Jesika mengerutkan kening mendengar jawaban Rifa. "Elo bilang apa tadi?" tanyanya. Seketika membuat langkah Rifa terhenti dan menoleh ke arah cewek itu.
"Bukan urusan Elo." Rifa mengulang kalimatnya dengan wajah masam. "Lagian Elo tuh siapa, sih? Kepo banget sama urusan orang?"Jesika tertawa kecil. "Jangan ke-GR an deh, Elo!" "Oh, yeah?" Rifa tersenyum kecil sambil mendekat ke arah mereka. "Kalau bukan ingin tau namanya apa? Dan satu lagi, untungnya apa sih buat Elo tau urusan orang?" "Orang dengan pemikiran kolot kayak Elo enggak akan ngerti urusan beginian. Iya enggak, guys?" ucapnya sambil tersenyum kecut ke arah Sheryl dan Sasha.Gadis itu memutar kedua bola matanya malas. "Ngladenin orang kayak mereka enggak akan ada habisnya," ujarnya dalam hati. Lantas beranjak pergi tanpa pamit.Jesika tersenyum kecil. "Liat aja! Permainan akan segera dimulai." Katanya sambil memainkan ujung rambutnya dengan telunjuk jari.Sheryl mengerutkan kening heran. "Memangnya Elo mau buat rencana apa lagi sih, Jes?""Sebentar lagi kalian juga akan tau." Balas cewek itu kemudian pergi setelah mengambil tasnya yang tergeletak di atas meja.***Tepat satu jam, Liana berada di dalam toilet. Dia sengaja melakukan ini karena tak ingin ada orang lain yang melihatnya kalau dia baru saja menangis. Matanya sembab, air matanya masih terus keluar meski sudah berkali-kali mengelapnya.Ponsel yang sejak tadi berdering dengan nama yang sama, enggan baginya untuk menerima walau sekedar menjawab kabar. Puluhan chat pun masuk dengan inti pesan yang sama.[Elo di mana sih, Li?]Rifa. Gadis itu terus berusaha menghubungi Liana tanpa henti. Bahkan saat suasana sekolah sudah sepi, dia tak kunjung pulang sebelum mendapatkan kabar dari sahabatnya.Liana keluar dari dalam toilet, dia melihat sekelilingnya. "Tak ada orang," ucapnya lirih sambil kemudian berjalan keluar melewati gerbang sekolah. Tetapi...."Liana?" Teriak seseorang memanggil namanya. Seketika langkahnya terhenti sambil menoleh ke sumber suara."Astaga! Kenapa dia masih di sini?" Tanya Liana keheranan. Senyuman yang dipaksakan terlihat jelas ia arahkan kepada Rifa."Elo tuh ke mana aja, sih? Di telfon enggak diangkat, di W* (W******p) enggak dibales, atau jangan-jangan Elo mau menghindar dari gue?" Tebak Rifa yang dapat dipastikan benar.Namun dengan cepat Liana menggeleng. "Gue bukan mau menghindar dari Elo, Pok? Cuma emang HP gue udah mau abis baterainya," ujar Liana berbohong."Elo udah makan?" tanya Rifa.Gadis itu menggeleng kecil. "Tapi Gue udah kenyang sih, Pok?"Rifa mengerutkan kening heran. "Kenyang?" Ulang gadis itu sekali lagi. "Makan apaan Elo? Bahkan jam istirahat aja Elo enggak makan.""Ehm..., itu. Gue—"Belum selesai bicara, Rifa langsung memotong kalimatnya. "Enggak usah ngeles, deh! Gue tau Elo lagi boong, kan?""Serius, Pok? Gue enggak laper.""Eh bentar!" Rifa mengingatkan. "Elo abis nangis, Li? Kok mata—""Tadi mata Gue kena sabun waktu cuci muka di toilet, jadi merah, deh!" Alibi Liana menutupi kebohongan dirinya."Seriusan?" Rifa bertanya tak yakin. Namun Liana terus memaksanya untuk