“Udah tahu Sisca begitu.” Tiara menanggapi sejenak curhatan Ilham. Ia mendengarkannya, tapi tidak ada ide untuk memberikan saran yang baik. “Lo nggak ada cita-cita bantuin gue apa?” pertanyaan terakhir itu, Tiara menekan tombol delete setelah mem-blok semua tulisannya.
Srup~
Ilham menghabiskan minumannya sebelum siap bekerja untuk Tiara. “Apa yang bisa gue bantu?”
Tiara menyodorkan flashdisk di atas meja. “Cari file tentang kutukkan Astro. Waktunya tinggal besok untuk up bab 2, kalau terlewat gue harus cari bahan lain untuk lanjut revisi bab 3.”
Ilham mengambil flashdisk itu, lalu mengamati keseriusan Tiara. Ia semakin tidak tega melihat Tiara saat ini lebih depresi daripada ‘diganggu setan’ saat itu. “Kalau boleh tahu, Ti. Gimana sih perjanjian lo sama editor? Bukannya Madam Asri keras kepala masalah publish per-babnya setiap minggu? Dan setahu gue Editor nggak akan bisa berbuat apa-apa kala
Zoo nggak janji lagi bisa update kapan. Maaf jika updatenya lama, karena setiap karya dan penulis memiliki kesulitannya sendiri. Terima kasih sudah membaca novel ini dan dukungan semuanya Jaga kesehatan dan selalu bahagia. Happy Reading~
Ruang rapat menjadi hening. Madam Asri, Kania, dan Nani mencoba memahami penjelasan Tiara yang seperti dongeng anak-anak. Seperti terjatuh pada dunia imajinasinya sendiri. Semakin meragukan saat Tiara mengatakan, “Aku terbangun dan tidak mengingat apapun. Tapi aku yakin kalau sudah terjadi sesuatu setelah aku pulang dari acara lauching.” Tuk tuk tuk. Suara ketukan pena dengan meja beradu. Itu perbuatan Madam Asri yang ingin mengatakan sesuatu, namun sangat ia pertimbangkan. “Bagaimana jika aku memberikan alternatif, tanpa harus menarik naskah yang sudah kamu kirim. Karena menghapus bab pertama yang sudah di-upload belum tentu menghapus jejak digitalnya. Bisa saja ada yang menyalinnya.” “Alternatif bagaimana Madam?” Tiara tahu betul emosinya begitu menggebu sampai memaksakan kehendak, jadi ia berusaha mendengarkan apa yang disarankan Madam Asri. Madam Asri memutar pena dengan jar
Ruang rapat menjadi hening. Madam Asri, Kania, dan Nani mencoba memahami penjelasan Tiara yang seperti dongeng anak-anak. Seperti terjatuh pada dunia imajinasinya sendiri. Semakin meragukan saat Tiara mengatakan, “Aku terbangun dan tidak mengingat apapun. Tapi aku yakin kalau sudah terjadi sesuatu setelah aku pulang dari acara lauching.” Tuk tuk tuk. Suara ketukan pena dengan meja beradu. Itu perbuatan Madam Asri yang ingin mengatakan sesuatu, namun sangat ia pertimbangkan. “Bagaimana jika aku memberikan alternatif, tanpa harus menarik naskah yang sudah kamu kirim. Karena menghapus bab pertama yang sudah di-upload belum tentu menghapus jejak digitalnya. Bisa saja ada yang menyalinnya.” “Alternatif bagaimana Madam?” Tiara tahu betul emosinya begitu menggebu sampai memaksakan kehendak, jadi ia berusaha mendengarkan apa yang disarankan Madam Asri. Madam Asri memutar pena dengan jar
Kantor T&J Publishing. Dalam sebuah ruang kerja dengan suasana panas yang dipenuh buku dari susunan di rak yang sangat rapi sampai yang bergeletakan di atas meja dan lantai. Editor Kania. Begitulah pemandangan ruang kerjanya, ia tidak peduli dengan keadaan sekitar asalkan pekerjaanya selesai dan tidak ada masalah yang berarti. Hanya saja Editor yang terlihat lemah lembut di mata para Penulis, sebenarnya sangat apatis pada sesutu yang tidak berhubungan dengan pekerjaanya. Sekarang ia disibukkan dengan seorang Penulis dengan naskah yang sudah sempurna, namun bermasalah. Maka Kania akan lebih keras kepada dirinya sendiri, seakan hidup hanya didedikasikan untuk bekerja. “Ekspresi itu ... Benar, Penulis Tiran terlihat depresi. Hanya saja saya terganggu dengan sorot matanya,” gumam Kania mengingat negosiasinya minggu lalu. “Ada apa Editor Kania? Anda melamun?” Editor Nani, Editor penerjemah semua karya yang dipegang oleh Kania. Tadinya ia datang untuk memberika
