“Mi!” Elok mengetuk kaca pintu mobil yang mulai berjalan pelan. Mencoba menarik handle pintu, dan kembali mengetuk secara bergantian, meskipun tahu itu percuma. “Mami! Jangan, Mi! Mami!”Elok mendesah pasrah dan frustrasi, ketika tidak bisa lagi menjangkau laju mobil tersebut. Sejenak, Elok mengatur napas untuk menenangkan diri. Mencoba berpikir, langkah apa yang harus Elok lakukan agar Joana tidak melakukan hal yang buruk pada Sandra dan calon bayinya.Sebenci-bencinya Elok dengan Sandra, tapi bayi yang dikandung wanita itu tidaklah bersalah. Untuk itu, Elok tidak bisa membiarkan apapun terjadi dengan janin tersebut. Karena Elok tidak mungkin mengejar Joana dengan berbagai masalah yang ada di kantor, maka ia segera menghubungi Harry. “El, Saya—”“Mas,” potong Elok tergesa sambil melangkah cepat masuk ke dalam lobi kantor. “Mami! Kemungkinan besar sekarang dalam perjalanan ke tempat Sandra. Aku yakin Mami mau nyuruh Sandra untuk gugurin kandungannya.”“Oh.”Elok berhenti melangkah.
Brak! Elok terkesiap. Kedua tangannya reflek menyentuh dada, saat mendengar suara pintu ruang kerjanya dibuka secara kasar. Di ujung sana, Elok melihat Kiya memasang wajah pasrah karena memang tidak bisa mencegah Restu yang selalu saja masuk seenaknya. “Sialan kamu, El!” maki Restu sambil menghampiri meja kerja Elok dan berdiri di sudut yang berseberangan dengan wanita itu. “Aku mau pergi,” sahutnya setelah dengan cepat menguasai diri. Elok yang baru saja mematikan perangkat komputernya itu, segera berdiri seraya meraih tas kerjanya. “Dan nggak punya waktu untuk ngeladeni kesialan kamu.” “Berengsek!” Restu kembali memaki Elok. “Hm, aku tahu kamu memang berengsek,” balas Elok tetap menanggapi Restu dengan santai. Lelah rasanya jika semua masalah harus dihadapi dengan emosi yang meledak-ledak. Apalagi, yang dihadapi Elok saat ini adalah Restu. “EL!” Dengan emosi yang sudah memuncak, Restu mengitari meja dan meraih siku Elok yang sedari tadi tidak mengacuhkan dirinya. Wanita itu, si
“Saya tidak mau berpanjang-panjang.” Elok mengambil alih rapat, setelah basa basi pembuka yang selalu saja terkesan membosankan. “Melanjutkan wacana rapat dua hari yang lalu, saya keberatan jika wajah direksi Antariksa mengalami pergantian. Seperti yang sudah saya utarakan juga sebelumnya, saat ini posisi saya juga termasuk pemegang saham dan saya berhak untuk dilibatkan dalam perihal perubahan yang ada di perusahaan ini, tanpa terkecuali.”“Bu Elok.” Fahri akhirnya membuka suara. “Bu Elok tahu sendiri kalau saham kita semakin turun. Belum lagi, ada pihak yang dengan sengaja memprovokasi penyandang dana untuk pecah kongsi. Saya rasa, Bu Elok yang lebih tahu akan hal tersebut.”Elok tersenyum, dan tatapannya beralih pada Restu. “Ya, penyandang dana kita akhirnya menyatakan mundur. Saya juga baru tahu itu dari Pak Restu kemarin. Terima kasih atas infonya.” Setelahnya Elok berdiri dari kursinya, lalu berjalan mundur dua langkah. “Begini Bapak dan Ibu sekalian yang saya hormati.” Elok be
