Kaluna melangkahkan kakinya tanpa gentar saat memasuki kantor. Ia sebisa mungkin menutup telinga atas semua omongan teman kantornya yang kian menggila. Banyak rumor yang dibumbui dengan garam membuat kobaran api semakin membara, namun hal itu bukan berarti menghentikan langkahnya, Ia harus bekerja untuk adiknya. Mereka yang mencaci Kaluna juga tidak membayar gajinya, jadi untuk apa didengarkan. Kaluna juga tak bisa menutup mulut semua orang, Ia hanya perlu menutup telinganya.
Kaluna melakukan pekerjaannya dengan baik hari ini bahkan mendapat pujian dari Gama dan Bu Dian, namun pada dasarnya semua mata sudah tertutup dengan rumor yang membuat Kaluna justru dibenci bukannya ikut diapresiasi.
Kaluna melangkah pergi dari gedung kantornya dengan langkah gontai. Ia harus segera pulang untuk menemui Sang Adik yang tadi siang tiba tanpa ada yang menyambut. Tak lupa Kaluna juga mampir ke warung nasi padang untuk makan malam mereka berdua.
Hari ini dan hari-hari berikutnya mungkin akan terasa sulit lagi, namun Kaluna harus bertahan. Ia tak lemah, karena dirinya sudah sampai sejauh ini. Jika dirinya lemah, mungkin dari dulu Kaluna sudah menghilang dari dunia ini.
"Mbak, gimana kabarnya?" tanya Evan sambil berlari memeluk Sang Kakak.
Kaluna tersenyum cerah menyambut pelukan adiknya. Memang benar, obat terbaik bagi hati yang lesu untuk seorang Kaluna adalah Evan. Energinya seakan dipulihkan kembali setelah melihat keberadaan adiknya di dalam rumah.
"Mbak baik, kamu gimana?" tanya Kaluna kembali.
Evan tersenyum tak kalah cerah lalu mengeluarkan sesuatu dari balik punggungnya. Kaluna tersenyum haru saat melihat sebuah medali emas dihadapannya. Adiknya sangat membuatnya bangga detik ini. Tidak, Kaluna selalu bangga dengan Sang Adik.
"Mbak bangga banget sama kamu, pasti Ayah sama Ibu juga bangga sama kamu, tapi sayang banget mbak cuma beli nasi padang harusnya kita mukbang sate ayam kalau gini," ucap Kaluna seraya mengusap punggung kokoh adiknya.
Evan tertawa menyebabkan matanya menyipit lucu. Senyumnya cerah, senyum yang selalu membuat Kaluna tenang.
"Mukbang satenya kapan-kapan aja, ayo kita makan nasi padang aja," ujar Evan sembari membawa Kaluna yang masih ada di pelukannya untuk pergi ke dapur menyiapkan nasi padangnya.
"Kalau kayak gini ceritanya sih mbak rela meskipun semua gen pintar dari Ibu dan Ayah ada dikamu semua, kamu pinternya jadi gak nanggung-nanggung," ujar Kaluna sembari memakan rendang miliknya.
"Mbak juga pinter kok, buktinya gambaran mbak bagus banget, Evan gak bisa gambar malahan. Bakat Ibu turun ke mbak semua," jawab Evan.
Keduanya melanjutkan makan malam dengan hangat dan penuh canda tawa. Mereka selalu menerapkan pada diri sendiri, meskipun hidup serba kekurangan dan kesulitan jika dilakukan dengan hati yang lapang dan ikhlas pasti mereka juga bisa bahagia. Itu juga yang dikatakan Sang Ayah pada Kaluna saat mereka pertama kali pindah ke kota ini.
***
Hari minggu tiba, namun bukan berarti membuat Kaluna bermalas-malasan di kamar. Adiknya semalam minta diantarkan ke Jalan Sudirman untuk membeli beberapa buku bekas karena bacaannya sudah habis. Sebagai hadiah atas juara pertamanya di olimpiade Kaluna memutuskan untuk membeli semua buku yang adiknya inginkan jadi Evan tak perlu mengeluarkan uang tabungannya. Sebenarnya Kaluna sudah menawarkan untuk membeli buku bacaan yang baru, namun sekeras apapun Kaluna memaksa maka sekeras itu pula adiknya menolka. Keduanya sama-sama keras kepala untuk urusan semacam ini, akhirnya Kaluna mengalah karena tak mau membuat hari minggu mereka berakhir dengan pertengkaran.
