Delapan tahun kemudian.
Kaluna berjalan menyusuri gang kecil yang temaram karena penerangan yang ada hanya dari sebuah lampu di ujung jalan. Langkahnya pelan karena seharian ini semua tenaganya sudah terkuras habis. Ia bekerja di dua tempat yang berbeda dalam sehari dan hari ini kedua bos nya lagi-lagi membuatnya melakukan pekerjaan yang tidak masuk akal.
Rasa letihnya seketika berkurang saat Ia melihat sang adik sedang duduk di teras kontrakan mereka dengan sebuah buku dipangkuannya. Hati Kaluna menghangat, disaat dunia tidak menerima nya dengan baik hanya sang adik yang menunggunya untuk kembali pulang . Ia bekerja keras selama ini berbekal harapan agar adiknya bisa bahagia seperti anak seumurannya. Cukup Kaluna saja yang merasakan semua kepahitan ini, tapi dalam masa depan adiknya nanti Ia tak ingin ada cerita yang sama untuk sang adik.
Disaat Kaluna selalu hilang harapan dan menyerah pada dirinya sendiri, Ia bersyukur ada Evano disampingnya. Adiknya itu adalah anugerah Tuhan paling indah dalam hidupnya. Alasan seorang Kaluna bertahan hidup dan berkerja segitu kerasnya hanya untuk seorang Evano.
“Kenapa nunggu di luar?” tanya Kaluna sembari memberikan sebuah kantung plastik berwarna hitam dengan bau semerbak khas asap bakaran dan saus kacang.
“Mbak kok tumben pulang semalam ini, aku khawatir,” ucap Evan.
Kaluna urung masuk kedalam rumah dan memilih duduk disamping sang adik. Diambilnya buku pelajaran fisika yang dulu sangat Ia benci.
“Tadi ada pekerjaan yang belum selesai, kamu gimana sekolahnya?”
Evan menatap kearah atas, menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi. Raut wajahnya terlihat jelas jika Ia sedang memikirkan sesuatu namun sebisa mungkin bersikap biasa saja. Tapi sayangnya berapa kalipun Evan mencoba menutupi semuanya, Ia tetap tak bisa membohongi kakak perempuan yang sudah tujuh belas tahun mengurusnya. Mulai dari gerak tubuh, nada bicara, bahkan sorot mata saja Kaluna bisa menebak apa yang terjadi pada sang adik.
Namun kali ini Kaluna diam. Ia tak bertanya tentang sesuatu yang mengusik pikiran adiknya sekarang. Ia sedang menungu sang adik untuk mulai bercerita terlebih dahulu.
“Ya gitu, besok ada pelajaran fisika. Aku lagi baca-baca lagi materinya,” jawab Evan.
“Kamu tau gak apa yang membuat benda bisa bergerak?” tanya Kaluna tiba-tiba.
“ Karena adanya tarikan dan dorongan,” jawab Evan.
Tentu saja Ia tahu, ini materi dasar fisika yang Ia pelajari saat kelas sepuluh. Dan ini adalah kalimat pertama yang Ia dengar dari gurunya kala itu, mana mungkin Evan lupa.
“Iya, sebuah benda itu akan bergerak kalau ada sebuah tarikan dan dorongan ke benda itu-“
“Mbak gak lagi ngajakin kuis kan?” potong Evan yang membuat Kaluna langsung tertawa akibat celetukan sang adik.
"Enggak lah!”
“Oke lanjutin mbak.”
“Sama kayak mbak, mbak kerja tiap hari karena kita harus bertahan hidup itu dorongan terbesar dan itu juga yang memaksa mbak tiap hari harus bangun pagi dan pulang malem gini. Tapi ada juga yang narik mbak biar mbak semangat kerjanya dan gak hanya pasrah sama keadaan.”
“Aku?” potong Evan lagi.
Kaluna tersenyum dan mengangguk.
“Kamu pede tapi kamu bener. Mbak cuma punya kamu sekarang, kamu bukan beban tapi semangat mbak untuk terus berjuang. Kamu satu-satunya yang bisa bikin mbak gak pasrah sama keadaan. Impian mbak itu kamu Van jadi, kalau ada yang ganggu dikepala kamu bisa bilang ke mbak.”
