Sepulang dari acara malam keakraban, Hanae merapikan barang-barangnya di kamar tidur panti asuhan Blessed Mother Marry. Ia terisak sangat pelan. Sebuah amplop surat yang sudah terlihat cukup usang dikeluarkan dari laci meja. Ia tersenyum getir melihat amplop surat tersebut. Tertulis di bagian depan, “To: Hanae. From: Raze Chi.” Bisik Hanae terdengar seiring air mata diusap oleh jarinya yang sedikit gemetar menahan kesedihan. Baru kali ini ia harus meninggalkan kamar panti asuhan yang sudah ia tinggali sejak masih bayi. "Apa kamu masih hidup, Raze? Apa kamu baik-baik saja? Apa hidupmu bahagia? Kenapa kamu tidak pernah kembali untuk menengokku seperti janjimu?” Ingatannya kembali ke masa lalu. Meski semua wajah yang ada teringat secara samar, tetapi ia terus menyimpan memori tersebut. Seorang anak remaja laki-laki duduk bersamanya di teras panti asuhan. “Aku akan pergi besok. Simpan terus surat ini supaya kamu tidak lupa padaku, ya?” Remaja lelaki itu berucap dengan nada lembut
Menaiki taksi berwarna kuning, Hanae menuju rumah Xavion. Semenjak rombongan kejaksaan kembali menuju Los Angeles, ia sudah diberi alamat rumah bos angkuhnya itu. Di luar sedang hujan deras sejak 20 menit lalu hingga bahkan jarak pandang sopir taksi terbatas. Hal ini membuatnya berjalan pelan di laju jalan tol. Hanae melirik jam di tangan. Xavion mengharuskan ia datang sebelum pukul tujuh malam. Karena hujan dan kendaraan melaju lambat, sekarang justru sudah pukul tujuh malam.‘Semoga dia tidak marah karena aku terlambat,’ keluh Hanae membatin. Ingin meminta sopir berjalan lebih cepat lagi, tetapi sepertinya tidak aman mengingat banyak truk berlalu lalang di sekitar. Akhirnya, 30 menit kemudian baru Hanae sampai di sebuah rumah tingkat dua. Tidak terlalu besar, tetapi kesan mewah jelas ada di sana. Setelah membayar sopir taksi, ia turun dari kendaraan dan mengambil koper di bagasi.Sialnya, dia tidak membawa payung sehingga ketika sopir taksi kembali masuk ke dalam mobil dan melaju
“Hanae!” teriak Xavion segera melesat dua meter ke depan dan menangkap tubuh karyawan magangnya tersebut.Hanae pingsan!Bibir Tuan Muda Young mengeluarkan sumpah serapah, tetapi sorot matanya memperlihatkan kekhawatiran. Ia gendong Hanae dengan kedua lengan kekarnya. Satu tangan di bawah punggung, satu tangan di balik lutut. Tak terlihat ada beban sedikit pun di lengan berotot tersebut ketika terus melaju melalui pintu rumah menuju lantai dua, tempatnya biasa tidur dan beristirahat.‘Shit! Baru datang sudah membawa masalah! Bukankah kamu harusnya datang untuk meringankan masalahku, Bodoh!’ gerutu Xavion membatin.Sambil menaiki tangga, ia sesekali memandangi wajah Hanae yang benar-benar pucat tak berwarna. Dari bibir yang membiru bisa diduga kalau gadis itu pingsan karena kedinginan. Entah dia sadari atau tidak, tetapi rengkuhan tangannya menjadi lebih erat, mendekap lebih ketat seolah ia khawatir sesuatu yang buruk terjadi pada Hanae. Langkah kakinya dipercepat hingga sedikit berl