“Sayang!” Elok merunduk sebentar untuk mensejajarkan tubuhnya dengan Kasih. “Sama tante Kiya dulu ke dalam, ya. Mama, nunggu om Gilang sekalian mau nelpon dulu di sini.”“Iya!” Kasih mengangguk, dan langsung melenggang masuk ke dalam premier lounge bandara dengan percaya diri. Karena sudah terbiasa bepergian, Kasih tidak lagi canggung ketika harus memasuki suatu tempat seperti sekarang. Yang terpenting, ada satu orang dewasa yang sudah diutus Elok untuk mengawasinya.Kiya buru-buru mengikuti Kasih, dan meninggalkan Elok yang langsung mengotak-atik ponselnya untuk menghubungi Gilang.Sejak Elok berangkat dari rumah bersama Kasih dan Kiya, Gilang sama sekali tidak bisa dihubungi. Pria itu hanya mengirimkan sebuah pesan, sedang berada dalam perjalanan ke bandara. Namun, sampai Kasih dan Kiya sudah memasuki premier lounge, batang hidung Gilang belum tampak juga.Hingga berulang kali Elok menelepon, tapi adiknya itu tidak juga menerima panggilannya.“Malam Bu Elok.”Satu sapaan ramah itu,
“Mama!”Elok segera memeluk Dianti yang tiba-tiba menumpahkan tangis di pelukannya. Tubuh gemetar itu, sungguh membuat Elok merasa bersalah karena sudah berpikiran yang tidak-tidak tentang Gilang.“Papa!”Belum sempat Elok bertanya tentang keadaan Gilang, ia mendengar Kasih memanggil papanya. Itu berarti, Harry juga berada di tempat yang sama dengan Elok. Karena itulah, Elok mengurai pelukannya dengan sang mama lalu menoleh ke arah mana Kasih berlari. Setelah memastikan Harry juga berada di rumah sakit, barulah Elok mengalihkan fokusnya kembali pada Dianti.“Gilang—”“Papamu lagi … donor, transfusi.” Dianti sampai tidak bisa mengatur ucapannya karena terlalu khawatir dengan putra bungsunya itu.Elok yang mengerti dengan ucapan Dianti, lantas mengangguk. “Mama duduk dulu,” pintanya lalu membawa sang mama duduk pada kursi besi yang di sana.“Gimana Gilang, Ma?” tanya Harry sudah menggandeng Kasih dengan erat.Dianti menggeleng. Mulutnya sudah tidak mampu menjawab ketika mengingat kondis
“Sudah siap buat besok?” Adi menghampiri putrinya yang sedari tadi hanya sibuk dengan laptop dan ponselnya. Sejak siang hari, Elok sudah menggantikan Adi untuk menjaga Gilang yang masih terbaring lemah di ranjang pasien. Sementara Kasih, kini berada di tangan Harry dan keluarga pria itu. “Sudah.” Elok menatap lurus pada ranjang pasien, lalu menoleh pada Adi yang baru duduk di sebelahnya. Pria itu baru saja datang, setelah Dianti pulang ke rumah untuk beristirahat. “El, apa ini semua yang benar-benar kamu inginkan?” Adi menutup laptop Elok yang berada di pangkuan wanita itu. “Maksud Papa, kamu bisa tinggalkan Antariksa dan selesai. Kamu nggak perlu pusing ke sana kemari untuk memenuhi egomu itu.” “Pa.” Elok mengusap wajah lelahnya sebentar. “Setelah semua ini selesai, aku juga mau tinggalkan Antariksa.” “Semua ini?” Adi mengulang inti ucapan putrinya. “Yang mana? Perebutan jabatan, kah? Atau, kamu selesai dengan egomu?” “Aku nggak tahu.” Elok menyingkirkan laptop di pangkuan, lalu
“El, suruh sekretarismu bikini aku kopi satu lagi.”Elok melihat cangkir kopi yang ternyata sudah habis dalam sekejap mata. Tatapan Elok kemudian berpindah pada pria dengan wajah baby face di depannya. Kulit pria itu bahkan jauh lebih bersih dan terawat, daripada Elok yang notabene adalah seorang wanita tulen.“Yakin?” tanya Elok memastikan terlebih dahulu. “Aku nggak mau nanggung kalau kamu sampe murus-murus.”“Mataku berat, anakku rewel semalaman.”“Resiko punya bayi, ya, begitu, itu, Wa,” seloroh Elok langsung menyalakan ponsel, dan membuka sebuah aplikasi chat. Dengan lincah, jemari Elok mengetik permintaan mantan juniornya ketika masih di kampus dulu.Dewa August Lee, anggota dewan yang sebentar lagi akan mengakhiri masa jabatannya.“Tapi, kemaren-kemarin nggak begitu,” sanggah Dewa kemudian menutup matanya, karena sungguh tidak bisa menahan kantuk. “Banguni aku, kalau rapatnya mau mulai.”“Yaaa.” Elok tidak akan lagi memberi protesnya pada Dewa dan membiarkan pria itu menikmati
