*Deck : headline sekunder yang posisinya di bawah headline utama dan isi.
“Saya tidak mau berpanjang-panjang.” Elok mengambil alih rapat, setelah basa basi pembuka yang selalu saja terkesan membosankan. “Melanjutkan wacana rapat dua hari yang lalu, saya keberatan jika wajah direksi Antariksa mengalami pergantian. Seperti yang sudah saya utarakan juga sebelumnya, saat ini posisi saya juga termasuk pemegang saham dan saya berhak untuk dilibatkan dalam perihal perubahan yang ada di perusahaan ini, tanpa terkecuali.”“Bu Elok.” Fahri akhirnya membuka suara. “Bu Elok tahu sendiri kalau saham kita semakin turun. Belum lagi, ada pihak yang dengan sengaja memprovokasi penyandang dana untuk pecah kongsi. Saya rasa, Bu Elok yang lebih tahu akan hal tersebut.”Elok tersenyum, dan tatapannya beralih pada Restu. “Ya, penyandang dana kita akhirnya menyatakan mundur. Saya juga baru tahu itu dari Pak Restu kemarin. Terima kasih atas infonya.” Setelahnya Elok berdiri dari kursinya, lalu berjalan mundur dua langkah. “Begini Bapak dan Ibu sekalian yang saya hormati.” Elok be
“Sayang!” Elok merunduk sebentar untuk mensejajarkan tubuhnya dengan Kasih. “Sama tante Kiya dulu ke dalam, ya. Mama, nunggu om Gilang sekalian mau nelpon dulu di sini.”“Iya!” Kasih mengangguk, dan langsung melenggang masuk ke dalam premier lounge bandara dengan percaya diri. Karena sudah terbiasa bepergian, Kasih tidak lagi canggung ketika harus memasuki suatu tempat seperti sekarang. Yang terpenting, ada satu orang dewasa yang sudah diutus Elok untuk mengawasinya.Kiya buru-buru mengikuti Kasih, dan meninggalkan Elok yang langsung mengotak-atik ponselnya untuk menghubungi Gilang.Sejak Elok berangkat dari rumah bersama Kasih dan Kiya, Gilang sama sekali tidak bisa dihubungi. Pria itu hanya mengirimkan sebuah pesan, sedang berada dalam perjalanan ke bandara. Namun, sampai Kasih dan Kiya sudah memasuki premier lounge, batang hidung Gilang belum tampak juga.Hingga berulang kali Elok menelepon, tapi adiknya itu tidak juga menerima panggilannya.“Malam Bu Elok.”Satu sapaan ramah itu,
“Mama!”Elok segera memeluk Dianti yang tiba-tiba menumpahkan tangis di pelukannya. Tubuh gemetar itu, sungguh membuat Elok merasa bersalah karena sudah berpikiran yang tidak-tidak tentang Gilang.“Papa!”Belum sempat Elok bertanya tentang keadaan Gilang, ia mendengar Kasih memanggil papanya. Itu berarti, Harry juga berada di tempat yang sama dengan Elok. Karena itulah, Elok mengurai pelukannya dengan sang mama lalu menoleh ke arah mana Kasih berlari. Setelah memastikan Harry juga berada di rumah sakit, barulah Elok mengalihkan fokusnya kembali pada Dianti.“Gilang—”“Papamu lagi … donor, transfusi.” Dianti sampai tidak bisa mengatur ucapannya karena terlalu khawatir dengan putra bungsunya itu.Elok yang mengerti dengan ucapan Dianti, lantas mengangguk. “Mama duduk dulu,” pintanya lalu membawa sang mama duduk pada kursi besi yang di sana.“Gimana Gilang, Ma?” tanya Harry sudah menggandeng Kasih dengan erat.Dianti menggeleng. Mulutnya sudah tidak mampu menjawab ketika mengingat kondis
“Sudah siap buat besok?” Adi menghampiri putrinya yang sedari tadi hanya sibuk dengan laptop dan ponselnya. Sejak siang hari, Elok sudah menggantikan Adi untuk menjaga Gilang yang masih terbaring lemah di ranjang pasien. Sementara Kasih, kini berada di tangan Harry dan keluarga pria itu. “Sudah.” Elok menatap lurus pada ranjang pasien, lalu menoleh pada Adi yang baru duduk di sebelahnya. Pria itu baru saja datang, setelah Dianti pulang ke rumah untuk beristirahat. “El, apa ini semua yang benar-benar kamu inginkan?” Adi menutup laptop Elok yang berada di pangkuan wanita itu. “Maksud Papa, kamu bisa tinggalkan Antariksa dan selesai. Kamu nggak perlu pusing ke sana kemari untuk memenuhi egomu itu.” “Pa.” Elok mengusap wajah lelahnya sebentar. “Setelah semua ini selesai, aku juga mau tinggalkan Antariksa.” “Semua ini?” Adi mengulang inti ucapan putrinya. “Yang mana? Perebutan jabatan, kah? Atau, kamu selesai dengan egomu?” “Aku nggak tahu.” Elok menyingkirkan laptop di pangkuan, lalu
