“Kira-kira, apa kata relasi bisnis Antasena Grup, kalau aku bawa kasus ini ke pengadilan?” Setelah menjelaskan duduk permasalahan yang terjadi pada Fahri dan Rendi dengan santai, tatapan Adi tertuju tajam pada Restu. Adi pun sudah memperlihatkan rekaman CCTV yang terjadi di ruang kerja Elok kemarin, pada ketiga pria yang duduk mengelilingi meja kaca persegi dan duduk saling berjauhan. Jelas-jelas Elok sudah mengusir pria itu pergi, tapi Restu justru melakukan hal yang tidak senonoh pada putrinya.Ayah mana yang tidak sakit hati, jika putrinya diperlakukan dengan kurang ajar seperti itu. Tidak perlu mengeluarkan amarah yang berlebihan, dan membuat drama untuk mencari perhatian. Cukup hadapi dengan elegan, dan membuat lawannya merasa terpojok dengan sendirinya.Ini baru Adi, dan ia tidak bisa membayangkan andai hal tersebut terjadi pada putri Dewa. Restu pasti sudah mati di tangan pria berwajah ramah tanpa dosa itu.“Kalian tahu, banyak orang penting yang ada di belakang Elok,” sambung
“Mama, papa di mana?”Elok sudah mencari Adi di ruang kerja pria itu, lalu terus menuju ke bagian belakang rumah, tapi tidak kunjung menemukan sang papa. Sampai akhirnya, Elok kembali masuk dan menjumpai sang mama baru memasuki dapur.“Di ruang tamu sama Abi.”“Mas Abi?” Elok beranjak cepat, tapi Dianti segera mencekal tangannya.“Kenapa harus Dewa yang lebih dulu tahu masalah dengan Restu, daripada keluargamu sendiri?” Tidak ada maksud untuk menghakimi, tapi Dianti harus mengingatkan putrinya bahwa Elok selalu memiliki keluarga yang akan selalu ada di belakangnya.“Ma.” Elok mengurungkan niatnya untuk bertemu Adi dan Abi di ruang tamu untuk berbicara dengan sang mama, sebentar. Kedatangan Abi di pagi hari seperti sekarang, pasti ada hubungannya dengan pertemuan Adi di Antariksa kemarin. “Aku cuma nggak mau nambahin pikiran Mama, sama papa. Masalahku di Antariksa, masalah cerai, belum lagi Gilang. Aku—"“Kami orangtuamu, El.” Setelah mendengar alasan putrinya, akhirnya Dianti bisa mem
“Pak Adi, ini …” Abi merapatkan diri pada Adi setelah membaca dokumen yang sudah diberikan oleh Kiya, pada setiap orang yang ada di ruangan meeting tersebut. Jelas Abi terkejut dengan isi surat perjanjian yang kini masih berada di tangannya. Adi sama sekali tidak bercerita masalah apapun mengenai kasus pelecehan yang menimpa Elok pagi tadi kepadanya. Pria tua itu hanya memintanya datang, untuk menemaninya menandatangani kesepakatan dengan pihak Antariksa.Abi mengira, semua itu hanyalah kesepakatan kerja atau ada beberapa perselisihan yang harus diselesaikan“Seperti yang sudah kamu baca.” Adi sendiri, sudah membacanya kemarin malam dan meminta Kiya merevisi beberapa bagian agar isinya semakin sempurna. Tatapan Adi tertuju dengan selidik pada Lex yang hanya bersedekap dalam diam dan tidak berkomentar. Wajah pria itu juga tidak memperlihatkan ekspresi apapun, sehingga membuat Adi bertanya-tanya sendiri. “Itulah yang terjadi.”Sementara Rohit, kuasa hukum dari pihak Fahri hanya bisa mem
“Pastikan kamu jemput Kasih pulang sekolah siang nanti.”Elok yang sedari tadi hanya berbaring malas di depan televisi, segera bangkit ketika mendengar suara Adi. Papanya itu sudah terlihat rapi, karena akan pergi ke Jurnal pagi ini.Setelah masalah Antariksa dan Restu selesai, Elok kini hanya memfokuskan diri pada Kasih dan perceraiannya. Untuk perihal karir, Elok akhirnya ikut membantu Adi untuk mengawasi kinerja Jurnal. Itupun, Elok tidak harus bekerja full time seperti di Antariksa sehingga ia bisa meluangkan waktu lebih untuk putrinya, seperti kata Dianti tempo hari.“Memang begitu rencananya,” jawab Elok sudah terlalu rindu dengan putrinya, karena selama akhir minggu kemarin Kasih berada di kediaman Lukito. Sebenarnya, Kasih sudah beberapa kali menelepon dan meminta Elok menghabiskan waktu bersama-sama dengan Harry. Namun, Elok tidak mengiyakan karena Harry pasti akan kembali meminta rujuk, lagi dan lagi.“Sidang cerai pertama hari ini, kan?” tanya Adi menghampiri Elok lalu dudu