“DOR! Hahaha ....” Dengan usilnya Tiara mengagetkan seseorang yang tengah memunggunginya. Ia tertawa lebih dulu untuk menganggapnya sebuah candaan, padahal itu tidak lucu bagi korban. Dan Tiara yang ingin berlari pergi agar tidak dimarahi dicekal cepat oleh korban. Matanya hanya menatap Tiara dingin cukup mengintimidasi, namun gadis itu tanpa rasa bersalah tertawa semakin kencang. “Oke-oke gue minta maaf. Lepasin, Ba. Tangan gue sakit.” Korban itu adalah Bayu, lelaki yang sedang fokus dengan tugas makalahnya. Bayu langsung melepas tangan Tiara. Ia tidak bermaksud menyakiti gadis itu, tapi posisi mereka memang tidak bagus. “Gitu banget, kenapa Beb? Kangen gue ya?” Tiara duduk di samping Bayu dan meledek tatapan tajam yang lelaki itu berikan. Entah bagaimana ekspresi dingin Bayu seperti hiburan baginya. Karena wajah itulah yang membuat Tiara jatuh cinta. “Tiara, jangan bercanda!” Tiara yang menurutinya langsung d
“Bayu, gue cinta sama lo.” “Hah?” Bayu yang tiba-tiba mendengar itu terkejut. Ini memang bukan pertama kalinya ia mendengar pernyataan cinta dari Tiara, dan bukan pertama kalinya Tiara berbicara tidak nyambung seperti ini. Tapi kata-kata itu ... seperti bukan ditujukan padanya. Deg deg! Deg deg! Tiara meremas dada sebelah kirinya. Perasaan jantung yang berdebar ini membuatnya mual. Ia pikir karena sedang berada di dekat Bayu, tapi setelah menyatakan cinta Tiara baru sadar jika ritmenya berbeda. Tiara ketakutan. “Akh!” Nging~ Dengung di telinga Tiara bersamaan dengan sesuatu di kepalanya terasa sakit. Tiara meremas lengan kemeja Bayu dengan tangan yang lain memegang kepalanya. “Lo kenapa?” Bayu terkejut melihat keadaan Tiara yang tiba-tiba, namun tidak menunjukkan sikap kekhawatiran. Ia hanya merespon seperlunya. Tiara yang merasa tidak mendapatkan perhatian dari Bayu mendekatkan tubuhnya hingga menempel. Kesempa
Single bad berukuran 200 cm × 90 cm. Kaki jenjang itu hanya bisa terbaring dengan setengah duduk. Buku ilmiah, novel, dan buku pengetahuan umum lainnya berserakan di bawah ranjang dengan keadaan terbuka di halaman terakhir. Dan si pemilik kaki jenjang itu memegang buku terakhir yang sedang di bacanya. Tanpa pencahayaan, mata merahnya bercahaya dan mampu melihat di dalam kegelapan. Bola matanya bergerak cepat, tanpa gerakan tangan yang berarti lembar buku terbuka dengan sendirinya. Cekrek! Seketika mata merah yang bercayaha itu redup, mata yang beralih pada pintu membuatnya cepat menjentikkan jari dan ia hilang tanpa meninggalkan jejak sama sekali. Klik! Lampu di kamar menyala. Mengedarkan pandangannya, gadis pemilik kamar seperti men-scan keadaan. Suhu kamar yang sedikit sejuk terasa wajar bila diingat sudah tidak ditempati hampir 3 minggu. Kondisi dan tata latak barang di kamarnya pun tidak ada yang berubah dari yang terakhi
Karena hari libur, Tiara hanya berbaring menatapi ponselnya. Balasan pesan yang ia tunggu-tunggu tidak ada kelanjutan, padahal ia sudah spam termasuk sosial medianya juga. Tiara ingin mengajak Bayu pergi keluar. Tidak ada lagi teman yang bisa diajak, Sisca ada urusan keluarga dan Ilham sibuk kerja sampingan dengan Madam Asri. Dengan rasa tanggung jawab ingin Tiara membuka laptopnya untuk menulis, tapi rasanya mual, tidak ada yang bisa membuat Tiara menulis. Tiara sempat terlintas sebuah alur percintaan dengan latar belakang keranjaan Tiongkok bergenre fantasi. Sebuah kisah tragis yang berakhir pengorbanan sang Guru untuk negara dengan keegoisan cinta seorang pemuda, tidak lain murid Guru tersebut. Sementara Tiara ingin menulis terlebih dahulu di ponselnya untuk memulai adegan apa yang cocok untuk pembukaan, kepala Tiara berasa berdenyut. Seketika sebuah memori muncul hingga membuatnya jatuh dari kasur sakin terkejutnya. Bruk!