Keduanya berjalan dengan riang seusai memarkirkan motor matic milik Pian di parkiran. Jika sedang jalan berdampingan seperti ini, kedua kakak beradik ini lebih terlihat sebagai sepasang kekasih sehingga tak jarang keduanya di cocok-cocokkan oleh beberapa orang yang tak tau hubungan asli keduanya.
Evan yang tinggi dengan badan yang sedikit berotot selalu memastikan kakaknya yang lebih pendek darinya itu selalu aman berjalan bersamanya. Evan selalu siap melindungi Kaluna saat mereka sedang jalan berdua seperti ini.
Kaluna mampir sebentar untuk membeli es cincau untuk keduanya dan tak lupa juga telur gulung kesukaan mereka. Sudah lama kiranya keduanya tak pernah menghabiskan waktu untuk keluar berdua seperti ini. Karena hampir setiap akhir pekan baik Kaluna maupun Evan lebih suka menghabiskan waktu di rumah sembari nonton kartun atau sekedar rebahan dan membaca komik.
"Tau gak mbak, waktu itu kita kan sempet video call pas aku ada di hotel. Nah temenku lihat mbak, dikiranya mbak itu pacarku," ucap Evan yang membuat Kaluna tertawa terbahak.
Memang tak jarang salah paham seperti ini terjadi dikalangan teman-teman Evan maupun Kaluna. Lila saja pernah mengira kalau Kaluna sudah menikah muda karena tinggal bersama laki-laki yang terlihat lebih muda.
"Emangnya di sekolah, kamu gak punya pacar?" tanya Kaluna yang sontak membuat Evan tersedak minumannya.
Kaluna kembai tertawa saat melihat muka Sang Adik sudah semerah kepiting rebus.
"Jadi ada?" goda Kaluna.
Bukannya menjawab, Evan justru berjalan lebih cepat mendahuli kakaknya. Lagi-lagi Kaluna hanya bisa menertawakan tingkah adiknya.
"Lucu banget sih anaknya Ayah," gemas Kaluna sambil megusap atau lebih tepatnya mengacak-acak rambut adiknya.
"Jadi ... ada atau gak ada?" goda Kaluna dengan nada menjengkelkan sekali lagi membuat Evan merengek dan menyuruh kakaknya itu untuk berhenti menggodanya.
"Gak ada!" seru Evan.
"Ada .. atau gak ada?" goda Kaluna lagi.
Evan diam dan tak membalas. Ia memilih untuk duduk dan menunggu sosis bakar miliknya di sebuah bangku taman. Namun sepertinya Kaluna tidak mau berhenti karena menggoda Evan adalah hal yang menyenangkan untuknya.
"Jadi ada yang disuka?" tanya Kaluna.
"Kalau iya terus kenapa mbak?" geram Evan.
"Gak papa, cuma takut aja dia mundur pas tau kamu punya mbak yang secantik ini," ucap Kaluna dengan penuh percaya diri seraya mengibaskan rambutnya.
"Iya yah, aduh mbak, harusnya jangan cantik-cantik dong. Kalau gebetanku mundur karena insecure gimana?" ujar Evan yang membuat Kaluna kembali terbahak. Tingkah adiknya itu benar-benar menghibur.
Kaluna mengambil nafas dalam-dalam dan berusaha meredakan tawanya. Ia menatap wajah Sang Adik yang sedang memikirkan sesuatu. Kaluna memegang rahang sang adik di hadapkan pada dirinya.
"Kalau mau pacaran gak papa, mbak gak larang. Kalau mau suka, ayo nyatain jangan jadi cowok yang bodoh yang diam aja. Tapi selalu ingat batasan, gak boleh sampai lupa sama tugas kamu sebagai anak sekolahan," ucap Kaluna tegas.
"Tugas pacaran?" tanya Evan.
"Belajar woy!" seru Kaluna.
"Mbak gak usah nasehatin aku soal pacaran, kejombloan mbak aja belum pecah telor dari lahir," cecar Evan membuat Kaluna terpaku ditempat lalu menatap nyalang sang adik.
Evan hanya nyengir tanpa rasa bersalah.
"Tau gitu mbak balikin kamu ke rahim Ibu pas masih kecil, gedenya rese gini!" seru Kaluna.
