangatlah susah, karena Tuan Lian hanya akan memilih orang-orang hebat. Namun ternyata, jauh lebih mudah dari yang kubayangkan. Aku bersyukur bisa diterima menjadi muridnya tanpa se

  • The Seven Phoenix Shards    Siapa pun Bisa Menjadi Pengkhianat

    Sejak saat itu, aku melanjutkan perjalanan bersama Ratu Alea. Meskipun, aku tidak tahu, apakah dia punya rencana jahat atau tidak? Lima bulan sudah kami berdua memecahkan banyak misteri. Akhirnya, setengah surat ibu sudah dapat diterjemahkan. "Tersatunya tujuh kristal ... tingkatan tertinggi tidak akan mampu mengalahkannya. Jahat tidak selamanya jahat, dan baik tidak selamanya baik. Satu pesan terakhirku, tolong, jangan pernah berkorban nyawa lagi!" Tanganku menutup lembaran surat yang nampak usang itu, lalu menatap putus asa pada deru ombak.Dulu, aku sangat menginginkan kebahagiaan, dan kebebasan untuk melihat dunia luar. Namun, ayah selalu melarang dengan berbagai alasan. "Di luar sana tidak menerima orang lemah," ujarnya saat itu. Aku membatin, "Sekarang aku baru mengerti, ternyata dunia ini teramat menyakitkan untukku.""Kita telah sampai di Autofalor. Bersiaplah turun dari kapal, Pangeran!" Suara Ratu Alea menyadarkanku dari lamunan. Aku melirik wanita yang telah memakai juba

  • The Seven Phoenix Shards    Era Kebangkitan

    "Mereka telah tidur untuk selamanya, dan tidak akan pernah merasakan sakit lagi." Aku memandang gelapnya langit seraya mengutuk diri, atas kebodohan yang kulakukan.Empat hari sudah aku berkeliling, mencari jalan ke luar dari Hutan Ilusi. Namun, aku seakan hanya terus berputar, di antara rimbunnya pepohonan."Tolong! Siapa pun tolong aku di sini!" Daun kuning keemasan yang gugur terinjak-injak, ketika aku mencari asal sumber suara itu. Sesampainya di sana, aku melihat seekor serigala tengah terhimpit pohon pinus. Kudorong dahan besar itu dengan sekuat tenaga, lalu mengobati luka pada serigala malang itu. Pergelangan kaki hewan berbulu abu-abu itu, sepertinya mengalami cedera yang cukup serius. Ia mungkin tidak akan bisa berjalan untuk sementara waktu.Bulir-bulir air hujan mulai turun. Awan hitam di atas sana menghasilkan kilatan cahaya, yang terlihat seperti sebuah lecutan. Aku dengan cepat menggendongnya, sebelum cuaca ekstrem semakin mengganas.Ia berbisik, "Berjalanlah ke arah b

  • The Seven Phoenix Shards    Argos

    Seminggu setelah kejadian berdarah di Kerajaan Wolf (serigala), aku mulai bekerja sama dengan mereka—Austin dan Helcia, untuk mencari pecahan kristal phoenix. Austin—Raja Werewolf Alpha—pimpinan bangsa serigala, telah menjadi teman, dan bersedia memberikan pecahan ke-empat kepadaku. Sebelumnya, aku tidak menyangka dapat bekerja sama dengan Austin. Ya, pertemuan awal kami memang tidak berjalan baik. Serangan di gua hari itu, masih terukir jelas di ingatanku. Aku sangat berharap, kami dapat menjalin hubungan pertemanan, hingga kami sama-sama menikah, di suatu hari nanti.Mereka memberikan kesempatan kedua, dan aku telah berjanji untuk tidak menyia-nyiakannya. Ada banyak harapan besar yang belum terwujud. Semuanya seakan hanya bisa nyata di dalam mimpi. Darah keluarga murni Bonaventura yang telah berkorban, harus kubalas dengan cara mengalahkan Kaisar Harvey.Aku akan melakukan apa pun untuk meraih tujuanku. Baik itu pertarungan tanpa kemenangan, maupun pengorbanan tiada akhir. Bagaiman

