"Liana????" teriak Rifa membuatnya terkejut dan bangun. Ia melihat sekelilingnya dengan kedua bola mata yang tak berkedip. "Udah sadar, Elo? Di kelas bukannya belajar malah tidur," omel Rifa yang melihat sahabatnya tertidur pulas saat jam kosong.
Beruntung, suasana kelas tampak sepi. Beberapa diantaranya pergi ke perpustakaan, sementara yang lainnya ke laboratorium komputer. Bukan belajar, tapi menonton drama korea kesayangan mereka.Liana masih terus diam tak berkutik. Pandangannya lurus ke depan dengan pandangan kosong. Dia sama sekali tak menyangka, apa yang dialami barusan ternyata.... "Husttt," Rifa menyenggol sikut Liana pelan. Tak lama kemudian Liana pun menoleh ke arah sahabatnya. Dia mengucek kedua bola matanya dengan punggung tangan, pandangannya masih sedikit kabur karena efek kantuk yang terus menyergap."Iya," jawabnya dengan nada samar."Elo semalem tidur jam berapa sih, Liana?" tanya Rifa penasaran."Ehm...," Liana bergumam kecil. Setelahnya berpikir sambil meletakkan telunjuknya di kening. "Jam 1," celetuknya dengan raut wajah memelas ke arah Rifa. Ia tau apa yang akan terjadi setelah ini. Lihat saja!"Ngapain aja Liana? Jangan bilang Drakor lagi?" Tebaknya yang dapat dipastikan benar. Gadis itu mengangguk sambil tersenyum tanpa dosa. "Liana sayang...." panggilan itu membuat gadis berinisial L terpaksa beranjak dari duduknya. Bukan tanpa alasan sebelum dirinya kena semprot sahabatnya yang sedang marah."Eitss!" Cegahnya sambil berdiri menahan Liana yang hendak pergi. "Mau ke mana? Gue belum selesai ngomong?" Cibirnya dengan ekspresi yang membuat Liana bergidik ngeri. "Pantas saja dari dulu Rifa masih jomblo, orang galak begitu," batin Liana dalam hati."Apa lagi sih, Pok? Gue mau ke kamar mandi bentar," ijinnya berterus terang kepada sahabatnya. "Mau ngapain, hah?""Mau makan," kesal Liana menatap tajam ke arah Rifa. Sementara yang diajak bicara hanya melotot, setelahnya tertawa lepas tanpa batas. Dia tau jawabannya adalah bentuk kekesalan Liana terhadapnya. Tapi..., "its okey, gue tau perasaan Elo sih, Li?" Kali ini nadanya terdengar serius.Alis Liana terangkat. Dia menatap ke seluruh sudut ruangan itu. "Tak ada siapapun," gumamnya sambil menarik lengan Rifa menjauh dari tempat itu."Eh-eh. Elo mau ngapain?" Tanyanya bingung. Namun Liana tak lantas menjawab, dan malah mengajaknya pergi ke taman yang ada di belakang sekolah. Sesampainya di sana, Rifa dibuat bingung dengan suasana yang ada. "Kok sepi?" ucapnya. Pandangannya fokus pada sebuah kursi panjang yang diletakkan di bawah pohon mangga, biasanya akan ada satu atau lebih orang yang duduk di sana. Entah untuk pacaran atau...."Gue tadi makan sama Ari di sini," celetuk Liana ke arah sahabatnya. Nadanya terdengar serius, bahkan ia sampai menunjukkan tempat mereka makan."Hah?!" Rifa terkejut. Bibirnya melebar seperti membiarkan seekor lalat masuk. Raut wajahnya bingung, setelahnya tertawa lepas ke arah Liana seraya memukul pundaknya pelan. "Halu, Elo? Udah Gue bilang, jangan kebanyakan nonton drakor. Ini kan akibatnya?" Ledek Rifa masih terus tertawa.Ck! Liana mendengus kesal melihat sahabatnya yang tak mau percaya dengan ucapannya. Padahal jelas-jelas kalau itu semua nyata. "Ini bukan halu, Pok? Gue serius," ucapnya sekali lagi.Tawa Rifa terhenti. Dia menyentuh kening Liana sambil bertanya, "Elo sakit? Kita ke UKS aja yuk!" Ajaknya.Liana memutar kedua bola matanya malas sambil melenguh. "Enggak!" Jawabnya singkat. "Elo kenapa enggak mau percaya sama Gue sih, Pok? Katanya Elo sahabat Gue, tapi–"Rifa memotong