***
Kaluna memutuskan untuk menunggu di taman karena Evan pasti lama memilih bukunya sedangkan Kaluna tidak tertarik dengan buku-buku. Hanya meggambar yang membuatnya bisa mengalihkan pikiran dan bisa dibilang kalau menggambar adalah dunianya sama dengan buku-buku adalah dunia lain untuk adiknya.
"Ternyata benar," ucap seseorang yang berhasil membuat Kaluna menoleh.
Kaluna tersenyum saat melihat siapa yang ada disampingnya sekarang.
"Gak jaga cafe?" tanya Kaluna.
"Sudah ada Kama, kamu sendiri?" tanya Delvin.
Kaluna menunjuk adiknya yang sedang memilih beberapa buku, "Nemenin adik beli buku."
"Adik kamu suka beli di situ?"
"Kayaknya udah langganan dari masuk SMP," jawab Kaluna.
Keduanya kembali terdiam, memilih untuk menikmati jalanan sudirman yang ramai dihari minggu dengan tenang.
"Kamu ada urusan apa disini?" tanya Kaluna.
"Kemarin udah janji sama anak-anak sudirman buat belajar gambar lagi disini, tapi kayaknya pada telat karena harus kerja bantuin orang tua mereka dulu," jelas Delvin.
"Anak-anak sudirman?" tanya Kaluna.
"Iya, anak-anak waktu itu," ujar Delvin.
Kaluna mengangguk paham, sepertinya akan seru jika ikut mengajari anak-anak jalanan itu. Hitung-hitung Kaluna juga berbagi ilmu.
"Saya boleh ikut?" tanya Kaluna.
"Boleh, tapi adik kamu?"
"Dia pasti mau nungguin kakaknya,"
Keduanya kembali dengan pemikiran masing-masing. Kaluna merasa akhir-akhir ini Ia lebih sering bertemu Delvin di jalan ini tentu saja secara tidak sengaja. Bolehkah Kaluna bilang ini takdir dan bukan kebetulan? Jika begini ceritanya, Kaluna jadi ingin berteman dengan Delvin. Apakah Delvin mau menjadi temannya?
Kaluna berpisah dengan Evan, adiknya itu ijin bermain basket bersama teman-temannya yang kebetulan sedang ada disana sedangkan Kaluna tetap bersama Delvin yang mulai membagikan kertas dan krayon. Kaluna duduk manis disebelah Nara yang sedang memilih warna.Delvin mengatakan bahwa tema menggambar hari ini adalah pemandangan yang biasa mereka temui. Tak hanya anak-anak ini saja yang menggambar, Delvin juga memberikan selembar kertas buram kepada Kaluna."Aku juga?" tanya Kaluna."Biar adil," jawab Delvin.Kaluna menerima dengan senang hati dan menggambar sebuah meja beserta perlengkapan kantor yang memang Ia temui setiap hari. Pemandangan paling membosankan yang membuat Kaluna terkadang berpikir mengapa Ia bisa betah bekerja disana.Kaluna berkali-kali dibuat tertawa oleh tingkah lucu anak-anak disana. Ada yang berebut warna, ada yang saling meledek atau sedikit tidak terima karena gambarannya hampir sama. Kaluna terseny
Kaluna menatap lurus kearah perempuan yang ada dihadapannya ini. Ia akhirnya memutuskan untuk bertemu dengan Anna di Naluna Cafe. Sebenarnya Kaluna juga tak ingin secepat ini, tapi Ia juga perlu untuk hidup lebih tenang meskipun tak ada jaminan bahwa itu akan terwujud."Kamu beneran gak mau ketemu sama aku lagi?" tanya Anna yang membuat Kaluna menghembuskan nafas berat."Kalau aku gak mau ketemu kamu, kita gak akan ketemu sekarang," jelas Kaluna.Tak ada nada bersahabat lagi dari bibir Kaluna. Tak ada lagi sapaan riang dan juga tawa manis yang keluar. Kaluna menjadi sosok yang berbeda dihadapan Anna dan hal itu membuat sekali lagi Anna merasa dunianya memburuk."A-aku cuma mau ketemu kamu Lun, aku gak tau salah aku apa sampai kamu setakut itu ketemu sama aku," ucap Anna lirih."Kamu gak salah apa-apa, masalahnya ada di aku. Aku gak mau lagi berurusan dari orang-orang kota itu termasuk kamu sekalipun," cecar Kaluna.&nbs