“El, suruh sekretarismu bikini aku kopi satu lagi.”Elok melihat cangkir kopi yang ternyata sudah habis dalam sekejap mata. Tatapan Elok kemudian berpindah pada pria dengan wajah baby face di depannya. Kulit pria itu bahkan jauh lebih bersih dan terawat, daripada Elok yang notabene adalah seorang wanita tulen.“Yakin?” tanya Elok memastikan terlebih dahulu. “Aku nggak mau nanggung kalau kamu sampe murus-murus.”“Mataku berat, anakku rewel semalaman.”“Resiko punya bayi, ya, begitu, itu, Wa,” seloroh Elok langsung menyalakan ponsel, dan membuka sebuah aplikasi chat. Dengan lincah, jemari Elok mengetik permintaan mantan juniornya ketika masih di kampus dulu.Dewa August Lee, anggota dewan yang sebentar lagi akan mengakhiri masa jabatannya.“Tapi, kemaren-kemarin nggak begitu,” sanggah Dewa kemudian menutup matanya, karena sungguh tidak bisa menahan kantuk. “Banguni aku, kalau rapatnya mau mulai.”“Yaaa.” Elok tidak akan lagi memberi protesnya pada Dewa dan membiarkan pria itu menikmati
“Ck, dasar serakah.”Dewa mengulurkan tangan pada Elok, yang mengantarkannya hingga pelataran lobi. Karena rapat pagi ini sudah diselesaikan dengan baik dan dalam waktu singkat, maka saatnya Dewa pergi dari Antariksa.“Kamu itu sudah punya Jurnal, tapi masih mau nguasai Antariksa,” tambah Dewa,Elok menyambut tangan Dewa dengan kekehan. Kemudian, tangan lainnya menepuk punggung tangan pria itu dengan sedikit keras. “Aku cuma mau kasih pelajaran sama mereka. Tapi aku janji, investasimu di sini nggak akan sia-sia.”“Aku tahu.” Dewa dan Elok saling melepas jabat tangan mereka. Senyum Dewa lantas tersemat tipis, pada Elok. “Dan, aku berubah pikiran, El.”“Maksudnya?”“Aku mau Antariksa beralih di bawah naungan A-Lee Corp,” kata Dewa sambil menyentuh sisi atas pintu mobil yang baru saja dibukakan oleh Riko.“Kamu—”“Aku mau ambil alih perusahaan ini,” putus Dewa tenang dengan tatapan yang tertuju pada gedung Antariksa. “Jadi, tolong dibantu dan diusahakan. Sebelum nantinya kamu mundur dari
“Maaf kalau saya mengganggu.”Tanpa ragu, langkah kaki Elok terus mengayun menuju meja kerja Lex. Dengan senyum ramah, Elok meletakkan sebuah paper bag pada meja kerja tersebut.“Ini?” Dilihat dari logo dan gambar yang tertera pada paper bag tersebut, Lex sudah bisa menebak apa isi di dalamnya. “Seharusnya, Bu Elok nggak perlu repot-repot.”“Nggak repot, kok, Mas,” ungkap Elok sambil memegang tali tas yang ia sampirkan di bahu kiri. “Kebetulan saya mau ke rumah sakit. Karena sejalan, jadi saya mampir ke sini sebentar.”Sebelum itu, Elok menelepon Arista untuk mengetahui keberadaan Lex saat ini. Karena wanita itu mengatakan Lex baru saja sampai di firma, maka Elok menyempatkan diri untuk mampir ke toko roti dan membelikan dua kotak brownies untuk pria itu.“Dan, saya juga mau minta maaf, karena saya, Mas Lex nggak jadi ke Singapur waktu itu.” Ia yakin, Lex pasti menolak jika Elok menawarkan sejumlah nominal untuk menggantikan tiket pesawatnya malam itu.Lex yang sudah berdiri sejak Elo
“Malam …”Langkah Elok terayun lesu memasuki ruang keluarga di kediaman Lukito. Setelah seharian berkutat dengan urusan kantor, kemudian berlanjut dengan masalah Gilang yang tampaknya akan lama berada di rumah sakit, dan malam ini, Elok akhirnya memutuskan untuk pulang ke rumah mertuanya.Bukan tanpa sebab Elok mendatangi kediaman Lukito malam ini, ia hanya ingin menyelesaikan masalah perceraiannya dengan Harry secepat mungkin.Sebelumnya, Harry sempat menelepon dan mengabarkan bahwa Kasih ingin menginap bersama sang oma, oleh sebab itulah, Elok tidak pulang ke rumahnya sendiri.“Malam, El,” balas Hendra tampak sedikit terkejut melihat sang menantu yang tiba-tiba datang tanpa memberi kabar.“Kenapa nggak bilang kalau mau ke sini?” tanya Harry yang juga masih berada di ruang keluarga. “Aku kira kamu nginap di rumah sakit.”“Papa yang nginap sana,” kata Elok sambil mendudukkan diri dengan perlahan pada sofa yang berhadapan dengan Hendra. Sementara Harry, duduk pada sofa panjang yang ber