“Haaah!” pekik Hanae tertahan saat Xavion mengatakan kalimat tersebut. Wajahnya sontak bersemu merah muda karena rasa malu. Membayangkan dia telanjang dan berjalan di sekitar rumah bosnya bukanlah sebuah khayalan yang menenangkan. Sebaliknya, cukup meresahkan. Tertawa kecil, meletakkan handuk dan baju di atas wastafel, lalu Xavion melangkah keluar. Sambil berjalan ia berucap, “Segera mandi dan ganti pakaian. Setelah itu, turun ke dapur dan buatlah makan malam untuk kita berdua.” Ia berhenti melangkah, membalikkan tubuh gagah, bertanya sesuatu yang sepertinya sangat penting, “Kamu bisa masak, ‘kan?” “Bisa ...,” angguk Hanae. Sejak bayi di panti asuhan tentu saja dia bisa masak. Ma’am Lilac adalah juru masak yang handal di panti asuhan tersebut dan semua ilmu memasak diturunkan kepadanya. “Good, aku sudah lapar. Segera buatkan aku makan malam dan kopi. Aku akan lembur malam ini, berlatih untuk sidang besok pagi. Sidang pertamaku melawan Maurice Zambrota.” Hanae mengangguk. Ia ta
Lucu memang. Kalau kaos itu dipakai Xavion akan press body hingga memperlihatkan pundak lebar dengan liuk otot kekar di tangan. Bagian pinggang pun terlihat ketat, dan panjangnya sampai tengah paha ke atas sedikit. Akan tetapi, kalau Hanae yang memakainya bisa sekedodoran itu. Bagai tubuh mungil itu tenggelam di dalamnya. Lengan menjuntai sampai nyaris sesiku. Panjang baju nyaris menyentuh lutut. Sudah mana sekarang otak jaksa itu traveling ke sebuah pertanyaan menggelitik rasa kelaki-lakian. ‘Dia pakai celana dalam atau tidak? Kenapa celana panjang dariku tidak dipakai? Apa terlalu besar pinggangnya?’ “Aku mengantarkan kopi untukmu. Makan malamnya sebentar lagi sudah jadi. Mau saya bawakan ke kamar juga atau kamu turun ke bawah?” tanya Hanae lirih. Raut wajah wanita itu masih memperlihatkan gurat kelelahan. Akan tetapi, ia berusaha memenuhi perjanjian mereka. Yaitu, menjadi pelayan atau masuk penjara. “Masuk!” perintah sang pemilik rumah dengan datar, bersama mata menatap tajam
Ketika Hanae memanggil dari depan pintu, memberitahu kalau makan malam sudah siap, raga maskulinnya keluar dari balik meja kerja dan segera turun menuju meja makan. Satu piring ayam panggang beserta kentang goreng dan salad segar tersedia di atas meja. Melirik sesaat pada Hanae yang nampak sedang mencuci berbagai peralatan masak di dapur, memerhatikan bagaimana bokong wanita itu bergerak sintal saat bergerak menggelinjang dalam tiap gerakan. Ia duduk, mulai memotong dada ayam yang baunya terasa sangat harum menggoda perut keroncongan tersebut. ‘Fuck! Ternyata dia sungguh bisa memasak. Ayam panggang ini lebih enak daripada masakan Maria!’ Batin sang lelaki terkejut. Mencoba salad sayur segar di mangkok kecil, ‘Hmm, salad ini enak juga! Baguslah! Aku tidak terlalu suka beli makan malam di luar, dan dia bisa seperti Maria menyediakan makanan untukku.’ Saat Xavion sedang menikmati makan malam yang dibuat Hanae beserta satu gelas besar berisi air jeruk hangat, mendadak terdengar bunyi
Hanae berlari sangat kencang menuju kamar tidurnya begitu Xavion melepaskan kurungan serta berhenti menyentuhnya dengan cara yang sangat mendebarkan. Ia segera menutup pintu dan menguncinya secepat kilat.Jangan sampai serigala besar di ruang makan tadi bisa mengejar kemari. Mungkin itu yang ada di pikiran sang karyawan magang yang kini telah resmi menjadi pelayan. Otak gadis itu masih dipenuhi dengan kehororan yang baru saja terjadi. Dia adalah wanita yang polos dan tak pernah disentuh, tak pernah dijamah oleh lelaki mana pun!Tuan Muda Young adalah orang pertama yang menyentuh paha bagian dalam milik Hanae. Lelaki pertama serta satu-satunya yang pernah melakukan hal mendebarkan tersebut dalam 22 tahun kehidupan sang karyawan magang.‘Tuhan, Tuhanku ... apa yang barusan terjadi? Kenapa aku bisa sampai terlibat sejauh ini dengannya?’‘Kenapa dia bisa menyentuhku seperti itu? Apa dia pikir aku wanita murahan?’Hanae kemudian teringat sekilas pembicaraan teman-teman karyawan wanita di
