Restu berdecak saat melihat Kiya sudah berada di mejanya melakukan berbagai kesibukan seperti biasanya. Ia yang baru saja datang itu, lantas tidak langsung masuk ke ruang kerjanya melainkan menghampiri meja Kiya terlebih dahulu.“Kamu! Tahu, kan, kalau aku di sini juga pemilik saham di Antariksa.”Dari aroma parfum segar bernuansa mint, tapi manis di indra penciuman, Kiya sudah tahu siapa yang berhenti di depannya sebelum bersuara. Kiya ingin berdecak, tapi ia masih mempertahankan sopan santunnya di depan pria kekanakan yang selalu memamerkan bahwa dirinya juga pemilik saham di Antariksa. Pada akhirnya, Kiya mengangkat wajah dan berusaha memberi senyum kecil untuk pria itu.“Pagi, Pak Restu,” sapa Kiya formal mengingat dirinya sebentar lagi juga akan pergi dari Antariksa. Untuk itu, Kiya harus memberi kesan yang baik, walau ia sangat tidak menyukai Restu. “Ada yang bisa dibantu?”“Junjunganmu itu sudah datang?” Restu bertanya dengan mengabaikan sapaan Kiya.“Jun … jungan?” Kiya bertan
“Sekali lagi, terima kasih banyak.” Elok menjabat tangan Bumi, ketika kesepakatan mereka sudah terjalin sempurna. Sesungguhnya, Elok berat melepas Bumi untuk Antariksa. Ia dan Adi pun sempat bersitegang alot, sampai di satu titik sang papa mengalah, dan menyerahkan semua keputusan di tangan Bumi.“Sama-sama, Bu El.” Bumi sedikit menggeser langkahnya setelah jabat tangan mereka terlepas. Membiarkan Elok melewatinya, lalu berjalan bersama menuju pintu ruang kerja wanita itu.“Nanti saya konfirmasi lagi, kalau mas Aga sudah nggak sibuk dengan proyeknya.” Sesampainya di luar ruang kerja, Elok berhenti di samping meja Kiya.“Siap, Bu.” Bumi ikut berhenti sebentar dan menatap Kiya yang hanya sibuk memandang layar komputernya. “Saya tinggal alihkan beban kerja Jurnal, dan setelah beres, baru kita eksekusi rencana yang tadi.”“Oke.” Elok tersenyum seraya menepuk lengan Bumi yang sempat melihat Kiya. Namun, Elok melihat Kiya hanya sibuk dengan pekerjaannya, tanpa mau mengangkat wajah sama seka
“RESTU!”Elok terbelalak semakin lebar, saat melihat seorang wanita berseru memanggil nama Restu di ambang pintu. Bibir yang masih saling tertaut itu, segera Elok urai dengan paksa. Dengan tenaga yang ia punya, Elok mendorong Restu agar pria itu segera menjauh darinya.“Ra.” Restu menelan ludah, saat menatap calon istrinya sudah dipenuhi dengan amarah. Wajah putih Yura itu memerah, napasnya pun terbuang cepat di setiap tarikannya. Bukankah Restu sudah mengantarkan wanita itu sampai ke mobilnya. Namun, mengapa Yura kembali lagi ke lantai atas? “Ini nggak seperti yang kamu lihat.”“Terus yang aku lihat barusan itu apa!” Yura akhirnya menjerit keras dan melempar tasnya ke arah Restu yang baru saja berdiri, tapi tidak kena sama sekali. Yura masih terpaku di tempat, memandang sengit pada Elok dan calon suaminya bergantian. “Jadi, ini alasannya kamu pindah ke Antariksa? Ruangan kalian hadap-hadapan supaya bisa cepat—”“Jaga mulutmu itu, Cantik.” Kali ini, Elok hanya berada di tempat, waktu