“Ck, dasar serakah.”Dewa mengulurkan tangan pada Elok, yang mengantarkannya hingga pelataran lobi. Karena rapat pagi ini sudah diselesaikan dengan baik dan dalam waktu singkat, maka saatnya Dewa pergi dari Antariksa.“Kamu itu sudah punya Jurnal, tapi masih mau nguasai Antariksa,” tambah Dewa,Elok menyambut tangan Dewa dengan kekehan. Kemudian, tangan lainnya menepuk punggung tangan pria itu dengan sedikit keras. “Aku cuma mau kasih pelajaran sama mereka. Tapi aku janji, investasimu di sini nggak akan sia-sia.”“Aku tahu.” Dewa dan Elok saling melepas jabat tangan mereka. Senyum Dewa lantas tersemat tipis, pada Elok. “Dan, aku berubah pikiran, El.”“Maksudnya?”“Aku mau Antariksa beralih di bawah naungan A-Lee Corp,” kata Dewa sambil menyentuh sisi atas pintu mobil yang baru saja dibukakan oleh Riko.“Kamu—”“Aku mau ambil alih perusahaan ini,” putus Dewa tenang dengan tatapan yang tertuju pada gedung Antariksa. “Jadi, tolong dibantu dan diusahakan. Sebelum nantinya kamu mundur dari
Haluu Mba beb tersaiank … Saia langsung aja umumin daftar penerima koin GN untuk lima top fans pemberi gems terbanyak The Real CEO, yaaa : Amy : 1.000 koin GN + pulsa 200rb Call me Jingga : 750 koin GN + pulsa 150 rb LiaKim?? : 500 koin GN + pulsa 100 rb Tralala : 350 koin GN + pulsa 50 rb NuNa : 200 koin Gn + pulsa 25 rb Untuk nama yang saia tulis di atas, bisa klaim koin GN dengan screenshoot ID dan kirim melalui DM Igeeh @kanietha_ . Jangan lupa follow saia duluuuh .... Saia tunggu konfirmasi sampai hari rabu, 29 maret 2023, ya, jadi, saia bisa setor datanya hari kamis ke pihak GN. Tapi, kalau sudah terkumpul semua sebelum itu, bisa langsung saia setor secepatnya. Daaan, kiss banyak-banyak atas dukungan, juga atensinya untuk Mas Triplex dan Mba Elok …. Kissseeess …..
Kasih baru saja menuruni tangga rumah dengan seragam olah raga, ketika ia mendengar suara yang belakangan ini sungguh menyayat hati. Sudah semingguan ini, sang mama hampir tidak bisa melakukan kegiatan apapun karena selalu saja muntah-muntah. Awalnya, Kasih sangat gembira ketika mengetahui akan mendapatkan seorang adik lagi. Namun, setelah itu Kasih sungguh tidak tega saat melihat sang mama lebih banyak menghabiskan waktu di kamar untuk berbaring. Tidak seperti kehamilan adik pertamanya saat itu, yang tidak pernah ada drama muntah-muntah dan lemas seperti sekarang. “Mama, kenapa nggak di kamar aja?” Kasih segera menghampiri Elok yang menunduk di wastafel. Wajah sang mama pucat, dan sangat terlihat lelah. “Mama bosan di kamar,” jawab Lex yang tengah menggendong balita berusia dua tahun di tangan kanannya. Sementara satu tangan lagi, sibuk mengusap tengkuk sang istri yang belum memakan makanan apapun sedari tadi. “Nanti Ayah ke sekolah, mau ngurus antar jemput sekolah Kakak. Nggak pap
