“Ng—nggak mungkin.”
Ares menatap Athena bingung. Ia memegangi dadanya dan mundur beberapa langkah. Athena yang juga masih membatu tidak bisa melakukan apapun selain jatuh tersimpuh di lantai. Ia bahkan tidak berani menatap mata Ares.
Lelaki bernama lengkap Ares Adiwangsa itu melihat Athena yang jatuh terduduk. Ia maju satu langkah, namun Athena dengan refleks menghindarinya.
“Ana…”
“Lo, maksud lo… apa?”
Ares tampak berusaha mengatur napas dan juga detakan jantungnya. Matanya sulit fokus karena tidak bisa menerima apa yang baru saja ia sadari.
“Gue cuma mau cari tahu—”
Krieett…
Pintu ruang sound system dibuka dari luar. Sidney berdiri di depan pintu dengan napas yang memburu seperti telah berlarian. Matanya langsung menangkap Athena yang sudah terduduk di lantai, ia mendekat dengan wajah khawatir.
“Nana!” Sidney memegang kedua bahu Athena, “Na? Lo nggak apa-apa?” Sidney juga mengecek kondisi Ath
Hai-hai-haiii! Gimana bab ini? Penasaran nggak sih kenapa Adikara bisa ada di sekolahnya Athena dan Ares? Simak terus ya! Sampai ketemu di bab selanjutnya
Kelas seminar berakhir. Para murid tidak langsung keluar dari aula. Banyak dari mereka yang meminta foto bersama dengan Adikara atau bahkan meminta tanda tangannya. Dari kursi paling belakang Athena hanya bisa memperhatikan. Dan ia menyadari bahwa kepopuleran keluarga Wangsa memang sebegini besarnya. Namun tidak sedikit juga yang menampilkan wajah masam dan saling berbisik selama Adikara memberikan materi seminarnya. Mungkin karena banyak juga yang mengenalnya sebagai ayah kandung dari Ares Adiwangsa.“Gue yakin. Ada maksud di balik ini semua.”Sidney tiba-tiba berucap ketika telah selesai merapikan alat tulisnya. Pandangannya lurus pada Adikara yang saat ini sedang berbincang dengan beberapa guru mereka, ada Pak Kepala Sekolah juga di sana. Banyak murid yang sudah keluar dari aula dan hanya menyisakan beberapa saja termasuk Athena dan Sidney.“Kenapa lo mikir gitu?”“Baru-baru ini kan gosip miring tentang Ares dan keluargany
Seakan langit tahu bahwa pertahanannya sudah runtuh, satu demi satu tetes hujan membasahi jalan. Athena yang memutuskan untuk turun dari mobil Ares dan berjalan di sepanjang trotoar kota hujan, sedikit merasa menyesal. Seragamnya basah seiring dengan rintik hujan yang semakin deras. Gadis itu menepi di salah satu halte untuk berteduh. Tubuhnya sedikit gemetar merasakan angin dingin di tengah hujan, juga karena air matanya yang sedari tadi tidak bisa dihentikan.Athena mendapat tatapan iba dari orang yang melewatinya. Jalanan kota Bogor tetap ramai meski hujan semakin deras. Athena mengeluarkan ponselnya untuk menelepon Sidney. Dering pertama dan kedua tidak mendapat respon, dan pada dering ketiga teleponnya diangkat.“Sid…”“Na? Kenapa? Lo di mana?”“Gue di halte.”“Halte? Halte mana? Terus Ares di mana?”“Sid… cepet ke sini… gue takut diculik.&rdquo
Keesokannya, Athena tetap berangkat sekolah bersama dengan Sidney. Meski awalnya Sidney menyuruh Athena untuk izin, tapi gadis itu memaksa tetap ingin sekolah karena tidak boleh tertinggal pelajaran ketika mendekati ujian. Karena itulah Sidney semalam menyuruh Alfred untuk mengantarkan seragam batik dan seragam olahraga Athena. “Tadi pagi abis sarapan lo langsung minum obat, kan?” Sidney bertanya begitu mereka memasuki gerbang sekolah. Athena mengangguk dan mereka melanjutkan perjalanan sampai ke kelas. Ketika mereka masuk ke dalam kelas dan duduk di kursi masing-masing, seorang murid yang mengenakan jas OSIS masuk ke kelas mereka. “Permisi, Sidney?” Athena dan Sidney menoleh serempak ke ambang pintu. “Iya?” Murid laki-laki itu melangkah lebih dalam. Ia melemparkan senyum manis pada Athena dan juga Sidney, lalu menyerahkan amplop putih ke arah Sidney. “Ini surat dispensasi buat, lo. Karena acara PENSI sebentar lagi, setelah pel
