Dexter melirik kesal pada Jason yang malah mengikuti Jelita ikut masuk ke dalam ruangannya, padahal ia berharap bisa bicara berdua saja dengan wanita itu!
"Jadi, ada masalah apa sebenarnya tadi itu dengan Denis?" tanya Dexter membuka pembicaraan.Mereka semua sudah duduk di sofa kulit lembut yang empuk. Dexter dan Jason berada di single sofa saling berhadapan, sementara Jelita duduk sendirian di double sofa.Jelita pun menunduk, membiarkan Jason sebagai Senior Associates yang akan menjabarkan kepada Dexter. Lagipula dia juga tidak melihat kejadian sebenarnya.Jason menghela napas pelan sebelum berujar. "Masalah pelecehan seksual, Mr. Green. Saudara Denis memanfaatkan situasi lift yang penuh sesak untuk melakukan tindakan asusila terhadap kolega saya, Jelita."Kening Dexter pun seketika berkerut. Ia menatap Jelita yang membuang pandangannya ke jendela. "Tepatnya seperti apa pelecehan yang dia lakukan?""Denis sengaja berdiri diLunch meeting yang diadakan di ruang rapat VIP di lantai 39 pun mulai berlangsung. Dexter memulai rapat dengan pidato singkatnya mengenai tema pembahasan rapat kali ini, yaitu due dillegence kepada beberapa perusahaan yang akan diakuisisi oleh Alpha Green.Sebelum masuk ke pembahasan utama, Dexter juga mengumumkan mengenai isu pemecatan salah satu karyawan yang melakukan perbuatan asusila di dalam lift dan telah menjadi desas-desus di perusahaan.Sebagai pemimpin, ia menegaskan bahwa ia tidak akan segan memecat siapa pun yang melakukan perbuatan yang akan mencoreng nama baik perusahaan. Itu sebabnya ia memecat Denis Ankarian setelah menemukan bukti-bukti yang cukup.Setelahnya, lunch meeting pun dimulai. Di tengah-tengah acara rapat, Jelita merasa ingin ke toilet. Mumpung agenda meeting belum masuk ke pembahasan sisi legal business yang menjadi ranahnya Jason dan Jelita, maka wanita itu pun memutuskan untuk ijin keluar sebenta
Lunch meeting akhirnya selesai tepat pukul lima sore. Suara-suara desahan lega serta orang berbincang terdengar memenuhi ruang rapat yang semakin lama semakin sepi itu.Ponsel Jelita tiba-tiba berdering saat ia sedang membereskan berkas-berkas. "Uhm... Jason, aku harus menerima telepon ini dulu," pinta Jelita pada bosnya yang sudah bersiap untuk pulang."Okay. Kalau begitu aku duluan ya? See you tomorrow Jelita," pamit Jason sambil menyentuh lembut lengan kiri Jelita sekilas. Bagi Jelita, gerakan itu tidak ada artinya sama sekali kecuali menyiratkan pertemanan. Namun tidak bagi sepasang mata caramel yang menatapnya tajam sedari tadi.Yang menelepon Jelita adalah Axel, anak lelakinya. Ia kangen dengan Jelita dan hanya ingin mendengar suara mamanya."Okay, Sayang! Sampai jumpa di rumah! I love you... muaaah!!" Jelita mengakhiri telepon dengan memberikan kecupan mesra sambil tersenyum. Ketika ia menyimpan ponsel dan hend
"Maaamaaaaa!!!" Axel dan Aireen menjerit kegirangan penuh suka cita mendengar suara mobil mamanya yang memasuki garasi. Mereka berlari serta berebut untuk memeluk Jelita yang baru saja datang dan turun dari mobilnya.Saat ini hari masih sore, dan anak-anak begitu gembira karena mamanya sudah pulang kerja lebih cepat daripada biasanya.Jelita memeluk erat kedua anak kembarnya itu dengan rasa sayang yang meluap-luap. Dengan gemas, ia pun mengecup pipi mereka dan menggendong kedua anak itu di pinggangnya.Dara, pengasuh si kembar, ikut berdiri di dekat Jelita dan mengambil tas kerja majikannya itu sambil tersenyum ramah. "Biar saya yang bawakan tasnya, Bu," ucap sopan gadis muda itu. "Terima kasih. Eyang sudah pulang, Ra?" tanya Jelita. Mobil papa Dirga memang tidak ada di garasi, tapi terkadang papa mertuanya itu sering meminta Pak Marcel untuk membawa mobil Dirga ke rumah ajudannya itu setelah mengantarnya pulang.
