Brak!Elok terhenyak karena pintu ruangannya kembali terbuka dengan kasar. Tidak perlu lagi menebak-nebak karena semua itu pastilah ulah Restu. Belum ada lima menit pria itu keluar dari ruang Elok karena menerima telepon, Restu ternyata kembali lagi dengan mendorong kasar pintu ruang kerja yang baru saja ditutup oleh Kiya.“Res—”“Berengsek kamu, El!” hardik Restu seraya menghampiri Elok, lalu memutar kursi yang diduduki wanita itu agar menghadapnya. Restu menunduk, mencengkram lengan kursi Elok dengan tatapan marah. “Kamu alihkan beberapa saham Antariksa ke tangan Dewa!”“Itu sahamku, saham Gilang, dan … seperti itulah.” Karena sudah memasang CCTV di ruangannya, maka Elok bisa sedikit bernapas lega. Andai Restu nekat berbuat tidak senonoh, atau hendak menyakiti Elok, ia pasti memiliki rekaman perbuatan pria itu. “Informanmu sangat, sangat terlambat memberi informasi.”“Shoot!” Restu mendorong kursi beroda Elok hingga membentur meja kecil yang berada di samping wanita itu.Elok kembal
Kedua pria yang duduk berseberangan itu, sama-sama bersedekap, tegak. Mereka saling pandang untuk beberapa saat, lalu menatap Elok yang duduk pada kursi di antara keduanya.Salah satu pria itu pun menggeleng. “Aku bukan nggak bisa mundur, El. Tapi, aku nggak mau mundur. Antariksa, nantinya mau aku hadiahkan ke Rindu setelah dia lulus kuliah. Dan kita, sudah punya kesepakatan sebelumnya.”Elok menautkan jemarinya lalu meletakkan di puncak kepala. Membuang napasnya pelan, karena negosiasi dengan Dewa ternyata berjalan alot. Sementara pria yang duduk di sisi kirinya, masih terdiam seolah memikirkan sesuatu. Elok sengaja membawa pria itu, agar bisa membantunya membujuk Dewa.Namun, Elok ternyata belum menemukan titik terang sama sekali.“Mundurlah dari Antariksa, El.”Akhirnya, pria yang sedari tadi hanya diam membuka mulut. Akan tetapi, Elok masih belum bisa mundur sesuai dengan usulan pria itu.“Banyu, aku nggak bisa mundur dari sana,” sahut Elok masih meletakkan kedua tangan di atas ke
“Aku setuju.”Elok menghela panjang ketika Dewa baru menyapa saat mengangkat panggilan telepon darinya. Belum ada 1 x 24 jam, Elok sudah memberi keputusan pada Dewa. Pada akhirnya, Elok menyerah. Kepalanya sudah tidak sanggup lagi memikul beban yang begitu memusingkan. Belum lagi, ia harus menghadapi Restu yang sudah menempati ruang tepat di depan mata.Ternyata, mental Elok tidaklah sekuat itu ketika dihadapkan dengan masalah dari berbagai arah.“Ayo kita pakai jalan belakang,” lanjut Elok masih berada di dalam mobil pada parkiran gedung Antariksa. “Tapi dengan satu syarat. Seperti kata Banyu, cuma sebatas intimidasi dan nggak lebih.”“Kirimi aku semua daftar pemegang saham di Antariksa,” pinta Dewa tanpa mau berbasa-basi. “Lengkap, dari nama, alamat, jabatan atau profesi mereka di luar, dan nomor telepon. Kamu tinggal duduk manis, dan serahkan semua sama aku.”Elok gugup. Bahkan, kedua tangannya saat ini sudah terasa beku. Tidak pernah sekali pun terbersit dalam benak Elok, ia akan