ucapannya. "Gue paham perasaan Elo, Liana? Tapi jangan seperti ini, Gue cuma enggak mau Elo sakit lagi. Ingat ya, Li? Jatuh cinta sama patah hati itu satu paket. Enggak terpisahkan, Elo harus siap kedua-duanya." Rifa mengingatkan sambil mengelus pundak sahabatnya pelan.Sementara Liana terdiam sambil terduduk di kursi yang berada tak jauh darinya. Tatapannya kosong ke arah bunga bougenvile yang tumbuh di depannya."Gue kasih tau semuanya apa yang terjadi sama diri Elo," ucap Rifa terdengar serius. Liana yang sejak tadi melamun langsung menoleh cepat ke arahnya."Emang Gue kenapa?" tanya Liana.Rifa menarik nafas panjang kemudian membuangnya perlahan. Dilihatnya sekeliling tempat itu untuk memastikan tak ada siapa pun selain mereka. Hingga akhirnya, dia pun buka suara. "Elo barusan mimpi lagi makan sama Ari, ya? Sumpah Gue sedih banget liatnya, Li? Elo sampai segitunya suka sama Ari sampai terbawa mimpi," kata Rifa membuat kening Liana berkerut. Bibirnya bergetar hendak mengucapkan sesuatu. Tapi dengan cepat Rifa bersuara kembali."Makanya kenapa pintu kelas Gue tutup! Dan ini buktinya," tegasnya kemudian mengambil ponsel dari dalam saku bajunya. Terlihat gadis itu sedang mencari sesuatu."Cari apaan, sih?" tanya Liana tak sabaran. Selang beberapa menit, pencarian Rifa berhasil. Ia menunjukkan ponselnya kepada sahabatnya."Liat aja sendiri!" Perintahnya lagi. Sahabatnya memberikan ponselnya kepada Liana pada sebuah video yang masih terjeda.Dengan cepat Liana pun menerimanya dan meng-klik tanda pause dalam video. Dan ternyata....Bersambung.Sebuah video berdurasi tiga menit empat puluh lima detik berhasil Liana tonton sampai selesai. Ekspresi wajahnya seketika berubah. Liana menunduk malu atas apa yang telah terjadi dengan dirinya."Kok Elo diam aja liat Gue kayak gini?" tanyanya dengan nada lemah. Gadis itu mengalihkan pandangannya ke arah pohon mangga dengan tatapan kosong. "Kenapa Elo enggak berusaha buat Gue sadar dan—"Rifa memotong ucapan Liana yang belum selesai. "Mungkin Elo pikir Gue emang diam enggak melakukan apa-apa di situ. Tapi satu hal yang harus Elo tau alasan kenapa Gue membiarkan Elo seperti dalam video itu."Liana langsung menoleh. "Apa?" Sahutnya dengan raut wajah penasaran."Gue cuma enggak mau ngerusak mimpi-mimpi Elo, Li?" ucap Rifa serius. Setelahnya tertawa sambil menutup mulutnya dengan tangan kirinya."Sumpah ini enggak lucu, Pok?" Liana mendengus kesal. Ia langsung pergi meninggalkan Rifa begitu saja sendirian di taman. Gadis itu m
Jesika mengerutkan kening mendengar jawaban Rifa. "Elo bilang apa tadi?" tanyanya. Seketika membuat langkah Rifa terhenti dan menoleh ke arah cewek itu."Bukan urusan Elo." Rifa mengulang kalimatnya dengan wajah masam. "Lagian Elo tuh siapa, sih?Kepobanget sama urusan orang?"Jesika tertawa kecil. "Jangan ke-GR an deh, Elo!""Oh,yeah?" Rifa tersenyum kecil sambil mendekat ke arah mereka. "Kalau bukan ingin tau namanya apa? Dan satu lagi, untungnya apa sih buat Elo tau urusan orang?""Orang dengan pemikiran kolot kayak Elo enggak akan ngerti urusan beginian. Iya enggak,guys?" ucapnya sambil tersenyum kecut ke arah Sheryl dan Sasha.Gadis itu memutar kedua bola matanya malas. "Ngladenin orang kayak mereka enggak akan ada habisnya," ujarnya dalam hati. Lantas beranjak pergi tanpa pamit.Jesika tersenyum kecil. "Liat aja! Permainan akan segera dimulai." Katanya sambil memainkan ujung ra