Jelita masih bingung dengan permintaan yang terlontar dari bibir oranye redup Dionne Graham itu. Maksudnya, dia diminta jadi model gitu? Untuk brand fashion yang terkenal itu? Urban Dictionary?? Benarkah??"Ha?" rasanya Jelita ingin menabok mulutnya sendiri yang dengan bodohnya mengucapkan dua huruf itu sampai dua kali. Tapi sebenarnya dia hanya bingung sih. Jelita memang pernah mendapat tawaran menjadi model ketika dia masih berusia sembilan belas tahun, namun saat itu dia pun masih harus melalui proses casting. Dan tawaran itu akhirnya dia tolak, karena Jelita merasa tidak memiliki bakat dan minat untuk bergaya di depan kamera.Tapi masalahnya kali ini adalah yang menawarinya bukanlah agensi model, melainkan desainernya langsung! Jelita mengalihkan tatapannya kepada Dexter yang berada di samping Dionne, namun lelaki itu terlihat sama bingungnya dengan Jelita."Uhm...," Jelita membuka suara sambil melirik sekilas pada tangannya yang digenggam Dionne erat."Aku merasa sangat tersa
**15 MENIT SEBELUMNYA....Dexter menatap kepergian Jelita ke arah kolam air mancur dengan kening berkerut. Pikirannya menjadi tidak tenang setelah mendengar perkataan wanita itu yang sepertinya telah melihat keberadaan Farrel.Bagaimana jika Jelita benar? Apa maksud lelaki itu memunculkan dirinya di sini?Tangannya pun segera bergerak meraih ponsel dari sakunya untuk menelepon Nero, ajudan setianya."Nero? Periksa semua CCTV. Cari keberadaan Farrel Bintang Arjuna di sini, lalu segera tangkap dan interogasi dia." Dexter pun segera mematikan sambungan ponselnya saat melihat William Green yang berjalan ke arahnya."Heaven sudah hampir sampai, Dex!" ayahnya memberitahu dengan antusias. Dexter tersenyum dan mengangguk, lalu mengeluarkan remote kecil dari sakunya. Ia menekan salah satu tombol yang berwarna merah, lalu seketika suasana pun berubah gelap karena semua lampu taman otomatis padam.Beberapa saat
*30 MENIT SEBELUMNYA...Suara petir yang keras dan menggelegar serta rintik kecil hujan mengiringi perjalanan Dexter menuju alamat yang diberikan si penelepon misterius itu. Kilat yang sesekali menyambar seakan mengancam seluruh penduduk bumi agar bersiap menghadapi hujan badai yang akan turun dengan deras dari langit.Dexter menyetir mobilnya seperti kesetanan, karena yang ada dalam pikirannya hanyalah bagaimana ia bisa secepatnya menyelamatkan Jelita. Ia telah berulang kali berusaha menelepon nomor tak dikenal itu, namun tak kunjung juga diangkat. Apakah Farrel adalah dalang dibalik penculikan Jelita?? Bajingan!! Dexter akan memastikan untuk mematahkan semua tulang belulangnya jika dia berani menyentuh Jelita meskipun hanya seujung kuku!!GPS di mobil Dexter berbunyi pelan, menandakan bahwa posisinya saat ini telah sampai sesuai dengan alamat yang dituju.Kilat pun kembali menyambar, dan sinarnya membuat D
Warning : ada adegan hot kiss, buat yg sedang puasa, boleh dibaca setelah berbuka. dosa ditanggung berdua. hehe.***"Tanda tangani dulu surat pernyataan pengembalian aset akuisisi ini kalau tidak ingin tubuh semulus ini terluka," ancam Farrel sambil mengeluarkan pisau dari sakunya dan menempelkan benda tajam itu di leher Jelita."Aku akan mengembalikan harta tidak berhargamu itu, Farrel! Tapi lepaskan Jelita dulu, dan mari kita duel satu lawan satu sesudahnya," Dexter menggeram sambil mengepalkan kedua tangannya.Farrel mendengus kasar. "Tak usah banyak bicara! Tanda tangani surat itu saja, Dexter Green!" bentaknya kesal.Romeo yang dari tadi diam saja, seketika mengambil pulpen biru dari atas meja dan menjejalkannya di tangan Dexter agar menggenggam alat tulis itu. Tanpa ragu Dexter pun langsung menandatangani surat itu, yang sontak menerbitkan senyum kepuasan di wajah Farrel."Bagus. Sekarang kau boleh memukuli dia s