Ponsel bukan lagi untuk hiburan. Sudah 2 jam Tiara menunggu, dari yang awalnya masih cerah, sekarang mulai gelap. Lampu-lampu taman mulai dinyalakan, nyamuk mengganggu, dan sekitar lebih sepi dari sebelumnya. Ya, hari ini adalah hari libur. Terbesit untuk kembali saja. Sudah mengirim pesan pun tidak ada tanggapan, tapi yang Tiara tahu Bayu bukan orang yang akan mengingkari ucapannya sendiri. Bermodal keyakinan itu, apapun yang terjadi Tiara akan menunggu. Banyak waktu yang terbuang percuma, sudah batas Tiara untuk menunggu. Hawa dingin malam semakin menguji kesabaran Tiara, 4 jam terasa sebentar namun dilewati dengan cukup berat. “Kenapa hatiku sakit ya?” tanpa sadar air mata Tiara menetes. Jika diingat lagi bukan hanya 4 jam, tapi 4 tahun Tiara munggu Bayu yang terus mengacuhkan cintanya. “Ck! Gue jadi mengait-ngaitkan hal yang nggak jelas. Seenggaknya malam ini cerah, bintang yang biasanya nggak kelihatan malam ini terlihat beberapa, apa lagi sekarang bulan
Setelah membawa Tiara pergi dari perkenalan resmi, Astro memerintahkan Omili untuk melayani dan mengawasinya gadis itu. Astro yakin kerubutan tidak hanya pada Bangsawan Suku Iblis, Dewa Petinggi pun pasti tidak akan tinggal diam. Hingga situasinya saat ini Tiara menjadi tidak aman karena dianggap sebagai objek yang tidak biasa. “Hormat saya Tuan Astro.” Ograien datang ke kamar Astro, namun ia tidak sendiri. Sosok dengan energi Dewa ikut hadir. “Salam hormat kepada Dewa kami, Dewa Kematian.” “Golden?” Sosok yang sudah lama tidak Astro temui. Bukannya tidak sama sekali, dalam beberapa kesempatan Dewa Golden memang hadir saat lima Dewa Petinggi berkumpul, namun itu hanyalah bayangannya. Bayangan adalah salah satu kekuatan Dewa Golden yang dapat memecah diri dalam bentuk bayangan. Dan setiap bayangan dengan memiliki sekian persen dari kesadaran aslinya. Dewa Golden yang disapa santai oleh Astro tersenyum. “Saya pikir Anda tidak menyadarinya, terima kasih sudah mengenali saya.” Astro
“Ini bukan pertemuan pertama kami dengan Sang Dewi. Salam hormat dan kemuliaan tertinggi untuk Dewi Pencipta Tiran. Saya Dewa Hati, Gefsi, salah satu Dewa Petinggi. Senang dapat memperkenalkan diri secara resmi kepada Dewi Pencipta Tiran dengan keadaan sehat.” Sebenarnya Tiara gugup dengan penghormatan seperti itu. Masih terasa tidak nyata, apa lagi dirinya menjadi orang yang tidak biasa menyandang peran Dewi Pencipta. “Okey, terima kasih Dewa Gefsi. Salam kenal.” Astro bernapas lega dengan Tiara yang tidak mengacau dan hanya menjawab seadanya saat diberikan salam penghormatan. Untuk penilaian awal, jawaban seperlunya menunjukkan dominasi dan harga diri dalam posisi yang tinggi. Walau Astro tahu jika Tiara menjawab seperti itu pun, karena tidak tahu harus menjawab seperti apa. Dan alasan itu tidak penting saat ini. Sedangkan Ammon, tubuhnya gemetar berusaha keras menahan tawa. Kegugupan Tiara sangat terlihat dari ekspresinya, ya ... tidak ada bawahan yang berani memandang ke atas,
