Share

The Pain
The Pain
Penulis: Lylindaceae

Prolog

Penulis: Lylindaceae
last update Terakhir Diperbarui: 2021-08-06 15:44:09

Kediaman keluarga Mahesa, Agustus 2000.

PRANKK!!!! 

Tiba-tiba Rama merasa sekujur tubuhnya melayang di udara. Namun perasaan itu hanya sesaat karena kini dia telah tersungkur diantara rerumputan. Badan Rama terasa lemas, hingga rasanya dia tidak mampu untuk menggerakan tubuhnya sedikitpun. 

''Kenapa aku ada di sini?'' batin Rama. 

Dalam ingatannya, beberapa saat yang lalu dia sedang berada di ruang baca bersama Arjuna. Sepupu sekaligus teman terdekat Rama di rumah ini.

Namun kini, tiba-tiba dia telah berada di halaman rumah. Terbaring kaku dalam hamparan rerumputan yang basah. 

Entah mengapa, Rama merasa sangat mengantuk. Tapi dia mencoba membuka kedua matanya dengan sisa tenaga yang dia punya. Dalam pandangan yang kabur itu, dia bisa melihat beberapa pecahan kaca menancap dalam tubuhnya. 

''Apa yang terjadi? Apa aku terjatuh?'' batin Rama kembali.

"RAMAAAAAA!!!!"

Terdengar sebuah teriakan histeris memanggil namanya. Rama menyipitkan mata supaya pandangannya lebih tajam. Dia lalu memandangi balkon lantai 2 rumahnya. Di sebelah balkon terdapat jendela dengan lubang menganga yang besar. 

Di lubang besar itu, terlihat siluet seorang wanita berambut panjang bersama seorang anak disampingnya. Walaupun samar, Rama tau bahwa wanita itu adalah Mamanya dan Arjuna. 

''Ah, rupanya benar aku terjatuh dari sana.''

Rama bergumam dan memejamkan matanya. 

 

***

Malam ini akan ada pertemuan keluarga besar Mahesa. Andara Mahesa, selaku istri dari putra pertama keluarga Mahesa harus memastikan acara ini berjalan dengan lancar. Dia lalu memanggil seorang koki dan mendiskusikan makanan yang akan mereka hidangkan malam ini. 

PRANKKK!!!! 

Tiba-tiba sebuah suara benda jatuh terdengar sangat keras. Andara menghentikan pembicaraannya dan menyuruh koki itu untuk kembali bekerja. Dia lalu menarik napasnya secara perlahan.

"Hah, dasar anak-anak! Katanya mau belajar, Guci mana lagi yang mereka pecahkan kali ini!"

Andara segera menghentikan kegiatan di dapur. Dia lalu berjalan menuju perpustakaan lantai dua sebelum kedua anak laki-laki itu memecahkan barang berharga lainnya.

"Makanya kalau di dalam rumah jangan main petak ump-"

Begitu membuka pintu perpustakaan, tampak Arjuna terduduk dengan tangisan yang sudah pecah. 

"Ta.. Tanteee! Bu.. Bukan aku! Ra.. Rama tadi terpleset sendiri.. Bu.. Bukan aku..,"

Andara mengangkat kedua alisnya. Anak-anak ini memang sangat aktif, tapi tidak biasanya Arjuna menangis sekencang ini. Apalagi wajahnya terlihat sangat pucat dan tangannya gemetaran. 

Andara melirik sudut ruangan yang ditunjuk tangan kecil Arjuna. Jendela di sudut ruang itu telah pecah dengan lubang yang sangat besar. Sedetik kemudian dia tersadar, Rama tidak ada di ruangan ini. Tiba-tiba Andara mempunyai firasat yang tidak enak. 

Dia segera berlari ke sudut ruangan itu tanpa menghiraukan sisa pecahan kaca yang ada. Begitu Andara melihat ke luar jendela, tampak seorang anak berusia 8 tahun sedang terlentang bersimbah darah diantara rerumputan.

"RAMAAAAAAAAAA!!!!!!!" teriak Andara histeris. 

Dug!

Dug!! 

Dug!!! 

Andara segera berlari menuruni tangga dengan cepat, meninggalkan seorang anak yang masih menangis di belakangnya. 

***

"Ramaaaaa!! Ramaaa!!!"