Sudah 15 menit Restu berdiri di bibir pintu ruang kerjanya, dan selama itulah ia melihat Elok bolak balik tanpa menoleh padanya. Restu masih belum bisa menebak-nebak, apa isi kepala Elok. Apa rencana wanita itu, sehingga akan mengajukan surat pengunduran diri dengan tiba-tiba.“Heh!” seru Restu memanggil Kiya dari tempatnya berdiri. “Kamu!”Merasa tidak ada orang lain lagi di tempat tersebut kecuali dirinya dan Restu, Kiya pun mengangkat wajah. “Bapak manggil saya?”“Ya! Kamu!” Restu kembali berseru sambil menenggelamkan tangan kirinya ke saku celana. “Kamu juga mau mengundurkan diri?”Kiya menatap Restu yang selama ini tidak pernah menganggapnya ada, untuk beberapa saat. Kemudian, Kiya mengangguk. “Saya sudah ajukan surat resign barusan.”“Berapa kamu dibayar Elok sampai bisa setia seperti itu?”“Banyak.” Tidak ingin lagi melanjutkan pembicaraannya dengan Restu, Kiya kembali menunduk untuk membaca lagi daftar beban kerja yang akan ditinggalkannya.“Kamu pindah ke Jurnal?” Restu mulai
Di sinilah akhirnya. Elok berada di sebuah ruang VIP rumah sakit, karena Harry langsung menghubungi ambulans ketika mendapati dirinya pingsan di ruang kerja. Sungguh berlebihan, tapi Elok sudah tidak bisa berbuat apa-apa.“Aku cuma pingsan,” kata Elok sambil duduk bersandar pada ranjang pasien. “Nggak perlu sampai diinfus begini.”“Badanmu panas tinggi, El,” seloroh Harry yang duduk tepat di sebelah ranjang pasien. Karena status Harry masih suami Elok, maka tidak ada satu pun orang di Antariksa yang berani mencegahnya membawa sang istri ke rumah sakit. Apalagi Restu yang sangat tidak bersahabat dengannya. “Kita masih nunggu hasil lab sebentar lagi.”Elok segera menyentuh dahinya sendiri. Sudah dua hari ini, Elok memang merasa tidak enak badan. Namun, karena terlalu banyak hal yang dipikirkan maka ia sudah tidak memedulikan kondisi tubuhnya.“Ambil cuti, dan istirahat,” sambung Harry seraya menggenggam jemari Elok yang kembali terjatuh di sisi tubuh. “Sebentar lagi Kasih datang sama ma
Joana merasa tegang sendiri. Ia tidak pernah menduga, jika menantunya dikelilingi dengan beberapa pria tampan yang saat ini sedang menjenguk Elok dalam waktu yang hampir bersamaan.Saat Joana datang bersama Kasih, ia dikejutkan dengan seorang pria bernama Restu. Dengan songongnya pria itu duduk di samping Elok, tapi Harry tampak diam saja. Bahkan, Restu sudah mengenal Kasih dan mereka bisa berbicara dengan akrab.Tidak lama berselang, ada lagi seorang pria yang datang dengan membawa dua kotak brownies. Pria matang, dengan kharisma yang tidak bisa terelakkan sama sekali. Jika tidak salah, Joana pernah melihat pria itu di rumah sakit.Lantas, seorang pria berwajah baby face dengan senyum manis nan ramahnya, juga hadir tidak lama kemudian. Joana saja sampai tidak bisa berkata-kata lagi.“Pulanglah kalian semuaaa,” desah Elok yang terlampau lelah, melihat keempat pria yang tampak bersitegang di dalam ruang rawat inapnya. “Aku capek, dan mau istirahat.”Restu, dan Lex.Mereka memang sudah
“Baru gejala, tapi tetap disuruh bed rest.” Elok menjelaskan penyebab ia sampai masuk rumah sakit pada sepasang suami istri yang menjenguknya malam ini. “Asam lambungku juga naik, tekanan darahku rendah, jadi, yaaa, begitulah. Harus istirahat total.”“Untungnya bukan hamil,” sahut Banyu lalu mendapat pukulan pelan di tangannya oleh sang istri.“Ya, kalau hamil, kan, nggak papa juga,” balas Damay sambil mengusap perutnya yang sudah sangat besar. “Kan ada suaminya.”Banyu dan Elok saling pandang, tapi mereka tidak mengucap satu patah kata pun. Seolah saling mengerti satu sama lain, Banyu pun mengangguk samar dan kembali ke topik obrolan mereka.“Maksudku, kalau hamil ditambah gejala tipes, kan, repot.” Karena Damay tidak tahu menahu tentang masalah Elok dengan Harry, maka Banyu membelokkan obrolan mereka. Ibu hamil yang satu itu, harus benar-benar dijaga perasaannya karena Banyu tidak ingin Damay terlalu dibebani banyak pikiran.“Eia, Nyu.” Elok juga kompak mengalihkan pembicaraan merek