percaya. "Seriusan, Pok? Gue enggak apa-apa, kok!""Ya udah, deh! Sekarang kita pulang, yuk!" Ajak sahabatnya sembari menarik pergelangan tangan Liana pergi dari tempat itu.Namun dengan tegas Liana menolak. "Elo duluan aja, Pok? Gue masih ada urusan," ucapnya sambil tersenyum kecil.Rifa menangkap ada sinyal kebohongan dalam diri Liana. Namun saat ditanya, selalu dengan jawaban yang sama. "Enggak apa-apa."Huft. Rifa mendengus kesal, setelahnya pergi setelah berpamitan dengan Liana."Hati-hati!" Seru Liana saat melihat sahabatnya sudah pulang terlebih dahulu atas perintahnya."Entar sore Gue ke rumah Elo ya, Li?" Liana tak menjawab, melainkan hanya mengarahkan ibu jari ke arahnya sambil tersenyum."Maafin Gue, Fa! Enggak semua hal bisa Gue ceritakan sama Elo," batinnya pelan sembari menatap punggung sahabatnya yang kian menjauh."Aku tak pernah tau, sampai kapan hidup dalam belenggu cinta yang tak pasti akan berbalas."Gadis itu menghela nafas panjang, kemudian melanjutkan langkahnya pergi meninggalkan tempat. Dia masih belum tau, apakah dia akan pulang ke rumah hari ini, atau...."Pergi?" ucap gadis itu asal bicara. Jujur, rasa lelah mencintai seseorang tanpa ada balasan itu menyakitkan. Pertanyaannya, mau sampai kapan?Arifin. Andai kamu tau. Perasaan ini selalu tercurahkan untukmu. Ingin rasanya, kau mendekapku dalam pelukmu. Di kala Fajar yang terus datang menyapa. Impianku untuk bersatu denganmu semakin nyata. Namun apalah dayaku, bila takdir memang tak mengizinkan kita bersama.Pelan tapi pasti, langkahnya terasa begitu berat. Enggan rasanya dia berpulang ke rumah kecilnya. Seolah tak mampu menanggung beban ini sendiri, Liana ingin menyerah. "Tuhan, berikan jalan terbaikmu!!!" Teriaknya saat sudah sampai di sebuah jembatan, jalan menuju pulang ke rumah. Dia berhenti di sana. Menatap ke bawah di mana sungai mengalir dengan derasnya. Tiba-tiba, terlintas dalam pikirannya. "Mungkinkah kematian menjadi jalan terbaikku?" tanya gadis itu pada dirinya sendiri.Tak akan ada lagi cinta yang terpendam. Sirna sudah lelah selama ini yang tak berkesudahan. Sepanjang hari hingga sepanjang malam. Nama itu masih terus menghantuiku dalam bayangan semu yang sulit untuk aku lupakan.Sampai akhirnya, dia memutuskan untuk mengakhiri hidupnya dengan melompat dari atas jembatan. Tak ada pilihan bagi dirinya, selain kematian yang akan merenggut nyawanya. Tapi..., gadis itu terdiam sejenak. Memikirkan segala kemungkinan setelahnya jika dirinya tiada. "Mama?" Lirihnya memanggil nama sosok wanita yang telah melahirkannya ke dunia. "Maafkan Liana?"Tanpa terasa, air matanya pun telah jatuh membasahi wajahnya. Tangis kesedihan menyelimuti hatinya. Perlahan-lahan, Liana melangkahkan kakinya menaiki jembatan di sebelahnya. Detak jantungnya bekerja dua kali lebih cepat dari biasanya. Dia menunduk, menatap air sungai yang mengalir deras di bawahnya. Dalam hitungan ketiga, dia bersiap menjatuhkan dirinya ke bawah. Liana memejamkan mata sejenak, kemudian melayangkan kaki ke depan, tak lama lagi. Hidupnya akan segera berakhir."Satu..., dua...," gadis