Naya telah berdiri di depan cermin selama lebih dari satu jam. Berkali-kali dia menghapus riasan diwajahnya dan memoleskannya kembali, setelah berkutat cukup lama dia akhirnya mengoleskan liptint berwarna merah muda di bibir mungilnya sebagai sentuhan akhir.
"Hmm, ini tidak mencolok 'kan? Terlihat menggunakan make up tapi masih natural."
Naya kembali menatap dirinya dalam pantulan cermin.
"Ah, andai saja masih ada Ami di sini, dia pasti akan membantuku hari ini"
Dia lalu memperhatikan kamar Ami yang telah kosong. Ami sudah kembali ke Indonesia beberapa hari yang lalu, namun Naya belum mau mencari teman serumah pengganti Ami. Selain karena Ami teman terdekat Naya, juga karena Naya sebenarnya tidak terlalu suka kehidupan privasinya terganggu oleh orang baru.
Naya menghela napas cukup panjang sebelum akhirnya mengganti baju yang dikenakannya dengan sebuah dress berwarna biru. Setelah itu dia mengambil sebuah tas slempang berwarna coklat dan tersenyum sekilas saat memandangi isi di dalamnya.
Hari ini merupakan agenda terakhir tim BSL di Rumah sakit universitas tempat Naya magang selama beberapa bulan terakhir. Setelah ini mahasiswa kedokteran akan kembali ke kampus untuk melanjutkan kuliah profesi.
Oleh karena itu, Naya dan teman-temannya berencana mengadakan pesta perpisahan sebagai bentuk terima kasih mereka kepada tim rumah sakit yang sudah membantu mereka selama ini.
Di hari ini pula, Naya telah membulatkan tekadnya untuk menyatakan perasaannya kepada Tomoya, salah satu dokter spesialis dermatology di Rumah sakit sekaligus koordinator kelompok tim Naya.
***
Acara perpisahan berjalan dengan sangat meriah. Semua orang tampak gembira dan bersenang-senang. Namun tidak bagi Naya, hingga saat ini dia belum bertemu dengan pria yang ditunggunya sejak tadi. Karena rumah sakit tidak boleh kosong, dokter residen dan spesialis hanya bisa menghadiri acara ini secara bergantian. Dan sialnya, Tomoya masih harus berjaga di Rumah sakit.
"Lanaya-san, kamu sudah bekerja keras selama ini! Tidak usah sungkan, ayo diminum!"
Erika, seorang wanita berkacamata yang merupakan salah satu dokter residen datang menghampiri Naya. Dia lalu menuangkan segelas sake dan memberikannya kepada Naya.
"Gomennasai Erika-senpai, saya tidak meminum sake," balas Naya dengan ekspresi bersalah.
"Sstttttttt~ aku tau kamu tidak minum minuman keras. Tapi khusus hari ini tidak boleh! Sudah menjadi tradisi di sini, kalau kamu harus meminum sake yang telah dituangkan pada acara perpisahan!"
Naya menelan ludah, biar bagaimanapun minuman keras adalah hal yang dilarang di negaranya. Dan itu seolah sudah menjadi kebudayaan yang mendarah daging di dalam diri Naya walaupun dia sekarang tidak berada di Indonesia.
"Ayo diminum! Sedikittttt sajaaa, ini sangat enak. Sungguh...,"
Muka Erika memerah, terlihat dengan jelas bahwa dia telah mabuk. Naya tidak ingin membuat keributan. Dia memegang gelas yang telah berisi sake dan berencana untuk berpura-pura meminumnya. Dia yakin Erika tidak akan sadar karena dia sedang mabuk.
"Hei, Erika-san! Meminum sake memang sudah menjadi tradisi di sini, tapi kita juga harus menghormati tradisi negara lain."
Suara familiar yang selama ini membuat jantungnya berdetak dengan cepat, terdengar oleh Naya. Dia segera menoleh dan mendapati Tomoya telah berada dibelakangnya.
Tomoya Watanabe, pria keturunan Jepang dengan lesung pipit dan mata sipitnya telah menarik perhatian Naya sejak pertama kali bertemu. Ditambah sikapnya yang selalu ramah pada Naya, sangat berbeda dengan kebanyakan pria Jepang lainnya.
"Dia sudah mabuk, kamu tidak usah menurutinya."
Naya mengangguk pelan. Tiba-tiba tangan Tomoya melingkari tubuh Naya dan mengambil segelas sake yang sedang dipegangnya. Tanpa aba-aba, pria itu langsung meneguk sake milik Naya.
Naya tersentak, tubuhnya seolah membeku. Dia bisa merasakan irama detak jantungnya yang berdetak lebih cepat.
"Tidak apa-apa 'kan aku minum? Sayang kalau dibuang." lanjut Tomoya santai.
