Betapa terkejutnya Hanae mendengar Ezra akan datang menemuinya. Bukan ini yang ia inginkan. Masalahnya dengan Xavion sudah cukup banyak. Kedatangan lelaki itu hanya akan semakin menambah runcing kesulitan yang ada.“Jangan!” cegah Hanae berteriak kencang secara reflek. “Jangan kemari! Aku baik-baik saja! Aku ... tadi, aku ... uhm, aku hanya baru memecahkan sebuah piring saat mencucinya.”“Mungkin aku terlalu lelah hingga piring itu terlepas dari genggamanku. Aku hanya merasa bersalah pada Xavion karena sudah memecahkan piringnya. Tidak ada apa pun, aku hanya gugup karena belum mengatakan padanya soal piring itu.”Dusta, sang gadis terpaksa berdusta. Ia bisa membayangkan apa yang terjadi kalau ia menceritakan apa yang barusan terjadi. Ezra pasti sungguhan datang ke tempatnya sekarang dan membuat perhitungan dengan Xavion. Kedua lelaki itu akan saling pukul lagi seperti saat di Yellow Valley kemarin. Nona Tan hanya tidak tega jika Ezra harus menerima pukulan dan terluka karena membela
Pagi menyapa dan Xavion keluar dari kamar tidur langsung menuju dapur. Ada keharuman masakan khas orang jaman dulu menyerbak di hidung. ‘Hmm, dia benar-benar bisa masak.’Melangkah pelan nyaris tak terdengar, tubuh tinggi gagahnya berdiri di pintu masuk dapur. Hanya diam di sana memerhatikan Hanae bekerja dari belakang. Menatap mulai atas sampai bawah dan menemukan sesuatu yang aneh.‘Kenapa dia memasak dengan memakai baju kantor? Hmm, mungkin menghemat waktu agar tidak usah berganti baju?’ pikirnya menebak.Tak hanya itu yang ia pikirkan, sebenarnya pikiran Xavion memang sudah tidak pada tempatnya lagi semenjak ia melihat tubuh polos Hanae tempo hari. Seringainya bahkan terbit meski hanya di ujung bibir. Ada bayangan tersendiri yang sedang menari-nari di benaknya.Berkhayal bagaimana kalau Hanae bekerja di dapur dengan tanpa memakai ....Mendadak sang gadis menoleh dan, “Ya, ampun! Kamu membuatku terkejut!” teriak Hanae dengan tubuh melonjak kaget.Ia sedang membawa satu panci berisi
Suara Xavion menderu berat saat bibirnya sedang menjalari kulit lembut dan mulus sang wanita. Ada keharuman sederhana dari sana, sesuatu yang membuatnya kian membayangkan macam-macam. “Rahasiakan semuanya, terutama dari satria berkuda putihmu yang bernama Ezra Wu. Keluargaku memiliki pengaruh yang jauh lebih besar daripada keluarganya.”Bersama satu sesapan panjang di leher Hanae, suara berat Xavion terdengar menyeramkan. “Jika kamu bercerita pada Ezra, jangan salahkan aku bila kemudian karirnya hancur.”“Jangan salahkan aku pula kalau kamu terpaksa kumasukkan dalam ruang persidangan pribadiku!” “Dan percayalah, saat aku berkata akan menghukummu, aku sungguh akan melakukannya. Sekali lagi, rahasiakan semua yang terjadi di rumah ini. Mengerti semua yang kukatakan padamu, hah?”Masih tak bisa menjawab, mengangguk pun sulit. Tubuh Hanae membeku akibat bibir Xavion yang mendarat di lehernya, menghadirkan sensasi tersendiri.Dalam hati ia menjerit, ‘Apa yang dimaksud dengan ruang sidang