itu memberi aba-aba sebelum menjatuhkan dirinya ke bawah sungai. "Ti—""Jangan!!!" Teriak seorang pria asing ke arah Liana sambil menarik lengan gadis itu hingga membuatnya terjatuh.Brukk!!! Liana jatuh tepat menindih pria asing itu di jalanan aspal."Arghhh," pekik pria itu meringis kesakitan. Liana yang sadar segera bangun sambil merapikan baju seragamnya yang sedikit berantakan. "Kamu diam saja setelah aku menolongmu?" Kata pria itu sambil menatap wajah Liana heran.Kedua alis Liana terangkat, setelahnya mengedikkan bahu tak peduli. "Gue enggak pernah nyuruh Elo buat nolongin Gue, kok!" Ujarnya santai.Pria itu menggelengkan kepala pelan sambil tersenyum kecil. Setelah itu bangun dari duduknya perlahan-lahan. Kaki kirinya sempat terkilir hingga menyisakan rasa nyeri."Lagian ngapain sih, Elo? Sok-sokan nolongin Gue. Harusnya biarin aja Gue mati." Gerutu Liana kesal."Oh ya? Mau lagi?" Tanya pria itu ke arah Liana. Gadis itu mengerutkan kening mendengar ucapannya, "Maksud Elo apa?"Bukan menjawab, pria itu justru mengajaknya berkenalan. "Gue Alan, nama Elo siapa?" Tanya pria itu."Ehmm..., kasih tau enggak, ya?" Liana berbicara sambil menjentikkan jari di dagunya. Matanya menatap ke arah pria itu dari ujung rambut hingga ujung kuku. "Lumayan," pikirnya. Rambut hitam yang sedikit ikal, kulit putih resik tanpa noda, juga tinggi badan yang tak jauh berbeda dengannya. Ada tanda lahir di keningnya. Bibirnya yang sedikit tebal membuat Liana terpana dengan senyumannya. Merasa risih dengan tatapan Liana, Alan mengalihkan pembicaraan. "Mau ke mana?""Kenapa emangnya? Mau nganterin pulang? Sorry, Gue bukan tipe cewek yang suka dibonceng cowok."Alan terkekeh pelan. "Amazing! Dan mungkin aku akan menjadi orang pertama yang membawamu pergi dengan sepeda motorku?" Katanya dengan mata melihat ke arah sepeda motornya yang ada di pinggir jalan.Liana menoleh sebentar, "Enggak!" Tolaknya kemudian pergi begitu saja meninggalkan Alan termangu di tempat.Pria itu lagi-lagi hanya tersenyum kecil seraya membatin, "Kau masih saja sama seperti yang ku kenal dulu, Li?""Aku tunggu di lain waktu Liana?" Teriak Alan menyebut nama cewek itu. Sontak membuat langkah Liana terhenti."Kenapa dia bisa tau namaku?"Bersambung.Kening Liana berkerut, dia mencoba menerka-nerka atas kejadian yang menimpanya barusan.Sesaat setelahnya, dia memutar badan menghadap pria yang masih berdiri di tempat sambil tersenyum kecil."Gimana? Apa udah berubah pikiran?" tanyanya. Liana tak menggubris, melainkan langsung berjalan ke arahnya dan mendekat."Elo tau nama Gue dari siapa?" tanya gadis itu penasaran."Heheh," Alan terkekeh pelan. "Enggak usah ke-GR an dulu, lagian Gue tadi cuma nebak doang, eh ternyata bener nama Elo Liana," ujarnya.Namun Liana masih tak yakin dengan jawaban itu. Dia memandang Alan sekilas dari ujung rambut hingga ujung kuku. Setelahnya membuang muka ke arah jalanan aspal yang cukup lengang. Tak satu pun kendaraan melintas di sana."Aneh! Enggak kayak biasanya," batin Liana heran."Hei?" panggilan Alan seketika membuyarkan lamunan Liana. "Malah bengong.""Jawab Gue! Apa kita pernah kenal sebelumnya?" tebak Liana ragu. Namun cuma ini