  • The Seven Phoenix Shards    Persiapan Perang

    Kubuka mata dengan pelan. Kemudian, melihat ke sekeliling. Ruangan itu hanya diterangi oleh empat lilin, yang tinggal setengah lagi akan mencapai dasar candle holder. Lilin di atas meja itu ada di samping rak buku; beberapa buku tergeletak acak di lantai; Helcia nampak tertidur pulas di pinggir ranjangku. "Di mana aku? Kenapa aku ada di sini?" gumamku seorang diri. Aku bingung, karena itu bukan di Kerajaan Wolf. Seingatku, tidak ada ruangan berdinding batu bata dengan penerangan yang minim, di sana.Tempat itu sangat kecil. Beberapa alat perang seperti: pedang, tombak, dan busur panah, tertumpuk di antara buku-buku kuno. Beberapa sampul buku itu berwarna hijau, sepertinya berisi tentang pengendalian kekuatan alam. Semuanya terlihat berantakan; berbagai benda berserakan di mana-mana.Aku pernah membaca buku hijau itu di akademi. Kitab magic semacam itu, biasanya digunakan untuk setingkat elf dua—kekuatan peri yang bisa menyembuhkan dengan cepat, tetapi tidak berefek pada serangan mem

  • The Seven Phoenix Shards    Dia Adalah Aku Di Masa Lalu

    Pada pertengahan musim semi, peperangan itu pun akhirnya dimulai. Aku tidak tahu siapa, yang akan kalah dalam pertempuran besar itu. Semuanya terlihat sama-sama hebat dan tangguh. Sulit untuk menentukan pemenang, saat kekuatan itu imbang.Sekitar dua puluh langkah dari tempatku berdiri, pasukan Darkiles berbaris rapi dengan kapaknya. Mereka seakan siap membunuh bangsa wolf tanpa belas kasihan. Barisan bangsa vampir menjadi penyerang utama, lalu di belakangnya terdapat iblis-iblis yang memakai tameng."Celaka! Sepertinya tidak akan ada yang selamat dalam perang ini!" Aku menjerit di dalam hati.Rasa takut kian meningkat. Jika hanya mengandalkan tekad, kurasa kami tidak akan bisa menang. Pasukan mereka jauh lebih banyak, daripada kelompok bangsa serigala—pasukan Austin."Mereka mungkin pasukan yang terlihat kuat, tetapi kita mempunyai prinsip 'kalah sampai mati daripada tunduk pada Harvey'! Perang besar ini akan menjadi hadiah balas dendam, untuk masa sekarang, dan untuk kekalahan di ma

  • The Seven Phoenix Shards    Akhir Dari Peperangan Besar

    "Kamu telah dibutakan oleh cinta, Zay!" Aku melepaskan cekikan itu, dan mengibaskan pedang ke arahnya. "Jangan bodoh dalam bertindak hanya karena ambisi!""Padahal, kamu juga jatuh cinta dengan Felicia. Mirisnya, kamu malah menyia-nyiakan Alea yang paling mencintaimu. Nah, lebih bodoh mana? Aku atau kamu, Achilio?" Zay menghindar, dan menerjang perutku.Ingatan itu kembali terputar, kebersamaanku dengan Alea terekam berulang-ulang. Ya, Alea selalu ada saat aku membutuhkannya. Dia bukanlah seorang wanita, yang memiliki kegengsian setinggi langit seperti Felicia.Pernikahan yang menjadi impian terbesarnya, justru kuhancurkan di malam tragis itu. Ah, penyesalan selalu datang terlambat! Kenapa aku malah bunuh diri, dan membiarkannya menderita selama ini? Benar-benar perbuatan paling naif. Zay mungkin ada benarnya juga. Aku adalah pria terbodoh yang menyia-nyiakan ketulusan cinta, dari seorang wanita. Seharusnya, aku adalah salah satu orang paling beruntung di dunia, karena cinta sejati s

Latest chapter

  • The Seven Phoenix Shards    Semoga Bahagia!