Ukh, Tiara benci pakaian formal dunia Suku Iblis. Harus seberapa terbuka lagi untuk mengekspos bagian tubuhnya? “Ini namanya pelecehan, bagaimana caranya gue minta pertanggung jawaban Astro sialan!” Tidak henti-hentinya Tiara menggerutu sebelum ada yang menjemput. Kerudung yang katanya sebagai penutup diri jika Tiara malu, tidak membantu sama sekali karena transparan. Kini gadis itu hanya memeluk dirinya sendiri berjaga-jaga siapapun yang masuk ke kamarnya nanti. Tolong jangan tanyakan kenapa Tiara mau saja menggunakan pakaian seperti itu, hal itu bisa terjadi jika memang ia bisa menolak. Apa lagi pakaiannya yang dari rumah sudah dibuang. “Tiara! Tidakkah ini keterlaluan jika membuat semua menunggu-“ “KYAAAA!” Tiara tidak merasakan kehadiran seseorang, kemunculan Astro yang tiba-tiba membuatnya terkejut. Apa lagi suara dalam Astro yang terdengar halus hingga pikiran horor tidak dapat dihindari. Mendengar teriakan Astro langsung bersiaga. “Ada masalah?” “Aish~” Tiara bangkit dar
Ternyata tidak butuh berjalan lebih lama, Ograien dengan kereta kadal yang dibawanya datang sengaja menjemput Tiara. Banar, kadal bukan kuda sebagai kendaraan pengangkut barang. Terlihat seperti buaya dengan sisik yang tajam, tetapi sebesar Komodo. Apapun itu sekarang Tiara sudah berada di kamar Astro dan berguling-guling ria diawasi oleh Omili. Tiara disuruh istirahat dan itulah yang dilakukan, entah sudah berapa lama ia terjebak di lapang rumput tanpa batas itu hingga membuatnya begitu lelah. “Hormat Yang Mulia Raja Iblis Astro.” Salam Omili dengan suara kecil, agar Tiara tidak terbangun. Namun Tiara langsung duduk memperlihatkan dirinya sudah tidak tidur lagi. Ia melihat kedatangan Astro bersama Ograien di belakangnya membawa sesuatu. “Kamu tidak tidur?” tanya Astro yang mengira Tiara sedang tidur. “Aku sudah bangun.” Mungkin sudah terbiasa berbagi kamar dengan Astro sampai Tiara tidak memperdulikan penampilannya yang berantakan saat ini. “Aku akan memanggilkan pelayan untuk
Angin bertiup bagai badai bersama cahaya kehidupan yang menyoroti Tiara, dua kekuatan bertolak belakang yang saling berpadu tanpa perlawanan. Dua Dewa yang menjegal Tiara seketika menegang tak dapat berkutik pada tekanan intimidasi yang dahsyat dari kedua kekuatan besar tersebut. Senjata mereka jatuh, kaki mereka menjadi lemas, sampai bersujud tanpa mampu mengangkat kepala. Ammon yang merasa bertanggung jawab menghampiri Tiara lebih dulu untuk melihat bawahannya lebih dekat. Ia tidak percaya jika para Dewa bisa se-tidak sopan itu bahkan dalam menghakimi seseorang dengan kecurigaan semata. “Huaaa Ammon!” Tiara yang ketakutan menerjang sang Dewa Agung, memeluknya. Tangisannya pecah setelah merasa lega, akibat terguncang dengan apa yang dialaminya saat ini. Ammon mengerti lemahnya Dewi Pencipta Tiran sebagai manusia. Selain itu ia mengernyitkan kening, saat merasakan presensi besar dalam diri Tiara. Sesuatu yang tidak ia rasakan di pertemuan terakhir mereka. “Tidak apa Dewi, mereka b
Tiara menganga melihat gerbang besar entah dari mana. Dua jam yang lalu, Tiara sudah putus asa berjalan tanpa ujung dan tidak menemukan apapun. Hanya hamparan rumput yang luas dan awan kelabu yang tinggi dengan kilat sesekali membelah langit. Perutnya sudah lapar, tidak tahu berapa lama ia berjalan tapi cahaya sekitar masih sama. Tidak lebih terang bertanda siang, ataupun lebih gelap waktunya malam. Dengan ingatan yang penuh Tiara tahu jika tidak memiliki makanan, tapi ia tetap merogoh saku berharap masih ada sesuatu yang bisa ia kunyah. Nyatanya tetap memang tidak ada, hanya sisa uang dari pemberian Ovid saja. Bisa dibilang kaki Tiara yang terus berjalan sudah mati rasa, karena rasa sakit telah ia abaikan. Pikirannya membayangkan jika berhenti sejenak mungkin tidak masalah, tapi Tiara takut. Kecemasan menyusup hatinya. Jika Tiara berhenti berjalan, maka semakin lama ia bertemu dengan Astro dan semakin lama untuknya pulang. Tiara ingin pulang. Keberadaanya di dunia asing itu, se