Evan ikut tersenyum, sepintar apapun dirinya menyembunyikan sesuatu tetap saja kakaknya seakan tahu semuanya. Ia hanya mengangguk dan tersenyum. Senyumnya cerah hingga sudut matanya ikut menyipit. Tangannya menarik tangan sang kakak untuk dibawa masuk kedalam kontrakan kecil mereka.
Evan mendudukkan Kaluna di karpet tipis yang biasanya mereka jadikan tempat bersantai. Ia berjalan kearah dapur guna mengambil piring dan nasi yang telah matang sedari tadi. Tak lupa mengeluarkan sebungkus sate ayam extra bumbu kacang yang berlebihan yang tadi telah di beli oleh Kaluna.
“Makan dulu, baru nanti adek yang ngomong,” ucap Evan sembari menyendokkan saus kacang yang banyak keatas piring sang kakak.
Selesai keduanya mengisi perut, Kaluna meminta waktu sebentar untuk mengganti bajunya dengan baju rumahan agar lebih nyaman. Sedangkan Evan menunggu kakaknya sembari menikmati tayangan televisi yang sebenarnya ia sendiri tak paham tentang apa. Mereka punya tv hanya karena ibu pemilik kontrakan meninggalkannya disini sebab beliau sudah membeli tv baru dan sayang jika harus dibuang. Akhirnya kedua kakak adik ini menerima dengan senang hati walaupun jarang sekali tv tersebut menyala. Karena Kaluna tidak akan sempat melihat tv sedangkan Evan memilih untuk menghabiskan waktunya didalam kamar sampai sang kakak pulang.
“Oke, jadi gimana?” tanya Kaluna.
Kaluna mendudukkan dirinya menghadap sang adik yang sedang asik dengan camilan kacang atom nya.
“Aku kira lupa,” ucap Evan.
“Enak aja!” seru Kaluna membuat adiknya tertawa.
Evan meletakkan kaleng biskuit berisi kacang atom tersebut lalu ikut-ikutan menghadap sang kakak. Keduanya kini duduk lesehan sambil berhadap-hadapan.
“Jadi gini, sebenernya gak penting sih-"
“Kalo gak penting kamu pasti gak mungkin kepikiran sampe kepala kamu penuh gitu,” cibir Kaluna.
“Otak aku transparan banget buat mbak,” keluh Evan.
Kaluna hanya bisa tertawa mendengar tanggapan sang adik.
“Kamu bisa bohongin semua orang di dunia ini tapi bukan mbak orangnya,” ucap Kaluna dengan percaya diri.
“Jadi gini mbak, aku lusa ada olimpiade di Jakarta dan pasti harus nginep sekitar dua atau tiga hari an-“ jeda Evan.
“Terus?”
“Boleh?” tanya Evan.
Kaluna lagi-lagi tertawa melihat tingkah sang adik. Ia tak menyangka jika anak berumur tujuh belas tahun bisa sepolos ini.
“Kamu itu udah gede, masa gak dibolehin- apalagi ini buat olimpiade. Ya boleh lah! Kamu camping aja mbak bolehin apalagi olimpiade Van, kamu nih bikin mbak deg-deg an aja.”
“Tapi mbak, mbak gak papa aku tinggal sendiri?”
Kaluna menghela nafasnya dan menatap geli sang adik. Selalu seperti ini, sama dengan Kaluna yang punya trigger tersendiri saat bertemu orang asing, maka adiknya ini punya masalah lain. Evan dari dulu sangat takut jika harus jauh dari kakaknya apalagi di luar kota. Dari kecil keduanya selalu bersama, walaupun Ia sudah sebesar ini tapi ketakutannya tetap sama. Lagi-lagi kenangan masa kecil menghantui keduanya.
“Mbak disini kok, gak akan kemana-mana. Kamu tenang aja, fokus aja sama olimpiade nya dan selalu hubungin mbak dimanapun kamu berada, kayak biasanya,” ucap Kaluna.
Evan mengangguk pelan lalu menidurkan kepalanya pada pangkuan Kaluna. Kedua kakak beradik itu terdiam kembali dengan pikiran mereka masing-masing. Jika mereka tak saling menguatkan, maka tak ada siapapun lagi yang dapat menguatkan keduanya. Kaluna hanya punya Evan begitu pula sebaliknya.