Kening Liana berkerut, dia mencoba menerka-nerka atas kejadian yang menimpanya barusan.Sesaat setelahnya, dia memutar badan menghadap pria yang masih berdiri di tempat sambil tersenyum kecil."Gimana? Apa udah berubah pikiran?" tanyanya. Liana tak menggubris, melainkan langsung berjalan ke arahnya dan mendekat."Elo tau nama Gue dari siapa?" tanya gadis itu penasaran."Heheh," Alan terkekeh pelan. "Enggak usah ke-GR an dulu, lagian Gue tadi cuma nebak doang, eh ternyata bener nama Elo Liana," ujarnya.Namun Liana masih tak yakin dengan jawaban itu. Dia memandang Alan sekilas dari ujung rambut hingga ujung kuku. Setelahnya membuang muka ke arah jalanan aspal yang cukup lengang. Tak satu pun kendaraan melintas di sana."Aneh! Enggak kayak biasanya," batin Liana heran."Hei?" panggilan Alan seketika membuyarkan lamunan Liana. "Malah bengong.""Jawab Gue! Apa kita pernah kenal sebelumnya?" tebak Liana ragu. Namun cuma ini
"Permisi? Mau pesan apa?" suara seorang pelayan resto yang tiba-tiba datang ke arah mereka sambil membawakan buku menu yang tersedia di sana."Ah. Kebetulan banget, Gue udah laper. Dari jam istirahat di sekolah Gue kan belum makan," batin Liana kemudian langsung mengambil buku tersebut dan mulai memilih makanan yang akan di pesan.Hal serupa juga dilakukan Alan. Pria itu mulai mencari menu yang cocok untuk dinikmati saat siang terik begini. "Spagheti aja, mbak?" jawab Liana dan Alan kompak.Keduanya saling menatap satu sama lain. Sementara sang pelayan hanya menahan senyum sambil menuliskan pesanan mereka. "Untuk minumnya?""Orange jus aja, Mbak?" sahut Liana cepat."Kalau masnya?""Samain aja, Mbak?""Baiklah. Mohon ditunggu sebentar ya?" Mereka mengangguk, setelahnya membiarkan pelayan itu pergi. Suasana mendadak canggung seketika, keduanya sibuk dengan pikirannya masing-masing.Alan melirik arlojinya
Alan menghela nafas panjang, dia sudah tak bisa lagi mencari alasan untuk menghindar. “Mungkin emang udah saatnya Gue jujur sama dia,” batinnya. Tak lama kemudian, pria itu berbicara.“Apa susahnya sih tinggal ngomong? Gue enggak mau salah paham sama Elo apalagi salah nuduh. Entar yang ada—.”Belum selesai bicara, Alan buru-buru memotong ucapannya. “Gue Alan, kakak kelas Elo dulu sewaktu masih di SMK Tunas Bangsa,” sahut pria itu cepat.Seketika membuat kedua bola mata Liana membulat sempurna.“Apa?” pekiknya lagi. “Elo kakak kelas Gue?” ulang kalimat Alan barusan. “Jangan ngaku-ngaku, deh!”“Kok Elo enggak percaya, sih?” heran Alan melihat sikap Liana. “Apa perlu Gue tunjukin kartu pelajar Gue dulu waktu masih sekolah?”Kedua sudut bibir Liana terangkat, ia tersenyum kecil dengan menampakkan raut wajah bersalahnya. “Enggak perlu, kok! Gue percaya sama Elo,” ucapnya kemudian dan langsung meneguk minumannya
Liana mendengus kesal saat dirinya sudah sampai di rumah. Dia masuk ke kamarnya setelah melepas sepatu sekolah dan meletakannya di atas rak."Gue kakak kelas elo dulu sewaktu SMK." Kalimat Alan terus terngiang-ngiang di telinganya. Jika benar ucapannya, lantas kenapa Liana merasa asing dengannya? Batin gadis itu penasaran.Liana membanting tubuhnya di atas kasur sambil menatap langit-langit kamar yang bernuansa kebiruan. Tak hanya itu, dia juga menyalakan AC di ruangan tersebut untuk mendinginkan suasana."Liana?????"Teriakan mama Adila terdengar riuh memecah kesunyian rumah itu. Liana yang baru saja memejamkan mata berniat untuk tidur, seketika langsung terbangun sambil beranjak dari tempat tidur."Pasti bentar lagi mami gedor-gedor pintu," Liana membatin dalam hati.Tok-tok!Nah kan, "Gue bilang juga apa," sungutnya dengan wajah kesal lalu berjalan mendekat ke arah pintu kamarnya.Ceklek!"Ya ampun, Liana? Kamu ke mana aja, sih? Mami khawatir dari tadi nyariin kamu tadi enggak kete