Athena perlahan membuka matanya. Aroma obat-obatan dan antiseptik menyapa indra penciumannya. Ia masih setengah sadar sambil berusaha membaca situasinya saat ini. Suara dua orang yang terdengar seperti sedang berdebat membuatnya menoleh ke samping.Athena menyadari dirinya berada di UKS sekolah ketika matanya menangkap tiga orang yang sedang berdiri tidak jauh dari ranjangnya saat ini. Satu mengenakan syal ciri khas anak PMR, dan dua lagi dengan seragam batik sekolahnya.“Perawat Klinik bilang dia stres dan dehidrasi, kayaknya emang butuh istirahat yang cukup.” kata murid yang mengenakan syal PMR.“Dia udah minum obat tadi pagi, gue udah suruh dia buat nggak usah sekolah tapi dia nggak mau ketinggalan pelajaran.” Athena bisa melihat Sidney menundukan kepalanya sambil berkata lirih.“Kalau lo tahu dia sakit, harusnya lo larang dia dengan keras biar nggak usah ke sekolah. Lo juga milih dispen, ninggalin dia dan ngebiarin dia ik
Hera keluar dari ruang operasi disambut oleh Eros. Wanita paruh baya itu sedikit terkejut menatap Eros dengan wajah yang tampak kesal juga kedua tangan yang bersidekap di depan dadanya. Hera melepas topi operasi dan maskernya. “Ada apa Dokter Eros? Anda perlu bicara dengan saya?” Mendengar sapaan formal Hera, Eros segera menurunkan tangannya dan tersenyum tipis, “Bisa kita bicara di ruangan Anda, Dokter Hera?” Hera menatap sekitar, memberikan senyum ramah pada rekan Dokter yang melewati mereka, juga pada suster yang menyapanya. “Silakan.” Kemudian Hera berjalan lebih dulu dan Eros mengikuti. Saat sampai di ruangannya, Hera bisa mendengar helaan napas dari Eros. “Kenapa? Kencan buta gagal lagi?” Tanya Hera, berubah informal karena sudah berada di ruangannya. Wajah Eros semakin tidak enak untuk dipandang. Lelaki yang merupakan adik kandung Hera itu melemparkan tubuhnya pada sofa di ruangan Hera. “Kayaknya kencan buta yang
Ares terdiam selama beberapa saat. Sementara Dita dan rekannya kembali membaca berkas-berkas, juga menyimak sebuah video rekaman dari black box mobil di sekitar tempat kecelakaan Ariel. Adikara dan Malik meninjau berkas kasus penculikan yang pernah dilakukan oleh Samsul.Beberapa menit kemudian, pintu ruangan terbuka. Hera berdiri di ambang pintu bersama seorang pria paruh baya yang dikenal sebagai Dokter Anwar.“Mama?” Ares terkejut.Hera melirik pada Ares sekilas lalu pandangannya menyapu ruangan. Hera berjalan mendekat ke kursi Adikara, kemudian duduk pada kursi kosong di sebelahnya.“Selamat sore, Dokter Anwar.” sapa Adikara.Ares yang baru sadar akan kehadiran Dokter Anwar menoleh cepat ke arah pria paruh baya yang sudah dipersilakan duduk oleh Hera di sebelah Ares.“Apa lagi ini?” wajah Ares berubah datar, “Kenapa Mama bawa Dokter Anwar?”“Kita bahas itu di rumah ya,