Terdengar suara seorang yang wanita berteriak sambil mengguncang tubuh Rama. Sebenarnya Rama sangat mengantuk, tapi wanita ini akan terus mengguncang-guncang tubuhnya dan tidak akan berhenti hingga Rama menjawabnya. Perlahan Rama memaksakan dirinya untuk membuka mata. Dihadapannya terlihat Andara sedang menangis dengan keras.

"Mama...," lirih Rama.

"Ya Tuhan, syukurlah! Rama bertahan ya sayang, sebentar lagi ambulan datang."

Wajah wanita itu tampak sembab, namun begitu melihat Rama terbangun dia segera menghapus air matanya dan mencoba tersenyum kepada Rama. 

"Mama, jangan menangis. Rama baik-baik aja."

Sebenarnya Rama sangat mengantuk dan ingin memejamkan mata kembali. Namun dia tidak ingin melihat Mamanya sedih. Sekuat tenaga Rama mencoba untuk bangun dan menunjukkan bahwa dia baik-baik saja. 

Saat bangun, beberapa pecahan kaca ikut menempel di tubuh Rama. Rama merasa sangat terganggu, terutama pecahan kaca yang cukup besar sedang menancap di atas perutnya. Dia mencoba melepaskan pecahan kaca besar itu, tiba-tiba cairan kental berwarna merah keluar dengan deras dari dalam perut Rama. 

''Ini.. Darah?!'' batin Rama. 

"Ramaaaaa!! Kenapa kamu tarik?!"

Andara segera menutup perut Rama yang terluka dengan tangannya kuat-kuat. 

"Ya Tuhan, kamu pasti kesakitan! Maaf, harusnya tadi mama menghentikanmu saat kamu memegang pecahan kaca itu!"

Andara kembali menangis. Rama memandangi wajah mamanya, dia lalu mendesah pelan.

"Padahal aku baik-baik saja tapi aku justru memperburuk keadaan," batin Rama dalam hati. 

"Ga sakit kok ma, jadi mama ga usah khawatir ya," ujar Rama sambil tersenyum kepada Andara. 

Rama mengira Andara akan tenang saat dia tersenyum dan menunjukkan bahwa dirinya baik-baik saja. Tapi wajah Andara justru semakin pucat. Dia kembali menekan perut Rama kuat-kuat dan mengamati wajah Rama. Namun Rama justru kembali tersenyum kepada Andara.

"Rama beneran ga apa-apa, Ma! Tapi Rama sangat mengantuk saat ini, Rama boleh tidur ya, Ma?"

Andara tidak bergeming, bola matanya membulat dan wajahnya semakin pucat. Rama lalu memejamkan matanya dan tubuhnya terkuai dipelukan Andara. Seketika Andara tersadar bahwa kondisi anaknya sedang kritis.

"Mana ambulannya??!!! Panggil kembali ambulannya!! Cepat!!"

Andara berteriak, disusul langkah cepat asisten rumah tangga yang berlari ke dalam rumah. 

***

Fakultas Kedokteran Queen University, Oktober 2020

Seorang pria dengan setelan jas biru berjalan di sepanjang koridor fakultas kedokteran. Dibelakangnya terdapat pria berkacamata yang tampak sedang sibuk dengan ponsel miliknya.

"Pak Rama, apakah kita harus mampir ke sini? Waktu kita tidak banyak hingga pertemuan dengan-"

"Saya tau Satya, saya hanya ingin menyapa teman lama," potong Rama cepat.

"Tapi, pak-"

Rama menghentikan langkahnya, dia lalu menatap asistennya dengan tatapan tajam.

"Maaf, pak. Saya akan coba untuk mengatur jadwal kembali."

Setelah beberapa langkah mereka akhirnya berhenti di depan salah satu ruang dosen. Rama lalu mengetuk pintu dan masuk setelah mendapat jawaban dari dalam ruangan. Di hadapannya terdapat seorang pria pria paruh baya yang hampir seluruh rambutnya berwarna putih sedang duduk bersama seorang wanita berambut panjang. 

"Nah, ini dia orang yang sedang kita bicarakan. Rama Narayana Mahesa, salah satu pasien dengan penyakit langka CIPA dimana dia tidak akan merasa sakit apapun saat terluka." 

"Maaf Rama, saya harus memanggil orang sibuk sepertimu untuk datang ke sini," lanjut pria paruh baya itu.