Kevin menghela napas setelah memutuskan panggilannya dengan seorang perempuan asing yang tidak dikenalnya. Pandangannya mengedar menatap ke segala arah."Siapa yang menelponmu?" tanya Alan penasaran. Tapi bukannya menjawab, Kevin hanya mendengus kesal. Dia tidak kenal siapa perempuan yang sudah menghubunginya baru saja. dari mana dia mendapatkan nomornya? "Aku tidak tau.""Mengapa begitu?" tanya Alan dengan kedua alisnya yang terangkat karena pensaran."Dia tidak menyebutkan nama.""Sungguh?"Kevin mengangguk."Lalu bagaimana dia mengetahui nomormu?""Itulah yang membuatku bingung.""Dia bilang apa?""Dia menyuruhku untuk bertemu di kafe depan sekolah Tunas Bangsa. Dia bilang ada hal yang ingin dibicarakan denganku."Mendengar jawaban Kevin, seketika membuat Alan beranjak dari duduknya. Pria itu berjalan mendekat ke arah sahabatnya yang masih diliputi kebingungan."Sepertinya kau akan terlibat dengan masa laluku, Lan.""Menyebalkan! Dia bahkan sama sekali tidak menyebutkan kapan wak
Seseorang membuyarkan lamunan Alan ketika Kevin terlihat memunculkan kepalanya untuk melihat ke arah sahabatnya. Sementara yang diajak bicara hanya terkekeh pelan tanpa rasa berdosanya sama sekali. Alan pun segera menemuinya di ambang pintu. "Kenapa kau kembali lagi?" "Seharusnya aku yang bertanya padamu kenapa masih di sini. Bos sudah menunggu." Ingatnya seketika membuat pria itu membulatkan mata sempurna sembari menepuk pelan jidatnya dengan tangan. "Astaga? Aku bahkan bisa melupakan hal sepenting ini." Buru-buru Alan pergi menemui bosnya di ruangan. Firasatnya berkata akan terjadi hal buruk mengenai pekerjaannya di kantor. "Oh Tuhan, lindungilah aku." *** Di sisi lain, Liana masih larut dalam kekesalannya. Dia mengurungkan diri di kamar dan tidak membiarkan seorang pun bisa masuk ke ruangannya. Tak terkecuali Adilla, wanita itu kebingungan bagaimana membujuk putrinya agar mau keluar dan makan. "Li?" panggil maminya dari balik pintu kamar Liana. "Makan dulu, gih! Dari sian
Wanita itu berteriak, langkahnya tergesa hanya untuk menyusul putrinya agar mau bicara. Sampai kemudian Adilla berhasil mencekal erat pergelangan Liana hingga membuat gadis itu berbalik menatap ibunya."Mami mau menjelaskan apalagi?""Mami sama Om Firman itu tidak punya hubungan apa-apa, Li. Hubungan kami tidak lebih dari seorang rekan kerja di kantor." Wanita itu berusaha menjelaskan. Namun, sayangnya Liana sudah tidak mau percaya lagi mendengar kalimat yang dilontarkan oleh maminya.Bukan tanpa alasan, selama ini dia berusaha untuk mendengarkan kata maminya meskipun itu sult. Dia berusaha menjalankan apa yang diperintahkan olehnya dan tidak melanggar larangannya. Hingga suatu pesta perayaan ulang tahun temannya yang bahkan sangat ia inginkan untuk hadir di sana. Semuanya gagal karena dia harus menuruti nasihat maminya yang melarang ia keluar malam.Namun, bukankah semua itu harus ada keseimbangan antara satu sama lain. Jika Adilla menuntut anaknya melakukan sesuatu yang menjadi kehe