"Permisi? Mau pesan apa?" suara seorang pelayan resto yang tiba-tiba datang ke arah mereka sambil membawakan buku menu yang tersedia di sana."Ah. Kebetulan banget, Gue udah laper. Dari jam istirahat di sekolah Gue kan belum makan," batin Liana kemudian langsung mengambil buku tersebut dan mulai memilih makanan yang akan di pesan.Hal serupa juga dilakukan Alan. Pria itu mulai mencari menu yang cocok untuk dinikmati saat siang terik begini. "Spagheti aja, mbak?" jawab Liana dan Alan kompak.Keduanya saling menatap satu sama lain. Sementara sang pelayan hanya menahan senyum sambil menuliskan pesanan mereka. "Untuk minumnya?""Orange jus aja, Mbak?" sahut Liana cepat."Kalau masnya?""Samain aja, Mbak?""Baiklah. Mohon ditunggu sebentar ya?" Mereka mengangguk, setelahnya membiarkan pelayan itu pergi. Suasana mendadak canggung seketika, keduanya sibuk dengan pikirannya masing-masing.Alan melirik arlojinya
Alan menghela nafas panjang, dia sudah tak bisa lagi mencari alasan untuk menghindar. “Mungkin emang udah saatnya Gue jujur sama dia,” batinnya. Tak lama kemudian, pria itu berbicara.“Apa susahnya sih tinggal ngomong? Gue enggak mau salah paham sama Elo apalagi salah nuduh. Entar yang ada—.”Belum selesai bicara, Alan buru-buru memotong ucapannya. “Gue Alan, kakak kelas Elo dulu sewaktu masih di SMK Tunas Bangsa,” sahut pria itu cepat.Seketika membuat kedua bola mata Liana membulat sempurna.“Apa?” pekiknya lagi. “Elo kakak kelas Gue?” ulang kalimat Alan barusan. “Jangan ngaku-ngaku, deh!”“Kok Elo enggak percaya, sih?” heran Alan melihat sikap Liana. “Apa perlu Gue tunjukin kartu pelajar Gue dulu waktu masih sekolah?”Kedua sudut bibir Liana terangkat, ia tersenyum kecil dengan menampakkan raut wajah bersalahnya. “Enggak perlu, kok! Gue percaya sama Elo,” ucapnya kemudian dan langsung meneguk minumannya
Liana mendengus kesal saat dirinya sudah sampai di rumah. Dia masuk ke kamarnya setelah melepas sepatu sekolah dan meletakannya di atas rak."Gue kakak kelas elo dulu sewaktu SMK." Kalimat Alan terus terngiang-ngiang di telinganya. Jika benar ucapannya, lantas kenapa Liana merasa asing dengannya? Batin gadis itu penasaran.Liana membanting tubuhnya di atas kasur sambil menatap langit-langit kamar yang bernuansa kebiruan. Tak hanya itu, dia juga menyalakan AC di ruangan tersebut untuk mendinginkan suasana."Liana?????"Teriakan mama Adila terdengar riuh memecah kesunyian rumah itu. Liana yang baru saja memejamkan mata berniat untuk tidur, seketika langsung terbangun sambil beranjak dari tempat tidur."Pasti bentar lagi mami gedor-gedor pintu," Liana membatin dalam hati.Tok-tok!Nah kan, "Gue bilang juga apa," sungutnya dengan wajah kesal lalu berjalan mendekat ke arah pintu kamarnya.Ceklek!"Ya ampun, Liana? Kamu ke mana aja, sih? Mami khawatir dari tadi nyariin kamu tadi enggak kete