Hujan terus turun membasahi tubuh dua insan yang sedang saling memagut dengan penuh suka cita, seakan saling berlomba untuk menunjukkan gairah yang menguasai diri mereka.Detik-detik yang berlalu terasa begitu sakral dan penuh keajaiban. Bahkan hujan pun terasa begitu manis, suara petir bagaikan alunan lagu merdu dan sambaran kilat bagaikan lampu temaram yang bersinar hangat di malam yang gelap.Entahlah dengan Dexter, namun Jelita tidak pernah merasakan hal seperti ini sebelumnya. Berciuman seperti ini sebelumnya, meskipun di masa lalu dirinya dan Dexter adalah sepasang kekasih.Namun yang terjadi saat ini begitu berbeda, seakan Jelita mencium Dexter yang berbeda dengan sepuluh tahun yang lalu. Meskipun tetap ada getaran yang familier, seperti aroma maskulin sesegar pegunungan yang menguar dari tubuh Dexter, sama seperti dulu.Tapi hanya itu. Hanya aromanya saja yang sama, selebihnya begitu berbeda.Ciuman d
"Ya, aku di sana, Sayang. Saat Anaya lahir, aku memanjat dinding rumah sakit dan duduk dengan cemas di ruang sebelah. Mendengar semua rintihan kesakitanmu, dan mendengar tangisan pertama anak perempuan kita."***Sehabis Dexter dan Jelita bertemu dan bercinta semalaman, paginya lelaki itu langsung menemui anak-anak serta seluruh keluarganya. Tentu saja mereka semua sangat kaget, namun juga terharu dan menangis penuh rasa bahagia melihat Dexter bisa kembali berkumpul bersama mereka. Bahkan sejak saat itu Axel, Aireen, Ellard dan Ellena selalu ingin tidur di kamar orang tuanya, bersempit-sempitan dalam satu ranjang master bed.Jelita hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala dan tersenyum melihat kelakuan anak-anaknya yang seperti tidak mau berpisah lagi dengan Daddy mereka. Seperti juga malam ini. Meskipun malam ini sudah malam ke-lima kembalinya Dexter ke rumah, empat anak mereka itu masih saja rela tidur bersempit-sempit di ranjang Jelita dan Dexter. Untung saja ranjang itu superbes
Jelita menatap dengan segenap penuh kerinduan pada manik karamel yang selalu membuatnya terbuai, tenggelam dalam kedalamannya yang seakan tak berdasar itu. Ada begitu banyak pertanyaan yang berkecamuk di dalam hati Jelita, namun entah mengapa kali ini seolah bibirnya terkunci.Hanya desah tercekat yang lolos dari bibirnya ketika Dexter menggores bibirnya di leher Jelita yang seharum bunga. Kesepuluh jemari wanita itu telah terbenam di dalam kelebatan rambut Dexter yang sedikit lebih panjang dari biasanya, wajahnya mendongak dengan kedua mata yang terpejam rapat.Lelaki itu menyesap kuat lehernya bagaikan vampir kehausan yang membutuhkan darah segar agar ia tetap hidup. Rasa sakit itu begitu nyata, begitu nikmat dirasakan oleh Jelita. Untuk kali ini, ia benar-benar tak keberatan jika Dexter menyakitinya. Jelita justru ingin disakiti, ia bahkan tidak akan menolak jika Dexter ingin membawanya ke dalam Love Room dan membelenggunya dengan rantai besi lalu menyiksanya seperti Dexter di