Dua lelaki bertitel jaksa saling tatap dengan sorot setajam ujung mata pisau. Setiap membahas Hanae maka akan ada kejadian ini di antara Xavion dan Ezra. “Kalau aku tidak mau melepaskan Hanae dari menjadi pelayanku, kamu mau apa, hah?” desis Tuan Muda Young tersenyum dingin, acuh.“Mau sampai kapan kamu menyiksanya?” Ezra pun memberi pertanyaan dengan suara yang dingin, marah.“Suka-suka aku! Mau sampai minggu depan, bulan depan, tahun depan, apa urusannya denganmu? Sudah kukatakan! Jangan ikut campur antara aku dan Hanae!” jawab Xavion dengan mimik angkuhnya. “Kecuali kamu mau kita bermusuhan, jangan urusi Hanae. Kamu tahu sendiri, mereka yang bermusuhan denganku berakhir tidak baik-baik saja di kantor ini!”Ezra terdiam walau bibir ingin menyemburkan kata-kata makian pada sahabatnya ini. Akan tetapi, teringat suatu waktu dulu memang pernah ada seorang jaksa yang bermusuhan dengan Xavion dan berakhir dengan dipindahtugaskan ke sebuah lokasi terpencil. Maka, di detik ini ia sadar ba
“FUCK!” makinya entah pada siapa di dalam ruang kerja. Membanting tumpukan berkas yang tadi malam ia kerjakan dengan seksama ke atas meja sambil terengah. Sudah tiga kali ini bertemu Nardo Jensen di ruang sidang dengan terdakwa yang berbeda. Akan tetapi, baru kali ini merasa sungguh dipermalukan hanya karena masalah sepele. Siapa yang harus disalahkan kalau sudah begini? Ia merasa dibantai habis-habisan hanya dalam satu atau dua pertanyaan saja. Kejadian yang sungguh melukai ego setinggi langit miliknya.“Shit!” umpatnya sekali lagi. Wajah terasa panas hingga ia merasa perlu memercikkan air untuk mendinginkan. Oleh karena itu, ia kembali keluar dari ruang kerja dan bergegas menuju kamar mandi.Saat melintasi meja Hanae, ia melihat wanita itu sedang memandanginya dengan bingung. Akan tetapi, ia tidak punya waktu untuk menjelaskan kenapa diri bak orang kebakaran jenggot.Saat melangkah di lorong menuju kamar mandi, mata Xavion menangkap sosok Ezra yang sedang berjalan ke arahnya denga
“Xavion ...,” panggil Hanae dengan suara lirih. “Hmm,” tanggap yang dipanggil dengan cuek, tak menoleh atau menatap. Sekadar mengingatkan pada bab sebelumnya, jaksa tampan dan sedikit gila itu mengatakan mereka akan ke hotel. Bahwa dia kesal dengan persidangan yang tidak berjalan lancar, dan bahwa Hanae akan membuatnya lebih rileks saat mereka sudah berada di kamar hotel. “Katanya kita ke hotel?” lanjut Hanae kebingungan. Sebuah pertanyaan polos yang entah kenapa ditanyakan olehnya. Akan tetapi, yang jelas pertanyaan tersebut memantik reaksi dari Xavion. Tangannya sedang memegang sebuah map. Di dalam map itu ada berbagai jenis makanan serta harga. Rupanya, mereka tidak ke hotel seperti yang dikatakan di awal. Rupanya, mereka ada di sebuah restoran sesuai tujuan awal sang jaksa. Ia mendengar malam itu kalau Ezra akan makan siang dengan Hanae, bukan? Dan dia tidak rela jika wanita pelayannya makan siang atau bersama siapa pun, selain dia. Xavion menggeser map menu makanan
“APAAA!” pekik Hanae sontak mendongakkan wajah. Xavion langsung terbelalak saat karyawan magangnya itu berteriak terkejut. Ia menatap sekitar dengan salah tingah dan tersenyum malu pada orang-orang yang memandanginya aneh. "Are you fucking crazy? Mau apa berteriak begitu! Bikin malu saja! Ini bukan cafe kecil di mana kamu bisa berteriak sesukamu!” bentak lelaki itu sambil berbisik. Hanae terengah dan wajahnya pucat pasi. “Kamu yang membuatku berteriak dengan mengatakan kita akan bercinta di hotel!” Keinginan Xavion saat ini adalah mencekik Hanae yang benar-benar tidak tahu kapan dia sedang bergurau dan kapan dia sedang serius. “Pokoknya, jangan berteriak lagi! Ini restoran mahal! Yang datang ke sini adalah orang-orang terhormat! Jangan membuatku malu!” pungkasnya menegaskan. Nona Tan mengangguk. Ia cepat membuka botol minum plastik berisi air mineral dan meneguknya beberapa kali. Percakapan dengan Xavion siang ini membuatnya merasa panas di sekujur tubuh. Pelayan data