Kevin menghela napas setelah memutuskan panggilannya dengan seorang perempuan asing yang tidak dikenalnya. Pandangannya mengedar menatap ke segala arah."Siapa yang menelponmu?" tanya Alan penasaran. Tapi bukannya menjawab, Kevin hanya mendengus kesal. Dia tidak kenal siapa perempuan yang sudah menghubunginya baru saja. dari mana dia mendapatkan nomornya? "Aku tidak tau.""Mengapa begitu?" tanya Alan dengan kedua alisnya yang terangkat karena pensaran."Dia tidak menyebutkan nama.""Sungguh?"Kevin mengangguk."Lalu bagaimana dia mengetahui nomormu?""Itulah yang membuatku bingung.""Dia bilang apa?""Dia menyuruhku untuk bertemu di kafe depan sekolah Tunas Bangsa. Dia bilang ada hal yang ingin dibicarakan denganku."Mendengar jawaban Kevin, seketika membuat Alan beranjak dari duduknya. Pria itu berjalan mendekat ke arah sahabatnya yang masih diliputi kebingungan."Sepertinya kau akan terlibat dengan masa laluku, Lan.""Menyebalkan! Dia bahkan sama sekali tidak menyebutkan kapan wak
Seseorang membuyarkan lamunan Alan ketika Kevin terlihat memunculkan kepalanya untuk melihat ke arah sahabatnya. Sementara yang diajak bicara hanya terkekeh pelan tanpa rasa berdosanya sama sekali. Alan pun segera menemuinya di ambang pintu. "Kenapa kau kembali lagi?" "Seharusnya aku yang bertanya padamu kenapa masih di sini. Bos sudah menunggu." Ingatnya seketika membuat pria itu membulatkan mata sempurna sembari menepuk pelan jidatnya dengan tangan. "Astaga? Aku bahkan bisa melupakan hal sepenting ini." Buru-buru Alan pergi menemui bosnya di ruangan. Firasatnya berkata akan terjadi hal buruk mengenai pekerjaannya di kantor. "Oh Tuhan, lindungilah aku." *** Di sisi lain, Liana masih larut dalam kekesalannya. Dia mengurungkan diri di kamar dan tidak membiarkan seorang pun bisa masuk ke ruangannya. Tak terkecuali Adilla, wanita itu kebingungan bagaimana membujuk putrinya agar mau keluar dan makan. "Li?" panggil maminya dari balik pintu kamar Liana. "Makan dulu, gih! Dari sian
Wanita itu berteriak, langkahnya tergesa hanya untuk menyusul putrinya agar mau bicara. Sampai kemudian Adilla berhasil mencekal erat pergelangan Liana hingga membuat gadis itu berbalik menatap ibunya."Mami mau menjelaskan apalagi?""Mami sama Om Firman itu tidak punya hubungan apa-apa, Li. Hubungan kami tidak lebih dari seorang rekan kerja di kantor." Wanita itu berusaha menjelaskan. Namun, sayangnya Liana sudah tidak mau percaya lagi mendengar kalimat yang dilontarkan oleh maminya.Bukan tanpa alasan, selama ini dia berusaha untuk mendengarkan kata maminya meskipun itu sult. Dia berusaha menjalankan apa yang diperintahkan olehnya dan tidak melanggar larangannya. Hingga suatu pesta perayaan ulang tahun temannya yang bahkan sangat ia inginkan untuk hadir di sana. Semuanya gagal karena dia harus menuruti nasihat maminya yang melarang ia keluar malam.Namun, bukankah semua itu harus ada keseimbangan antara satu sama lain. Jika Adilla menuntut anaknya melakukan sesuatu yang menjadi kehe