Evan menatap teman sekelasnya itu dengan tatapan sinis. Ia tak tahu jika kedatangannya kembali ke sekolah justru disambut dengan hal-hal yang tidak mengenakkan. Yang dirinya takutkan bukan masalah padangan teman-temannya namun kakaknya. Kakaknya dipanggil ke sekolah karena dirinya bertengkar dengan Logan. Evan tahu dirinya salah namun Logan pantas mendapatkan pukulan darinya."Evan, bisa kamu jelaskan awal masalahnya?" tanya Bu Darini selaku wali kelas dan guru bimbingan konseling.Evan hanya diam, Ia tak mau menjelaskan apapun. Namun Logan yang memang cerewet dari sananya malah mendecih keras membuat Evan lagi-lagi tersulut emosi."Ibu kan sudah saya bilangi, dia tuh nonjok saya cuma karena saya baca berita tentang masa lalu dia. Padahal kan seluruh sekolah juga baca, kenapa cuma saya yang ditonjok, harusnya tuh dia juga nonjokin anak-anak lain biar sekalian dikira orang gila," cecar Logan dengan nada sengak.Evan hanya diam tak m
Kaluna mempercepat langkah kakinya menuju lantai dua. Saat tiba di ruangannya yang bisa Ia temukan hanya Lila da Gama yang sepertinya menunggu dirinya. Kaluna panik namun sebisa mungkin memenuhi pikirannya dengan hal-hal yang positif meskipun sekarang kenyataannya tak seindah realita, terlalu banyak pikiran negatif yang ada dipikirannya sekarang. "Kamu kemana aja sih!" seru Lila. Sahabatnya itu segera berlalu dan pergi ke runag rapat meninggalkan Kaluna dan Gama yang masih ada disana. "Mas, gimana nih?" tanya Kaluna yang masih panik. "Ya gimana lagi Na, Pak Bos sendiri yang minta dan kamu harus siap dengan semua hal yang terjadi setelah ini," ujar Gama. "Biasanya bapak gak pernah mau ikut rapat besar sama karyawan mas, biasanya dia mau rapatnya sama petinggi aja kan kenapa tiba-tiba?" tanya Kaluna. "Gak tau Kaluna, kamu siapin diri ya." Jawaban Gama sama sekali tidak memberi ketenangan apapun. Kaluna menghirup nafas
Kaluna telah sampai di lantai tiga, dihadapan pintu terbesar yang ada di lantai ini. Ia memantapkan hati dan masuk dengan pelan-pelan.Benar saja, Pak Bos telah menunggunya dengan senyuman paling lebar. Kaluna yang melihat itu hanya bisa mendengus kesal. Semua tingkah laku Bosnya hari ini benar-benar membuatnya tak habis pikir."Gimana kejutannya Nak?" tanya Pak Bos."Iya pak, sangat mengejutkan, Luna gak habis pikir kalau Pak Bos akan ungkapin semuanya," ucap Kaluna membuat pria paruh baya dihadapannya itu tertawa renyah."Kenapa gak bilang kalau kamu di bully satu kantor karena foto itu?" tanya Pak Bos."Ya karena gak perlu dibesar-besarin juga, Luna gak dibully cuma-""Cuma dijauhin dan digosipin, gitu?" potong Pak Bos.Kaluna menghembuskan nafasnya kasar. Benar-benar sesuatu orang dihadapannya ini. Bahkan dipertemuan pertama mereka orang tua ini sangat ajaib di mata Kaluna.Kaluna saat itu sedang pulang da
Kaluna turun dari mobil milik Pak Bos yang biasa menjemputnya. Malam ini penampilan Kaluna sangat spesial pasalnya kini Ia sudah cantik dengan dress malam yang membalut tubuh tak lupa make up tipis dan rambut yang tergerai indah sangat cocok untuknya. Penampilan seperti ini sangat jarang diperlihatkan pada kehidupannya sehari-hari.Evan juga sudah siap dengan gayasemi formal khas anak muda tak lupa sepatu pemberian Pak Bos sudah pas dikenakan.Kaluna malam ini sangat gugup karena ini pertama kalinya Ia mengikuti acara formal seperti ini dan diluar jam kantor. Biasanya Ia tak pernah ikut acara besar seperti ini apalagi sebagai putri seorang Pak Bos."Gugup mbak?" tanya Evan."Enggak," elak Kaluna.Evan mengambil tangan sang kakak dan melingkarkan pada lengannya. Kaluna hanya bisa mengulum senyum dengan tingkah lucu adiknya.Semua mata tertuju pada mereka berdua saat keduanya masuk ke area acara yang b
