Helaan napas Elok begitu panjang ketika Kasih ngambek, dan enggan bicara dengannya. Sejak Elok menjemput putrinya itu di sekolah, Kasih hanya menekuk wajah dan tidak berminat menanggapi semua obrolan yang ada. Kasih marah, karena Elok menolak pergi di akhir minggu bersama Harry untuk menghabiskan liburan di taman bermain.“Ayo keluar, opa sudah nunggu di dalam.” Ketika Elok berada di rumah sakit untuk membesuk Gilang, Adi menelepon untuk mengajaknya makan bersama Kasih sepulang sekolah. Untuk itulah, Elok membawa Kasih pergi ke restoran terlebih dahulu dan berharap mood putrinya akan kembali berubah setelah itu.Masih dengan wajah yang tertekuk dan bibir yang mengerucut, Kasih melepas sabuk pengaman lalu keluar dalam diam. Ia menunggu Elok menutup pintu mobil, barulah berjalan bersisian tanpa ingin berpegangan tangan seperti biasanya.Sesampainya di dalam, seorang pelayan segera mengantarkan mereka ke meja yang sudah direservasi sebelumnya. Akan tetapi, bukan Adi yang sudah terlihat d
“Bilang apa sama om Lex?” tanya Elok sembari berdiri dan menenteng tasnya di tangan kiri. Pada akhirnya, rasa kesal yang ada di hati Kasih bisa diredam, lewat makan siang yang sedikit kaku, tapi tetap hangat.“Makasih, Om!” Kasih meraih tangan Elok, dan satu tangan lainnya melambai dengan cepat pada Lex yang juga sudah berdiri dari kursinya. “Besok malam aku telpon, ya! Kalau, Om Lex sudah pulang kerja.”Lex tersenyum, lalu mengangguk kecil. “Oke.”“Maaf, ya, Mas, sudah ngerepotin.” Yang semakin membuat Elok tidak nyaman ialah, pria itu tidak memperkenankan Elok membayar bill makan siang mereka. Padahal, Adilah yang menjadi biang kerok dari pertemuan mereka saat ini. Oleh sebab itulah, Elok merasa bertanggung jawab atas bill yang harus dibayar tersebut, bukan Lex. “Gara-gara papa, Mas Lex jadi harus buang-buang waktu begini.”“Saya nggak repot, jadi santai aja,” sanggah Lex sudah mengitari meja dan melangkah bersama di sebelah Kasih.Elok menggulirkan bola matanya saat mendengar Lex k
“Papa jam berapa ke Jurnal?” tanya Elok bersandar pada bingkai pintu kamar Adi, yang baru saja dibuka oleh sang papa. “Aku mau bareng.”“Siang, jam sembilan.” Adi melihat jam dinding yang masih menunjukkan pukul setengah enam pagi. Kemudian, ia membalik tubuh Elok dan menggesernya keluar karena Adi hendak menutup pintu kamarnya. Adi hendak menikmati udara pagi, sembari duduk di teras belakang dengan menikmati secangkir minuman hangat. “Kasih bilang, sabtu ini kalian mau ke apartemen Lex sama temennya si Awan itu.”Elok mendesah panjang dan langkahnya seketika berubah gontai saat terus berjalan menuju dapur. Karena Adi mempertanyakan hal tersebut, akhirnya Elok kembali mengingat kejadian pada saat makan siang kemarin.“Gara-gara Papa bikin janji palsu.” Elok mendadak kesal karena ulah Adi. “Ngajak makan, tapi nggak datang, karena mau ngerjain aku sama mas Triplek itu.”Adi tertawa sambil menghampiri Dianti, yang tengah menemani Kasih sarapan di meja makan terlebih dahulu. “Kopi.” Dia
Adi merapatkan diri pada Elok yang duduk bersila di sofa dan berbicara pelan, untuk menggoda putrinya. “Pacarmu itu, harus sering-sering ngobrol sama Kasih, biar nggak kaku seperti triplek.” Elok mengalihkan wajah dari Kasih, dengan memberi sorot mata yang begitu tajam pada Adi. “Papa, aku masih istri orang, dan mas Triplek bukan pacarku.” Adi mengangguk-angguk, menatap punggung Kasih yang duduk di karpet sambil memandang ponsel yang di letakkan di meja. Gadis itu terus saja mengajukan banyak pertanyaan pada Lex, mengenai ruangan-ruangan yang ada di unit pria itu. “Memang sudah nggak pantas lagi kalau pacaran, mending langsung nikah,” kata Adi sambil menyenggol lengan Elok dengan terkekeh pelan. “Hiiiss, Papa!” desis Elok sudah terlampau geregetan dengan sang papa. “Coba Papa pikir, kira-kira apa kata orang kalau aku langsung nikah sama mas Triplek selesai masa iddah.” “Oh, jadi begitu rencananya?” Adi menahan tawa dan menepis ucapan putrinya. “Habis iddah, kamu langsung mau nika