Jika bukan Kaluna yang memberanikan diri maka adiknya juga tak akan berani, jika bukan Evan yang selalu menyemangati Kaluna maka tak akan ada yang dikuatkan. Mereka saling terikat karena pada dasarnya mereka satu. Jika satunya sedih maka yang lain juga merasakan yang sama. Kaluna ada sebagai sosok yang tegar untuk Evan yang selalu memberi kehangatan.
***
Kaluna berkutat dengan tumpukan desain sampul beberapa buku yang Ia kerjakan. Bulan ini tak banyak yang bisa Ia kerjakan karena Gama hanya memberinya tiga judul dengan empat versi sampel, namun karena beberapa hari ini Kaluna dibuat apes oleh Bu Dian maka tetap saja pekerjaannya terasa sama sulitnya. Kemarin saja Kaluna harus merombak beberapa desain sampul karena atasannya itu tak puas dengan hasilnya ditambah Ia harus merevisi beberapa desain bookmark karena ada beberapa penulis yang meminta untuk diganti warna dasarnya belum juga tugas yang lain yang memang masih Ia kerajakan.
Kaluna memang bukan lulusan universitas dengan gelar dibelakang namanya namun sedari kecil Ia suka menggambar dan saat ia diduduk dibangku SMP, keterampilannya dalam mendesain sesuatu sudah bisa dikatakan mahir. Ia juga masih merasa tak pantas jika disandingkan oleh Gama yang seorang lulusan universitas terkenal karena dirinya hanya bermodalkan ijazah sekolah menengah atas dengan keterampilan menggambar dan mendesain yang sangat baik. Jika saja tiga tahun lalu Ia tak bertemu dengan orang baik yang mau menempatkan dirinya untuk bekerja di perusahaan penerbitan yang baru dirintis itu, mungkin Kaluna tak tahu sekarang ia harus kerja apa untuk mendapatkan gaji yang lumayan banyak ini sehingga bisa menyekolahkan sang adik. Mungkin Ia bisa saja kembali menjadi buruh pabrik ataupun pekerja serabutan.
“Na, aku tunggu dibawah lima menit lagi ya,” ucap Gama yang sedang merapikan mejanya.
Kaluna mengangguk dan ikut membereskan laptop hitam yang telah menemaninya selama bertahun-tahun. Laptop yang Ia beli dengan tabungannya selama enam bulan pertama bekerja di penerbitan ini.
Dengan menenteng dua cup kopi, Ia segera masuk kedalam mobil milik Gama. Keduanya hening dan sibuk dengan pemikirannya masing-masing. Gama adalah orang yang cenderung tenang dan tak banyak bicara namun bukan berarti dia manusia yang irit ngomong. Bahkan kata teman kantor mereka, Gama dan Kaluna adalah dua sosok yang mirip. Tenang namun cerewet.
“ Terakhir kali ikut ke percetakan kapan Na?” tanya Gama.
“ Dua bulan lalu kayaknya mas, kangen juga main ke percetakan,” jawab Kaluna.
“Kenapa gitu?”
“Kangen bau buku baru, emang sih pas sampe di kantor juga masih baru tapi beda aja gitu,” jelas Kaluna.
“Adikmu gimana kabarnya?”
“Baik mas, besok juga dia mau olimpiade ke Jakarta.”
“Masih ambil kerja percetakan banner?” tanya Gama.
Diantara semua teman kantornya, hanya tiga orang yang tahu kalau Kaluna mempunyai pekerjaan sampingan disebuah percetakan banner dan sablon didekat kontrakannya yaitu Gama, Lila dan orang baik pemilik kantor penerbitan tempatnya bekerja.
Ketiganya juga tak mempermasalahkan hal itu selama Kaluna bisa bekerja secara professional dan tidak mengganggu jam bekerjanya di kantor. Dan selama ini Kaluna dapat mengerjakan keduanya dengan baik, Ia akan bekerja di percetakan banner sepulang dari kantor penerbitan karena sejak awal memang Kaluna hanya berniat membantu di tempat itu.
“Masih mas, tapi akhir-akhir ini gak begitu banyak yang pesen soalnya bukan musim kampanye,” jawab Kaluna.
“Aku kadang masih gak percaya kalo kamu yang sekecil ini ternyata sosok yang kuat.”
Tentu saja perkataan Gama mengundang tawa kecil keluar dari bibir Kaluna. Ini bukan yang pertama kali ketua divisinya itu berujar demikian dan mendengar hal yang sama semakin membuat Kaluna juga tak percaya dengan dirinya sendiri.