Dua hari sudah berlalu. Athena dan Sidney kembali dengan aktivitas biasa mereka—pergi ke sekolah, mengikuti kelas tambahan hingga sore, dan Sidney lebih sering ikut rapat bersama OSIS sebagai pihak eksternal. Namun dalam dua hari itu, Ares tidak masuk sekolah. Tidak ada kabar mengenai lelaki yang beberapa hari ini membuat sekolah dihebohkan oleh berita-berita seputar dirinya. Hal itu juga yang membuat Athena resah dan khawatir, meski dirinya berkata telah menyerah dan tidak ingin ikut campur lagi dengan urusan yang menyangkut Ares, namun di dalam hatinya ia semakin merindukan wajah lelaki yang selalu merubah-ubah suasana hatinya.Kini, Athena hanya bisa meletakan kepala di atas meja meski bel pulang sekolah sudah berbunyi sejak tiga menit yang lalu. Sambil menunggu Sidney selesai dengan urusannya bersama OSIS, Athena menyibukan diri dengan melamun dan menghela napas beberapa kali.Pintu ruang kelasnya berdecit, seseorang masuk ke dalam. Athena sudah tidak memilik
“Gue juga sayang sama lo, Ana.”Athena sontak menoleh terkejut. Ia bisa melihat Ares sudah terbangun dan sedang menatap ke arahnya. Athena mendadak salah tingkah. Namun hal pertama yang dirasakannya adalah kelegaan karena melihat Ares baik-baik saja.“Ah, gue harus panggil nyokap lo—”“Please don’t.” potong Ares.“Kenapa?”Ares terdiam. Ia melihat kondisinya sendiri, dan kembali menatap Athena, “Alasan gue selalu marah dan hilang kendali tiap bangun… itu karena wajah mereka yang pertama gue lihat. Kenyataan yang udah gue dapetin, bener-bener bikin gue kecewa sama mereka.”“Ares…”“Ana, Please. Gue udah berusaha nerima semuanya… tapi tiap lihat wajah Mama, apalagi Papa, gue merasa sangat-sangat marah karena mereka udah merahasiakan semuanya dari gue.”Athena mengangguk pelan, kemudian dia kembali
Halo para pembaca "The Reason Why" di manapun kamu berada!Akhirnya setelah menempuh perjalanan panjang, buku ini selesai dituliskan. Sejak Juni 2021 sampai Mei 2022, saya mengalami banyak hal selama penulisan buku ini; lika-liku-luka, susah-senang-sakit, dan masih banyak lagi. Tapi itu semua berhasil saya lewati berkat kalian yang selalu mendorong saya untuk terus menulis. Terima kasih saya ucapkan dengan setulus hati.Buku ini memang selesai dituliskan. Tapi sebenarnya, kisah semua karakter yang ada di buku ini akan selalu berlanjut serta berkelana di hati dan benak para pembaca sekalian! Bagaimana kisah selanjutnya, hanya kalian yang bisa menentukan di dalam imajinasi masing-masing. Selamat berpetualang!Oh ya, saya juga menulis buku baru dengan judul "Terbelenggu Takdir". Buku baru saya ini bisa dikatakan masih satu kaitan dengan "The Reason Why". Sedikit spoiler: beberapa karakter TRW akan muncul di buku saya yang baru! Karena itu, kalau kalian penasaran juga, silakan baca!Sekian
Ares's Point of ViewLo tahu kenapa sekarang gue senyum kayak orang gila? Karena di sebelah gue ada perempuan lagi tidur sambil mangku buku tebel yang judulnya pake bahasa Inggris. Dia Athena Amerta.Konyol, kan? Dulu gue benci banget sama cewek ini. Tapi lebih konyol lagi, gue lupa kenapa gue bisa sampai sebenci itu sama cewek yang bahkan enggak pernah muncul di hidup gue. Tapi tiga tahun setelah hari pertama gue ketemu sama cewek ini di Cafe bareng tante gue, Dita, sekarang gue dan dia lagi duduk di pesawat menuju bandara Soekarno-Hatta di Jakarta, dari Boston.Kita sama-sama nyeselasiin program pertukaran mahasiswa dari kampus tepat satu tahun. Setahun lalu, bokapnya minta gue ikut program magang dari kantornya yang kerja sama bareng cabang perusahaan rekannya di Amerika. Alasannya sih supaya anak cewek satu-satunya ini ada yang ngawasin dan jagain selama jauh dari pantauannya. Dulu gue mikir, 'Apa enggak salah nitipin anak perempuannya ke lelaki yang notabenenya adalah sang pacar,