“Silakan masuk,” ujar Lex setelah membuka pintu apartemennya untuk Elok maupun Kasih. Ketika Elok memberitahukan mereka sudah sampai, Lex segera turun ke lantai lobi untuk menjemput keduanya. Bagi Lex, semua yang dilakukannya kali ini benar-benar terasa aneh. Menjemput seorang wanita dan putrinya di lobi, dan membawa ke unitnya untuk makan malam.Namun, sepertinya tidak hanya Lex seorang yang merasakan keanehan tersebut, tapi pandangan orang-orang yang berada di lobi pun juga seolah mengatakan hal yang sama.Lex membawa seorang wanita dan putrinya? Semua itu benar-benar di luar dugaan.“Makasih, Mas.” Elok mengangguk sambil melewati Lex dengan menggandeng Kasih masuk ke dalam. Setelah melewati lorong pendek berukuran dua setengah meter, mata Elok disajikan ruangan luas yang hanya berisi perabotan inti.Di sebelah kanan, ada sebuah ruang yang cukup luas, dengan sofa letter L berukuran besar yang menghadap televisi. Dinding yang berada di hadapan Elok berdiri saat ini, adalah dinding ka
“Jadi, jangan berpikir ke arah sana, karena aku sudah nggak tertarik dengan hal seperti itu.”Aga bersandar mendengar ucapan Lex. Ia merentangkan satu tangan di atas punggung sofa, lalu meletakkan satu kakinya ke atas paha yang lain. Baru kali ini Aga melihat pria seperti Lex, tetap setia menyendiri dan sama sekali tidak menjalin hubungan dengan siapa pun setelah istrinya tiada.“Why?” tanya Aga penasaran. Bagaimana bisa Lex betah hidup seorang diri hingga saat ini.“Why not?” balas Lex. “Kebahagiaan seseorang nggak bisa diukur dengan ada pasangan, atau nggak. Dan sejauh ini, aku bahagia hidup sendiri dan—”“Menyedihkan,” putus Aga. “Bukan masalah kamu bahagia hidup tanpa, atau dengan pasangan, Mas. Tapi, hidupmu itu betul-betul menyedihkan.”“Di bagian mananya?” Lex tidak akan pernah tersinggung dengan perkataan siapa pun, selagi orang tersebut berbicara langsung di hadapannya. Andaipun merasa kesal seperti ulah Bening yang selalu saja usil, Lex merasa hal itu masih wajar karena ia h
“Kami duluan, El.”Tadinya, Aga hendak menemani Elok sampai sopirnya datang menjemput. Namun, Bening sudah sibuk memberi kode agar mereka pulang lebih dulu, dan meninggalkan Elok bersama Lex. Apalagi, ada Awan yang sudah tertidur di sofa bersama Kasih karena terlalu lelah bermain, dan bertengkar.“Nggak perlu diantar.” Bening mengulurkan kedua tangan pada Lex secepat kilat. “Kami tahu di mana pintunya. Jadi, Pak Lex di sini aja.” Satu anggukan kecil Bening berikan pada Elok lalu melambai kecil. “Duluan, ya, Bu El, moga sopirnya datangnya masih lama.”“Beb! Ayo!” Aga yang tengah membawa Awan satu sisi pundaknya itu lantas menghela. Sedari tadi, topik obrolan istrinya itu selalu penuh dengan umpan untuk memancing Lex. Namun, yang dipancing sepertinya tidak terpengaruh sama sekali. Lex memang kerap terpojok, tapi tetap bisa mengendalikan diri dan suasana.“Oia, jangan lupa datang minggu depan, ya.” Bening melambaikan tangan pada Elok dan Lex sambil menyusul Aga yang berjalan lebih dulu m
“Sukses ngedatenya tadi malam?” Dengan perlahan, Adi duduk di kursi teras belakang seperti biasanya lalu menyeruput kopi yang dibawanya dari dalam.Elok menurunkan buku yang dibacanya untuk melihat Adi. Pria itu tersenyum, seolah menahan tawa saat sorot mata mereka bertemu. Entah mengapa, Elok curiga jika drama ban mobil bocor tadi malam adalah ulah Adi. Papanya itu pasti menyuruh Josep melakukan hal tersebut, agar tidak menjemput Elok ke apartemen Lex. “Ban mobil papa bocor tadi malam.” Elok menutup bukunya lalu meletakkan di pangkuan.“Ooo …” Adi hanya mengangguk-angguk dengan menampilkan wajah tidak serius. “Untung ada Lex yang antar kamu pulang.”“Intip aja terus di CCTV.”“Papa nggak ngintip,” ralat Adi. “Papa bisa lihat langsung dari hape, ngapain harus ngintip.”Andai Adi tahu hal memalukan apa yang dilakukan Elok tadi malam, papanya itu pasti akan tergelak mengejeknya. Elok tidak bermaksud untuk merayu Lex, hanya ingin mengetahui respons dari pria itu saja. Ternyata, tanggap