Naya kembali mengangguk. Dia mencoba mengatur napasnya supaya detak jantungnya kembali normal.
"Tugas shift-nya sudah selesai, Tomoya-senpai?"
"Hari ini tidak begitu ramai, jadi aku bisa datang lebih cepat."
"Dan syukurlah kamu belum pulang," lanjut Tomoya.
Rona kemerahan kembali mencuat dipipi Naya. Ah, gagal sudah rencana Naya untuk membuat jantungnya kembali normal. Faktanya irama jantung Naya justru berdetak lebih cepat dari sebelumnya.
Tomoya lalu duduk di sebelah Naya, dia tampak memperhatikan gadis itu hingga membuat Naya cukup salah tingkah.
"Ada apa, senpai?"
"Maaf, aku bukan bermaksut tidak sopan. Hanya saja kamu.. Kamu tampak berbeda hari ini...,"
"Apa ada yang salah?"
Naya memperhatikan dress biru yang sedang dikenakannya. Dia biasanya memang hanya menggunakan pakaian kasual, namun dia pikir tidak salah juga memakai dress di pesta perpisahan.
"Tidak, bukan seperti itu. Kamu.. terlihat sangat cantik hari ini."
Tomoya berdeham pelan, dia lalu menyunggingkan sebuah senyuman kepada Naya.
'Ah, senyum itu lagi.' Naya membatin dalam hatinya.
Senyum yang telah menjadi candu bagi Naya. Naya sudah tidak sanggup menahannya lagi. Naya benar-benar menginginkan senyuman itu menjadi miliknya seutuhnya.
"Tomoya-senpai...,"
"Iya?"
"Apa kita bisa berbicara seben-"
"Tomoya!!!!!!"
Belum selesai berbicara, Hajime -salah satu dokter residen- datang dan merangkul Tomoya.
"Wah, kamu sudah datang! Apa kamu tau, dokter-dokter residen sedang membicarakan kamu. Ayo kita ke sana!"
"Hajime-kun, saat ini aku sedang berbicara dengan Naya. Kamu pergi saja duluan, nanti aku menyusul."
Tomoya melepaskan tangan Hajime dan mendorongnya pelan.
"Tunggu! Tunggu! Lanaya-san, apa kamu tau gosip terbaru? Tomoya akan bertunangan dengan putri direktur rumah sakit! Wah, kamu pasti tidak menyangka juga bukan?!"
DEG!
Naya tertegun mendengar perkataan Hajime.
Tomoya?! Bertunangan?!!!
Note :
Gomennasai : Maaf.
Senpai : senior.
Sake : minuman keras khas Jepang hasil fermentasi air beras.
"Tomoya akan bertunangan dengan putri direktur rumah sakit!" Kalimat itu terus terngiang-ngiang di kepala Naya. Tiba-tiba dia merasa jiwanya telah keluar dari raganya untuk sesaat. Naya juga merasa ada sebuah tombak yang telah menghujam jantungnya. Jantung Naya masih berdetak dengan cepat, namun berbeda dengan sebelumnya kali ini jantung Naya terasa sakit, sangat sakit. "Selamat Tomoya-kun! Jangan lupakan aku kalau nanti kamu sudah sukses!" Hajime pergi setelah menepuk pundak Tomoya, menyisakan keheningan diantara Naya dan Tomoya. "Naya..." Tomoya terdiam sesaat sebelum dia melanjutkan perkataannya. "Itu..belum diputuskan. Aku.. belum menyetujui rencana mereka..." Naya mengangkat wajahnya, dia bisa melihat ekspresi Tomoya penuh rasa bersalah. Naya menyadari saat Tomoya mengucapkan kata ‘belum menyetujui’ dan bukan ‘tidak men
"Hah.. Hah.. Hah..," Suhu yang dingin membuat napas Naya lebih pendek daripada biasanya. Dia masih mencari pemilik sapu tangan itu. Naya sangat yakin pria itu masih ada di Skytree karena jarak kepergian mereka yang tidak terlalu lama. Setelah mencari cukup jauh, suasana di sekitar Tokyo Skytree mulai sepi. Hanya ada beberapa orang yang masih berlalu lalang di sana. Naya melihat arloji ditangannya, ternyata waktu sudah menunjukkan pukul 11 malam. "Hampir tengah malam, pantas saja sudah sepi. Lebih baik aku pulang sekarang." Naya berjalan menuju pintu luar Skytree. Setelah itu dia berjalan menuju gang kecil di pinggiran Tokyo. Apartemen Naya memang terletak di pusat kota, sehingga cukup berjalan kaki hingga dia sampai di sana. Sekitar 200 meter dari apartemennya, Naya melihat segerombolan pemuda sedang mabuk dipinggir jalan. Naya tertegun, dia berpikir untuk mencari jalan memutar.