“Kalau bukan saya yang banting tulang kerja sana dan kerja sini, mau siapa lagi mas yang bayarin sekolah Evan dan kebutuhan sehari-hari kami. Saya juga harus bayar kontrakan, habis ini Evan juga kuliah mas,” jelas Kaluna.
Gama mungkin hidup tiga tahun lebih dulu dibandingkan Kaluna namun pengalaman hidup yang Ia dapatkan selama ini tak sebanding dengan yang dirasakan oleh anak divisinya ini. Gama mengetahui apa yang terjadi pada perempuan yang sekarang duduk disebelahnya ini. Bagimana kerasnya kehidupan Kaluna sebelum datang di kantornya yang sekarang, dan juga sulitnya hidup tanpa orang tua, Gama tau itu semua.
“Jangan sungkan sama aku Na, kalau butuh bantuan kamu bisa hubungi aku,” ucap Gama.
“Mas Gama tenang aja, kan mas selalu bilang kalau saya kuat. Bantuin nya kalau saya udah gak kuat aja mas,” canda Kaluna.
Gama tertawa kecil bahkan kini senyumannya tak luput dari tangkapan mata Kaluna. Selama bekerja disini, hanya Gama yang selalu paham bagaimana kesusahannya dan selalu membantu. Bagi Kaluna, sosok Gama adalah figure kakak yang terbaik yang Ia kenal.
Gama selalu mendorong Kaluna yang sedang lesu, manarik Kaluna yang sedang terjatuh. Memberi inspirasi dan petunjuk saat dirinya mulai buta arah. Dan Kaluna sangat berterima kasih dengan adanya Gama membuat dirinya tak pernah takut untuk setiap hari kembali menghadap Bu Dian karena Ia tahu akan ada Gama yang menyemangatinya di balik meja. Satu hal yang selalu ada di benak Kaluna, akankah pertemanan keduanya akan bertahan selamanya atau hanya sebatas rekan kerja yang akan datang dan pergi?
Kaluna yang tadinya membayangkan akan menunggu sampel dengan santai diruang tunggu akhirnya ikut kelabakan saat Gama menemukan ada kesalahan packaging pada novel yang yang akan diluncurkan minggu depan itu. Seharusnya pembatas buku yang dicetak adalah versi kedua karena ada kesalahan hak cipta pada vectoryang diinginkan penulis pada pembatas buku yang pertama. Dengan cepat Gama menyuruh siapapun orang yang ada disana untuk membantunya mengambil semua bookmark yang sudah tertata rapi didalam buku untuk dikeluarkan dan diganti dengan yang baru- termasuk Kaluna yang memang ada disana.Sekarang ada tumpukan besar buku-buku berjumlah dua ratus novel yang harus mereka buka satu persatu. Tentunya ini akan memakan waktu yang sangat lama. Untung saja tanggal perilisannya masih jauh sehingga masih ada waktu untuk memperbaikinya.Kaluna memutuskan untuk pamit sebentar guna memesan beberapa makanan untuk semua orang karena ini sudah lewat jam makan
“Ya ampun La, aku gak usah ditemenin juga gak kenapa-napa,” ujar Kaluna yang sedang menuangkan soto ayam kuah bening yang tadi Ia beli kedalam mangkok.Sepulang dari kantor Lila mengatakan bahwa dirinya akan menginap. Lila tahu jika hari ini dan tiga hari kedepan Kaluna sendirian di rumah karena Evan pergi olimpiade untuk itu sekitar jam tujuh malam setelah Kaluna sampai dirumah, Lila datang dengan rantang makanan buatan sang ayah. Malam ini makanan di rumah Kaluna melimpah.“Aku takut kamu gak keurus,” cicit Lila.“Enak aja! Aku mandiri tau,” elak Kaluna.Lila hanya bergumam kecil mencibir Kaluna yang sok mandiri walaupun kenyataannya memang benar adanya. Mana bisa menyebut seorang Kaluna tidak mandiri padahal selama bertahun-tahun hidupnya hanya berdua dengan sang adik.Kaluna masuk kekamar guna mengganti baju nya dengan piama. Lila yang sudah selesai menata makan malam mereka akhirnya berteriak karena bosan.