“Aku nggak bisa lama-lama.” Elok duduk di samping Reno yang sudah berhadapan dengan Dewa. Meletakkan tasnya di meja, lalu mengangkat tangan untuk memanggil seorang pelayan. “Aku ke sini sama sopir papaku. Sebentar lagi mau jemput Kasih di sekolah.”“Nggak masalah, kami bisa sekalian makan siang,” ujar Dewa setelah meneguk air mineralnya.“Teh panas satu, dan jangan terlalu manis,” pinta Elok pada pelayan kafe yang baru berhenti di sisi meja. “Sama kentang goreng aja dua, biar cepat. Makasih.”Elok kembali mengalihkan wajah pada Dewa, juga Reno secara bergantian. “Per senin depan, aku sudah nggak masuk Antariksa, ya! Baru ini aku punya rekan kerja kurang ajar seperti Restu. Sudah dua kali dia nyosor macam soang nggak tahu diri, padahal knalpotnya sudah pernah aku tendang satu kali!”Dewa dan Reno saling pandang dalam diam. Belum ada lima menit wanita itu duduk di tempatnya, tapi Elok sudah berkicau panjang lebar.“Kamu disosor?” Dewa melepas tawa. Meskipun mengerti dengan maksud Elok,
“Mama mau ke mana?” selidik Kasih yang baru memasuki kamar Elok. Melihat sang mama tengah memakai bedak di depan meja rias dan sudah terlihat rapi, Kasih segera menghampiri lalu dengan cueknya duduk di pangkuan Elok.“Mama mau jalan sama om Lex sebentar,” kata Elok jujur, dan tidak ingin menutupi hal apapun dengan Kasih. “Ada kerjaan yang harus dibereskan.”“Papa ke mana?” tanya Kasih sambil mengambil salah satu lipstik yang ada di meja rias. Kasih membukanya, lalu memoleskannya dengan perlahan ke bibir mungilnya. “Kenapa nggak pernah datang ke sini?”Elok menghela sambil menutup bedak padatnya dan meletakkannya di meja rias. Tidak ada yang bisa Elok lakukan saat ini selain memberi pelukan pada Kasih, dan membiarkan gadis kecilnya bereksplorasi dengan beberapa make up yang ada di atas meja. Jika itu bisa mengalihkan dunia Kasih dari Harry, tidak mengapa.“Papa sibuk kerja, mungkin masih di luar kota.” Hanya jawaban seperti itu yang bisa diberikan oleh Elok. Ia juga tidak tahu, mengapa
“Cuma kita bertiga?”Elok menatap pintu ruang VIP yang kabarnya disewa oleh Harry untuk pertemuan malam ini. Namun, hampir lima menit Elok berbasa-basi dengan Vira, Harry tidak kunjung muncul di dalam ruang tersebut.“Mas Harry, nggak datang?” sambung Elok mempertanyakan keberadaan suaminya pada Vira.“Harry harus keluar kota pagi ini, jadi nggak bisa hadir,” jawab Vira kemudian segera menuju inti pembicaraan mereka malam ini. “Jadi, El, aku mau membahas masalah mediasi denganmu sebelum hari persidangan. Kita bisa pakai jasa konselor pernikahan yang sudah terkenal dan benar-benar ahli di bidangnya.”“Mbak, saya nggak mau mediasi, karena keputusan saya sudah final. Cerai.”“Setidaknya, pikirkan Kasih,” ujar Vira tiba-tiba memasang wajah sendu karena mengingat putranya. “Kamu nggak mau dia bernasib seperti Awan, kan?”“Vira, jangan bawa masalah pribadimu dalam pembahasan malam ini.” Lex berujar tegas, tapi tetap tenang. Sebenarnya, Lex bisa menebak mengapa Harry mendadak mengganti penga
Sudah lima menit berlalu setelah Lex memarkir mobilnya di pekarangan kediaman Mahardika, Elok tidak kunjung menunjukkan tanda-tanda akan terbangun dari tidurnya. Di satu sisi, Lex tidak tega untuk membangunkan Elok, karena jelas sekali terlihat guratan lelah dari wajah wanita itu. Mungkin karena kondisinya masih dalam masa pemulihan, Elok tidak bisa melakukan terlalu banyak aktivitas.Di sisi lainnya, Lex ingin mengetuk pintu rumah untuk memanggil Adi, tapi tidak enak jika harus mengganggu pria tua itu. Rasanya tidak mungkin jika Adi harus menggendong Elok ke dalam rumah, mengingat usia pria itu sudah tidak lagi muda. Untuk itu, Lex sudah mencoba berdehem sedikit keras untuk membangunkan Elok, tapi hasilnya sia-sia. Lex juga sudah menyebut nama Elok sebanyak tiga kali, tapi wanita itu tetap saja tidak bergerak dari posisinya. Tidak mungkin rasanya bila Lex harus keluar, dan meminta penjaga rumah untuk membawa Elok ke dalam rumah.Dengan berat hati, Lex akhirnya memutuskan untuk memba