"Tidak, Prof. Saya justru senang bisa membantu profesor. Lagipula dia bukan orang asing, kami sudah saling mengenal saat di Tokyo,"  

Wanita berambut panjang itu tampak sangat terkejut, entah apa yang dipikirkan oleh wanita itu hingga dia tidak berbicara sepatah kata-pun sejak Rama masuk ke dalam ruangan itu.

"Halo, Naya! Lama tidak berjumpa," ujar Rama seraya tersenyum ke arah wanita itu.

Bab terkait

  • The Pain   BAB 1 : LANAYA EKAVIRA

    Tokyo, Desember 2018 Seorang gadis mengenakan jaket tebal berwarna coklat dipadu celana jeans panjang sedang berdiri di dekat terminal Tokyo. Wajahnya tampak gelisah, sesekali dia menghembuskan napas untuk menghangatkan kedua tangannya. Gadis itu lalu melirik arloji yang terpasang dipergelangan-tangannya, yang disusul dengan desahan napas panjang. Dia memperhatikan sekitar untuk mengurangi rasa bosan. Hampir seluruh jalanan tertutupi oleh salju. Suasana ini membuat tubuhnya semakin menggigil, Dia lalu menaikan kerah jaketnya dan kembali menghembuskan napas ke pergelangan tangannya. Kakinya mulai kebas namun digerak-gerakan supaya tidak mati rasa. Tak lama, terlihat wajah familiar mendekatinya. Seorang wanita berambut ikal dengan setelan baju hitam dan sepatu boot panjang. "Lanaya-san, Konbanwa!" ujar wanita itu girang. Lanaya Ekavira, gadis mungil dengan rambut panjang

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-06
  • The Pain   BAB 2 : PESTA PERPISAHAN

    Naya telah berdiri di depan cermin selama lebih dari satu jam. Berkali-kali dia menghapus riasan diwajahnya dan memoleskannya kembali, setelah berkutat cukup lama dia akhirnya mengoleskan liptint berwarna merah muda di bibir mungilnya sebagai sentuhan akhir."Hmm, ini tidak mencolok 'kan? Terlihat menggunakan make up tapi masih natural."Naya kembali menatap dirinya dalam pantulan cermin."Ah, andai saja masih ada Ami di sini, dia pasti akan membantuku hari ini"Dia lalu memperhatikan kamar Ami yang telah kosong. Ami sudah kembali ke Indonesia beberapa hari yang lalu, namun Naya belum mau mencari teman serumah pengganti Ami. Selain karena Ami teman terdekat Naya, juga karena Naya sebenarnya tidak terlalu suka kehidupan privasinya terganggu oleh orang baru.Naya menghela napas cukup panjang sebelum akhirnya mengganti baju yang dikenakannya dengan sebuah dress berwarna biru. Setela

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-06
  • The Pain   BAB 3 : KEPUTUSAN

    "Tomoya akan bertunangan dengan putri direktur rumah sakit!" Kalimat itu terus terngiang-ngiang di kepala Naya. Tiba-tiba dia merasa jiwanya telah keluar dari raganya untuk sesaat. Naya juga merasa ada sebuah tombak yang telah menghujam jantungnya. Jantung Naya masih berdetak dengan cepat, namun berbeda dengan sebelumnya kali ini jantung Naya terasa sakit, sangat sakit. "Selamat Tomoya-kun! Jangan lupakan aku kalau nanti kamu sudah sukses!" Hajime pergi setelah menepuk pundak Tomoya, menyisakan keheningan diantara Naya dan Tomoya. "Naya..." Tomoya terdiam sesaat sebelum dia melanjutkan perkataannya. "Itu..belum diputuskan. Aku.. belum menyetujui rencana mereka..." Naya mengangkat wajahnya, dia bisa melihat ekspresi Tomoya penuh rasa bersalah. Naya menyadari saat Tomoya mengucapkan kata ‘belum menyetujui’ dan bukan ‘tidak men

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-06
  • The Pain   BAB 4 : PRIA SAPU TANGAN