Kedua lelaki itu masih terus melakukan baku hantam, tak berhenti saling melancarkan serangan serta pukulan yang mematikan untuk membuat lawannya tak berkutik. Ruangan besar yang biasanya digunakan untuk pertemuan para anggota Black Wolf itu pun kini tak berbentuk lagi. Meja lonjong panjang dari kayu jati itu telah terbelah, setelah Dexter melemparkan tubuh Kairo ke atasnya. Potongan-potongan kayu itu pun mereka jadikan senjata yang cukup berbahaya karena ujung-ujung patahannya yang runcing.Dexter telah merasakannya, karenq Kairo menusuk kakinya dengan kayu runcing iti ketika ia lengah.Dua puluh kursi yang berada di sana pun menjadi sasaran untuk dijadikan senjata. Pertempuran itu benar-benar sengit. Kairo melemparkan kursi terakhir yang masih utuh kepada Dexter yang sedang terjengkang setelah sebelumnya terkena tendangan, namun untung saja di detik terakhir dia masih sempat menghindar.Dengan sisa-sisa tenaganya, Dexter menerjang tubuh Kairo dan menjatuhkannya ke lantai, lalu b
Rasanya setiap sendi di kaki Jelita mau lepas dari engselnya, tapi ia abaikan semua rasa sakit itu dan terus saja berlari, untuk mengejar sesosok tinggi yang ia rindukan dan telah berada jauh di depannya.Aaahhh, sial... sekarang lelaki itu malah menghilang!!Dengan napas yang tersengal, Jelita berhenti di depan pintu sebuah cafe untuk bersandar sejenak di tiang putih besarnya. Berlari dengan heels 5 senti sambil membawa tas dan dokumen tebal benar-benar sebuah perjuangan.Ditambah lagi sudah sebulan terakhir ini dia juga jarang berolahraga. Lengkaplah sudah.Sambil mengatur napasnya yang berantakan, Jelita mengamati spot terakhir dimana Dexter terakhir terlihat. Atau mungkin, orang yang sangat mirip dengan Dexter Green, suaminya yang telah meninggal dua tahun yang lalu. Tidak, itu pasti Dexter. Jelita sangat yakin lelaki yang barusan ia lihat adalah Dexter!Jelita tak tahu apa yang ia rasakan saat ini, karena hatinya serasa ditumbuhi bunga yang bermekaran namun juga sekaligus dina
Cuma ngingetin, ini novel yang 100% happy ending ya. Jadi... jangan kaget baca bab ini. Peace.***Tubuh Jelita membeku dengan tatapan kosongnya yang lurus terarah pada pusara penuh bunga di hadapannya. Tak ada satu pun isak tangis yang keluar dari bibir pucat itu, karena airmatanya telah mengering.Tubuh dan hatinya kini telah kebas, menebal dan mati rasa.Ini terjadi lagi. Untuk yang kedua kalinya.Apakah dirinya pembawa sial? Apakah dirinya memang tidak ditakdirkan untuk bahagia?Apakah dia tidak layak untuk mendapatkan cinta yang begitu besar dari seseorang yang luar biasa? Dulu Zikri, dan sekarang...Sekarang...Jelita mengangkat wajahnya yang pucat dan melihat Heaven yang berada di seberangnya. Wanita itu tengah tersedu dengan sangat pilu, sementara William terus memeluk dan berusaha menenangkan istrinya.Seketika Jelita pun merasa iba. Heaven telah kehilangan putrinya, dan kini kejadian itu pun terulang kembali. Dia kehilangan putranya.'Maafkan aku, Mom.' 'Putra tercinta
Jelita menatap lelaki paruh baya yang sedang terbaring diam itu dengan tatapan sendu. Matanya terpejam rapat, alat bantu napas menutup sebagian wajahnya dan beberapa infus terlihat menancap di tubuhnya. Ayahnya berada dalam kondisi koma. Pukulan keras yang beberapa kali menghantam kepalanya membuat otaknya mengalami trauma. Wajahnya penuh lebam dan luka, begitu pun sekujur tubuhnya. Robekan di sepanjang lengannya bahkan harus dioperasi karena merusak banyak syaraf-syaraf penting.Wanita itu pun kembali terisak pelan ketika mengingat penyiksaan keji kepada ayahnya itu. Seorang ayah yang baru ditemuinya setelah tiga puluh satu tahun hidupnya. Seorang ayah yang sempat ia benci ketika mengetahui kisahnya di masa lalu."Ayah, maafkan aku..." lirih Jelita sambil terus terisak. Ia mengunjungi Allan menggunakan kursi roda dengan diantarkan oleh suster jaga. Heaven pulang sebentar untuk melihat anak-anak Jelita di rumah, sekaligus membawa barang-barang yang diperlukan untuk rawat inap me