“Papa mau pergi?”Elok yang baru saja menuruni tangga sedikit mengerutkan dahi. Adi sudah tampak rapi dengan kemeja yang dimasukkan ke dalam celana bahannya. Ada ikat pinggang mahal pemberian Dianti, yang selalu dipakai selama lima tahun belakangan ini dan tidak pernah diganti. Jika tidak ada pertemuan penting dengan relasi atau pejabat pemerintah, Adi tidak mungkin berpenampilan seperti sekarang. Bahkan, Adi tidak pernah serapi ini saat pergi ke kantor.“Hm, sebentar lagi.” Adi melihat Elok sebentar, lalu kembali menunduk untuk mengetikkan sesuatu pada layar ponselnya. “Papa bawa mobil sendiri, kamu pergilah sama Josep kalau mau ke kantor.”“Aku bisa pesan taksi,” tolak Elok seraya membuka resleting tas kerjanya untuk mengambil ponsel. “Lagian aku nggak lama di kantor. Cuma nemui bagian keuangan sama HRD, terus besok sudah nggak ngantor lagi.”“Pergi sama Josep,” titah Adi sekalu lagi. “Papa mau bawa mobil sendiri.”Elok tidak akan membantah kalau seperti itu keadaannya. Kemudian, El
Haluu Mba beb tersaiank … Saia langsung aja umumin daftar penerima koin GN untuk lima top fans pemberi gems terbanyak The Real CEO, yaaa : Amy : 1.000 koin GN + pulsa 200rb Call me Jingga : 750 koin GN + pulsa 150 rb LiaKim?? : 500 koin GN + pulsa 100 rb Tralala : 350 koin GN + pulsa 50 rb NuNa : 200 koin Gn + pulsa 25 rb Untuk nama yang saia tulis di atas, bisa klaim koin GN dengan screenshoot ID dan kirim melalui DM Igeeh @kanietha_ . Jangan lupa follow saia duluuuh .... Saia tunggu konfirmasi sampai hari rabu, 29 maret 2023, ya, jadi, saia bisa setor datanya hari kamis ke pihak GN. Tapi, kalau sudah terkumpul semua sebelum itu, bisa langsung saia setor secepatnya. Daaan, kiss banyak-banyak atas dukungan, juga atensinya untuk Mas Triplex dan Mba Elok …. Kissseeess …..
Kasih baru saja menuruni tangga rumah dengan seragam olah raga, ketika ia mendengar suara yang belakangan ini sungguh menyayat hati. Sudah semingguan ini, sang mama hampir tidak bisa melakukan kegiatan apapun karena selalu saja muntah-muntah. Awalnya, Kasih sangat gembira ketika mengetahui akan mendapatkan seorang adik lagi. Namun, setelah itu Kasih sungguh tidak tega saat melihat sang mama lebih banyak menghabiskan waktu di kamar untuk berbaring. Tidak seperti kehamilan adik pertamanya saat itu, yang tidak pernah ada drama muntah-muntah dan lemas seperti sekarang. “Mama, kenapa nggak di kamar aja?” Kasih segera menghampiri Elok yang menunduk di wastafel. Wajah sang mama pucat, dan sangat terlihat lelah. “Mama bosan di kamar,” jawab Lex yang tengah menggendong balita berusia dua tahun di tangan kanannya. Sementara satu tangan lagi, sibuk mengusap tengkuk sang istri yang belum memakan makanan apapun sedari tadi. “Nanti Ayah ke sekolah, mau ngurus antar jemput sekolah Kakak. Nggak pap