    "Hah.. Hah.. Hah..," Suhu yang dingin membuat napas Naya lebih pendek daripada biasanya. Dia masih mencari pemilik sapu tangan itu. Naya sangat yakin pria itu masih ada di Skytree karena jarak kepergian mereka yang tidak terlalu lama. Setelah mencari cukup jauh, suasana di sekitar Tokyo Skytree mulai sepi. Hanya ada beberapa orang yang masih berlalu lalang di sana. Naya melihat arloji ditangannya, ternyata waktu sudah menunjukkan pukul 11 malam. "Hampir tengah malam, pantas saja sudah sepi. Lebih baik aku pulang sekarang." Naya berjalan menuju pintu luar Skytree. Setelah itu dia berjalan menuju gang kecil di pinggiran Tokyo. Apartemen Naya memang terletak di pusat kota, sehingga cukup berjalan kaki hingga dia sampai di sana. Sekitar 200 meter dari apartemennya, Naya melihat segerombolan pemuda sedang mabuk dipinggir jalan. Naya tertegun, dia berpikir untuk mencari jalan memutar.

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-06
  • The Pain   BAB 5 : APARTEMEN NAYA

    Rama mengedarkan matanya di ruangan berbentuk persegi panjang itu. Apartemen Naya cukup nyaman. Terdapat ruang tamu berisi sofa yang menghadap ke arah tv plasma. Di seberangnya merupakan ruang makan minimalis yang menyatu dengan dapur. Naya berjalan masuk ke dalam apartemen dan membuka salah satu ruangan di apartemen itu. Dia lalu memanggil Rama untuk mengikutinya ke sana. "Kamu bisa istirahat di sini. Kamar mandi terletak di samping dapur. Oh iya, sebelah kamar ini adalah kamarku. Kalau ada apa-apa kamu bisa memanggilku disini." ''Pantas saja dia berani mengajakku menginap, rupanya ada dua kamar di apartemen ini.'' ‘Tunggu, apa yang sedang kamu pikirkan Rama!’ batin Rama. "Kalau begitu aku akan beristirahat." "Tunggu, Rama!" ujar Naya sambil menahan tangan Rama. "Emm, apa boleh aku mengobati lukamu? Aku memang belum menjadi

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-06

Bab terbaru

  • The Pain   BAB 5 : APARTEMEN NAYA

    Rama mengedarkan matanya di ruangan berbentuk persegi panjang itu. Apartemen Naya cukup nyaman. Terdapat ruang tamu berisi sofa yang menghadap ke arah tv plasma. Di seberangnya merupakan ruang makan minimalis yang menyatu dengan dapur. Naya berjalan masuk ke dalam apartemen dan membuka salah satu ruangan di apartemen itu. Dia lalu memanggil Rama untuk mengikutinya ke sana. "Kamu bisa istirahat di sini. Kamar mandi terletak di samping dapur. Oh iya, sebelah kamar ini adalah kamarku. Kalau ada apa-apa kamu bisa memanggilku disini." ''Pantas saja dia berani mengajakku menginap, rupanya ada dua kamar di apartemen ini.'' ‘Tunggu, apa yang sedang kamu pikirkan Rama!’ batin Rama. "Kalau begitu aku akan beristirahat." "Tunggu, Rama!" ujar Naya sambil menahan tangan Rama. "Emm, apa boleh aku mengobati lukamu? Aku memang belum menjadi

  • The Pain   BAB 4 : PRIA SAPU TANGAN

    "Hah.. Hah.. Hah..," Suhu yang dingin membuat napas Naya lebih pendek daripada biasanya. Dia masih mencari pemilik sapu tangan itu. Naya sangat yakin pria itu masih ada di Skytree karena jarak kepergian mereka yang tidak terlalu lama. Setelah mencari cukup jauh, suasana di sekitar Tokyo Skytree mulai sepi. Hanya ada beberapa orang yang masih berlalu lalang di sana. Naya melihat arloji ditangannya, ternyata waktu sudah menunjukkan pukul 11 malam. "Hampir tengah malam, pantas saja sudah sepi. Lebih baik aku pulang sekarang." Naya berjalan menuju pintu luar Skytree. Setelah itu dia berjalan menuju gang kecil di pinggiran Tokyo. Apartemen Naya memang terletak di pusat kota, sehingga cukup berjalan kaki hingga dia sampai di sana. Sekitar 200 meter dari apartemennya, Naya melihat segerombolan pemuda sedang mabuk dipinggir jalan. Naya tertegun, dia berpikir untuk mencari jalan memutar.