Nasib orang yang miskin memang kadang direndahkan tanpa alasan yang jelas. Sepertinya menyenangkan saja bagi mereka dengan strata sosial tinggi untuk mengganggu dan merendahkan siapa yang ada di bawah mereka. Seperti saat ini Jessica dan Fanty bekerja sama dengan sangat epic untuk menghina, merendahkan, serta menyakiti Hanae. Tak cukup dengan membuang barang-barang sang gadis dari dalam tas, dilanjut dengan mendorong berkali-kali hingga jatuh terhempas menubruk meja, sekarang ia dilaporkan ke 911 atas tuduhan pencurian. “Aku tidak mencuri tas itu! Ada yang memberikannya padaku!” jerit Hanae ketakutan karena dilaporkan ke 911. Kalau sampai polisi menangkapnya sungguh, bagaimana ia mau lepas dari penjara. Meski tahu tidak ada kasus tanpa barang bukti, di mana tak akan ada bukti kalau dia mencuri, tetapi bisa saja ia tetap dimasukkan penjara karena bukankah orang kaya bisa berbuat apa pun yang mereka inginkan? “Kembalikan tasku! Kembalikan! Aku tidak mencurinya! Kembalikan!” Ia te
Menjelang waktu acara tahunan untuk memperingati berpulangnya Billy Young, keluarga Mendoza selalu hadir turut mendoakan sahabat mereka yang terpaksa mengembuskan napas terkahir secara tragis.“Setiap har ini tiba, Xavion biasanya mabuk. Aku akan merawat dia saat mabuk. Sebagai calon istrinya, aku harus bisa merawat dia, bukan?” kekeh Jessica sedang berkendara bersama kedua orang tuanya. Di dalam mobil mewah itu keluarga Mendoza tengah menuju kediaman Gladys Young. Wanita berusia di atas setengah abad menanggapi ucapan putrinya. “Sejak dulu kamu hanya bisa jatuh cinta dengan satu pria, yaitu Xavion. Kamu menghabiskan seluruh usia dan masa mudamu untuk mengejarnya. Mommy harap kali ini kamu benar-benar bahagia.”“Tentu saja dia bahagia, Eve. Putri kecil kita akhirnya akan menikahi pangeran impian. Gladys sudah mengatakan pada kita kalau Xavion pasti akan mau menikahi Jessica. Lambat laun pasti dia akan jatuh cinta padanya. Hanya tinggal tunggu waktu.”“Aku yakin kamu benar, Jorge,” a
Dengan dada kembang kempis dan suara gemetar, Kelinci Kecil berkata, “Kenapa kamu mengulang semua kejadian dini hari tadi? Kamu sengaja ingin membuatku malu?”Xavion tertegun, “Jadi, itu semua benar? Aku tidak sedang berhalusinasi karena mabuk?""Apa maksudmu? Tentu saja semua itu benar terjadi! Apa kamu sudah lupa bagaimana kamu terus menyentuhku meski aku sudah memintamu untuk berhenti?” Hanae mengerang dengan sorot protes dan gamang. Lalu, satu kalimat pertanyaan terlontar dari bibir Tuan Jaksa, “Kalau kamu ingin aku berhenti, kalau kamu tidak menikmati semua yang terjadi di antara kita tadi malam, kenapa aku mengingat menyentuh liang kewanitaanmu yang sudah basah?”Dan Hanae tak bisa menjawab. Mati kutu! Jangan ditanya bagaimana panasnya paras manis sang gadis. Tentu saja wanita sepolos dia akan merasa sangat malu saat liang kewanitaannya dibahas, bukan?Di antara engah serta dentuman jantung dalam dada, lelaki itu kembali bergumam sendiri. “Jadi, kamu memang masih sungguh perawa