“Hei!” Elok menepuk bahu Gilang yang sejak tadi duduk diam, sambil memandang ke arah halaman depan kediaman Mahardika. Ada Kasih, Kiya, dan beberapa orang dari Event Organizer yang bernaung di bawah Gilang, tengah menyelesaikan dekorasi pesta kecil yang sebentar lagi akan adakan dengan amat sederhana. Hanya dihadiri keluarga inti, tanpa mengundang orang luar sama sekali. Pesta kecil usulan Kasih, yang lagi-lagi langsung disetujui oleh Lex tanpa harus berpikir dua kali. Kasih menginginkan sebuah pesta kejutan, untuk mengetahui jenis kelamin sang adik yang akan lahir tiga bulan lagi. Usut punya usut, ternyata ide tersebut Kasih dapatkan dari Bening saat suatu ketika Elok sempat telat menjemput di sekolah. Kedua orang itu berbicara panjang lebar, sampai Bening mengusulkan untuk membuat pesta kecil yang sudah sering dilakukan para kalangan artis atau pengusaha di ibukota. “Kalau suka, dilamar,” ujar Elok kemudian duduk pada kursi besi yang berada di teras. Tepat bersebelahan dengan Gilan
Bersyukur dan berterima kasih. Dua hal itu tidak pernah lepas diucapkan Elok setiap hari, atas kesempatan kedua yang sudah Tuhan berikan. Di antara masalah yang datang bertubi padanya kala itu, Elok masih memiliki keluarga dan banyak sahabat yang bisa dipercaya. Mereka sudah membantu Elok hingga bisa sampai di titik sekarang. Yaaa, walaupun ada yang harus ditukar dan dikorbankan, tetapi hasilnya sangat sepadan. “Jadi, misal nanti adeknya yang lahir cowok, Kasih harus sayang juga.” Sedari awal, Elok harus menjelaskan hal tersebut pada putrinya. Mau apapun jenis kelamin sang adik nanti, Kasih tetap harus bersikap baik karena mereka adalah saudara dan memiliki ibu yang sama. Tidak hanya itu sebenarnya, Kasih juga harus berbuat baik kepada semua orang, tidak terkecuali dan tidak boleh pilih kasih. “Kan, enak kalau punya adek cowok. Nanti kalau sudah besar, ada yang jagain Kasih.” Kasih bersila dan bersedekap sambil menatap perut sang mama yang duduk di tepi ranjangnya. Sebenarnya, saat
“Mas …” “Ya?” “Kenapa di dalam tadi lebih banyak diamnya?” Bila Elok perhatikan lagi, Lex lebih banyak diam sejak mereka dalam perjalanan ke rumah sakit. Pada dasarnya Lex juga bukan pria yang banyak bicara, tetapi, Elok merasa ada sesuatu yang mengganggu pikiran suaminya itu. “Apa ada masalah di kantor?” Lex mengeratkan tautan jemari mereka yang ada di atas pahanya. Menatap counter apotek, dari kursi tunggu yang mereka duduki saat ini. Ada banyak perasaan yang tidak bisa Lex urai, karena mengingat masa lalunya. Karena itulah, selama ia dan Elok berada di ruang periksa, Lex hanya mendengarkan semua perkataan dokter dengan seksama. Déjà vu. Ada rasa takjub dan bahagia yang sama, selama Lex berada di ruang periksa bersama Elok. Melihat layar hitam putih dengan sebuah kantung janin berusia lima minggu, sungguh membuat Lex tidak bisa berkata-kata. “Usia kehamilan almarhum istriku juga lima minggu waktu kami pertama periksa.” Kalimat itu muncul begitu saja dari mulut Lex. Ada hal yang
“Kalau lantainya ada tiga, bisa bikinin nggak, Om?” Sedari tadi, Kasih hanya menempel pada Aga. Ia melihat pria mencorat-coret desain interior rumah, yang rencananya akan direnovasi dalam waktu dekat.Aga lantas tertawa menatap Lex. Bagi Aga, tidak ada yang tidak mungkin. Hanya tinggal menunggu persetujuan pemilik rumah, barulah ia bisa mengerjakannya. “Gimana, Mas? Tiga lantai?”“Tapi dikasih lift, Om,” sambung Kasih semakin membuat Aga tertawa keras. “Kan, capek, kalau naik tangga dari lantai satu sampai atas.”“Sayang.” Elok meletakkan nampan berisi tiga buah mangkok es campur di atas meja, lalu menatanya satu per satu. “Rumah tiga lantai itu terlalu besar.”“Kan, biar opa sama oma nanti tinggal di rumah kita.” Kasih menggeleng saat melihat es campur yang disajikan Elok. “Terus, ada adek-adekku juga nanti, kan, banyak.”“Banyak?” Lagi-lagi Aga tertawa mendengar kepolosan Kasih. “Memangnya, Kasih mau adek berapa?”Kasih mengulurkan tangan kanannya pada Aga, dan membuka lebar telapak
