Terima Kasih sudah mampir membaca. Jangan lupa like, koment, and follow ya. Thank You and Happy Reading.
Kim-Ryu memegang lekat-lekat pada adiknya yang terbaring lemah di depannya. Meski dunia di luar terus berputar dengan kecepatan tak terduga—penjagaan diperketat, para pemburu dan pasukan keamanan bergerak cepat untuk menangkapnya—semua itu seolah tak berarti. Fokus Kim-Ryu sepenuhnya tertuju pada adiknya yang kini berada di ambang maut. Bayangan kekacauan dan kejaran di luar lenyap di antara rasa sakit dan kekhawatiran yang melingkupi hatinya.Di Rumah Sakit Busan, Kim-Ryu berlari tergesa-gesa, mendesak para perawat untuk membantu adiknya. Sambil menggendong tubuh lemah itu, ia berteriak penuh harap, "Susterr! Susterr!" Suaranya menggema di lorong, menarik perhatian beberapa perawat yang segera berlari mendekatinya.Ketika mereka melihat darah yang membasahi pakaian adiknya, mereka tersentak kaget. "Lewat sini," ujar salah satu perawat dengan nada tegas. "Cepat! Dia harus segera dirawat!"Dengan langkah cepat, mereka mengarahkan Kim-Ryu ke ruang perawatan. Dokter yang dipanggil segera
Setelah meninggalkan rumah sakit, Kim-Ryu langsung menuju ke tempat yang paling membangkitkan amarahnya—lokasi penyiksaan adiknya. Namun, saat tiba di sana, yang ia temui hanyalah arena kosong, tak ada seorang pun yang tersisa. Hanya bayang-bayang dinding yang menjadi saksi bisu kekejaman yang pernah terjadi di ruangan itu."Nampaknya mereka bergerak cepat," gumam Kim-Ryu dengan suara dingin. Namun, bibirnya tersenyum sinis. "Tak apa, malah ini akan lebih menarik." Alih-alih merasa kecewa, Kim-Ryu semakin yakin bahwa mereka tidak bisa lari darinya. Rasa sakit yang dia rasakan berubah menjadi bahan bakar untuk tekadnya yang membara.Dengan langkah mantap, ia meninggalkan arena eksekusi dan mengarahkan tujuannya ke ibukota Korea Selatan—Seoul. Dalam amarah dan kebencian yang kini bergejolak di dalam dirinya, Kim-Ryu tetap menjaga ketenangan yang luar biasa. Meski tubuhnya dipenuhi adrenalin, pikirannya tetap jernih, sesuatu yang jarang bisa dilakukan oleh kebanyakan orang. Ketenangan in
Keterkejutannya tidak bisa disembunyikan. Para Hunter yang berada di dalam ruangan tertegun ketika salah satu pengawal tiba-tiba jatuh pingsan tanpa peringatan. Situasi yang tenang berubah menjadi ketegangan yang mencekam. Pengawal lainnya segera bergerak, membentuk barisan untuk melindungi Ketua Asosiasi dan Jenderal, bersama dengan para Hunter Rank (S) yang tampak terjaga di belakang mereka."Ada apa ini?" suara Ketua Asosiasi terdengar penuh waspada, sementara sorot matanya menyapu ruangan.Tapi sosok di balik pintu, yang belum menampakkan diri, membuat mereka semakin gelisah. Jenderal, dengan nada yang tegas, melangkah maju."Tunjukkan dirimu!" pekiknya dengan nada penuh perintah. "Jangan sembunyi seperti pengecut di balik pintu!"Ketua Asosiasi yang semakin geram, tak ingin membiarkan keadaan terus tak menentu, langsung memerintahkan para pengawalnya, "Serang! Hancurkan pintu itu dan tangkap siapa pun yang ada di baliknya!"Tanpa menunggu, para pengawal bergerak serentak. Dengan k
"Syaratku sangat sederhana," Kim-Ryu mulai, dengan tatapan penuh kebencian yang tidak sedikit pun surut. "Aku ingin kalian menderita... seperti adikku yang sekarang terbaring tak sadarkan diri." Suaranya dingin, seperti es yang menempel di kulit, menusuk jauh ke dalam hati siapa pun yang mendengarnya.Ketua Asosiasi gemetar hebat, tak bisa berkata-kata. Tubuhnya yang ringkih mulai terasa semakin lemah. Sementara Jenderal, yang berusaha mempertahankan wajah tenangnya, semakin panik. Dia tahu betul bahwa tidak ada negosiasi yang mungkin dilakukan dengan seseorang yang telah memutuskan untuk membalas dendam."Tidak... Tidak...," gumam Ketua Asosiasi, suaranya mulai pecah oleh ketakutan. "Kami bisa memperbaikinya, Kim-Ryu. Kami bisa...""Diam!" Kim-Ryu memotongnya tajam. "Tidak ada yang bisa kalian lakukan untuk memperbaiki ini. Setiap tindakan kalian telah membawa adikku ke ambang kematian, dan sekarang kalian akan merasakan apa yang dia rasakan."Sebelum Ketua Asosiasi atau Jenderal bisa