    Aku tersenyum manis, terpesona pada keahlian memasaknya. "Bagaimana kalo kita jalan-jalan minggu depan?" tawarku pada wanita yang sibuk menghitung takaran gula, di depan sana."Tumben ngajak jalan." Eunoia–yang mengenakan daster merah muda, tampak sibuk menyiapkan secangkir kopi hangat untukku. Toples kopi terlihat berantakan karenanya. Ya, namanya juga baru belajar masak, makanya seperti itu. Aku cukup memaklumi kondisinya–latar belakang sebagai orang kaya membuatnya manja.Kami berada di dapur berukuran luas, berdesain ala-ala restoran mahal. Sepertinya arsitek yang kurental tidak lagi memikirkan desainnya. Mereka selalu membuat ruangan luas di rumahku, dan itu bukan yang pertama kalinya. Untunglah, aku hanya perlu membayar, dan menikmati hasilnya. Lagian, menasehati mereka hanya membuang tenaga."Kamu nggak sibuk, kan? Lagian, jalan-jalannya di hari Minggu kok. Apa iya, kamu nggak bisa juga?" Aku menghentikan suapan nasi ke mulut. "Refreshing dong sekali-sekali juga." "Iya, boleh

  • The Seven Phoenix Shards    Reuni Para Pahlawan

    Sebuah meja makan yang di atasnya terdapat berbagai macam hidangan, tampak menggiurkan perut kosongku. Aku berdiri di antara orang-orang yang sibuk dengan santapannya. Memperhatikan mereka dengan tajam, sepertinya membuat Degree meningkatkan kewaspadaannya.Lampu kristal yang tergantung, di atas langit-langit ruangan interior klasik, terlihat begitu indah. Ada dua jenis kursi, yaitu sofa dengan bantalan empuk, dan kursi kayu berdesain batik. Lantai yang terbuat dari keramik mahal, membuat bibirku tak berhenti mengucapkan ketakjuban.Pandanganku berpindah ke sana kemari. Ya, ada seseorang yang ingin sekali kutemui. Sudah lama rasanya, semenjak peristiwa kehancuran alter ego. Rasa rindu ingin bertemu, dan bercengkerama memang ingin kulakukan, setelah lepas dari kesibukan menjadi seorang kepala negara.Masa jabatan yang baru setahun kujalani, dan masih terlalu cepat untuk lengser. Lagi pula, penduduk sudah memilih, dan mengembankan tugas penting itu padaku. Suatu amanah harus dilakukan,

  • The Seven Phoenix Shards    Kembalinya Kedamaian

    Apa yang telah berlalu, dijadikan sebagai pelajaran berharga. Aku menghirup udara segar Kota Scramble. Seluruh penduduk telah dibuat amnesia tentang kejadian di masa lalu. Biarlah, apa yang menjadi rahasia dunia, tetap seperti itu.Aku melepaskan jas hitam formal. Kemudian, meletakkannya di dekat meja kerja. Dokumen yang telah menumpuk seperti gunung kecil, kubiarkan saja. Menjadi pekerja keras, dan pemimpin Negara Erreala sungguh berat.Secangkir teh hangat dengan daun pandan yang dibentuk segi empat, kuminum perlahan. Menyeruput segelas teh adalah ketenangan yang sangat kurindukan. Di balik kaca, para karyawan muda tampak berlalu-lalang. Beberapa di antaranya saling bertegur sapa. Menu sarapan di pagi hari itu adalah telur dadar buatan Eunoia. Makanan yang dia buat sudah mampu menyaingi chef ternama, tetapi tidak dengan Sera.Hidup dengan bayangan masa lalu tidak akan habisnya. Aku mencoba untuk menjalani semuanya, tanpa adanya Aoi lagi. Kebisingan di istana kepresidenan sudah menj

