Elok tersadar dari lamunan ketika suara klakson mobil bersahutan tanpa henti di belakangnya. Karena terlalu banyak yang singgah di kepala, Elok sampai-sampai tidak memperhatikan lampu lalu lintas yang sudah berubah warna. Kalau begini, sepertinya untuk sementara Elok butuh sopir agar tidak terjadi sesuatu pada dirinya ketika mengemudi.Sejak keluar dari lift bersama Harry beberapa waktu lalu, mereka hanya berdiam diri. Tidak lagi berdebat, karena sudah lelah dengan masalah yang menimpa pribadi masing-masing.Mungkin, ini juga cobaan untuk Harry. Semua yang diucapkan Harry pada Elok, mungkin saja ada benarnya. Pria itu hanya menjadikan Sandra sebagai pelampiasan saja. Untuk bersenang-senang dan tidak lebih dari itu. Namun, kesenangan itu akhirnya sudah menjerumuskan Harry ke dalam jurang yang sudah terlalu dalam. Sehingga, Harry sendiri sudah tidak bisa keluar dari sana.Setelah sampai di tempat yang dituju, Elok segera keluar dengan hanya menggunakan sandal jepit. Masuk ke dalam Firma
Elok menghela panjang ketika baru saja membuka mata. Belum bisa berkata apapun, dan hanya melihat langit-langit ruang yang tampak asing baginya. Sejenak, Elok kembali menutup mata untuk mengingat kejadian yang menimpanya. Namun, sebuah suara wanita yang terasa sangat dekat di telinga, seketika itu juga segera menyadarkannya.“Bu Elok! Sudah sadar?”Elok kembali membuka mata, dan menatap seorang wanita cantik yang tampak tidak asing baginya. Namun, Elok lupa atau tidak pernah memperhatikan nama yang tertera pada name tag wanita itu.“Mbak …”“Arista!” serunya lega. “Sekretarisnya pak Lex.”“Ohh …” Akhirnya, Elok mengingat dengan jelas semua yang telah terjadi. Karena itulah, kedua tangannya reflek terangkat untuk kembali memijat kepalanya. Ternyata, rasa pusing itu masih saja betah tinggal di kepala. “Mas Lex, di mana?”“Pak Lex lagi di ruang meeting, ada tamu,” jawab Arista kemudian membantu Elok yang berusaha untuk bangkit dari tidurnya. “Tadi, beliau juga sudah telpon dokter, karena
“Kenapa, ke parkiran basement?”Elok menunjuk ke arah drop off lobby, tapi mobil yang dibawa Lex terus saja turun memasuki parkiran basement gedung apartemen.“Mas Lex bisa turunkan saya di depan pintu lobi, terus bisa langsung pulang,” lanjut Elok jadi semakin merasa tidak nyaman, karena Lex sudah mengantarnya sampai di lokasi janji temunya dengan Aga.“Apa sopir keluarga Mahardika sudah sampai?” Bukannya menanggapi perkataan Elok, Lex justru bertanya tentang hal lain.“Lagi otw,” jawab Elok kemudian mengembalikan topik pembicaraan mereka semula. “Kalau tahu begini, saya nggak mau diantar sampai sini.”“Saya tinggal di sini juga.”Akhirnya, Elok dibuat melongo karena jawaban Lex. Kenapa pria itu tidak mengatakan hal tersebut sedari tadi, jika memang tinggal di gedung apartemen yang jadi tujuan Elok?“Aga di lantai 40, saya di atasnya,” tambah Lex kemudian menghentikan mobilnya, tepat di sebelah pintu lobi yang berdekatan dengan kafe yang ada di lantai bawah. “Kafenya, ada di dalam. M
“Kita jadi ke Singapur, kan, Ma?”Setelah mencium pipi kiri dan kanan Elok untuk berpamitan, Kasih tidak melepaskan tangannya yang mengalung pada leher sang mama. Bibir mungilnya membentuk senyum lebar, berharap liburan akhir minggunya tidak akan batal.“Jadi dong!” Elok lantas memeluk Kasih dengan menyimpan banyak rasa getir di dalam dada. Bagaimana nasib putrinya nanti, jika Elok benar-benar telah bercerai dengan Harry?Bagaimana perasaan Kasih, jika Harry akhirnya menikah dengan Sandra?Bagaimana pula perasaan Kasih ketika tahu akan memiliki adik, tapi bukan dari rahim Elok?Begitu banyak masalah yang hinggap di kepala Elok, sampai-sampai ia tidak bisa berpikir sama sekali.Kasih mengurai pelukannya. “Om Gilang sama tante Kiya jadi ikut, kan?”“Kiya?” celetuk Gilang yang baru saja berdiri di samping Kasih. “Kiya … si Saskiya?”Elok dan Kasih kompak mendongak, dan menatap datar pada Gilang yang masih terlihat berantakan. Pria itu baru bangun, dan langsung turun ke bawah tanpa mandi