Dengan sekuat tenaga, Dexter melempar ponselnya membentur dinding hingga hancur berkeping-keping.Kemarahan yang terasa membakar dadanya ingin sekali ia lampiaskan kepada Prisilla Pranata, wanita iblis jahanam itu."Aaaarrghhhh!!!" Dexter menarik kursi yang ia duduki lalu mengangkatnya tinggi-tinggi, dan membantingnya ke lantai dengan keras hingga hancur berantakan."Mr. Green..." Nero masuk ke ruangan itu dan tidak heran lagi saat melihat suasana di sekelilingnya yang kacau-balau bagai terjangan angin badai memporak-porandakan seluruh isinya. Tuan Mudanya itu memang selalu menghancurkan barang-barang jika sedang murka.Seseorang telah berani mengusik istri dari Dexter Green, dan Nero memastikan kalau orang itu beserta kaki tangannya tidak akan bisa selamat dari kemurkaan lelaki itu. Dexter Green biasanya memang tidak sekejam ayahnya jika berhadapan dengan musuh-musuhnya, namun Nero tidak terlalu yakin lagi setelah apa yang ia lihat hari ini.Sisi psikopat Dexter yang selama ini jau
Kening berkerut Prisilla Pranata semikin penuh dengan lipatan saat ia mengernyit. Sudah tiga jam James tidak dapat dihubungi. Ada apa ini? Tak biasanya anak lelaki satu-satunya itu hilang kontak selama ini. Cih, paling-paling ia mabuk-mabukan dan bermain dengan jalang di night club. Hanya saja saat ini Prisilla membutuhkan James menemui Alarik. Wanita itu ingin mendapatkan bukti yang meyakinkan bahwa Alarik benar-benar sudah menculik dan menyiksa Allan beserta kedua putrinya itu. Lebih baik lagi jika ada videonya, pasti Prisilla akan sangat puas melihat jerit kesakitan dan permohonan ampun mereka yang menjijikkan.Dan sekarang entah kenapa tiba-tiba saja wanita yang masih terlihat anggun di usia lanjut itu merasa gelisah, karena Alarik belum memberikan kabar apa pun. Terakhir kira-kira beberapa jam yang lalu si pembunuh bayaran itu hanya memberi kabar kalau berhasil menangkap ketiga orang itu, tapi setelahnya tidak ada info apa pun lagi. Brengsek! Dimana sih mereka? James dan
"DEXTER, HENTIKAAN!"Kalimat perintah dari William Green itu sebenarnya terdengar begitu keras dengan suaranya yang menggelegar, namun putra satu-satunya yang ditegur itu seperti tidak bisa mendengar apa pun lagi. Telinga, mata dan hatinya sudah tertutup oleh kemurkaan yang begitu besar, sehingga tubuhnya pun bergerak bagai robot mematikan yang terus menghancurkan lawannya tanpa henti."KATAKAN DIMANA ISTRIKU, BEDEBAH!!" Bentakan keras itu diiringi oleh tatapan pekat dari netra karamel Dexter yang dalam dan menakutkan, seakan mampu menghisap seluruh jiwamu hingga kering tak bersisa.BUUUGH!!!Kembali, pukulan kuat itu telak ia layangkan kepada James Pranata, yang sudah terdiam di lantai dengan tubuh dan wajah yang penuh bersimbah darah.William Green pun akhirnya memberikan kode kepada ajudannya Nero dan tiga orang pengawal untuk menahan putranya agar tidak membunuh James yang sepertinya sudah sekarat itu.Bukan karena William peduli dengan nyawa James, ia hanya ingin mendapatkan inf