Kaluna menatap kearah Anna tanpa minat. Sebenarnya Ia sendiri tak tak tahu apa alasan dirinya mau datang kesini karena terakhir kali mereka bertemu, Ia sudah menetapkan bahwa itu adalah pertemuan terakhir keduanya.“Apa Ann, kenapa?” tanya Kaluna.“Luna, ternyata kamu itu-”“Aku kenapa?” potong Kaluna.“Dengerin dulu,” omel Anna.Kaluna hanya mengangguk kecil dan membiarkan Anna meneruskan ucapannya. Sebenarnya sejak kedatangannya, Kaluna sangat penasaran dengan isi amplop itu.“Kamu ada kesempatan Na,” ucap Anna ambigu.“Jelasin yang bener, jangan setengah-setengah,” kesal Kaluna.“Oke dengerin baik-baik, kamu tahu kasus runtuhnya jembatan di kota kita?” tanya Anna.Kaluna mengangguk, kasus itu terjadi beberapa minggu yang lalu padahal setahu Kaluna itu adalah jembatan yang baru dibangun. Kaluna tahu karena beritanya sudah ada di televis
Kaluna terbangun dari tidurnya karena ketukan asal yang terdengar dari pintu kamarnya. Ia sejenak bingung dengan ruangan ini karena ini bukan kamarnya yang biasanya, namun setelah beberapa detik Ia baru ingat bahwa dirinya menginap di rumah Pak Bos. “Mbak bangun!!”teriak Evan dari luar. Kaluna dengan langkah gontai berjalan menuju pintu, hal ini sedikit asing karena biasanya di kontrakan jarak kasur ke pintu hanya tiga langkah namun sekarang memerlukan waktu cukup lama beberapa detik untuk sampai di pintu akibat kamar yang terlalu luas ini. “Apa sih Van? Masih pagi,” omel Kaluna. Adiknya kini sudah terlihat segar namun ada keringat menetes dipelipis Sang Adik. “Kamu dari mana?” tanya Kaluna. “Gym, ternyata di belakang ada gym nya,” jelas Evan yang hanya direspon Kaluna seadannya. “Buruan mandi, di ajak sarapan sama Pakde,” ucap Evan. “Pakde gundulmu,” seru Kaluna sambil menutup pintunya rapat-rapat mengabaikan omelan Sa
Kaluna, Anna dan Erik saling pandang sebelum isi buku hitam itu lebih banyak lagi. Buku ini benar-benar menulis detail informasi tentang dana gelap dari sebuah organisasi pengusaha besar di negeri ini. Dan salah satunya terkait dengan jembatan yang roboh. Kaluna hanya bisa meringis melihat nominal angka yang keluar setiap transaksi, itu bukan jumlah yang kecil."Ini kasus terakhir yang dicatat," ucap Erik begitu melihat lembar terakhir yang penuh tulisan."Pantesan pada kaya dan rumahnya gede-gede, ternyata korup," cibir Anna."Korupsi dana bantuan banjir?" tanya Kaluna."Kamu tau?" sahut Anna."Ayah pernah ngomongin ini sama Om Hadi sebelum kita pindah, aku denger waktu itu," jelas Kaluna."Iya, dana bantuan banjir ini 50% masuk kantong mereka, sisanya baru di distribusikan ke korban banjir," ungkap Erik."Nitidiwiryo?" gumam Erik."Kenapa om?" tanya Kaluna.Erik menunjuk sebuah nama
Kaluna berulang kali menatap Delvin untuk memastikan bahwa apa yang mereka berdua lihat memang benar adanya. Setelahnya Kaluna segera menelfon Anna dan juga menyiapkan tiket pesawat untuk menemui temannya itu. Buku ini, buku yang tadi Kaluna temukan di tas ayahnya adalah buku yang sama yang mereka cari selama ini.Dengan ini Kaluna dapat membalik keadaan. Ia bisa membersihkan nama baik Ayahnya. Kaluna yakin jika bukti ini bisa membuat orang-orang yang dulu membuat keluarganya hancur jadi mendapatkan ganjarannya."Pesawatnya jam berapa?" tanya Delvin yang sedang membersihkan piring bekas makan mereka."Satu jam lagi. Saya mau ke Papa dulu," jawab Kaluna."Saya antar," sahut Delvin."Terima kasih," balas Kaluna.Keduanya segera menuju rumah sakit dan Kaluna menceritakan semuanya pada Sang Papa. Kaluna sangat senang, terlihat dari raut wajahnya yang cerah saat menceritakan hal itu. Evan yang melihat kakaknya seperti kembali di