Seseorang membuyarkan lamunan Alan ketika Kevin terlihat memunculkan kepalanya untuk melihat ke arah sahabatnya. Sementara yang diajak bicara hanya terkekeh pelan tanpa rasa berdosanya sama sekali. Alan pun segera menemuinya di ambang pintu. "Kenapa kau kembali lagi?" "Seharusnya aku yang bertanya padamu kenapa masih di sini. Bos sudah menunggu." Ingatnya seketika membuat pria itu membulatkan mata sempurna sembari menepuk pelan jidatnya dengan tangan. "Astaga? Aku bahkan bisa melupakan hal sepenting ini." Buru-buru Alan pergi menemui bosnya di ruangan. Firasatnya berkata akan terjadi hal buruk mengenai pekerjaannya di kantor. "Oh Tuhan, lindungilah aku." *** Di sisi lain, Liana masih larut dalam kekesalannya. Dia mengurungkan diri di kamar dan tidak membiarkan seorang pun bisa masuk ke ruangannya. Tak terkecuali Adilla, wanita itu kebingungan bagaimana membujuk putrinya agar mau keluar dan makan. "Li?" panggil maminya dari balik pintu kamar Liana. "Makan dulu, gih! Dari sian
Kevin menghela napas setelah memutuskan panggilannya dengan seorang perempuan asing yang tidak dikenalnya. Pandangannya mengedar menatap ke segala arah."Siapa yang menelponmu?" tanya Alan penasaran. Tapi bukannya menjawab, Kevin hanya mendengus kesal. Dia tidak kenal siapa perempuan yang sudah menghubunginya baru saja. dari mana dia mendapatkan nomornya? "Aku tidak tau.""Mengapa begitu?" tanya Alan dengan kedua alisnya yang terangkat karena pensaran."Dia tidak menyebutkan nama.""Sungguh?"Kevin mengangguk."Lalu bagaimana dia mengetahui nomormu?""Itulah yang membuatku bingung.""Dia bilang apa?""Dia menyuruhku untuk bertemu di kafe depan sekolah Tunas Bangsa. Dia bilang ada hal yang ingin dibicarakan denganku."Mendengar jawaban Kevin, seketika membuat Alan beranjak dari duduknya. Pria itu berjalan mendekat ke arah sahabatnya yang masih diliputi kebingungan."Sepertinya kau akan terlibat dengan masa laluku, Lan.""Menyebalkan! Dia bahkan sama sekali tidak menyebutkan kapan wak
Liana mendengus kesal saat dirinya sudah sampai di rumah. Dia masuk ke kamarnya setelah melepas sepatu sekolah dan meletakannya di atas rak."Gue kakak kelas elo dulu sewaktu SMK." Kalimat Alan terus terngiang-ngiang di telinganya. Jika benar ucapannya, lantas kenapa Liana merasa asing dengannya? Batin gadis itu penasaran.Liana membanting tubuhnya di atas kasur sambil menatap langit-langit kamar yang bernuansa kebiruan. Tak hanya itu, dia juga menyalakan AC di ruangan tersebut untuk mendinginkan suasana."Liana?????"Teriakan mama Adila terdengar riuh memecah kesunyian rumah itu. Liana yang baru saja memejamkan mata berniat untuk tidur, seketika langsung terbangun sambil beranjak dari tempat tidur."Pasti bentar lagi mami gedor-gedor pintu," Liana membatin dalam hati.Tok-tok!Nah kan, "Gue bilang juga apa," sungutnya dengan wajah kesal lalu berjalan mendekat ke arah pintu kamarnya.Ceklek!"Ya ampun, Liana? Kamu ke mana aja, sih? Mami khawatir dari tadi nyariin kamu tadi enggak kete
Alan menghela nafas panjang, dia sudah tak bisa lagi mencari alasan untuk menghindar. “Mungkin emang udah saatnya Gue jujur sama dia,” batinnya. Tak lama kemudian, pria itu berbicara.“Apa susahnya sih tinggal ngomong? Gue enggak mau salah paham sama Elo apalagi salah nuduh. Entar yang ada—.”Belum selesai bicara, Alan buru-buru memotong ucapannya. “Gue Alan, kakak kelas Elo dulu sewaktu masih di SMK Tunas Bangsa,” sahut pria itu cepat.Seketika membuat kedua bola mata Liana membulat sempurna.“Apa?” pekiknya lagi. “Elo kakak kelas Gue?” ulang kalimat Alan barusan. “Jangan ngaku-ngaku, deh!”“Kok Elo enggak percaya, sih?” heran Alan melihat sikap Liana. “Apa perlu Gue tunjukin kartu pelajar Gue dulu waktu masih sekolah?”Kedua sudut bibir Liana terangkat, ia tersenyum kecil dengan menampakkan raut wajah bersalahnya. “Enggak perlu, kok! Gue percaya sama Elo,” ucapnya kemudian dan langsung meneguk minumannya