Namanya Liana. Anak kelas XII yang selalu dimanja oleh maminya.Tiba-tiba datang meminta izin untuk pergi ke acara pesta ulang tahun Alea bersama sahabatnya. Gadis itu menemui maminya yang tengah sibuk memasak di dapur seperti biasanya."Mi?" Panggil Liana tiba-tiba sambil gelendotan di punggungnya. Wanita itu tampak terkejut dan hampir menjatuhkan sendok sayur yang sejak tadi digunakan untuk memasak."Liana. Ngagetin mami aja, sih?" Ucap maminya kesal. "Kalau sampai mami jantungan, terus masuk rumah sakit, te–"Gadis itu memotong ucapannya. "Mami? Enggak boleh bilang seperti itu." Liana berkata lirih sambil mengedipkan matanya berkali-kali.Ada hal yang ingin Liana sampaikan. Dia ingin pergi malam ini bersama Rifa. "Boleh ya, Mi?" Pinta Liana memohon. Besar harapannya jika mami akan memberikan ijin untuk dirinya bisa pergi."Acara apa sih, Li?" Maminya masih sibuk mengaduk sayur dalam wajan. Sambil
Wanita itu berteriak, langkahnya tergesa hanya untuk menyusul putrinya agar mau bicara. Sampai kemudian Adilla berhasil mencekal erat pergelangan Liana hingga membuat gadis itu berbalik menatap ibunya."Mami mau menjelaskan apalagi?""Mami sama Om Firman itu tidak punya hubungan apa-apa, Li. Hubungan kami tidak lebih dari seorang rekan kerja di kantor." Wanita itu berusaha menjelaskan. Namun, sayangnya Liana sudah tidak mau percaya lagi mendengar kalimat yang dilontarkan oleh maminya.Bukan tanpa alasan, selama ini dia berusaha untuk mendengarkan kata maminya meskipun itu sult. Dia berusaha menjalankan apa yang diperintahkan olehnya dan tidak melanggar larangannya. Hingga suatu pesta perayaan ulang tahun temannya yang bahkan sangat ia inginkan untuk hadir di sana. Semuanya gagal karena dia harus menuruti nasihat maminya yang melarang ia keluar malam.Namun, bukankah semua itu harus ada keseimbangan antara satu sama lain. Jika Adilla menuntut anaknya melakukan sesuatu yang menjadi kehe
Seseorang membuyarkan lamunan Alan ketika Kevin terlihat memunculkan kepalanya untuk melihat ke arah sahabatnya. Sementara yang diajak bicara hanya terkekeh pelan tanpa rasa berdosanya sama sekali. Alan pun segera menemuinya di ambang pintu. "Kenapa kau kembali lagi?" "Seharusnya aku yang bertanya padamu kenapa masih di sini. Bos sudah menunggu." Ingatnya seketika membuat pria itu membulatkan mata sempurna sembari menepuk pelan jidatnya dengan tangan. "Astaga? Aku bahkan bisa melupakan hal sepenting ini." Buru-buru Alan pergi menemui bosnya di ruangan. Firasatnya berkata akan terjadi hal buruk mengenai pekerjaannya di kantor. "Oh Tuhan, lindungilah aku." *** Di sisi lain, Liana masih larut dalam kekesalannya. Dia mengurungkan diri di kamar dan tidak membiarkan seorang pun bisa masuk ke ruangannya. Tak terkecuali Adilla, wanita itu kebingungan bagaimana membujuk putrinya agar mau keluar dan makan. "Li?" panggil maminya dari balik pintu kamar Liana. "Makan dulu, gih! Dari sian