Kaluna menatap cafe tersebut dari seberang jalan. Jalannya terhenti tiba-tiba dan rasa ragunya mulai menyerang. Karena sudah kepalang pusing dengan keinginan salah satu penulisnya, akhirnya dengan sedikit keberanian Ia memutuskan kembali ke Cafe Naluna sesuai usulan Lila. Namun saat sudah sampai disini, Kaluna malah enggan melanjutkan langkahnya.“Mau nyebrang mbak?” tanya seorang laki-laki tinggi menjulang dengan aksen bicaranya yang sedikit unik, seperti ada aksen yang berbeda dengan orang daerah sini.“I-iya mas,” gagap Kaluna.“Hayuk, saya juga mau nyebrang,” ajak laki-laki itu.Kaluna akhirnya hanya bisa menghela nafasnya, pasrah. Mungkin dirinya memang harus merecoki orang asing lagi. Tanpa disangka-sangka laki-laki yang tadi menyebrang dengannya juga ikut masuk ke cafe tersebut. Bahkan Kaluna bisa melihat Delvin menyapa laki-laki tersebut dengan akrab.Kaluna menghela nafasnya. Dengan langkah pelan Ia menu
Kaluna berusaha mengeringkan ujung lengan kemejanya yang tadi tidak sengaja terkena kopi milik Lila saat keduanya makan siang di Cafe Kreatif. Untung saja hari ini Ia tak memakai kemeja putih.Kaluna terseyum sopan saat melihat Joan -editor- keluar dari bilik toilet."Udah makan siang Na?" tanya Joan."Udah ce," jawab Kaluna singkat.Mata Joan menyipit kala melihat tangan Kaluna."Tangan kamu kenapa?" tanya Joan.Kaluna segera membenarkan lengan bajunya yang tergulung."Gak kok ce," ujar Kaluna.Joan sibuk memperbaiki penampilannya sedangkan Kaluna masih mengeringkan lengan bajunya."Kamu tuh kalau aku liat-liat gak pernah pakek kemeja lengan pendek ya Na?" tanya Joan tiba-tiba.Kaluna menenggak ludah dengan susah payah. Joan dikenal sebagai seorang yang perfeksionis dengan penampilan dan fashion seseorang. Dia bahkan bisa mengomentari pakaian anak magang selama satu jam j
"Ibu," panggil Kaluna.Kaluna melihat sosok Ibunya tengah berdiri beberapa meter di depannya. Keduanya kini berada di sebuah danau yang tak asing. Danau yang sama dimana dulu keluarga mereka sering berkunjung. Namun kini ada yang berbeda, Kaluna sadar semua ini hanya khayalannya saja, mana mungkin Ibunya sekarang ada didepannya. Pasti ini mimpi."Kaluna gak kangen Ibu?" tanya Ibu Kaluna.Kaluna mengangguk pelan tapi raut wajahnya masih jelas terlihat bingung."Kaluna kangen Ibu sama Ayah," jawab Kaluna.Lalu sedetik kemudian hatinya terasa lebih ringan, Kaluna tiba-tiba merasa tenang entah karena apa."Ibu sama Ayah gak pernah tinggalin Luna sama Evan," terang Sang Ibu.Kaluna tersenyum, ingin rasanya segera berlari menuju Sang Ibu namun anehnya Ia sama sekali tak bisa melangkahkan kakinya. Ia terus memanggil Ibunya namun Sang Ibu justru pergi menjauhi Kaluna menuju ke sebuah cahaya. Sebisa mungkin Kaluna berte
Kaluna menghela nafasnya kasar. Sekali lagi Ia harus menahan emosinya mendengar para editor bergosip tentang dirinya, dibelakangnya. Ia bisa saja membungkam semua orang dengan kebenaran namun kebenaran itu hanya akan membongkar rahasia seseorang, dan Kaluna tak mau jadi orang yang selancang itu.Gama yang mengetahui semua kebenaran itu hanya bisa menyemangati Kaluna, Ia juga tak mengerti kenapa gosip murahan seperti itu bisa menyebar dengan cepat dalam dua jam padahal masih di jam kerja."Na, tolong hasil akhir layoutnya Penulis Biru kirim ke email ya," ujar Gama."Iya Mas, ini baru selesai langsung aku kirim," ucap Kaluna.Lila hanya bisa menatap sahabatnya dengan sendu dari balik meja, Ia tak bisa meninggalkan mejanya karena mata Bu Dian masih melihat kearahnya. Atasannya itu sepertinya menaruh dendam terlebih pada Lila entah karena apa.Efek dari gosip itu ternyata membawa perubahan yang pesat, tak ada lagi sapaan m