  • The Seven Phoenix Shards    Menghancurkan Alter Ego

    "ini demi kebaikan semua orang, dan untuk dunia yang akan kembali utuh. Tolong aku, Saudaraku! Aku berjanji akan memberikan peluang padamu." Aku berlari cepat ke arah Dewa Naga berkepala tujuh. "Tidak. Jangan lakukan hal sebodoh itu, Yang Mulia!"Pantulan bayangan hitam yang menyerupai Naga Neraka–dalam sejarah Sorcgard disebut alter ego negatif (kepribadian ganda bersifat jahat), mendekat, lalu melahap Dewa Ergonza. Aku gemetar, tetapi tetap melangkah maju.Pedang di tangan kanan, dan tameng pelindung di tangan kiri. Aku menendang cermin perjanjian itu dengan tendangan maut. Berharap akan menjadi lebih baik. Namun, malah sebaliknya. Ya, semuanya telah terlambat.Dinding kebaikan antara jiwa-jiwa orang hidup, dan mati tengah mengalami kehancuran. Semua catatan batas kematian berterbangan ke mana-mana. Bola-bola kristal kematian pecah. Kekacauan di ruangan tanpa atap itu membuat telingaku berdenging. Berisik sekali. Gendang telingaku rasanya ingin pecah. Di hadapan, Dewa Naga telah b

  • The Seven Phoenix Shards    Sebelas VS Satu Kekuatan OP

    Sebuah kerajaan yang dibangun bertingkat-tingkat tampak berantakan. Semua pasukan Aksa–para ksatria titisan anak Dewa, berkumpul memadati api pengorbanan. Kejadian serupa pernah terjadi juga di masa lalu. Entah apa yang membuat mereka se-naif itu.Aku memerintahkan Nona Filia, untuk mendaratkan pesawat lima belas meter dari pusat istana. Mengingat kegentingan tengah terjadi, aku membagi tim menjadi dua kelompok.Satu kelompok terbagi menjadi lima anggota, kecuali tim dua. Ya, Harvey tidak mungkin berpisah denganku. Mereka–anggota Tim D yang lainnya, takut Harvey malah berkhianat di tengah jalan. Oleh karena itulah, aku selaku kapten memutuskan sendiri pembagian tim.Benteng besar dengan tumpukan bebatuan dari permata, menjulang tinggi bak gunung terbesar di Scramble–Gunung Zu. Pintu gerbang yang telah terbuka, memungkinkan kami masuk, tanpa harus memecahkan sandi.Peradaban kuno masih terikat dengan dinding-dinding Kerajaan Aksa. Tiga patung besar di masa Azo telah dihancurkan. Dulu,

  • The Seven Phoenix Shards    Setelah Kepergiannya

    "Ya, bisa dibilang, aku dapat berubah wujud menjadi apa saja, dan menyamarkan identitasku sebagai Dewi Phoenix."Kalimat itu memenuhi alam pikiranku. Setelah Degree memberitahukan segalanya padaku, barulah kesadaran mencintai dengan tulus itu timbul. Penyesalan memang selalu di akhir, itulah yang mereka katakan padaku.Dia yang sudah pergi meninggalkan, mungkinkah 'kan kembali? Dewi Phoenix ingin mewujudkan dunia yang adil, dan penuh dengan kebahagiaan. Namun, akulah yang menghanguskan segala asanya itu.Abu yang sudah tertiup angin, melayang entah ke mana. Aku kehilangan belahan jiwa, yang selama ini tidak pernah mengecap kata, "dihargai". Mencintainya adalah keterlambatan yang paling disesalkan.Kusandarkan kepala ke sebuah dinding beton–penghalang antara daratan dan lautan, yang ada di dekat tempat terakhir kepergiannya. Aku lelah menghadapi segala hal, yang sebenarnya tidak ingin kulakukan. Kewajiban yang telah kuambil, terucap sumpah, hingga jiwa menjadi saksinya, berat. Kejadia