Xavion mendengkus kasar. Kepala yang pengar dipijit-pijit. Ucapan ibunya seperti antara nyata dan tidak. Tanpa sadar bergumam sendiri, “Am I still fucking drunk?”“Tidak, kamu tidak sedang mabuk!” jawab Gladys dengan nada kesal. “Mommy serius ingin berbicara denganmu mengenai jodoh. Usiamu sudah 30 tahun lebih dan kamu sama sekali tidak memikirkan untuk berumah tangga!”“Yeah, well, berumah tangga bagiku tidak ada gunanya saat ini. Aku lebih suka fokus ke pekerjaan dan Mommy tahu itu!” sahut Xavion, mengusap matanya berkali-kali, lalu memandangi jendela kamarnya yang diterpa mentari pagi. Gladys kembali berucap tegas, “Dengan tidak memiliki istri, kamu sama saja memberi jalan seluas-luasnya bagi para wanita materialistis penggali emas untuk mendekatimu, memanfaatkanmu, lalu menghancurkanmu!”Embusan kasar meluncur dari bibir Xavion yang masih beraroma alkohol. Ceramah ini sudah entah berapa ratus bahkan ribu kali dia dengar sejak masih baru duduk di bangku sekolah menengah atas. “Po
Hanae mengangguk ketakutan, “A-aku ... iya, aku masih perawan! Aku tidak pernah punya pacar sebelum ini! Aku belum pernah bercinta dengan siapa pun!”“Kamu bohong!” Xavion kembali membentak lagi. Kali ini, ia keluarkan tangannya dari balik celana dalam Hanae, lalu kedua telapak menghantam dinding di sisi kanan-kiri telinga wanita tersebut.Suara Tuan Muda Young menggelegar, “Aku akan menyakitimu kalau kamu berbohong! Jawab yang jujur! Apa benar kamu masih perawan!” ancamnya melotot, menakutkan.Hanae kembali mengangguk dengan ketakutan. Apa yang mau dia jawab karena kenyataannya memang dia masih perawan. “Aku ... aku ti-tidak ... aku tidak berbohong!”“Kamu sungguh tidak punya pacar sebelum ini?” engah Xavion masih menatap melotot.“I-iya ....”“Belum pernah ada yang menyentuhmu?”Hanae menggeleng.“Belum ada yang pernah melihatmu telanjang?”Lagi, wanita itu menggeleng.Xavion makin tersengal hebat. Perlahan, ia lepaskan kurungannya dari tubuh Hanae. Suara berat beraroma alkohol ker
“Pl-please ... kamu sedang mabuk. Kamu ... auuhhh ... mmmhhh!” pekik Hanae menahan keinginan untuk menjerit sangat kencang.Ia reflek merapatkan dua paha saat jari tengah Xavion mulai bergerak pelan mengusap inti tubuh, butiran kecil yang mengandung jutaan syaraf nikmat. Sebuah G sp ot bagi wanita mana pun. Hanya saja, semakin ia merapatkan kakinya semakin lelaki itu bersemangat untuk terus membuat aliran darahnya mengalir lebih deras dari biasa. Semakin paha Hanae merapat, semakin jari Xavion bergerak lincah di tengah kewanitaan. Tak mau berhenti bergerak, terus mengusap dan menekan-nekan. Satu desahan meluncur dari bibir Hanae tanpa bisa ia tahan dan kendalikan. Di mana kemudian sang gadis cepat menggigit bibirnya karena malu telah mengeluarkan suara seperti itu.Xavion tertawa mengejek, "Sudah kubilang, kamu akan menikmatinya. ini baru jariku, belum anggota tubuhku yang lain, Little Rabbit!"“Xa-Xavion! H-hentikan ... please?” rintih Hanae didera rasa nikmat dan pikiran bahwa di
Hanae mengerang tertahan ketika jari tengah Xavion yang besar dan panjang menelisik masuk ke celah di kewanitaannya. “Please ... ja-jangan, jangan ...,” engahnya berusaha menghentikan semua sentuhan mendebarkan luar biasa tersebut. Mengucapnya dengan engah hebat, mencoba untuk menahan segala sensasi panas mendebarkan yang tengah menjalari tubuhnya dini hari ini. Wajah Xavion terus terbenam di antara leher dan pundak. Bibir lelaki itu kian basah menjelajahi kulit putih mulus hingga ke telinga, juga tengkuk.Dan bersamaan dengan semua embusan panas napasnya, bersamaan dengan permintaan Hanae untuk berhenti, jari Xavion justru bergerak lebih intim.Ia tekan ke bawah jari tengahnya hingga terasa mengenai sebuah butiran kecil di antara dua dinding lembut yang lembab, hangat.“Kamu sungguh menggairahkan, Little Rabbit!” desah Xavion. “Sudah lama aku ingin melihatmu telanjang lagi,” kekeh lelaki setengah mabuk tersebut.Kagetlah Hanae. “Lagi? Lagi, bagaimana?Memang ya kamu pernah melihatku