Kaluna melangkahkan kakinya tanpa gentar saat memasuki kantor. Ia sebisa mungkin menutup telinga atas semua omongan teman kantornya yang kian menggila. Banyak rumor yang dibumbui dengan garam membuat kobaran api semakin membara, namun hal itu bukan berarti menghentikan langkahnya, Ia harus bekerja untuk adiknya. Mereka yang mencaci Kaluna juga tidak membayar gajinya, jadi untuk apa didengarkan. Kaluna juga tak bisa menutup mulut semua orang, Ia hanya perlu menutup telinganya.Kaluna melakukan pekerjaannya dengan baik hari ini bahkan mendapat pujian dari Gama dan Bu Dian, namun pada dasarnya semua mata sudah tertutup dengan rumor yang membuat Kaluna justru dibenci bukannya ikut diapresiasi.Kaluna melangkah pergi dari gedung kantornya dengan langkah gontai. Ia harus segera pulang untuk menemui Sang Adik yang tadi siang tiba tanpa ada yang menyambut. Tak lupa Kaluna juga mampir ke warung nasi padang untuk makan malam mereka berdua.Hari ini dan hari-ha
Kaluna berpisah dengan Evan, adiknya itu ijin bermain basket bersama teman-temannya yang kebetulan sedang ada disana sedangkan Kaluna tetap bersama Delvin yang mulai membagikan kertas dan krayon. Kaluna duduk manis disebelah Nara yang sedang memilih warna.Delvin mengatakan bahwa tema menggambar hari ini adalah pemandangan yang biasa mereka temui. Tak hanya anak-anak ini saja yang menggambar, Delvin juga memberikan selembar kertas buram kepada Kaluna."Aku juga?" tanya Kaluna."Biar adil," jawab Delvin.Kaluna menerima dengan senang hati dan menggambar sebuah meja beserta perlengkapan kantor yang memang Ia temui setiap hari. Pemandangan paling membosankan yang membuat Kaluna terkadang berpikir mengapa Ia bisa betah bekerja disana.Kaluna berkali-kali dibuat tertawa oleh tingkah lucu anak-anak disana. Ada yang berebut warna, ada yang saling meledek atau sedikit tidak terima karena gambarannya hampir sama. Kaluna terseny
Kaluna, Anna dan Erik saling pandang sebelum isi buku hitam itu lebih banyak lagi. Buku ini benar-benar menulis detail informasi tentang dana gelap dari sebuah organisasi pengusaha besar di negeri ini. Dan salah satunya terkait dengan jembatan yang roboh. Kaluna hanya bisa meringis melihat nominal angka yang keluar setiap transaksi, itu bukan jumlah yang kecil."Ini kasus terakhir yang dicatat," ucap Erik begitu melihat lembar terakhir yang penuh tulisan."Pantesan pada kaya dan rumahnya gede-gede, ternyata korup," cibir Anna."Korupsi dana bantuan banjir?" tanya Kaluna."Kamu tau?" sahut Anna."Ayah pernah ngomongin ini sama Om Hadi sebelum kita pindah, aku denger waktu itu," jelas Kaluna."Iya, dana bantuan banjir ini 50% masuk kantong mereka, sisanya baru di distribusikan ke korban banjir," ungkap Erik."Nitidiwiryo?" gumam Erik."Kenapa om?" tanya Kaluna.Erik menunjuk sebuah nama
Kaluna berulang kali menatap Delvin untuk memastikan bahwa apa yang mereka berdua lihat memang benar adanya. Setelahnya Kaluna segera menelfon Anna dan juga menyiapkan tiket pesawat untuk menemui temannya itu. Buku ini, buku yang tadi Kaluna temukan di tas ayahnya adalah buku yang sama yang mereka cari selama ini.Dengan ini Kaluna dapat membalik keadaan. Ia bisa membersihkan nama baik Ayahnya. Kaluna yakin jika bukti ini bisa membuat orang-orang yang dulu membuat keluarganya hancur jadi mendapatkan ganjarannya."Pesawatnya jam berapa?" tanya Delvin yang sedang membersihkan piring bekas makan mereka."Satu jam lagi. Saya mau ke Papa dulu," jawab Kaluna."Saya antar," sahut Delvin."Terima kasih," balas Kaluna.Keduanya segera menuju rumah sakit dan Kaluna menceritakan semuanya pada Sang Papa. Kaluna sangat senang, terlihat dari raut wajahnya yang cerah saat menceritakan hal itu. Evan yang melihat kakaknya seperti kembali di