  • The Seven Phoenix Shards    Permintaan Terakhir Aoi

    Perjuanganku selama ini tidak ada gunanya lagi. Aku menghancurkan semua benda yang ada di sekitar sana. Kemarahanku sudah tak bisa ditampung. Dalam satu kali semburan api, aku membakar seluruh sisi lapangan.Harvey mencoba menghentikan, tetapi kekuatanku jauh lebih besar. Hanya menggunakan satu persen magis, anak Dewa Naga itu tak kuasa menahannya. Portal pelindung tingkat tinggi yang dia bangun, kuhancurkan dengan satu kali pukulan.Magis sempurnaku telah bangkit kembali. Kekuatan keseimbangan alam yang bercampur, dengan kristal phoenix telah menguasai seluruh universe. Jentikan jariku bisa mengalahkan siapa pun. Aku tidak takut tewas, karena keabadian telah menjadi milik.Kehancuran akibat magis tingkat tinggiku, menghantarkan Tim Treize ke lokasi. Aku menerbangkan diri menggunakan sayap guardian. Kemudian, memasang garis pembatas, agar mereka tidak terlibat.Degree bersama Bibi Naya mencoba untuk menghancurkan dinding tebal itu. Namun, tentu saja tidak akan bisa. Kekuatan rendahan

  • The Seven Phoenix Shards    Kristal Phoenix

    Kristal phoenix berhasil ditemukan. Nenek itu sangat baik hati, karena menyerahkan benda itu padaku. Aku bersama dengan Calvin berhasil mempersingkat kultivasi sempurna, hanya dalam dua hari. Kemajuan yang sangat luar biasa, bukan?Keberangkatan kami menuju Kota Linear membutuhkan waktu sekitar lima jam. Perjalanan termakan lama, lantaran macet di ibu kota. Setelah diceramahi oleh Calvin, aku kembali sadar tentang satu hal, yaitu bukan tentang bagaimana menjadi seorang guardian sejati, tetapi proses perjuangan selama ini.Aku membuka layar ponsel. Pesan di SC tampak menumpuk. Ada sekitar lima ribu chat dari gabungan grub, dan chatting personal. Tidak. Bukan itu yang kucari. Beberapa hari sebelumnya, sebuah nomor yang tidak dikenal memberikanku pesan bertuliskan,"Temui aku sendirian, Azo. Mari selesaikan ini tanpa menggunakan kekuatan sedikit pun. Aku berjanji tidak akan bertarung dengan curang. Kali ini, jika aku menang, maka kau harus bersumpah untuk membunuh dirimu sendiri. Tapi ji

  • The Seven Phoenix Shards    Salah Orang

    Sudah tiga hari aku gelisah. Tubuhku panas dingin. Kepalaku ingin pecah dari tempurung tengkorak. Sebuah pedang yang menancap di atas televisi, tidak bisa ditarik. Berat."Sebenarnya, apa sih, isi kotak kayu itu? Kok pedangku nggak bisa menembusnya, ya?" gumamku seorang diri, sambil memutari televisi yang sudah gosong itu. Di malam sebelum kejadian itu, aku sibuk menonton acara kesayangan—film romantis. Film yang berjudul, "Onze hope for your enemy", karya sutradara terkenal di Linear, memang patut diberi rate seribu dari per sepuluh. Film yang bercerita tentang kehidupan asmara Ceyda–seorang gadis remaja broken home, menuai banyak respon positif dari fansnya. Pertemuan Ceyda dengan seorang pria dingin–Atan, adalah kisah paling unik sepanjang sejarah. Tisuku habis hanya untuk menyeka air mata yang jatuh, ketika menyaksikan film itu di layar televisi.Dua jam setelahnya, aku memutuskan untuk tidur. Lamaran pekerjaanku menjadi asisten lab telah disetujui Tuan Clay—kepala laboratorium

DMCA.com Protection Status