Betapa terkejutnya Hanae mendengar Ezra akan datang menemuinya. Bukan ini yang ia inginkan. Masalahnya dengan Xavion sudah cukup banyak. Kedatangan lelaki itu hanya akan semakin menambah runcing kesulitan yang ada.“Jangan!” cegah Hanae berteriak kencang secara reflek. “Jangan kemari! Aku baik-baik saja! Aku ... tadi, aku ... uhm, aku hanya baru memecahkan sebuah piring saat mencucinya.”“Mungkin aku terlalu lelah hingga piring itu terlepas dari genggamanku. Aku hanya merasa bersalah pada Xavion karena sudah memecahkan piringnya. Tidak ada apa pun, aku hanya gugup karena belum mengatakan padanya soal piring itu.”Dusta, sang gadis terpaksa berdusta. Ia bisa membayangkan apa yang terjadi kalau ia menceritakan apa yang barusan terjadi. Ezra pasti sungguhan datang ke tempatnya sekarang dan membuat perhitungan dengan Xavion. Kedua lelaki itu akan saling pukul lagi seperti saat di Yellow Valley kemarin. Nona Tan hanya tidak tega jika Ezra harus menerima pukulan dan terluka karena membela
Menjelang waktu acara tahunan untuk memperingati berpulangnya Billy Young, keluarga Mendoza selalu hadir turut mendoakan sahabat mereka yang terpaksa mengembuskan napas terkahir secara tragis.“Setiap har ini tiba, Xavion biasanya mabuk. Aku akan merawat dia saat mabuk. Sebagai calon istrinya, aku harus bisa merawat dia, bukan?” kekeh Jessica sedang berkendara bersama kedua orang tuanya. Di dalam mobil mewah itu keluarga Mendoza tengah menuju kediaman Gladys Young. Wanita berusia di atas setengah abad menanggapi ucapan putrinya. “Sejak dulu kamu hanya bisa jatuh cinta dengan satu pria, yaitu Xavion. Kamu menghabiskan seluruh usia dan masa mudamu untuk mengejarnya. Mommy harap kali ini kamu benar-benar bahagia.”“Tentu saja dia bahagia, Eve. Putri kecil kita akhirnya akan menikahi pangeran impian. Gladys sudah mengatakan pada kita kalau Xavion pasti akan mau menikahi Jessica. Lambat laun pasti dia akan jatuh cinta padanya. Hanya tinggal tunggu waktu.”“Aku yakin kamu benar, Jorge,” a
Dengan dada kembang kempis dan suara gemetar, Kelinci Kecil berkata, “Kenapa kamu mengulang semua kejadian dini hari tadi? Kamu sengaja ingin membuatku malu?”Xavion tertegun, “Jadi, itu semua benar? Aku tidak sedang berhalusinasi karena mabuk?""Apa maksudmu? Tentu saja semua itu benar terjadi! Apa kamu sudah lupa bagaimana kamu terus menyentuhku meski aku sudah memintamu untuk berhenti?” Hanae mengerang dengan sorot protes dan gamang. Lalu, satu kalimat pertanyaan terlontar dari bibir Tuan Jaksa, “Kalau kamu ingin aku berhenti, kalau kamu tidak menikmati semua yang terjadi di antara kita tadi malam, kenapa aku mengingat menyentuh liang kewanitaanmu yang sudah basah?”Dan Hanae tak bisa menjawab. Mati kutu! Jangan ditanya bagaimana panasnya paras manis sang gadis. Tentu saja wanita sepolos dia akan merasa sangat malu saat liang kewanitaannya dibahas, bukan?Di antara engah serta dentuman jantung dalam dada, lelaki itu kembali bergumam sendiri. “Jadi, kamu memang masih sungguh perawa