Athena’s point of view Di dalam sebuah ruang tunggu klinik terapis, aku menantikan Ares muncul dari balik pintu yang bertuliskan “ruang konsultasi”. Sudah genap dua tahun aku dan Ares menjalin hubungan. Walau satu tahun kami habiskan dengan LDR—karena aku harus kuliah di Jakarta, sementara dia menyelesaikan SMA-nya—tapi satu tahun berikutnya Ares menyusul ke kampus yang sama dengan jurusan Manajemen, satu fakultas dengan Sidney. Sekarang, kami sedang sama-sama menikmati liburan semester dan pulang ke Bogor untuk menghadiri acara keluarga. Oh ya, omong-omong aku dan Ares sudah mendapatkan restu dari kedua orang tua kami untuk terus menjalin hubungan—meski pada awalnya mamaku masih setengah hati menerima Ares—dan kedua adikku menggunakan kesempatan itu untuk seenaknya datang dan pergi ke apartemen Ares di Jakarta. Saat aku sibuk dengan pikiranku sendiri, Ares muncul dari balik pintu dengan senyuman manis khasnya, yang dulu sempat aku sebut sebagai senyum iblis. Hey, pada awalnya senyu
Satu tahun kemudian …Athena sedang merapikan meja di dalam studio siaran kampusnya. Kertas-kertas script yang berisi poin-poin penting isi siarannya berserakan hingga ke bawah meja. Itu semua terjadi karena Sidney yang tiba-tiba datang ke dalam studio siaran sambil berteriak—padahal dirinya jelas-jelas sedang on-air—dan hal itu menyebabkan dirinya diberikan hukuman untuk merapikan studio sementara rekan satu club nya sudah pergi lebih dulu.“Lama banget sih, Na!”“Ini semua karena lo yang teriak di dalem ruang siaran! Suara lo masuk dan akhirnya ngebocorin siaran live gue!”Sudah satu tahun Athena menjalani kehidupan kampus—yang sialnya harus dilewati juga bersama Sidney—dan selama itu pula Athena tidak bisa menjalani hari yang normal sebab ulah Sidney yang sering seperti hari ini; tiba-tiba datang ke studio saat Athena sedang siaran, atau masuk ke kelas Athena di tengah presentasi dosen.“Salah siapa lo ngotot beda fakultas sama gue. Jadi gue harus selalu nyariin lo ke sini!” Sidney
“Menurut kalian arti kehidupan itu apa?”Athena membuka episode podcastnya dengan sebuah pertanyaan.“Apa kalian pernah bertanya-tanya kenapa kalian hidup selama ini? Apa kalian pernah mencari tahu alasan kenapa Tuhan menciptakan kehidupan untuk kita? Mungkin saja selama ini Tuhan membiarkan kita hidup untuk merasa. Kehidupan yang kita jalani ini dilewati dengan tawa, tangis, cinta, luka, tantangan, cobaan, dan hikmah di balik itu semua.”“Dalam pencarian jati diri, aku menemukan hal-hal baru tentang sebuah rasa yang sebelumnya tidak pernah ada. Sebuah rasa benci yang muncul tiba-tiba bisa membawa hidupku sampai di titik ini. Kenapa bisa begitu? Ya, mungkin saja karena emosi itu bisa berkembang—entah ke arah yang lebih baik, atau lebih buruk.”“Banyak di antara kita pasti punya rasa yang mengganjal di hati, entah karena apa sebabnya, yang jelas kita tidak pernah ingin perasaan itu ada di hati kita. Perasaan itu bisa berkembang dan terus berkembang menciptakan jati diri kita. Pada dasar