“Hei!” Elok menepuk bahu Gilang yang sejak tadi duduk diam, sambil memandang ke arah halaman depan kediaman Mahardika. Ada Kasih, Kiya, dan beberapa orang dari Event Organizer yang bernaung di bawah Gilang, tengah menyelesaikan dekorasi pesta kecil yang sebentar lagi akan adakan dengan amat sederhana. Hanya dihadiri keluarga inti, tanpa mengundang orang luar sama sekali. Pesta kecil usulan Kasih, yang lagi-lagi langsung disetujui oleh Lex tanpa harus berpikir dua kali. Kasih menginginkan sebuah pesta kejutan, untuk mengetahui jenis kelamin sang adik yang akan lahir tiga bulan lagi. Usut punya usut, ternyata ide tersebut Kasih dapatkan dari Bening saat suatu ketika Elok sempat telat menjemput di sekolah. Kedua orang itu berbicara panjang lebar, sampai Bening mengusulkan untuk membuat pesta kecil yang sudah sering dilakukan para kalangan artis atau pengusaha di ibukota. “Kalau suka, dilamar,” ujar Elok kemudian duduk pada kursi besi yang berada di teras. Tepat bersebelahan dengan Gilan
Bersyukur dan berterima kasih. Dua hal itu tidak pernah lepas diucapkan Elok setiap hari, atas kesempatan kedua yang sudah Tuhan berikan. Di antara masalah yang datang bertubi padanya kala itu, Elok masih memiliki keluarga dan banyak sahabat yang bisa dipercaya. Mereka sudah membantu Elok hingga bisa sampai di titik sekarang. Yaaa, walaupun ada yang harus ditukar dan dikorbankan, tetapi hasilnya sangat sepadan. “Jadi, misal nanti adeknya yang lahir cowok, Kasih harus sayang juga.” Sedari awal, Elok harus menjelaskan hal tersebut pada putrinya. Mau apapun jenis kelamin sang adik nanti, Kasih tetap harus bersikap baik karena mereka adalah saudara dan memiliki ibu yang sama. Tidak hanya itu sebenarnya, Kasih juga harus berbuat baik kepada semua orang, tidak terkecuali dan tidak boleh pilih kasih. “Kan, enak kalau punya adek cowok. Nanti kalau sudah besar, ada yang jagain Kasih.” Kasih bersila dan bersedekap sambil menatap perut sang mama yang duduk di tepi ranjangnya. Sebenarnya, saat
“Mas …” “Ya?” “Kenapa di dalam tadi lebih banyak diamnya?” Bila Elok perhatikan lagi, Lex lebih banyak diam sejak mereka dalam perjalanan ke rumah sakit. Pada dasarnya Lex juga bukan pria yang banyak bicara, tetapi, Elok merasa ada sesuatu yang mengganggu pikiran suaminya itu. “Apa ada masalah di kantor?” Lex mengeratkan tautan jemari mereka yang ada di atas pahanya. Menatap counter apotek, dari kursi tunggu yang mereka duduki saat ini. Ada banyak perasaan yang tidak bisa Lex urai, karena mengingat masa lalunya. Karena itulah, selama ia dan Elok berada di ruang periksa, Lex hanya mendengarkan semua perkataan dokter dengan seksama. Déjà vu. Ada rasa takjub dan bahagia yang sama, selama Lex berada di ruang periksa bersama Elok. Melihat layar hitam putih dengan sebuah kantung janin berusia lima minggu, sungguh membuat Lex tidak bisa berkata-kata. “Usia kehamilan almarhum istriku juga lima minggu waktu kami pertama periksa.” Kalimat itu muncul begitu saja dari mulut Lex. Ada hal yang
“Kalau lantainya ada tiga, bisa bikinin nggak, Om?” Sedari tadi, Kasih hanya menempel pada Aga. Ia melihat pria mencorat-coret desain interior rumah, yang rencananya akan direnovasi dalam waktu dekat.Aga lantas tertawa menatap Lex. Bagi Aga, tidak ada yang tidak mungkin. Hanya tinggal menunggu persetujuan pemilik rumah, barulah ia bisa mengerjakannya. “Gimana, Mas? Tiga lantai?”“Tapi dikasih lift, Om,” sambung Kasih semakin membuat Aga tertawa keras. “Kan, capek, kalau naik tangga dari lantai satu sampai atas.”“Sayang.” Elok meletakkan nampan berisi tiga buah mangkok es campur di atas meja, lalu menatanya satu per satu. “Rumah tiga lantai itu terlalu besar.”“Kan, biar opa sama oma nanti tinggal di rumah kita.” Kasih menggeleng saat melihat es campur yang disajikan Elok. “Terus, ada adek-adekku juga nanti, kan, banyak.”“Banyak?” Lagi-lagi Aga tertawa mendengar kepolosan Kasih. “Memangnya, Kasih mau adek berapa?”Kasih mengulurkan tangan kanannya pada Aga, dan membuka lebar telapak