Kevin menghela napas setelah memutuskan panggilannya dengan seorang perempuan asing yang tidak dikenalnya. Pandangannya mengedar menatap ke segala arah."Siapa yang menelponmu?" tanya Alan penasaran. Tapi bukannya menjawab, Kevin hanya mendengus kesal. Dia tidak kenal siapa perempuan yang sudah menghubunginya baru saja. dari mana dia mendapatkan nomornya? "Aku tidak tau.""Mengapa begitu?" tanya Alan dengan kedua alisnya yang terangkat karena pensaran."Dia tidak menyebutkan nama.""Sungguh?"Kevin mengangguk."Lalu bagaimana dia mengetahui nomormu?""Itulah yang membuatku bingung.""Dia bilang apa?""Dia menyuruhku untuk bertemu di kafe depan sekolah Tunas Bangsa. Dia bilang ada hal yang ingin dibicarakan denganku."Mendengar jawaban Kevin, seketika membuat Alan beranjak dari duduknya. Pria itu berjalan mendekat ke arah sahabatnya yang masih diliputi kebingungan."Sepertinya kau akan terlibat dengan masa laluku, Lan.""Menyebalkan! Dia bahkan sama sekali tidak menyebutkan kapan wak
Liana mendengus kesal saat dirinya sudah sampai di rumah. Dia masuk ke kamarnya setelah melepas sepatu sekolah dan meletakannya di atas rak."Gue kakak kelas elo dulu sewaktu SMK." Kalimat Alan terus terngiang-ngiang di telinganya. Jika benar ucapannya, lantas kenapa Liana merasa asing dengannya? Batin gadis itu penasaran.Liana membanting tubuhnya di atas kasur sambil menatap langit-langit kamar yang bernuansa kebiruan. Tak hanya itu, dia juga menyalakan AC di ruangan tersebut untuk mendinginkan suasana."Liana?????"Teriakan mama Adila terdengar riuh memecah kesunyian rumah itu. Liana yang baru saja memejamkan mata berniat untuk tidur, seketika langsung terbangun sambil beranjak dari tempat tidur."Pasti bentar lagi mami gedor-gedor pintu," Liana membatin dalam hati.Tok-tok!Nah kan, "Gue bilang juga apa," sungutnya dengan wajah kesal lalu berjalan mendekat ke arah pintu kamarnya.Ceklek!"Ya ampun, Liana? Kamu ke mana aja, sih? Mami khawatir dari tadi nyariin kamu tadi enggak kete
Alan menghela nafas panjang, dia sudah tak bisa lagi mencari alasan untuk menghindar. “Mungkin emang udah saatnya Gue jujur sama dia,” batinnya. Tak lama kemudian, pria itu berbicara.“Apa susahnya sih tinggal ngomong? Gue enggak mau salah paham sama Elo apalagi salah nuduh. Entar yang ada—.”Belum selesai bicara, Alan buru-buru memotong ucapannya. “Gue Alan, kakak kelas Elo dulu sewaktu masih di SMK Tunas Bangsa,” sahut pria itu cepat.Seketika membuat kedua bola mata Liana membulat sempurna.“Apa?” pekiknya lagi. “Elo kakak kelas Gue?” ulang kalimat Alan barusan. “Jangan ngaku-ngaku, deh!”“Kok Elo enggak percaya, sih?” heran Alan melihat sikap Liana. “Apa perlu Gue tunjukin kartu pelajar Gue dulu waktu masih sekolah?”Kedua sudut bibir Liana terangkat, ia tersenyum kecil dengan menampakkan raut wajah bersalahnya. “Enggak perlu, kok! Gue percaya sama Elo,” ucapnya kemudian dan langsung meneguk minumannya
"Permisi? Mau pesan apa?" suara seorang pelayan resto yang tiba-tiba datang ke arah mereka sambil membawakan buku menu yang tersedia di sana."Ah. Kebetulan banget, Gue udah laper. Dari jam istirahat di sekolah Gue kan belum makan," batin Liana kemudian langsung mengambil buku tersebut dan mulai memilih makanan yang akan di pesan.Hal serupa juga dilakukan Alan. Pria itu mulai mencari menu yang cocok untuk dinikmati saat siang terik begini. "Spagheti aja, mbak?" jawab Liana dan Alan kompak.Keduanya saling menatap satu sama lain. Sementara sang pelayan hanya menahan senyum sambil menuliskan pesanan mereka. "Untuk minumnya?""Orange jus aja, Mbak?" sahut Liana cepat."Kalau masnya?""Samain aja, Mbak?""Baiklah. Mohon ditunggu sebentar ya?" Mereka mengangguk, setelahnya membiarkan pelayan itu pergi. Suasana mendadak canggung seketika, keduanya sibuk dengan pikirannya masing-masing.Alan melirik arlojinya