Setelah menyaksikan kematian Ketua Asosiasi Hunter, suasana di ruangan itu berubah menjadi sangat muram. Para Hunter Rank (S) dan para Wakil Guild yang hadir tak mampu menahan kesedihan mereka. Tubuh Ketua Asosiasi yang terpotong, dengan tiga organ vital yang hilang, membuat mereka merasa hancur. Luka-luka itu bukan hanya menghancurkan fisik, tetapi juga mental mereka.Kehadiran pihak kepolisian yang segera datang ke tempat kejadian tak membawa ketenangan. Kepala Kepolisian, yang pernah terlibat dalam penangkapan Kim-Ryu, tak bisa menyembunyikan rasa takutnya. Pikiran bahwa dirinya mungkin menjadi target selanjutnya menghantui benaknya. Namun, tidak ada waktu untuk membiarkan ketakutan itu merasuki pikirannya lebih dalam.Wakil-wakil Guild yang melihat para Ketua Guild terdiam dan tak berbicara segera mengambil inisiatif. Mereka mengerti bahwa penderitaan para Ketua Guild jauh lebih besar dibandingkan dengan para Wakil Guild yang hanya melihat tubuh Ketua Asosiasi Hunter yang tak utuh
Kim-Ryu merasa terjebak. Berita yang disebarkan oleh Asosiasi Hunter telah membuatnya sulit bergerak di Korea Selatan. Setiap kali dia menunjukkan wajahnya, masyarakat akan segera mengenalinya dan kemungkinan besar akan mengejarnya. Meskipun dia bisa terus melarikan diri, hidup seperti itu membuatnya merasa gerah dan terkekang. Tak ada pilihan lain, Kim-Ryu harus meninggalkan Korea Selatan dan mengganti status kewarganegaraannya.Namun, masalah besar muncul. Di mana dia akan menetap? Mengganti kewarganegaraan bukanlah hal yang mudah, terutama bagi seseorang yang memiliki latar belakang sebagai buronan. Pemerintah negara lain pasti akan memeriksa latar belakangnya dengan ketat. Jika Kim-Ryu tertangkap, bukan tidak mungkin dia akan diserahkan kembali ke Korea Selatan untuk diadili.Ada satu cara untuk mendapatkan kewarganegaraan baru—menyuap pejabat pemerintah. Tapi jumlah uang yang diperlukan sangat besar, dan Kim-Ryu tidak memiliki banyak uang. Keputusan ini semakin membebani pikiranny
Perjalanan dari Korea Selatan ke Jerman memakan waktu sekitar 9 hingga 12 jam. Waktu yang panjang ini terasa berbeda bagi Kim-Ryu. Selama berjam-jam, dia merasakan kedamaian yang jarang dirasakannya. Tidak ada gangguan, hanya keheningan yang menyelimuti kabin pesawat. Sesekali, ia memandang keluar jendela, mengagumi hamparan awan putih yang terlihat begitu damai. Pandangan itu mengingatkannya betapa jarangnya ia melihat keindahan seperti ini, karena selama ini, hidupnya selalu diwarnai darah, monster, dan pertempuran.Namun, Kim-Ryu tahu kedamaian ini tak akan bertahan lama. Sesampainya di Jerman, semuanya akan berubah. Tempat tinggal baru, budaya baru, dan lingkungan yang sama sekali berbeda. Ia harus menyesuaikan diri dengan banyak hal. Lamunannya terhenti ketika suara pilot terdengar, memberitahukan bahwa pesawat akan segera mendarat."Para penumpang, harap bersiap untuk segera turun."Kim-Ryu segera merapikan diri. Tak lama kemudian, pesawat mendarat di Bandar Udara Berlin Tegel, t
Setelah pengumuman selesai, semua peserta segera menuju kamar mereka masing-masing. Untuk mencegah perebutan kamar asrama, pihak sekolah telah memasang nama-nama peserta di balik pintu saat mereka berkumpul di lapangan.Langkah ini cukup efektif, meski tetap ada beberapa peserta yang mengetuk pintu peserta lain untuk menukar kamar. Alasan mereka mungkin sederhana, seperti mencari kamar yang dianggap lebih baik, meskipun semua kamar di asrama sebenarnya identik, tanpa perbedaan yang berarti.Namun, ketika diperhatikan lebih dekat, ternyata mereka menukar kamar agar bisa berdekatan dengan teman-teman yang sudah mereka kenal. Sementara itu, Kim-Ryu, yang pendiam dan tidak mudah bergaul, hanya fokus pada apa yang perlu dia lakukan. Selama tidak ada yang mengganggunya, semua akan baik-baik saja.Baru saja Kim-Ryu berpikir demikian, suara ketukan terdengar di pintu kamarnya. Tok... tok... tok... Suara ketukan itu pelan dan sopan, tapi Kim-Ryu yang kelelahan memutuskan untuk tidak segera memb