Kaluna kembali ke rumahnya setelah beberapa hari berada di rumah sakit. Papanya sudah sadar kemarin dan kini ada Evan di sana. Kaluna memasuki kamarnya dengan perlahan, terdapat sedikit debu yang berterbangan karena sudah cukup lama tidak ditempati.Semalam Anna menelfonnya dan mengatakan bahwa persidangan untuk kasus ayahnya akan segera dilaksanakan. Setelah melihat-lihat sekeliling rumah, akhirnya Kaluna memutuskan untuk keluar rumah mencari camilan karena di rumah sama sekali tak ada makanan.Setelah berjalan beberapa meter akhirnya Ia memutuskan untuk membeli gorengan pinggir jalan tanpa pusing. Sepertinya pisang goreng dan secangkir teh dapat mengisi perutnya yang dari pagi belum terisi. Namun sayangnya Kaluna harus kembali duduk dan menunggu pisang goreng kesukaannya digoreng. Akhirnya yang bisa Ia lakukan hanya melamun sambil melihat lalu lalang kendaraan di depannya."Bahkan meskipun duniaku hancur seperti ini tapi dunia orang lain tetap berjalan s
Suasana tenang di sebuah lorong membuat siapapun enggan untuk bersuara. Kaluna sedari tadi melirik ke arah lampu ruang operasi dan warnanya sama sekali belum berubah sejak dua jam yang lalu. Sang Papa akhirnya dapat melangsungkan operasi setelah menerima donor langka. Ia di sini sendirian karena adiknya masih harus sekolah. Waktu seakan berjalan lebih lambat membuat Kaluna berkali-kali menghela nafas frustasi. Kata dokter operasi ini merupakan operasi yang sedikit sulit karena usia Papanya yang sudah tak lagi muda di tambah mereka harus mencegah pendarahan sekecil mungkin karena stok darah di rumah sakit ini terbatas. Satu jam kembali berlalu dan tiba-tiba lampu di atas pintu kaca tersebut mati membuat Kaluna segera berdiri dengan harap-harap cemas. Beberapa menit kemudian Dokter Stefanus keluar dan menghampiri Kaluna. "Operasi berjalan dengan lancar, tapi kami harus terus pantau kalau saja ada penolakan organ donor dari tubuh Bapak. Untuk beberap
Delvin mengendarai mobil milik Kama menuju bandara. Ia mendapat kabar dari Evan bahwa Kaluna memutuskan untuk kembali dari luar kota hari ini dan Ia diberitahu bahwa perempuan itu sedang dalam kondisi yang labil karena kabar dari adiknya.Akhirnya berbekal informasi tentang penerbangan Kaluna yang Ia punya, Delvin memutuskan untuk menjemput perempuan itu. Delvin sendiri tak tahu mengapa dirinya bisa mau serepot ini padahal Kaluna bisa saja naik taksi atau yang lain. Kenapa Delvin justru menawarkan dirinya sendiri?Delvin meraih ponselnya dan memutuskan untuk menelfon gadis yang beberapa hari ini memenuhi kepalanya tanpa permisi.“Kamu dimana Na?” tanya Delvin.Kaluna mengatakan bahwa dirinya baru saja turun dari pesawat dan sedang menunggu bagasi. Delvin pun segera menambah kecepatannya. Sepuluh menit kemudian Ia sudah sampai di bandara. Ia melihat Kaluna dengan jelas karena sebelumnya perempuan itu bilang akan menunggu di depan, jadi Delvin t