Helaan napas Elok begitu panjang ketika Kasih ngambek, dan enggan bicara dengannya. Sejak Elok menjemput putrinya itu di sekolah, Kasih hanya menekuk wajah dan tidak berminat menanggapi semua obrolan yang ada. Kasih marah, karena Elok menolak pergi di akhir minggu bersama Harry untuk menghabiskan liburan di taman bermain.“Ayo keluar, opa sudah nunggu di dalam.” Ketika Elok berada di rumah sakit untuk membesuk Gilang, Adi menelepon untuk mengajaknya makan bersama Kasih sepulang sekolah. Untuk itulah, Elok membawa Kasih pergi ke restoran terlebih dahulu dan berharap mood putrinya akan kembali berubah setelah itu.Masih dengan wajah yang tertekuk dan bibir yang mengerucut, Kasih melepas sabuk pengaman lalu keluar dalam diam. Ia menunggu Elok menutup pintu mobil, barulah berjalan bersisian tanpa ingin berpegangan tangan seperti biasanya.Sesampainya di dalam, seorang pelayan segera mengantarkan mereka ke meja yang sudah direservasi sebelumnya. Akan tetapi, bukan Adi yang sudah terlihat d
“Bilang apa sama om Lex?” tanya Elok sembari berdiri dan menenteng tasnya di tangan kiri. Pada akhirnya, rasa kesal yang ada di hati Kasih bisa diredam, lewat makan siang yang sedikit kaku, tapi tetap hangat.“Makasih, Om!” Kasih meraih tangan Elok, dan satu tangan lainnya melambai dengan cepat pada Lex yang juga sudah berdiri dari kursinya. “Besok malam aku telpon, ya! Kalau, Om Lex sudah pulang kerja.”Lex tersenyum, lalu mengangguk kecil. “Oke.”“Maaf, ya, Mas, sudah ngerepotin.” Yang semakin membuat Elok tidak nyaman ialah, pria itu tidak memperkenankan Elok membayar bill makan siang mereka. Padahal, Adilah yang menjadi biang kerok dari pertemuan mereka saat ini. Oleh sebab itulah, Elok merasa bertanggung jawab atas bill yang harus dibayar tersebut, bukan Lex. “Gara-gara papa, Mas Lex jadi harus buang-buang waktu begini.”“Saya nggak repot, jadi santai aja,” sanggah Lex sudah mengitari meja dan melangkah bersama di sebelah Kasih.Elok menggulirkan bola matanya saat mendengar Lex k
“Papa jam berapa ke Jurnal?” tanya Elok bersandar pada bingkai pintu kamar Adi, yang baru saja dibuka oleh sang papa. “Aku mau bareng.”“Siang, jam sembilan.” Adi melihat jam dinding yang masih menunjukkan pukul setengah enam pagi. Kemudian, ia membalik tubuh Elok dan menggesernya keluar karena Adi hendak menutup pintu kamarnya. Adi hendak menikmati udara pagi, sembari duduk di teras belakang dengan menikmati secangkir minuman hangat. “Kasih bilang, sabtu ini kalian mau ke apartemen Lex sama temennya si Awan itu.”Elok mendesah panjang dan langkahnya seketika berubah gontai saat terus berjalan menuju dapur. Karena Adi mempertanyakan hal tersebut, akhirnya Elok kembali mengingat kejadian pada saat makan siang kemarin.“Gara-gara Papa bikin janji palsu.” Elok mendadak kesal karena ulah Adi. “Ngajak makan, tapi nggak datang, karena mau ngerjain aku sama mas Triplek itu.”Adi tertawa sambil menghampiri Dianti, yang tengah menemani Kasih sarapan di meja makan terlebih dahulu. “Kopi.” Dia
Adi merapatkan diri pada Elok yang duduk bersila di sofa dan berbicara pelan, untuk menggoda putrinya. “Pacarmu itu, harus sering-sering ngobrol sama Kasih, biar nggak kaku seperti triplek.” Elok mengalihkan wajah dari Kasih, dengan memberi sorot mata yang begitu tajam pada Adi. “Papa, aku masih istri orang, dan mas Triplek bukan pacarku.” Adi mengangguk-angguk, menatap punggung Kasih yang duduk di karpet sambil memandang ponsel yang di letakkan di meja. Gadis itu terus saja mengajukan banyak pertanyaan pada Lex, mengenai ruangan-ruangan yang ada di unit pria itu. “Memang sudah nggak pantas lagi kalau pacaran, mending langsung nikah,” kata Adi sambil menyenggol lengan Elok dengan terkekeh pelan. “Hiiiss, Papa!” desis Elok sudah terlampau geregetan dengan sang papa. “Coba Papa pikir, kira-kira apa kata orang kalau aku langsung nikah sama mas Triplek selesai masa iddah.” “Oh, jadi begitu rencananya?” Adi menahan tawa dan menepis ucapan putrinya. “Habis iddah, kamu langsung mau nika