Xavion mendengkus kasar. Kepala yang pengar dipijit-pijit. Ucapan ibunya seperti antara nyata dan tidak. Tanpa sadar bergumam sendiri, “Am I still fucking drunk?”“Tidak, kamu tidak sedang mabuk!” jawab Gladys dengan nada kesal. “Mommy serius ingin berbicara denganmu mengenai jodoh. Usiamu sudah 30 tahun lebih dan kamu sama sekali tidak memikirkan untuk berumah tangga!”“Yeah, well, berumah tangga bagiku tidak ada gunanya saat ini. Aku lebih suka fokus ke pekerjaan dan Mommy tahu itu!” sahut Xavion, mengusap matanya berkali-kali, lalu memandangi jendela kamarnya yang diterpa mentari pagi. Gladys kembali berucap tegas, “Dengan tidak memiliki istri, kamu sama saja memberi jalan seluas-luasnya bagi para wanita materialistis penggali emas untuk mendekatimu, memanfaatkanmu, lalu menghancurkanmu!”Embusan kasar meluncur dari bibir Xavion yang masih beraroma alkohol. Ceramah ini sudah entah berapa ratus bahkan ribu kali dia dengar sejak masih baru duduk di bangku sekolah menengah atas. “Po
Hanae mengangguk ketakutan, “A-aku ... iya, aku masih perawan! Aku tidak pernah punya pacar sebelum ini! Aku belum pernah bercinta dengan siapa pun!”“Kamu bohong!” Xavion kembali membentak lagi. Kali ini, ia keluarkan tangannya dari balik celana dalam Hanae, lalu kedua telapak menghantam dinding di sisi kanan-kiri telinga wanita tersebut.Suara Tuan Muda Young menggelegar, “Aku akan menyakitimu kalau kamu berbohong! Jawab yang jujur! Apa benar kamu masih perawan!” ancamnya melotot, menakutkan.Hanae kembali mengangguk dengan ketakutan. Apa yang mau dia jawab karena kenyataannya memang dia masih perawan. “Aku ... aku ti-tidak ... aku tidak berbohong!”“Kamu sungguh tidak punya pacar sebelum ini?” engah Xavion masih menatap melotot.“I-iya ....”“Belum pernah ada yang menyentuhmu?”Hanae menggeleng.“Belum ada yang pernah melihatmu telanjang?”Lagi, wanita itu menggeleng.Xavion makin tersengal hebat. Perlahan, ia lepaskan kurungannya dari tubuh Hanae. Suara berat beraroma alkohol ker
“Pl-please ... kamu sedang mabuk. Kamu ... auuhhh ... mmmhhh!” pekik Hanae menahan keinginan untuk menjerit sangat kencang.Ia reflek merapatkan dua paha saat jari tengah Xavion mulai bergerak pelan mengusap inti tubuh, butiran kecil yang mengandung jutaan syaraf nikmat. Sebuah G sp ot bagi wanita mana pun. Hanya saja, semakin ia merapatkan kakinya semakin lelaki itu bersemangat untuk terus membuat aliran darahnya mengalir lebih deras dari biasa. Semakin paha Hanae merapat, semakin jari Xavion bergerak lincah di tengah kewanitaan. Tak mau berhenti bergerak, terus mengusap dan menekan-nekan. Satu desahan meluncur dari bibir Hanae tanpa bisa ia tahan dan kendalikan. Di mana kemudian sang gadis cepat menggigit bibirnya karena malu telah mengeluarkan suara seperti itu.Xavion tertawa mengejek, "Sudah kubilang, kamu akan menikmatinya. ini baru jariku, belum anggota tubuhku yang lain, Little Rabbit!"“Xa-Xavion! H-hentikan ... please?” rintih Hanae didera rasa nikmat dan pikiran bahwa di
Hanae mengerang tertahan ketika jari tengah Xavion yang besar dan panjang menelisik masuk ke celah di kewanitaannya. “Please ... ja-jangan, jangan ...,” engahnya berusaha menghentikan semua sentuhan mendebarkan luar biasa tersebut. Mengucapnya dengan engah hebat, mencoba untuk menahan segala sensasi panas mendebarkan yang tengah menjalari tubuhnya dini hari ini. Wajah Xavion terus terbenam di antara leher dan pundak. Bibir lelaki itu kian basah menjelajahi kulit putih mulus hingga ke telinga, juga tengkuk.Dan bersamaan dengan semua embusan panas napasnya, bersamaan dengan permintaan Hanae untuk berhenti, jari Xavion justru bergerak lebih intim.Ia tekan ke bawah jari tengahnya hingga terasa mengenai sebuah butiran kecil di antara dua dinding lembut yang lembab, hangat.“Kamu sungguh menggairahkan, Little Rabbit!” desah Xavion. “Sudah lama aku ingin melihatmu telanjang lagi,” kekeh lelaki setengah mabuk tersebut.Kagetlah Hanae. “Lagi? Lagi, bagaimana?Memang ya kamu pernah melihatku