"Kiya, Sayang!" sapa Elok dengan terburu sambil menghampiri Kiya yang berada di mejanya. "Tolong hubungi Gilang, dan pastikan dia dapat saham yang saya mau.” Kiya yang baru berdiri dari tempat duduknya itu, hanya bisa mengangguk. Belum sempat ia memberi jawaban, tubuh Elok langsung tenggelam di balik pintu ruang kerja wanita itu. Padahal, Kiya baru mau mengabarkan jika Restu baru saja memasuki ruang kerja Elok. Seperti yang sudah-sudah, Kiya mana berani mengatakan tidak pada Restu, karena statusnya hanyalah seorang bawahan di Antariksa. “Kamu lagi!” ketus Elok memilih duduk di sofa terlebih dahulu, karena Restu saat ini berada di kursi kerjanya. “Mau apa lagi? Apa yang kemarin belum cukup? Mau aku tampar lagi?” Tangan Restu langsung terangkat mengusap pipi kirinya. Kemarin, merupakan kali pertama ada seseorang yang menamparnya dengan begitu keras. Bahkan, kedua orangtuanya tidak pernah memperlakukan Restu dengan kasar seperti itu. “Pak Adi mulai turun tangan rupanya.” Restu mendeng
“Mi!” Elok mengetuk kaca pintu mobil yang mulai berjalan pelan. Mencoba menarik handle pintu, dan kembali mengetuk secara bergantian, meskipun tahu itu percuma. “Mami! Jangan, Mi! Mami!”Elok mendesah pasrah dan frustrasi, ketika tidak bisa lagi menjangkau laju mobil tersebut. Sejenak, Elok mengatur napas untuk menenangkan diri. Mencoba berpikir, langkah apa yang harus Elok lakukan agar Joana tidak melakukan hal yang buruk pada Sandra dan calon bayinya.Sebenci-bencinya Elok dengan Sandra, tapi bayi yang dikandung wanita itu tidaklah bersalah. Untuk itu, Elok tidak bisa membiarkan apapun terjadi dengan janin tersebut. Karena Elok tidak mungkin mengejar Joana dengan berbagai masalah yang ada di kantor, maka ia segera menghubungi Harry. “El, Saya—”“Mas,” potong Elok tergesa sambil melangkah cepat masuk ke dalam lobi kantor. “Mami! Kemungkinan besar sekarang dalam perjalanan ke tempat Sandra. Aku yakin Mami mau nyuruh Sandra untuk gugurin kandungannya.”“Oh.”Elok berhenti melangkah.
Brak! Elok terkesiap. Kedua tangannya reflek menyentuh dada, saat mendengar suara pintu ruang kerjanya dibuka secara kasar. Di ujung sana, Elok melihat Kiya memasang wajah pasrah karena memang tidak bisa mencegah Restu yang selalu saja masuk seenaknya. “Sialan kamu, El!” maki Restu sambil menghampiri meja kerja Elok dan berdiri di sudut yang berseberangan dengan wanita itu. “Aku mau pergi,” sahutnya setelah dengan cepat menguasai diri. Elok yang baru saja mematikan perangkat komputernya itu, segera berdiri seraya meraih tas kerjanya. “Dan nggak punya waktu untuk ngeladeni kesialan kamu.” “Berengsek!” Restu kembali memaki Elok. “Hm, aku tahu kamu memang berengsek,” balas Elok tetap menanggapi Restu dengan santai. Lelah rasanya jika semua masalah harus dihadapi dengan emosi yang meledak-ledak. Apalagi, yang dihadapi Elok saat ini adalah Restu. “EL!” Dengan emosi yang sudah memuncak, Restu mengitari meja dan meraih siku Elok yang sedari tadi tidak mengacuhkan dirinya. Wanita itu, si
“Saya tidak mau berpanjang-panjang.” Elok mengambil alih rapat, setelah basa basi pembuka yang selalu saja terkesan membosankan. “Melanjutkan wacana rapat dua hari yang lalu, saya keberatan jika wajah direksi Antariksa mengalami pergantian. Seperti yang sudah saya utarakan juga sebelumnya, saat ini posisi saya juga termasuk pemegang saham dan saya berhak untuk dilibatkan dalam perihal perubahan yang ada di perusahaan ini, tanpa terkecuali.”“Bu Elok.” Fahri akhirnya membuka suara. “Bu Elok tahu sendiri kalau saham kita semakin turun. Belum lagi, ada pihak yang dengan sengaja memprovokasi penyandang dana untuk pecah kongsi. Saya rasa, Bu Elok yang lebih tahu akan hal tersebut.”Elok tersenyum, dan tatapannya beralih pada Restu. “Ya, penyandang dana kita akhirnya menyatakan mundur. Saya juga baru tahu itu dari Pak Restu kemarin. Terima kasih atas infonya.” Setelahnya Elok berdiri dari kursinya, lalu berjalan mundur dua langkah. “Begini Bapak dan Ibu sekalian yang saya hormati.” Elok be