“Siang, Pak Adi.”Yang disapa segera mendongak dan memasukkan ponselnya ke dalam saku kemeja. Adi memberi senyum lebar, lalu berdiri untuk menyalami pria itu. “Siang, Lex. Ada perlu sama, El?” tanya Adi melihat Lex membawa sebuah bingkisan di tangannya.Lex mengangguk seraya menjabat tangan Adi. “Ya, ada masalah terkait gugatan perceraian bu Elok yang harus saya bahas sebentar.”“Santai, Lex, santai,” ujar Adi seraya terkekeh dan menepuk lengan Lex beberapa kali. “Kita lagi nggak di dalam ruang sidang. Jadi, nggak usah tegang, nggak usah formal.”“Saya nggak tegang,” Lex meluruskan persepsi Adi dengan cepat. “Dan ini sudah santai, Pak.”Kekehan Adi semakin keras. “Kalau sudah santai, kenapa anak saya masih dipanggil dengan sebutan ibu?”“Karena … orang-orang di luar sana juga manggil ibu, ke bu Elok,” jelas Lex ikut terkekeh meskipun merasa serba salah. “Dan bu Elok juga klien saya.”Sudahlah. Adi tidak ingin memperpanjang masalah panggilan untuk putrinya. Mau apapun sebutannya, selam
Haluu Mba beb tersaiank … Saia langsung aja umumin daftar penerima koin GN untuk lima top fans pemberi gems terbanyak The Real CEO, yaaa : Amy : 1.000 koin GN + pulsa 200rb Call me Jingga : 750 koin GN + pulsa 150 rb LiaKim?? : 500 koin GN + pulsa 100 rb Tralala : 350 koin GN + pulsa 50 rb NuNa : 200 koin Gn + pulsa 25 rb Untuk nama yang saia tulis di atas, bisa klaim koin GN dengan screenshoot ID dan kirim melalui DM Igeeh @kanietha_ . Jangan lupa follow saia duluuuh .... Saia tunggu konfirmasi sampai hari rabu, 29 maret 2023, ya, jadi, saia bisa setor datanya hari kamis ke pihak GN. Tapi, kalau sudah terkumpul semua sebelum itu, bisa langsung saia setor secepatnya. Daaan, kiss banyak-banyak atas dukungan, juga atensinya untuk Mas Triplex dan Mba Elok …. Kissseeess …..
Kasih baru saja menuruni tangga rumah dengan seragam olah raga, ketika ia mendengar suara yang belakangan ini sungguh menyayat hati. Sudah semingguan ini, sang mama hampir tidak bisa melakukan kegiatan apapun karena selalu saja muntah-muntah. Awalnya, Kasih sangat gembira ketika mengetahui akan mendapatkan seorang adik lagi. Namun, setelah itu Kasih sungguh tidak tega saat melihat sang mama lebih banyak menghabiskan waktu di kamar untuk berbaring. Tidak seperti kehamilan adik pertamanya saat itu, yang tidak pernah ada drama muntah-muntah dan lemas seperti sekarang. “Mama, kenapa nggak di kamar aja?” Kasih segera menghampiri Elok yang menunduk di wastafel. Wajah sang mama pucat, dan sangat terlihat lelah. “Mama bosan di kamar,” jawab Lex yang tengah menggendong balita berusia dua tahun di tangan kanannya. Sementara satu tangan lagi, sibuk mengusap tengkuk sang istri yang belum memakan makanan apapun sedari tadi. “Nanti Ayah ke sekolah, mau ngurus antar jemput sekolah Kakak. Nggak pap