Kaluna kembali ke rumahnya setelah beberapa hari berada di rumah sakit. Papanya sudah sadar kemarin dan kini ada Evan di sana. Kaluna memasuki kamarnya dengan perlahan, terdapat sedikit debu yang berterbangan karena sudah cukup lama tidak ditempati.Semalam Anna menelfonnya dan mengatakan bahwa persidangan untuk kasus ayahnya akan segera dilaksanakan. Setelah melihat-lihat sekeliling rumah, akhirnya Kaluna memutuskan untuk keluar rumah mencari camilan karena di rumah sama sekali tak ada makanan.Setelah berjalan beberapa meter akhirnya Ia memutuskan untuk membeli gorengan pinggir jalan tanpa pusing. Sepertinya pisang goreng dan secangkir teh dapat mengisi perutnya yang dari pagi belum terisi. Namun sayangnya Kaluna harus kembali duduk dan menunggu pisang goreng kesukaannya digoreng. Akhirnya yang bisa Ia lakukan hanya melamun sambil melihat lalu lalang kendaraan di depannya."Bahkan meskipun duniaku hancur seperti ini tapi dunia orang lain tetap berjalan s
Suasana tenang di sebuah lorong membuat siapapun enggan untuk bersuara. Kaluna sedari tadi melirik ke arah lampu ruang operasi dan warnanya sama sekali belum berubah sejak dua jam yang lalu. Sang Papa akhirnya dapat melangsungkan operasi setelah menerima donor langka. Ia di sini sendirian karena adiknya masih harus sekolah. Waktu seakan berjalan lebih lambat membuat Kaluna berkali-kali menghela nafas frustasi. Kata dokter operasi ini merupakan operasi yang sedikit sulit karena usia Papanya yang sudah tak lagi muda di tambah mereka harus mencegah pendarahan sekecil mungkin karena stok darah di rumah sakit ini terbatas. Satu jam kembali berlalu dan tiba-tiba lampu di atas pintu kaca tersebut mati membuat Kaluna segera berdiri dengan harap-harap cemas. Beberapa menit kemudian Dokter Stefanus keluar dan menghampiri Kaluna. "Operasi berjalan dengan lancar, tapi kami harus terus pantau kalau saja ada penolakan organ donor dari tubuh Bapak. Untuk beberap
Delvin mengendarai mobil milik Kama menuju bandara. Ia mendapat kabar dari Evan bahwa Kaluna memutuskan untuk kembali dari luar kota hari ini dan Ia diberitahu bahwa perempuan itu sedang dalam kondisi yang labil karena kabar dari adiknya.Akhirnya berbekal informasi tentang penerbangan Kaluna yang Ia punya, Delvin memutuskan untuk menjemput perempuan itu. Delvin sendiri tak tahu mengapa dirinya bisa mau serepot ini padahal Kaluna bisa saja naik taksi atau yang lain. Kenapa Delvin justru menawarkan dirinya sendiri?Delvin meraih ponselnya dan memutuskan untuk menelfon gadis yang beberapa hari ini memenuhi kepalanya tanpa permisi.“Kamu dimana Na?” tanya Delvin.Kaluna mengatakan bahwa dirinya baru saja turun dari pesawat dan sedang menunggu bagasi. Delvin pun segera menambah kecepatannya. Sepuluh menit kemudian Ia sudah sampai di bandara. Ia melihat Kaluna dengan jelas karena sebelumnya perempuan itu bilang akan menunggu di depan, jadi Delvin t