Tiga hari kemudian Athena sudah diperbolehkan untuk pulang ke rumah. Luka jahitannya sudah mengering dan hanya perlu datang untuk check-up beberapa kali. Sementara Roy sudah mendapat jadwal operasi yang akan dilaksanakan dua hari berikutnya. “Na, lo yakin enggak mau balik sama gue?” Sidney yang datang untuk menjemput Athena keluar dari rumah sakit, kini sedang memberikan ekspresi cemberut sambil menopang dagunya. “Sori ma fren, gue udah janjian balik sama Ares.” Athena menjawab tanpa nada sesal sama sekali. Tangannya fokus memasukkan baju-bajunya ke dalam tas. “Oh jadi gitu ya? Karena sekarang lo udah nemuin true love, sampe sahabat sendiri lo lupain.” Bukannya merasa bersalah mendengar nada kesal Sidney, Athena justru tertawa. “True love? Istilah lebay apa lagi, tuh?” Sidney yang semula meletakkan kepala pada ranjang rumah sakit yang telah dirapikan, kini bangkit berdiri dan mendekat ke arah Athena dengan wajah tidak percaya. “Apa? Lo bilang lebay? Coba sini gue cek dulu.” Sidn
Dua puluh menit telah berlalu. Athena dan Ares keluar dari ruang rawat Roy usai menemui pria paruh baya itu. Raut wajah Athena menggambarkan perasaan yang lebih lega dari sebelumnya, namun garis-garis khawatir masih kentara di sana. “Kamu lebih lega sekarang?” Ares bertanya sambil mengusap pelan punggung gadis yang lebih pendek darinya itu. Athena mengangguk pelan. “Iya. Walaupun cuma bisa sebentar ketemu, karena ternyata Papa harus banyak istirahat sebelum operasi. Aku lega udah bisa nunjukin kalau aku baik-baik aja ke Papa, dan Papa juga dengan bijak ngerti situasinya meskipun aku tahu ini semua enggak mudah diterima sama Papa, terlebih Papa sama sekali enggak ngelarang aku buat ketemu sama kamu.” Athena dan Ares duduk di kursi tunggu depan ruang rawat Roy. Tangan Ares tidak pernah melepas rangkulannya pada bahu Athena. “Aku ikut lega kalau kamu lega.” Ares mengusap puncak kepala Athena. “Aku masih enggak nyangka akhirnya Papa punya kesempatan untuk sembuh kayak dulu lagi, Res.
Haloo para pembacaku sekalian di manapun kalian berada.Ini pertama kalinya saya menulis catatan penulis untuk para pembaca. Dan untuk yang pertama kalinya ini, saya ingin memberikan informasi sekaligus meminta maaf kepada para pembaca sekalian.Dalam beberapa hari ke belakang, saya tidak update bab terbaru The Reason Why dikarenakan kondisi kesehatan saya yang naik turun. Saya tidak bermaksud memberi alasan apapun karena keterlambatan update ini. Namun, selain kondisi kesehatan saya, masalah lainnya adalah sibuknya jam perkulian saya yang padat. Jujur saja, perkuliahan yang padat dan hari libur saya gunakan untuk mengerjakan tugas yang sangat banyak (meskipun sudah saya cicil), ditambah rapat organisasi kampus. Mungkin karena terlalu banyak kegiatan itulah, tubuh saya mengalami drop, kurang tidur, dan juga panas dalam.Karena itu saya meminta maaf jika para pembaca sekalian menunggu bab terbaru The Reason Why. Saya hanya bisa menulis sedikit demi sedikit di waktu yang
Beberapa saat sebelumnya. Ares yang sedang duduk di depan ruang rawat Athena mendapat telepon dari Malik. Asisten Papanya itu memberikan kabar yang cukup mengejutkan, yaitu fakta bahwa Roy harus dibawa ke rumah sakit karena mengalami serangan jantung. Saat Ares menerima telepon, kebetulan Alfred keluar dari ruang rawat Athena, dan lelaki yang lebih muda 3 tahun dari Ares itu juga sedang menerima telepon dari seseorang. Ketika pandangan mereka bertemu, baik Ares maupun Alfred seperti bisa mengetahui apa yang ada dalam pikiran masing-masing. “Jangan kasih tahu Nana soal ini.” begitu kata Alfred setelah menutup teleponnya. “Nggak bisa. Ana harus tahu. Lagipula om Roy pasti dapet perawatan terbaik setelah pindah ke rumah sakit tempat nyokap gue kerja. Di sana juga udah ada donor untuk beliau.” “Lo lupa sama kondisi Nana sekarang? Lo mau bikin dia tambah drop?” Alfred sudah bersiap melayangkan tinju seandainya Ares kembali membantah. “Alfr