“Hei!” Elok menepuk bahu Gilang yang sejak tadi duduk diam, sambil memandang ke arah halaman depan kediaman Mahardika. Ada Kasih, Kiya, dan beberapa orang dari Event Organizer yang bernaung di bawah Gilang, tengah menyelesaikan dekorasi pesta kecil yang sebentar lagi akan adakan dengan amat sederhana. Hanya dihadiri keluarga inti, tanpa mengundang orang luar sama sekali. Pesta kecil usulan Kasih, yang lagi-lagi langsung disetujui oleh Lex tanpa harus berpikir dua kali. Kasih menginginkan sebuah pesta kejutan, untuk mengetahui jenis kelamin sang adik yang akan lahir tiga bulan lagi. Usut punya usut, ternyata ide tersebut Kasih dapatkan dari Bening saat suatu ketika Elok sempat telat menjemput di sekolah. Kedua orang itu berbicara panjang lebar, sampai Bening mengusulkan untuk membuat pesta kecil yang sudah sering dilakukan para kalangan artis atau pengusaha di ibukota. “Kalau suka, dilamar,” ujar Elok kemudian duduk pada kursi besi yang berada di teras. Tepat bersebelahan dengan Gilan
Bersyukur dan berterima kasih. Dua hal itu tidak pernah lepas diucapkan Elok setiap hari, atas kesempatan kedua yang sudah Tuhan berikan. Di antara masalah yang datang bertubi padanya kala itu, Elok masih memiliki keluarga dan banyak sahabat yang bisa dipercaya. Mereka sudah membantu Elok hingga bisa sampai di titik sekarang. Yaaa, walaupun ada yang harus ditukar dan dikorbankan, tetapi hasilnya sangat sepadan. “Jadi, misal nanti adeknya yang lahir cowok, Kasih harus sayang juga.” Sedari awal, Elok harus menjelaskan hal tersebut pada putrinya. Mau apapun jenis kelamin sang adik nanti, Kasih tetap harus bersikap baik karena mereka adalah saudara dan memiliki ibu yang sama. Tidak hanya itu sebenarnya, Kasih juga harus berbuat baik kepada semua orang, tidak terkecuali dan tidak boleh pilih kasih. “Kan, enak kalau punya adek cowok. Nanti kalau sudah besar, ada yang jagain Kasih.” Kasih bersila dan bersedekap sambil menatap perut sang mama yang duduk di tepi ranjangnya. Sebenarnya, saat
“Mas …” “Ya?” “Kenapa di dalam tadi lebih banyak diamnya?” Bila Elok perhatikan lagi, Lex lebih banyak diam sejak mereka dalam perjalanan ke rumah sakit. Pada dasarnya Lex juga bukan pria yang banyak bicara, tetapi, Elok merasa ada sesuatu yang mengganggu pikiran suaminya itu. “Apa ada masalah di kantor?” Lex mengeratkan tautan jemari mereka yang ada di atas pahanya. Menatap counter apotek, dari kursi tunggu yang mereka duduki saat ini. Ada banyak perasaan yang tidak bisa Lex urai, karena mengingat masa lalunya. Karena itulah, selama ia dan Elok berada di ruang periksa, Lex hanya mendengarkan semua perkataan dokter dengan seksama. Déjà vu. Ada rasa takjub dan bahagia yang sama, selama Lex berada di ruang periksa bersama Elok. Melihat layar hitam putih dengan sebuah kantung janin berusia lima minggu, sungguh membuat Lex tidak bisa berkata-kata. “Usia kehamilan almarhum istriku juga lima minggu waktu kami pertama periksa.” Kalimat itu muncul begitu saja dari mulut Lex. Ada hal yang
“Kalau lantainya ada tiga, bisa bikinin nggak, Om?” Sedari tadi, Kasih hanya menempel pada Aga. Ia melihat pria mencorat-coret desain interior rumah, yang rencananya akan direnovasi dalam waktu dekat.Aga lantas tertawa menatap Lex. Bagi Aga, tidak ada yang tidak mungkin. Hanya tinggal menunggu persetujuan pemilik rumah, barulah ia bisa mengerjakannya. “Gimana, Mas? Tiga lantai?”“Tapi dikasih lift, Om,” sambung Kasih semakin membuat Aga tertawa keras. “Kan, capek, kalau naik tangga dari lantai satu sampai atas.”“Sayang.” Elok meletakkan nampan berisi tiga buah mangkok es campur di atas meja, lalu menatanya satu per satu. “Rumah tiga lantai itu terlalu besar.”“Kan, biar opa sama oma nanti tinggal di rumah kita.” Kasih menggeleng saat melihat es campur yang disajikan Elok. “Terus, ada adek-adekku juga nanti, kan, banyak.”“Banyak?” Lagi-lagi Aga tertawa mendengar kepolosan Kasih. “Memangnya, Kasih mau adek berapa?”Kasih mengulurkan tangan kanannya pada Aga, dan membuka lebar telapak