Rama mengedarkan matanya di ruangan berbentuk persegi panjang itu. Apartemen Naya cukup nyaman. Terdapat ruang tamu berisi sofa yang menghadap ke arah tv plasma. Di seberangnya merupakan ruang makan minimalis yang menyatu dengan dapur. Naya berjalan masuk ke dalam apartemen dan membuka salah satu ruangan di apartemen itu. Dia lalu memanggil Rama untuk mengikutinya ke sana. "Kamu bisa istirahat di sini. Kamar mandi terletak di samping dapur. Oh iya, sebelah kamar ini adalah kamarku. Kalau ada apa-apa kamu bisa memanggilku disini." ''Pantas saja dia berani mengajakku menginap, rupanya ada dua kamar di apartemen ini.'' ‘Tunggu, apa yang sedang kamu pikirkan Rama!’ batin Rama. "Kalau begitu aku akan beristirahat." "Tunggu, Rama!" ujar Naya sambil menahan tangan Rama. "Emm, apa boleh aku mengobati lukamu? Aku memang belum menjadi
Kediaman keluarga Mahesa, Agustus 2000. PRANKK!!!! Tiba-tiba Rama merasa sekujur tubuhnya melayang di udara. Namun perasaan itu hanya sesaat karena kini dia telah tersungkur diantara rerumputan. Badan Rama terasa lemas, hingga rasanya dia tidak mampu untuk menggerakan tubuhnya sedikitpun. ''Kenapa aku ada di sini?'' batin Rama. Dalam ingatannya, beberapa saat yang lalu dia sedang berada di ruang baca bersama Arjuna. Sepupu sekaligus teman terdekat Rama di rumah ini. Namun kini, tiba-tiba dia telah berada di halaman rumah. Terbaring kaku dalam hamparan rerumputan yang basah. Entah mengapa, Rama merasa sangat mengantuk. Tapi dia mencoba membuka kedua matanya dengan sisa tenaga yang dia punya. Dalam pandangan yang kabur itu, dia bisa melihat beberapa pecahan kaca menancap dalam tubuhnya. ''Apa yang terjadi? Apa aku terjatuh?'' batin Rama kem
Tokyo, Desember 2018 Seorang gadis mengenakan jaket tebal berwarna coklat dipadu celana jeans panjang sedang berdiri di dekat terminal Tokyo. Wajahnya tampak gelisah, sesekali dia menghembuskan napas untuk menghangatkan kedua tangannya. Gadis itu lalu melirik arloji yang terpasang dipergelangan-tangannya, yang disusul dengan desahan napas panjang. Dia memperhatikan sekitar untuk mengurangi rasa bosan. Hampir seluruh jalanan tertutupi oleh salju. Suasana ini membuat tubuhnya semakin menggigil, Dia lalu menaikan kerah jaketnya dan kembali menghembuskan napas ke pergelangan tangannya. Kakinya mulai kebas namun digerak-gerakan supaya tidak mati rasa. Tak lama, terlihat wajah familiar mendekatinya. Seorang wanita berambut ikal dengan setelan baju hitam dan sepatu boot panjang. "Lanaya-san, Konbanwa!" ujar wanita itu girang. Lanaya Ekavira, gadis mungil dengan rambut panjang
Rama mengedarkan matanya di ruangan berbentuk persegi panjang itu. Apartemen Naya cukup nyaman. Terdapat ruang tamu berisi sofa yang menghadap ke arah tv plasma. Di seberangnya merupakan ruang makan minimalis yang menyatu dengan dapur. Naya berjalan masuk ke dalam apartemen dan membuka salah satu ruangan di apartemen itu. Dia lalu memanggil Rama untuk mengikutinya ke sana. "Kamu bisa istirahat di sini. Kamar mandi terletak di samping dapur. Oh iya, sebelah kamar ini adalah kamarku. Kalau ada apa-apa kamu bisa memanggilku disini." ''Pantas saja dia berani mengajakku menginap, rupanya ada dua kamar di apartemen ini.'' ‘Tunggu, apa yang sedang kamu pikirkan Rama!’ batin Rama. "Kalau begitu aku akan beristirahat." "Tunggu, Rama!" ujar Naya sambil menahan tangan Rama. "Emm, apa boleh aku mengobati lukamu? Aku memang belum menjadi
"Hah.. Hah.. Hah..," Suhu yang dingin membuat napas Naya lebih pendek daripada biasanya. Dia masih mencari pemilik sapu tangan itu. Naya sangat yakin pria itu masih ada di Skytree karena jarak kepergian mereka yang tidak terlalu lama. Setelah mencari cukup jauh, suasana di sekitar Tokyo Skytree mulai sepi. Hanya ada beberapa orang yang masih berlalu lalang di sana. Naya melihat arloji ditangannya, ternyata waktu sudah menunjukkan pukul 11 malam. "Hampir tengah malam, pantas saja sudah sepi. Lebih baik aku pulang sekarang." Naya berjalan menuju pintu luar Skytree. Setelah itu dia berjalan menuju gang kecil di pinggiran Tokyo. Apartemen Naya memang terletak di pusat kota, sehingga cukup berjalan kaki hingga dia sampai di sana. Sekitar 200 meter dari apartemennya, Naya melihat segerombolan pemuda sedang mabuk dipinggir jalan. Naya tertegun, dia berpikir untuk mencari jalan memutar.
