Terima Kasih sudah mampir membaca. Jangan lupa like, koment, and follow ya. Thank You and Happy Reading.
Sebulan telah berlalu sejak serangkaian kejadian mengerikan menimpa para Hunter di Korea, menyebabkan mereka memperketat pengamanan di setiap Guild dan Asosiasi. Keadaan Ketua Asosiasi Hunter, Baek Hyeon, mulai membaik, meskipun ia masih harus menunggu beberapa bulan lagi sebelum bisa keluar dari rumah sakit. Para Hunter Rank (S) yang lain juga menunjukkan perkembangan positif, tetapi mereka masih belum diizinkan untuk meninggalkan rumah sakit.Ketika kesadaran mereka pulih, para pengawas yang telah menjaga Asosiasi selama sebulan penuh menyampaikan informasi mengenai serangan yang baru saja terjadi di Gedung Asosiasi. Serangan yang mengejutkan ini telah menewaskan banyak Hunter, meninggalkan luka mendalam di hati Ketua mereka.Kabar ini membuat Baek Hyeon merasa semakin bersalah. Ia merenungkan kegagalannya melindungi para Hunter, dan pikirannya segera tertuju pada sosok yang mereka hadapi sebelumnya—Kim-Ryu. Kemarahan menyelimuti hatinya saat ia menganggap serangan itu sebagai balas
Informasi yang diperintahkan Ketua Asosiasi telah sampai di berbagai departemen keamanan Korea. Di Departemen Keamanan Nasional, seorang wanita, sekretaris dari Jenderal tertinggi, dengan cemas melaporkan perkembangan terbaru.Jenderal, yang sudah tenggelam dalam berkas-berkas mengenai pembantaian para Hunter, tidak terkejut dengan kabar tersebut. Ketua Asosiasi Hunter sendiri yang telah menghubunginya langsung, menjelaskan situasi genting yang terjadi."Saya sudah tahu," ucapnya sambil tetap menatap berkas di hadapannya.Wanita itu, yang merasa terlambat menyampaikan informasi, buru-buru meminta maaf, tapi Jenderal menggeleng ringan. "Bukan salahmu. Ketua Asosiasi yang langsung menghubungiku."Jenderal kemudian merenung, mengingat deskripsi Ketua Asosiasi tentang sosok yang dianggap bertanggung jawab. Sosok itu bukan hanya membantai para Hunter di Gedung Asosiasi, tetapi juga membuat Ketua dan Hunter Rank (S) lainnya terbaring tak berdaya di rumah sakit.Wanita itu terlihat terkejut.
Suasana semakin tegang dan memanas. Kim-Ryu berdiri di tengah ketidakpastian, pikirannya kacau, bingung apa yang harus dilakukan. Di satu sisi, ia tahu ia bisa melarikan diri dari situasi ini. Kemampuannya sebagai seorang Hunter Rank (S) membuatnya lebih dari mampu untuk menghadapi ancaman ini. Namun, di sisi lain, apa yang mereka katakan ada benarnya juga.Dia melirik adiknya, yang berdiri di sampingnya dengan ketakutan jelas terlihat di wajahnya. Jika ia kabur bersama adiknya, bisakah ia melindunginya dari ancaman yang akan datang? Serbuan para Hunter dan senjata yang siap menghancurkan mereka bisa menjadi akhir yang tragis. Adiknya tidak memiliki kemampuan untuk bertahan dalam situasi ini.Kim-Ryu tidak bisa membiarkan adiknya terluka atau mati karena kesalahan yang ia buat. Walaupun tuduhan itu tidak berdasar, dia tidak punya pilihan lain selain menyerahkan diri tanpa perlawanan. Pikirannya dipenuhi kekhawatiran akan nasib adiknya lebih dari dirinya sendiri.Para wakil guild yang b
Kim-Ryu menatap lurus ke depan, napasnya tenang meski di dalam benaknya berkecamuk. Tugas yang diberikan oleh [System] menggema di pikirannya: [bunuh mereka yang telah menjebakmu.] Meski di permukaan, ekspresinya terlihat datar, di dalam hatinya bergejolak. Ada satu alasan yang membuatnya semakin bersemangat menyelesaikan misi ini. Jika berhasil, dia akan mendapatkan kemampuan [Teleportation]—sebuah kekuatan yang mampu melindungi dirinya dan adik perempuannya, Kim-Ae Ri.Saat ini, kendaraan yang membawa Kim-Ryu dan Ae Ri tiba di tujuan mereka: Tempat Eksekusi Departemen Keamanan Nasional Korea Selatan. Sebuah pemandangan menyeramkan terbentang di hadapan mereka. Arena eksekusi berbentuk lingkaran dengan tiang baja besar berdiri kokoh di tengahnya. Rantai-rantai yang tergantung dari tiang itu bukanlah hiasan; mereka digunakan untuk mengekang tahanan sebelum eksekusi.Di sekeliling arena, kawanan binatang buas berkeliaran—singa dan harimau berjalan berdampingan dalam harmoni mematikan. M