“Sayang, A …” Lex kembali menutup mulut, saat ada dua orang perempuan yang kompak memberi tatapan tanya padanya. Tadinya, Lex mengira Kasih sedang berada di kamarnya. Namun, saat Lex baru saja keluar kamar setelah mandi, gadis kecil itu ternyata sedang berada di dapur bersama Elok. Kedua tangan Kasih berada di dalam sebuah mangkok besar dengan berlumur tepung. Rupanya, gadis itu sedang “membantu” Elok membuat makan malam.“Ayah manggil aku? Atau, Mama?” tanya Kasih kembali meremas-remas ayam yang sudah ia lumuri adonan tepung.“Mama!” Lex menunjuk Elok yang tengah mengaduk sesuatu di panci. Sungguh sebuah pemandangan hangat yang tidak pernah Lex lihat seumur hidupnya, dan ini sangat luar biasa. Lex membayangkan, apa jadinya bila ia tetap bersikukuh dengan kesendirian, dan hanya fokus pada rasa kehilangan yang selalu menggerogoti jiwa. Mungkin, Lex tidak akan bisa berada di situasi seperti sekarang.“Kenapa, Yah?” tanya Elok lalu mematikan kompor di hadapan. Namun, tetap membiarkan tun
Lex terdiam melihat kantong belanjaan yang baru saja ia letakkan di kitchen island. Setelah sekian lama hidup menyendiri, ini kali pertama Lex melihat barang belanjaan yang sangat banyak ada di tempatnya. “Aku rasa, kita harus pindah.” Lex mengeluarkan satu per satu barang belanjaan dari kantong, lalu meletakkannya di kitchen island. Sementara istrinya, sedang berjongkok di depan lemari pendingin untuk meletakkan beberapa minuman kemasan di dalam sana. “Kenapa?” Elok tidak menoleh, agar bisa membereskan semua barang belanjaan yang masih ada di kitchen island dengan cepat. “Kamar Kasih sepertinya kurang besar dengan boneka yang sebanyak itu.” Lex pernah membawa Kasih yang tertidur, ke kamar gadis itu di kediaman Mahardika. Namun, Lex tidak memperhatikan gadis kecil itu ternyata memiliki boneka yang begitu banyak di kamarnya. “Mas, jangan manjain Kasih,” pinta Elok memang harus sedikit lebih tegas pada Lex. Pria itu sepertinya sama sekali tidak bisa menolak permintaan Kasih. Sementar
“Mas?” Elok menoleh ke arah jendela saat tidak mendapati Lex berada di sampingnya. Masih terlihat gelap. Belum tampak bias cahaya yang menyelinap di antara celahnya. Elok melihat ke arah nakas. Jam digital yang berada di atasnya menunjukkan sudah menunjukkan pukul 04.58. Detik itu juga, Elok mengumpat. Segera bangkit dari tempat tidur, lalu berlari menuju kamar mandi. Elok mengambil bathrobe dan segera membalut tubuhnya seraya berjalan cepat keluar kamar. “Pagi, Mas!” Elok sempat terkejut saat mendapati Lex sudah berkutat di dapur. Entah apa yang dilakukan suaminya itu, tetapi Elok tidak bisa menghampiri Lex lebih dulu. Ada Kasih yang harus dibangunkan, agar tidak kesiangan berangkat ke sekolah. “Pa …” balasan Lex terhenti karena Elok baru saja tenggelam di kamar Kasih. Tidak terlalu penasaran dengan hal yang dilakukan Elok di kamar putrinya, Lex kembali melanjutkan membakar rotinya di atas wajan anti lengket. Tidak sampai lima menit berlalu, Elok kembali keluar dari kamar Kas