Kaluna menatap sebuah rumah bernuansa modern minimalis di hadapannya. Ternyata setelah bertahun-tahun rumah tersebut tidak berubah sama sekali, hanya saja halaman hijaunya yang luas itu terlihat lebih bagus dari yang terakhir kali Kaluna ingat. Satu jam lalu tiba-tiba ada seseorang yang menelfonnya dan ternyata itu adalah Neneknya. Entah dari mana beliau berhasil mendapatkan nomor milik Kaluna. Neneknya berkata kalau semua keluarga tengah menunggunya di sini, mereka ingin melihat Kaluna. Awalnya Kaluna menolak dengan keras, namun Neneknya berkata kalau dirinya tengah di rawat di rumah karena sakit dan ini permintaan terakhir beliau pada Kaluna karena setelahnya beliau tak akan mengganggu Kaluna lagi. Mau tak mau Kaluna menyetujui hal itu. Di sinilah Kaluna sekarang. Anna baru saja pergi setelah menurunkan Kaluna di sini dengan keraguan yang sama besarnya dengan yang Kaluna rasakan. Dengan langkah pelan dan tarikan nafas yang dalam akhirnya Kal
Anna berulang kali mengumpat kesal di dalam mobil karena lagi-lagi usaha mereka untuk membuat Hadi mengatakan kebenarannya sia-sia. Orang itu tetap memilih untuk bungkam.Kaluna yang mendengar hal itu hanya tertawa kecil melihat tingkah Anna. Sejak awal Kaluna sudah membayangkan jika ini tidak akan semudah kelihatannya. Lawan mereka adalah manusia dengan tingkat egois sampai ke langit.“Kok kamu tenang aja sih Na, ini persidangannya tinggal beberapa hari lagi loh,” kata Anna.“Kamu tuh bisa tenang dikit gak sih Ann. Luna aja tenang banget kenapa kamu yang tadi ngoceh mulu gak berhenti,” omel Alvi.“Abang!” seru Anna.Keduanya kembali adu mulut dan Kaluna tidak sanggup untuk meghentikan keduanya, akhirnya Ia memilih untuk diam menatap jalanan dan membiarkan perseteruan kakak beradik itu.Kaluna masih punya satu cara yang mungkin dapat mencairkan hati Hadi, namun Ia tak mau lagi melibatkan orang lain apalagi
Kaluna kembali ke kamar Anna setelah Anna dan Erna datang. Tentu saja Alvi sudah mendapatkan jawaban yang Ia tunggu, Kaluna belum punya pacar.“Abang nanya apa aja Na?” tanya Anna yang baru masuk kamar sembari membawa beberapa camilan malam.“Nanyain aku udah punya pacar atau belum,” jawab Kaluna jujur.“Dihhhh, ngegas banget tuh orang. Jangan mau di kerdusin dia Na, kamu berhak dapet yang lebih baik,” cecar Anna membuat Kaluna tak bisa menahan tawanya.“Itu abang kamu Ann,” ingat Kaluna.“Bulan lalu ada cewe yang nangis-nangis ke Mama, katanya habis di putusin sama Abang padahal janjinya di nikahin, drama banget manta-mantan dia tuh. Lagian kamu kan udah punya tambatan hati di sana,” ujar Anna yang di akhiri godaan.Kaluna seketika menghentikan tawanya saat mendengar ucapan Anna. Ia menatap Anna dengan sorot yang bertanya-tanya.“Mas-mas barista ganteng di cafe Naluna.
Anna masih saja tak percaya dengan kedatangan Kaluna yang ternyata masih mengingat alamat rumahnya. Gadis itu sedari tadi tidak berhenti mengoceh hingga membuat Kaluna sedikit jengah.Jika saja mereka tidak sedang berada di rumah Anna, sudah pasti Kaluna akan mengusir perempuan itu. Meskipun sudah berdamai, sisi Kaluna yang sadis masih ada dalam tubuhnya.Kaluna masih bisa mengusir orang yang tidak Ia sukai, mencaci bahkan Ia bisa saja menyeret orang tersebut jika diperlukan. Sisi ini Ia dapatkan setelah sepuluh tahun terakhir.“Ann, lama-lama Mama yang suruh kamu keluar yah,” omel Erna.Kaluna tersenyum sambil menikmati pudding coklat kesukaan Anna. Erna juga sempat mengomeli Kaluna karena datang tanpa bilang-bilang. Jika Kaluna bilang maka akan ada pudding kelapa kesukaan Kaluna di sini.“Ih Mama, dia itu udah bukan Luna yang dulu Mama kenal. Dia jadi lebih sadis, gak lucu kayak dulu,” ujar Anna membuat Kaluna melotot taja