Kim-Ryu tidak menjawab, hanya matanya yang gelap menatap lurus ke depan. Sorotan mata yang tajam itu membuat siapapun yang bertemu pandang dengannya gemetar. Ia perlahan mendekati adiknya, Kim-Ae Ri, yang tergeletak tak berdaya di tanah. Wajahnya lebam, tubuhnya penuh luka akibat kekejaman para tentara."Oppa..." gumam Ae Ri dengan suara lirih. Tangisnya terhenti, digantikan oleh kelegaan melihat kakaknya yang masih hidup dan sekarang menjadi satu-satunya harapan.Kim-Ryu berlutut di sebelahnya, dengan lembut menyentuh wajah adiknya yang memar. "Aku di sini, Ae Ri," ucapnya dengan suara yang lembut tapi penuh kekuatan. Dalam hatinya, amarah yang menggelegak tidak bisa lagi dibendung. Namun, dia menahan diri, demi adiknya."Seharusnya kalian tak pernah menyentuhnya," gumam Kim-Ryu dengan nada rendah, hampir seperti bisikan. Tapi, aura kematian yang melingkupi ucapannya membuat setiap orang di arena mendengar ancamannya dengan jelas. Tidak ada yang berani bergerak.Di sudut arena, Jender
Ketua Asosiasi masih belum mengetahui apa yang sebenarnya terjadi di arena eksekusi Departemen Keamanan Nasional. Mereka masih mengira ada kesalahan prosedural atau gangguan kecil. Namun, realitasnya jauh lebih suram. Tanpa mereka sadari, Kim-Ryu telah melakukan sesuatu yang mengerikan di tempat itu.Di sisi lain, keputusan untuk menunggu laporan resmi dari pihak keamanan semakin menegaskan kebingungan dan ketidakberdayaan mereka.**Kim-Ryu berdiri tegap di tengah kekacauan. Tubuh-tubuh tentara yang tergeletak di sekelilingnya adalah bukti kejam dari apa yang baru saja dia lakukan. Raut wajahnya penuh dengan kekecewaan dan kemarahan. "Sudah kukatakan jangan menyentuhnya," gumamnya dengan suara rendah namun penuh ancaman. Tentara-tentara yang berani memukul adiknya telah membangkitkan sisi tergelap dalam dirinya.Dia tidak hanya menegur secara verbal. Dengan sedikit usaha, aura yang dia lepaskan menghempas para tentara yang masih berani menahan dan menyeretnya. [Aura] itu begitu kuat h
Kim-Ryu memegang lekat-lekat pada adiknya yang terbaring lemah di depannya. Meski dunia di luar terus berputar dengan kecepatan tak terduga—penjagaan diperketat, para pemburu dan pasukan keamanan bergerak cepat untuk menangkapnya—semua itu seolah tak berarti. Fokus Kim-Ryu sepenuhnya tertuju pada adiknya yang kini berada di ambang maut. Bayangan kekacauan dan kejaran di luar lenyap di antara rasa sakit dan kekhawatiran yang melingkupi hatinya.Di Rumah Sakit Busan, Kim-Ryu berlari tergesa-gesa, mendesak para perawat untuk membantu adiknya. Sambil menggendong tubuh lemah itu, ia berteriak penuh harap, "Susterr! Susterr!" Suaranya menggema di lorong, menarik perhatian beberapa perawat yang segera berlari mendekatinya.Ketika mereka melihat darah yang membasahi pakaian adiknya, mereka tersentak kaget. "Lewat sini," ujar salah satu perawat dengan nada tegas. "Cepat! Dia harus segera dirawat!"Dengan langkah cepat, mereka mengarahkan Kim-Ryu ke ruang perawatan. Dokter yang dipanggil segera
Setelah meninggalkan rumah sakit, Kim-Ryu langsung menuju ke tempat yang paling membangkitkan amarahnya—lokasi penyiksaan adiknya. Namun, saat tiba di sana, yang ia temui hanyalah arena kosong, tak ada seorang pun yang tersisa. Hanya bayang-bayang dinding yang menjadi saksi bisu kekejaman yang pernah terjadi di ruangan itu."Nampaknya mereka bergerak cepat," gumam Kim-Ryu dengan suara dingin. Namun, bibirnya tersenyum sinis. "Tak apa, malah ini akan lebih menarik." Alih-alih merasa kecewa, Kim-Ryu semakin yakin bahwa mereka tidak bisa lari darinya. Rasa sakit yang dia rasakan berubah menjadi bahan bakar untuk tekadnya yang membara.Dengan langkah mantap, ia meninggalkan arena eksekusi dan mengarahkan tujuannya ke ibukota Korea Selatan—Seoul. Dalam amarah dan kebencian yang kini bergejolak di dalam dirinya, Kim-Ryu tetap menjaga ketenangan yang luar biasa. Meski tubuhnya dipenuhi adrenalin, pikirannya tetap jernih, sesuatu yang jarang bisa dilakukan oleh kebanyakan orang. Ketenangan in