  • The Pain   BAB 3 : KEPUTUSAN

    "Tomoya akan bertunangan dengan putri direktur rumah sakit!" Kalimat itu terus terngiang-ngiang di kepala Naya. Tiba-tiba dia merasa jiwanya telah keluar dari raganya untuk sesaat. Naya juga merasa ada sebuah tombak yang telah menghujam jantungnya. Jantung Naya masih berdetak dengan cepat, namun berbeda dengan sebelumnya kali ini jantung Naya terasa sakit, sangat sakit. "Selamat Tomoya-kun! Jangan lupakan aku kalau nanti kamu sudah sukses!" Hajime pergi setelah menepuk pundak Tomoya, menyisakan keheningan diantara Naya dan Tomoya. "Naya..." Tomoya terdiam sesaat sebelum dia melanjutkan perkataannya. "Itu..belum diputuskan. Aku.. belum menyetujui rencana mereka..." Naya mengangkat wajahnya, dia bisa melihat ekspresi Tomoya penuh rasa bersalah. Naya menyadari saat Tomoya mengucapkan kata ‘belum menyetujui’ dan bukan ‘tidak men

  • The Pain   BAB 2 : PESTA PERPISAHAN

    Naya telah berdiri di depan cermin selama lebih dari satu jam. Berkali-kali dia menghapus riasan diwajahnya dan memoleskannya kembali, setelah berkutat cukup lama dia akhirnya mengoleskan liptint berwarna merah muda di bibir mungilnya sebagai sentuhan akhir."Hmm, ini tidak mencolok 'kan? Terlihat menggunakan make up tapi masih natural."Naya kembali menatap dirinya dalam pantulan cermin."Ah, andai saja masih ada Ami di sini, dia pasti akan membantuku hari ini"Dia lalu memperhatikan kamar Ami yang telah kosong. Ami sudah kembali ke Indonesia beberapa hari yang lalu, namun Naya belum mau mencari teman serumah pengganti Ami. Selain karena Ami teman terdekat Naya, juga karena Naya sebenarnya tidak terlalu suka kehidupan privasinya terganggu oleh orang baru.Naya menghela napas cukup panjang sebelum akhirnya mengganti baju yang dikenakannya dengan sebuah dress berwarna biru. Setela

  • The Pain   BAB 1 : LANAYA EKAVIRA

    Tokyo, Desember 2018 Seorang gadis mengenakan jaket tebal berwarna coklat dipadu celana jeans panjang sedang berdiri di dekat terminal Tokyo. Wajahnya tampak gelisah, sesekali dia menghembuskan napas untuk menghangatkan kedua tangannya. Gadis itu lalu melirik arloji yang terpasang dipergelangan-tangannya, yang disusul dengan desahan napas panjang. Dia memperhatikan sekitar untuk mengurangi rasa bosan. Hampir seluruh jalanan tertutupi oleh salju. Suasana ini membuat tubuhnya semakin menggigil, Dia lalu menaikan kerah jaketnya dan kembali menghembuskan napas ke pergelangan tangannya. Kakinya mulai kebas namun digerak-gerakan supaya tidak mati rasa. Tak lama, terlihat wajah familiar mendekatinya. Seorang wanita berambut ikal dengan setelan baju hitam dan sepatu boot panjang. "Lanaya-san, Konbanwa!" ujar wanita itu girang. Lanaya Ekavira, gadis mungil dengan rambut panjang

  • The Pain   Prolog

    Kediaman keluarga Mahesa, Agustus 2000. PRANKK!!!! Tiba-tiba Rama merasa sekujur tubuhnya melayang di udara. Namun perasaan itu hanya sesaat karena kini dia telah tersungkur diantara rerumputan. Badan Rama terasa lemas, hingga rasanya dia tidak mampu untuk menggerakan tubuhnya sedikitpun. ''Kenapa aku ada di sini?'' batin Rama. Dalam ingatannya, beberapa saat yang lalu dia sedang berada di ruang baca bersama Arjuna. Sepupu sekaligus teman terdekat Rama di rumah ini. Namun kini, tiba-tiba dia telah berada di halaman rumah. Terbaring kaku dalam hamparan rerumputan yang basah. Entah mengapa, Rama merasa sangat mengantuk. Tapi dia mencoba membuka kedua matanya dengan sisa tenaga yang dia punya. Dalam pandangan yang kabur itu, dia bisa melihat beberapa pecahan kaca menancap dalam tubuhnya. ''Apa yang terjadi? Apa aku terjatuh?'' batin Rama kem

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status