“Sayang, A …” Lex kembali menutup mulut, saat ada dua orang perempuan yang kompak memberi tatapan tanya padanya. Tadinya, Lex mengira Kasih sedang berada di kamarnya. Namun, saat Lex baru saja keluar kamar setelah mandi, gadis kecil itu ternyata sedang berada di dapur bersama Elok. Kedua tangan Kasih berada di dalam sebuah mangkok besar dengan berlumur tepung. Rupanya, gadis itu sedang “membantu” Elok membuat makan malam.“Ayah manggil aku? Atau, Mama?” tanya Kasih kembali meremas-remas ayam yang sudah ia lumuri adonan tepung.“Mama!” Lex menunjuk Elok yang tengah mengaduk sesuatu di panci. Sungguh sebuah pemandangan hangat yang tidak pernah Lex lihat seumur hidupnya, dan ini sangat luar biasa. Lex membayangkan, apa jadinya bila ia tetap bersikukuh dengan kesendirian, dan hanya fokus pada rasa kehilangan yang selalu menggerogoti jiwa. Mungkin, Lex tidak akan bisa berada di situasi seperti sekarang.“Kenapa, Yah?” tanya Elok lalu mematikan kompor di hadapan. Namun, tetap membiarkan tun
Lex terdiam melihat kantong belanjaan yang baru saja ia letakkan di kitchen island. Setelah sekian lama hidup menyendiri, ini kali pertama Lex melihat barang belanjaan yang sangat banyak ada di tempatnya. “Aku rasa, kita harus pindah.” Lex mengeluarkan satu per satu barang belanjaan dari kantong, lalu meletakkannya di kitchen island. Sementara istrinya, sedang berjongkok di depan lemari pendingin untuk meletakkan beberapa minuman kemasan di dalam sana. “Kenapa?” Elok tidak menoleh, agar bisa membereskan semua barang belanjaan yang masih ada di kitchen island dengan cepat. “Kamar Kasih sepertinya kurang besar dengan boneka yang sebanyak itu.” Lex pernah membawa Kasih yang tertidur, ke kamar gadis itu di kediaman Mahardika. Namun, Lex tidak memperhatikan gadis kecil itu ternyata memiliki boneka yang begitu banyak di kamarnya. “Mas, jangan manjain Kasih,” pinta Elok memang harus sedikit lebih tegas pada Lex. Pria itu sepertinya sama sekali tidak bisa menolak permintaan Kasih. Sementar
“Mas?” Elok menoleh ke arah jendela saat tidak mendapati Lex berada di sampingnya. Masih terlihat gelap. Belum tampak bias cahaya yang menyelinap di antara celahnya. Elok melihat ke arah nakas. Jam digital yang berada di atasnya menunjukkan sudah menunjukkan pukul 04.58. Detik itu juga, Elok mengumpat. Segera bangkit dari tempat tidur, lalu berlari menuju kamar mandi. Elok mengambil bathrobe dan segera membalut tubuhnya seraya berjalan cepat keluar kamar. “Pagi, Mas!” Elok sempat terkejut saat mendapati Lex sudah berkutat di dapur. Entah apa yang dilakukan suaminya itu, tetapi Elok tidak bisa menghampiri Lex lebih dulu. Ada Kasih yang harus dibangunkan, agar tidak kesiangan berangkat ke sekolah. “Pa …” balasan Lex terhenti karena Elok baru saja tenggelam di kamar Kasih. Tidak terlalu penasaran dengan hal yang dilakukan Elok di kamar putrinya, Lex kembali melanjutkan membakar rotinya di atas wajan anti lengket. Tidak sampai lima menit berlalu, Elok kembali keluar dari kamar Kas