Xavion terkekeh cuek mendengar ancaman sahabatnya. Ia hanya melirik sekilas, lalu membuang tatap ke angkasa, “Kamu pikir aku peduli dengan semua ucapanmu? Teruslah menggonggong dan kafilah tetap berlalu!” Ia merengkuh tepian jas, merapikan penampilan, lalu mulai berjalan. “Keluarlah dari ruanganku, karena aku juga mau pulang. Chaiden mengajakku bersenang-senang di klub malam untuk melupakan kejadian persidangan kemarin.” “Kejadian di mana saksimu dibantai oleh pengacaranya Maurice Zambrota? Kamu akan menemukan cara untuk membalasnya. You always do,” tukas Ezra. “Hmm, thanks,” gumam Xavion, mulai membuka pintu dan melangkah keluar dari kantornya. Unik memang persahabatan keduanya. Sedetik lalu mereka saling menaikkan nada bicara karena Hanae, detik berikutnya mereka saling bercerita dan mendukung dalam masalah pekerjaan. “Ingat untuk memakai pengaman, Xavion! Klub malam dengan Chaiden selalu berakhir dengan kamu meniduri wanita asing!” seru Ezra tertawa renyah. Tuan Muda Y
Di kantor kejaksaan, dua orang lelaki sedang berbincang dingin. Mereka sama-sama berdiri di depan kaca jendela ruang kerja Xavion, menatap ke tengah jalan, bagian depan gedung tersebut. “Kenapa kamu tidak mengatakan pada orang-orang kalau kamu yang membelikan tas Gucci itu? Kamu bisa saja membuat Jessica dan Fanty bungkam, tapi kamu tidak melakukannya.” Ezra memandang sahabatnya dengan kekecewaan. “Apa kamu tidak punya rasa kasihan dengan Hanae?” “Kalau aku tidak punya rasa kasihan, aku tidak akan menyuruh semua bubar dan pergi. Aku tidak akan mengancam fanty pindah ke gudang. Aku juga tidak akan mengancam Jessica untuk menutup semua pintu keluargaku,” sahut Xavion sambil menyeringai, tetap menatap ke luar jendela. “Lalu, kenapa kamu tidak mengatakan kalau kamu yang membelikan tas Gucci itu?” Tuan Muda Young terkekeh ketus. “Aku punya reputasi untuk dijaga. Kalau orang tahu aku membelikan tas itu, mereka akan bergosip. Aku tidak suka dijadikan bahan gosip.” “Mau sampai kap
Pergi dari kantor Xavion dengan kesal, sekarang Jessica sudah ada di rumah masa kecil sang jaksa. “Aunty Gladys, aku mulai berpikir kalau wanita miskin dan jelek itu meracuni otak putramu.” Ibunda Xavion yang sedang ada di dapur mencicipi kue buatan pelayannya. Mata sipit Gladys menoleh dan memandang terkejut. “Meracuni otak Xavion bagaimana?” Lalu, ia mengajak Jessica pergi ke ruang tamu khusus keluarga agar pembicaraan mereka tidak didengar oleh pelayan dan menjadi gosip nasional. Sepanjang jalan menuju ruang tamu tersebut Jessica terus berkeluh kesah dengan resah. “Wanita brengsek itu pencuri, Aunty. Namanya Hanae. Dia adalah orang miskin. Bajunya itu seperti baju nenek-nenek!” “Setiap aku melihatnya sejak pertama, aku tahu kalau dia datang dari tingkat kemiskinan yang paling bawah! Dan maksudku sangat-sangat palint bawah!” dengkusnya menggeleng kesal. Gladys mempersilakan wanita yang dianggapnya sebagai putri sendiri itu untuk duduk. Dengan suara lembut keibuan, ia bertan