Seakan telah puas tertidur, Tiara bangun tanpa beban, tanpa mimpi. Banar bukan? Tidur tanpa mimpi itu adalah kualitas istirahat terbaik. Mengedarkan pandangannya, Tiara keheranan dengan alas rumput yang empuk dan hamparan hijau luas sejauh mata memandang. Di atas langit pun terlihat cerah dengan awan tebal, hingga keabu-abuan. Jika digambarkan, cuaca sama saat bumi akan hujan. “Bumi? Kayaknya ini bukan bumi. Gue ada di dunia novel, kan?” Secara langsung Tiara ingat perjalanannya, jika ia berada di dunia novel untuk mencari Astro. Entah kenapa secara bersamaan seperti ada yang terlupakan, pikirannya terasa kosong. Alasan Tiara tertidur ... Karena kelelahan? “Ini dunia Suku Dewa? Tunggu, gue urut satu-satu daerah mana aja yang sudah gue jelajahi.” Tiara mengeluarkan peta di saku jubahnya, peta yang didapatkan dari Ovid ... tapi bukan itu masalahnya. Antara ingatan, pikiran, dan kerja otaknya tidak singkron. Bukan lagi masalah hati dan pikiran, tapi satu fungsi yang sama kendalin
Tiara kecil mendengar begitu banyak cerita yang seakan mengerti, ‘Dewa itu’ juga masih menggedongnya. Mengajak Tiara kecil berkeliling sambil memakan jajanan pasar. Tiba di sebuah ujung jurang dari sebuah bukit ‘Dewa itu’ menurunkan Tiara kecil, dengan kekuatan yang keluar dari ujung jarinya merubah wujud Tiara kembali ke semula. Kontrol kesadaran dan gerak tubuh Tiara pun berangsur pulih, yang sebelumnya bergerak dengan sendirinya. “Kamu kah Dewa? Tapi siapa? Aku tidak pernah menulis sosokmu di dalam novel?” Walau begitu Tiara tetap tidak bisa mengendalikan ucapannya (keceplosan), kali ini karena sifatnya yang impulsif. ‘Dewa itu’ tersenyum. “Sungguh? Sepertinya kamu menulis tentangku walau tidak banyak. Em, biar aku ingat perkataan Istriku mengenai ramalan itu.” “Ramalan?” Tiara bertanya seakan baru mendengarnya, padahal sepanjang ia bersama dengan ‘Dewa itu’ membicarakan banyak hal, termasuk ramalan. “Ah, di bab satu sebagai pembuka. Kamu mengisahkanku seperti seorang pahlawan
Seperti bagian di dalamnya, Tiara bisa mencium aroma makanan yang sangat sedap, rasa yang menyenangkan dan tidak mengganggu sama sekali, suasana yang padat namun terasa damai. Bisa Tiara lihat orang-orang begitu ramah satu sama lain, menyambut dengan senyuman dan minim kejahatan, kecuali anak kecil yang jahil dan mencuri beberapa camilan di toko. Namun semua teratasi dengan baik oleh orang tua mereka yang akhirnya membayar, penjualnya pun berekspresi marah (bercanda) untuk anak-anak saja. Terasa hangat, kedekatan, dan toleransi yang kuat. Mengingatkan Tiara pada suasana kampung halaman, bangunan yang masih berbahan dasar kayu dan dihiasi kain warna-warni, aneka penerangan juga bagian dari karya yang kreatif. Saat matanya tanpa sadar berpapasan dengan yang lain, mereka akan tersenyum lebih dulu yang membuat Tiara sungkan dan menganggukkan kepalanya. Seperti berada di rumah. Orang-orang dengan kulit kecokelatannya berpenampilan manis dan sederhana. Tidak jarang banyak pendatang den