"Tomoya akan bertunangan dengan putri direktur rumah sakit!" Kalimat itu terus terngiang-ngiang di kepala Naya. Tiba-tiba dia merasa jiwanya telah keluar dari raganya untuk sesaat. Naya juga merasa ada sebuah tombak yang telah menghujam jantungnya. Jantung Naya masih berdetak dengan cepat, namun berbeda dengan sebelumnya kali ini jantung Naya terasa sakit, sangat sakit. "Selamat Tomoya-kun! Jangan lupakan aku kalau nanti kamu sudah sukses!" Hajime pergi setelah menepuk pundak Tomoya, menyisakan keheningan diantara Naya dan Tomoya. "Naya..." Tomoya terdiam sesaat sebelum dia melanjutkan perkataannya. "Itu..belum diputuskan. Aku.. belum menyetujui rencana mereka..." Naya mengangkat wajahnya, dia bisa melihat ekspresi Tomoya penuh rasa bersalah. Naya menyadari saat Tomoya mengucapkan kata ‘belum menyetujui’ dan bukan ‘tidak men
Naya telah berdiri di depan cermin selama lebih dari satu jam. Berkali-kali dia menghapus riasan diwajahnya dan memoleskannya kembali, setelah berkutat cukup lama dia akhirnya mengoleskan liptint berwarna merah muda di bibir mungilnya sebagai sentuhan akhir."Hmm, ini tidak mencolok 'kan? Terlihat menggunakan make up tapi masih natural."Naya kembali menatap dirinya dalam pantulan cermin."Ah, andai saja masih ada Ami di sini, dia pasti akan membantuku hari ini"Dia lalu memperhatikan kamar Ami yang telah kosong. Ami sudah kembali ke Indonesia beberapa hari yang lalu, namun Naya belum mau mencari teman serumah pengganti Ami. Selain karena Ami teman terdekat Naya, juga karena Naya sebenarnya tidak terlalu suka kehidupan privasinya terganggu oleh orang baru.Naya menghela napas cukup panjang sebelum akhirnya mengganti baju yang dikenakannya dengan sebuah dress berwarna biru. Setela
Tokyo, Desember 2018 Seorang gadis mengenakan jaket tebal berwarna coklat dipadu celana jeans panjang sedang berdiri di dekat terminal Tokyo. Wajahnya tampak gelisah, sesekali dia menghembuskan napas untuk menghangatkan kedua tangannya. Gadis itu lalu melirik arloji yang terpasang dipergelangan-tangannya, yang disusul dengan desahan napas panjang. Dia memperhatikan sekitar untuk mengurangi rasa bosan. Hampir seluruh jalanan tertutupi oleh salju. Suasana ini membuat tubuhnya semakin menggigil, Dia lalu menaikan kerah jaketnya dan kembali menghembuskan napas ke pergelangan tangannya. Kakinya mulai kebas namun digerak-gerakan supaya tidak mati rasa. Tak lama, terlihat wajah familiar mendekatinya. Seorang wanita berambut ikal dengan setelan baju hitam dan sepatu boot panjang. "Lanaya-san, Konbanwa!" ujar wanita itu girang. Lanaya Ekavira, gadis mungil dengan rambut panjang
Kediaman keluarga Mahesa, Agustus 2000. PRANKK!!!! Tiba-tiba Rama merasa sekujur tubuhnya melayang di udara. Namun perasaan itu hanya sesaat karena kini dia telah tersungkur diantara rerumputan. Badan Rama terasa lemas, hingga rasanya dia tidak mampu untuk menggerakan tubuhnya sedikitpun. ''Kenapa aku ada di sini?'' batin Rama. Dalam ingatannya, beberapa saat yang lalu dia sedang berada di ruang baca bersama Arjuna. Sepupu sekaligus teman terdekat Rama di rumah ini. Namun kini, tiba-tiba dia telah berada di halaman rumah. Terbaring kaku dalam hamparan rerumputan yang basah. Entah mengapa, Rama merasa sangat mengantuk. Tapi dia mencoba membuka kedua matanya dengan sisa tenaga yang dia punya. Dalam pandangan yang kabur itu, dia bisa melihat beberapa pecahan kaca menancap dalam tubuhnya. ''Apa yang terjadi? Apa aku terjatuh?'' batin Rama kem