Kening Liana berkerut, dia mencoba menerka-nerka atas kejadian yang menimpanya barusan.Sesaat setelahnya, dia memutar badan menghadap pria yang masih berdiri di tempat sambil tersenyum kecil."Gimana? Apa udah berubah pikiran?" tanyanya. Liana tak menggubris, melainkan langsung berjalan ke arahnya dan mendekat."Elo tau nama Gue dari siapa?" tanya gadis itu penasaran."Heheh," Alan terkekeh pelan. "Enggak usah ke-GR an dulu, lagian Gue tadi cuma nebak doang, eh ternyata bener nama Elo Liana," ujarnya.Namun Liana masih tak yakin dengan jawaban itu. Dia memandang Alan sekilas dari ujung rambut hingga ujung kuku. Setelahnya membuang muka ke arah jalanan aspal yang cukup lengang. Tak satu pun kendaraan melintas di sana."Aneh! Enggak kayak biasanya," batin Liana heran."Hei?" panggilan Alan seketika membuyarkan lamunan Liana. "Malah bengong.""Jawab Gue! Apa kita pernah kenal sebelumnya?" tebak Liana ragu. Namun cuma ini
Jesika mengerutkan kening mendengar jawaban Rifa. "Elo bilang apa tadi?" tanyanya. Seketika membuat langkah Rifa terhenti dan menoleh ke arah cewek itu."Bukan urusan Elo." Rifa mengulang kalimatnya dengan wajah masam. "Lagian Elo tuh siapa, sih?Kepobanget sama urusan orang?"Jesika tertawa kecil. "Jangan ke-GR an deh, Elo!""Oh,yeah?" Rifa tersenyum kecil sambil mendekat ke arah mereka. "Kalau bukan ingin tau namanya apa? Dan satu lagi, untungnya apa sih buat Elo tau urusan orang?""Orang dengan pemikiran kolot kayak Elo enggak akan ngerti urusan beginian. Iya enggak,guys?" ucapnya sambil tersenyum kecut ke arah Sheryl dan Sasha.Gadis itu memutar kedua bola matanya malas. "Ngladenin orang kayak mereka enggak akan ada habisnya," ujarnya dalam hati. Lantas beranjak pergi tanpa pamit.Jesika tersenyum kecil. "Liat aja! Permainan akan segera dimulai." Katanya sambil memainkan ujung ra
Sebuah video berdurasi tiga menit empat puluh lima detik berhasil Liana tonton sampai selesai. Ekspresi wajahnya seketika berubah. Liana menunduk malu atas apa yang telah terjadi dengan dirinya."Kok Elo diam aja liat Gue kayak gini?" tanyanya dengan nada lemah. Gadis itu mengalihkan pandangannya ke arah pohon mangga dengan tatapan kosong. "Kenapa Elo enggak berusaha buat Gue sadar dan—"Rifa memotong ucapan Liana yang belum selesai. "Mungkin Elo pikir Gue emang diam enggak melakukan apa-apa di situ. Tapi satu hal yang harus Elo tau alasan kenapa Gue membiarkan Elo seperti dalam video itu."Liana langsung menoleh. "Apa?" Sahutnya dengan raut wajah penasaran."Gue cuma enggak mau ngerusak mimpi-mimpi Elo, Li?" ucap Rifa serius. Setelahnya tertawa sambil menutup mulutnya dengan tangan kirinya."Sumpah ini enggak lucu, Pok?" Liana mendengus kesal. Ia langsung pergi meninggalkan Rifa begitu saja sendirian di taman. Gadis itu m