Kaluna menatap sebuah rumah bernuansa modern minimalis di hadapannya. Ternyata setelah bertahun-tahun rumah tersebut tidak berubah sama sekali, hanya saja halaman hijaunya yang luas itu terlihat lebih bagus dari yang terakhir kali Kaluna ingat. Satu jam lalu tiba-tiba ada seseorang yang menelfonnya dan ternyata itu adalah Neneknya. Entah dari mana beliau berhasil mendapatkan nomor milik Kaluna. Neneknya berkata kalau semua keluarga tengah menunggunya di sini, mereka ingin melihat Kaluna. Awalnya Kaluna menolak dengan keras, namun Neneknya berkata kalau dirinya tengah di rawat di rumah karena sakit dan ini permintaan terakhir beliau pada Kaluna karena setelahnya beliau tak akan mengganggu Kaluna lagi. Mau tak mau Kaluna menyetujui hal itu. Di sinilah Kaluna sekarang. Anna baru saja pergi setelah menurunkan Kaluna di sini dengan keraguan yang sama besarnya dengan yang Kaluna rasakan. Dengan langkah pelan dan tarikan nafas yang dalam akhirnya Kal
Anna berulang kali mengumpat kesal di dalam mobil karena lagi-lagi usaha mereka untuk membuat Hadi mengatakan kebenarannya sia-sia. Orang itu tetap memilih untuk bungkam.Kaluna yang mendengar hal itu hanya tertawa kecil melihat tingkah Anna. Sejak awal Kaluna sudah membayangkan jika ini tidak akan semudah kelihatannya. Lawan mereka adalah manusia dengan tingkat egois sampai ke langit.“Kok kamu tenang aja sih Na, ini persidangannya tinggal beberapa hari lagi loh,” kata Anna.“Kamu tuh bisa tenang dikit gak sih Ann. Luna aja tenang banget kenapa kamu yang tadi ngoceh mulu gak berhenti,” omel Alvi.“Abang!” seru Anna.Keduanya kembali adu mulut dan Kaluna tidak sanggup untuk meghentikan keduanya, akhirnya Ia memilih untuk diam menatap jalanan dan membiarkan perseteruan kakak beradik itu.Kaluna masih punya satu cara yang mungkin dapat mencairkan hati Hadi, namun Ia tak mau lagi melibatkan orang lain apalagi
Kaluna kembali ke kamar Anna setelah Anna dan Erna datang. Tentu saja Alvi sudah mendapatkan jawaban yang Ia tunggu, Kaluna belum punya pacar.“Abang nanya apa aja Na?” tanya Anna yang baru masuk kamar sembari membawa beberapa camilan malam.“Nanyain aku udah punya pacar atau belum,” jawab Kaluna jujur.“Dihhhh, ngegas banget tuh orang. Jangan mau di kerdusin dia Na, kamu berhak dapet yang lebih baik,” cecar Anna membuat Kaluna tak bisa menahan tawanya.“Itu abang kamu Ann,” ingat Kaluna.“Bulan lalu ada cewe yang nangis-nangis ke Mama, katanya habis di putusin sama Abang padahal janjinya di nikahin, drama banget manta-mantan dia tuh. Lagian kamu kan udah punya tambatan hati di sana,” ujar Anna yang di akhiri godaan.Kaluna seketika menghentikan tawanya saat mendengar ucapan Anna. Ia menatap Anna dengan sorot yang bertanya-tanya.“Mas-mas barista ganteng di cafe Naluna.
Anna masih saja tak percaya dengan kedatangan Kaluna yang ternyata masih mengingat alamat rumahnya. Gadis itu sedari tadi tidak berhenti mengoceh hingga membuat Kaluna sedikit jengah.Jika saja mereka tidak sedang berada di rumah Anna, sudah pasti Kaluna akan mengusir perempuan itu. Meskipun sudah berdamai, sisi Kaluna yang sadis masih ada dalam tubuhnya.Kaluna masih bisa mengusir orang yang tidak Ia sukai, mencaci bahkan Ia bisa saja menyeret orang tersebut jika diperlukan. Sisi ini Ia dapatkan setelah sepuluh tahun terakhir.“Ann, lama-lama Mama yang suruh kamu keluar yah,” omel Erna.Kaluna tersenyum sambil menikmati pudding coklat kesukaan Anna. Erna juga sempat mengomeli Kaluna karena datang tanpa bilang-bilang. Jika Kaluna bilang maka akan ada pudding kelapa kesukaan Kaluna di sini.“Ih Mama, dia itu udah bukan Luna yang dulu Mama kenal. Dia jadi lebih sadis, gak lucu kayak dulu,” ujar Anna membuat Kaluna melotot taja