Xavion terkekeh cuek mendengar ancaman sahabatnya. Ia hanya melirik sekilas, lalu membuang tatap ke angkasa, “Kamu pikir aku peduli dengan semua ucapanmu? Teruslah menggonggong dan kafilah tetap berlalu!” Ia merengkuh tepian jas, merapikan penampilan, lalu mulai berjalan. “Keluarlah dari ruanganku, karena aku juga mau pulang. Chaiden mengajakku bersenang-senang di klub malam untuk melupakan kejadian persidangan kemarin.” “Kejadian di mana saksimu dibantai oleh pengacaranya Maurice Zambrota? Kamu akan menemukan cara untuk membalasnya. You always do,” tukas Ezra. “Hmm, thanks,” gumam Xavion, mulai membuka pintu dan melangkah keluar dari kantornya. Unik memang persahabatan keduanya. Sedetik lalu mereka saling menaikkan nada bicara karena Hanae, detik berikutnya mereka saling bercerita dan mendukung dalam masalah pekerjaan. “Ingat untuk memakai pengaman, Xavion! Klub malam dengan Chaiden selalu berakhir dengan kamu meniduri wanita asing!” seru Ezra tertawa renyah. Tuan Muda Y
Di kantor kejaksaan, dua orang lelaki sedang berbincang dingin. Mereka sama-sama berdiri di depan kaca jendela ruang kerja Xavion, menatap ke tengah jalan, bagian depan gedung tersebut. “Kenapa kamu tidak mengatakan pada orang-orang kalau kamu yang membelikan tas Gucci itu? Kamu bisa saja membuat Jessica dan Fanty bungkam, tapi kamu tidak melakukannya.” Ezra memandang sahabatnya dengan kekecewaan. “Apa kamu tidak punya rasa kasihan dengan Hanae?” “Kalau aku tidak punya rasa kasihan, aku tidak akan menyuruh semua bubar dan pergi. Aku tidak akan mengancam fanty pindah ke gudang. Aku juga tidak akan mengancam Jessica untuk menutup semua pintu keluargaku,” sahut Xavion sambil menyeringai, tetap menatap ke luar jendela. “Lalu, kenapa kamu tidak mengatakan kalau kamu yang membelikan tas Gucci itu?” Tuan Muda Young terkekeh ketus. “Aku punya reputasi untuk dijaga. Kalau orang tahu aku membelikan tas itu, mereka akan bergosip. Aku tidak suka dijadikan bahan gosip.” “Mau sampai kap
Pergi dari kantor Xavion dengan kesal, sekarang Jessica sudah ada di rumah masa kecil sang jaksa. “Aunty Gladys, aku mulai berpikir kalau wanita miskin dan jelek itu meracuni otak putramu.” Ibunda Xavion yang sedang ada di dapur mencicipi kue buatan pelayannya. Mata sipit Gladys menoleh dan memandang terkejut. “Meracuni otak Xavion bagaimana?” Lalu, ia mengajak Jessica pergi ke ruang tamu khusus keluarga agar pembicaraan mereka tidak didengar oleh pelayan dan menjadi gosip nasional. Sepanjang jalan menuju ruang tamu tersebut Jessica terus berkeluh kesah dengan resah. “Wanita brengsek itu pencuri, Aunty. Namanya Hanae. Dia adalah orang miskin. Bajunya itu seperti baju nenek-nenek!” “Setiap aku melihatnya sejak pertama, aku tahu kalau dia datang dari tingkat kemiskinan yang paling bawah! Dan maksudku sangat-sangat palint bawah!” dengkusnya menggeleng kesal. Gladys mempersilakan wanita yang dianggapnya sebagai putri sendiri itu untuk duduk. Dengan suara lembut keibuan, ia bertan