“Sayang, A …” Lex kembali menutup mulut, saat ada dua orang perempuan yang kompak memberi tatapan tanya padanya. Tadinya, Lex mengira Kasih sedang berada di kamarnya. Namun, saat Lex baru saja keluar kamar setelah mandi, gadis kecil itu ternyata sedang berada di dapur bersama Elok. Kedua tangan Kasih berada di dalam sebuah mangkok besar dengan berlumur tepung. Rupanya, gadis itu sedang “membantu” Elok membuat makan malam.“Ayah manggil aku? Atau, Mama?” tanya Kasih kembali meremas-remas ayam yang sudah ia lumuri adonan tepung.“Mama!” Lex menunjuk Elok yang tengah mengaduk sesuatu di panci. Sungguh sebuah pemandangan hangat yang tidak pernah Lex lihat seumur hidupnya, dan ini sangat luar biasa. Lex membayangkan, apa jadinya bila ia tetap bersikukuh dengan kesendirian, dan hanya fokus pada rasa kehilangan yang selalu menggerogoti jiwa. Mungkin, Lex tidak akan bisa berada di situasi seperti sekarang.“Kenapa, Yah?” tanya Elok lalu mematikan kompor di hadapan. Namun, tetap membiarkan tun
Lex terdiam melihat kantong belanjaan yang baru saja ia letakkan di kitchen island. Setelah sekian lama hidup menyendiri, ini kali pertama Lex melihat barang belanjaan yang sangat banyak ada di tempatnya. “Aku rasa, kita harus pindah.” Lex mengeluarkan satu per satu barang belanjaan dari kantong, lalu meletakkannya di kitchen island. Sementara istrinya, sedang berjongkok di depan lemari pendingin untuk meletakkan beberapa minuman kemasan di dalam sana. “Kenapa?” Elok tidak menoleh, agar bisa membereskan semua barang belanjaan yang masih ada di kitchen island dengan cepat. “Kamar Kasih sepertinya kurang besar dengan boneka yang sebanyak itu.” Lex pernah membawa Kasih yang tertidur, ke kamar gadis itu di kediaman Mahardika. Namun, Lex tidak memperhatikan gadis kecil itu ternyata memiliki boneka yang begitu banyak di kamarnya. “Mas, jangan manjain Kasih,” pinta Elok memang harus sedikit lebih tegas pada Lex. Pria itu sepertinya sama sekali tidak bisa menolak permintaan Kasih. Sementar
“Mas?” Elok menoleh ke arah jendela saat tidak mendapati Lex berada di sampingnya. Masih terlihat gelap. Belum tampak bias cahaya yang menyelinap di antara celahnya. Elok melihat ke arah nakas. Jam digital yang berada di atasnya menunjukkan sudah menunjukkan pukul 04.58. Detik itu juga, Elok mengumpat. Segera bangkit dari tempat tidur, lalu berlari menuju kamar mandi. Elok mengambil bathrobe dan segera membalut tubuhnya seraya berjalan cepat keluar kamar. “Pagi, Mas!” Elok sempat terkejut saat mendapati Lex sudah berkutat di dapur. Entah apa yang dilakukan suaminya itu, tetapi Elok tidak bisa menghampiri Lex lebih dulu. Ada Kasih yang harus dibangunkan, agar tidak kesiangan berangkat ke sekolah. “Pa …” balasan Lex terhenti karena Elok baru saja tenggelam di kamar Kasih. Tidak terlalu penasaran dengan hal yang dilakukan Elok di kamar putrinya, Lex kembali melanjutkan membakar rotinya di atas wajan anti lengket. Tidak sampai lima menit berlalu, Elok kembali keluar dari kamar Kas