"Permisi? Mau pesan apa?" suara seorang pelayan resto yang tiba-tiba datang ke arah mereka sambil membawakan buku menu yang tersedia di sana."Ah. Kebetulan banget, Gue udah laper. Dari jam istirahat di sekolah Gue kan belum makan," batin Liana kemudian langsung mengambil buku tersebut dan mulai memilih makanan yang akan di pesan.Hal serupa juga dilakukan Alan. Pria itu mulai mencari menu yang cocok untuk dinikmati saat siang terik begini. "Spagheti aja, mbak?" jawab Liana dan Alan kompak.Keduanya saling menatap satu sama lain. Sementara sang pelayan hanya menahan senyum sambil menuliskan pesanan mereka. "Untuk minumnya?""Orange jus aja, Mbak?" sahut Liana cepat."Kalau masnya?""Samain aja, Mbak?""Baiklah. Mohon ditunggu sebentar ya?" Mereka mengangguk, setelahnya membiarkan pelayan itu pergi. Suasana mendadak canggung seketika, keduanya sibuk dengan pikirannya masing-masing.Alan melirik arlojinya
Kening Liana berkerut, dia mencoba menerka-nerka atas kejadian yang menimpanya barusan.Sesaat setelahnya, dia memutar badan menghadap pria yang masih berdiri di tempat sambil tersenyum kecil."Gimana? Apa udah berubah pikiran?" tanyanya. Liana tak menggubris, melainkan langsung berjalan ke arahnya dan mendekat."Elo tau nama Gue dari siapa?" tanya gadis itu penasaran."Heheh," Alan terkekeh pelan. "Enggak usah ke-GR an dulu, lagian Gue tadi cuma nebak doang, eh ternyata bener nama Elo Liana," ujarnya.Namun Liana masih tak yakin dengan jawaban itu. Dia memandang Alan sekilas dari ujung rambut hingga ujung kuku. Setelahnya membuang muka ke arah jalanan aspal yang cukup lengang. Tak satu pun kendaraan melintas di sana."Aneh! Enggak kayak biasanya," batin Liana heran."Hei?" panggilan Alan seketika membuyarkan lamunan Liana. "Malah bengong.""Jawab Gue! Apa kita pernah kenal sebelumnya?" tebak Liana ragu. Namun cuma ini
Jesika mengerutkan kening mendengar jawaban Rifa. "Elo bilang apa tadi?" tanyanya. Seketika membuat langkah Rifa terhenti dan menoleh ke arah cewek itu."Bukan urusan Elo." Rifa mengulang kalimatnya dengan wajah masam. "Lagian Elo tuh siapa, sih?Kepobanget sama urusan orang?"Jesika tertawa kecil. "Jangan ke-GR an deh, Elo!""Oh,yeah?" Rifa tersenyum kecil sambil mendekat ke arah mereka. "Kalau bukan ingin tau namanya apa? Dan satu lagi, untungnya apa sih buat Elo tau urusan orang?""Orang dengan pemikiran kolot kayak Elo enggak akan ngerti urusan beginian. Iya enggak,guys?" ucapnya sambil tersenyum kecut ke arah Sheryl dan Sasha.Gadis itu memutar kedua bola matanya malas. "Ngladenin orang kayak mereka enggak akan ada habisnya," ujarnya dalam hati. Lantas beranjak pergi tanpa pamit.Jesika tersenyum kecil. "Liat aja! Permainan akan segera dimulai." Katanya sambil memainkan ujung ra
Sebuah video berdurasi tiga menit empat puluh lima detik berhasil Liana tonton sampai selesai. Ekspresi wajahnya seketika berubah. Liana menunduk malu atas apa yang telah terjadi dengan dirinya."Kok Elo diam aja liat Gue kayak gini?" tanyanya dengan nada lemah. Gadis itu mengalihkan pandangannya ke arah pohon mangga dengan tatapan kosong. "Kenapa Elo enggak berusaha buat Gue sadar dan—"Rifa memotong ucapan Liana yang belum selesai. "Mungkin Elo pikir Gue emang diam enggak melakukan apa-apa di situ. Tapi satu hal yang harus Elo tau alasan kenapa Gue membiarkan Elo seperti dalam video itu."Liana langsung menoleh. "Apa?" Sahutnya dengan raut wajah penasaran."Gue cuma enggak mau ngerusak mimpi-mimpi Elo, Li?" ucap Rifa serius. Setelahnya tertawa sambil menutup mulutnya dengan tangan kirinya."Sumpah ini enggak lucu, Pok?" Liana mendengus kesal. Ia langsung pergi meninggalkan Rifa begitu saja sendirian di taman. Gadis itu m