Entah sudah berapa banyak senjata hebat yang ditempa dengan material terbaik yang berakhir hancur akibat keganasan api kematian. Api yang identik dengan warna hitam pekat itu tidak pernah lelah menunjukkan taringnya setiap kali ada senjata baru yang hendak berbagi ruang dengan baranya. Alvi tahu, api kematian tidak pernah bersahabat. Namun ia tidak menyangka mencari senjata yang cocok dengan api kematian sangatlah sulit.
Lapangan olahraga yang terletak di antara asrama dan gedung sekolah merupakan tempat yang cocok. Alvi membawa kedua tamu asing ke tengah lapangan yang cukup terik akan sinar matahari di jam dua siang itu.
“Pegang ini.” Alvi menyerahkan sebuah mutiara kecil berwarna jingga kepada Vania. “Kau boleh langsung berhenti jika merasa api kematian mulai memakanmu,” lanjutnya dengan intonasi bicara dingin yang tidak selaras dengan niat baiknya.
Setelah persiapan selesai, Vania mulai merapal sesuatu. “Sambutlah aku wahai Putri Kematian. Terimalah kekuatanku dan jadikan aku sebagai senjata kematianmu.”
Tubuh Vania tampak berpendar cahaya kuning yang luar biasa menyilaukan mata. Raganya perlahan-lahan berubah bentuk menjadi sebuah senjata sabit besar dengan tangkai sabit sepanjang dua meter. Mata sabit sendiri berbentuk panjang melengkung, terasah tajam dan sangat mematikan. Retakan yang memancarkan warna semerah bara api menyusul setelah keseluruhan senjata terbentuk sempurna.
Alvi menyambut senjata menakjubkan itu dan langsung mengayun, mencoba membelah udara kosong di depan. Efek angin yang ditimbulkan terasa hingga menggetarkan pagar kawat yang menjadi pembatas antara lapangan kosong ini dengan lapangan tenis di sebelah.
Alvi tersenyum puas melihat hasil dari tebasan pertamanya. Sebuah senjata hidup memanglah berbeda. Ketajaman dan akurasi serangan jauh di atas senjata-senjata tempaan khusus yang pernah ia uji sebelumnya. Tapi bukan ini hasil akhir yang ingin ia lihat. Alvi hendak melanjutkan dengan menguji kecocokan senjata ini dengan api kematian ketika rencananya terusik oleh kemunculan sekelompok orang. Jumlahnya sekitar sepuluh orang, dan dari senjata yang tercabut keluar dan napas yang sedikit tersengal-sengal, sepertinya mereka habis bertarung dengan mayat hidup di area sekitar sekolah.
“Akhirnya, aku berhasil menemukanmu, Putri Kematian!” teriak laki-laki berjaket denim yang menampilkan otot-otot lengan sempurna yang sempat muncul di kamp Aliansi Pemburu Hadiah. Namanya adalah Ernest Dillux, seorang pemburu hadiah kelas pari—satu kelas di bawah kelas hiu.
Kim Hana dengan sigap meraih gagang pedang yang terjurai di pinggang kiri. Namun tangan kiri Alvi lebih dulu memberi kode memintanya untuk tidak bertindak. Pedang yang telah ditarik setengah akhirnya kembali dimasukkan ke dalam sarung.
“Apa yang dia rencanakan?” tanya Kim Hana dalam hati. Kekhawatiran pada sang Tuan Putri dan rasa tidak percaya pada Alvi membuatnya terus menggenggam erat gagang pedang.
“Bersiaplah Putri Kematian! Karena akulah pemburu hadiah yang akan membawa pulang kepalamu! Akan kubuktikan bahwa kelompok pemburu terbaik bukan si Hiu Putih! Melainkan kelompokku! Kelompok Dillux!!!” sahut Ernest Dillux penuh semangat dan diikuti seruan intimidasi dari anggotanya.
“Boleh saja. Kebetulan aku ingin mencoba sesuatu.” Alvi memutar senjata sabitnya dan memosisikan secara diagonal di balik punggungnya. Mata sabit mengarah ke bawah.
“Aku ingin lihat kepala siapa yang lebih dulu putus. Kau atau mereka,” ucap Alvi melalui jalinan batin yang terbentuk secara otomatis antara dirinya dan Vania.
“Sudah kubilang, pada akhirnya kau akan setuju membantuku, Putri Kematian. Kau butuh senjata kuat sepertiku,” balas Vania tanpa rasa gentar dan tetap dengan rasa percaya diri yang tinggi.
Alvi tersenyum kaku menanggapi respons Vania. “Ingat, kau boleh berhenti seandainya api kematian mulai memakanmu.” Alvi kembali memperingatkan.
“Aku akan baik-baik saja,” tegas Vania dan tak lama kemudian bara api kematian tampak berkobar menyelimuti senjata sabit di tangan Alvi.
Api serupa juga muncul di ruang inter-dimensi tempat Vania berada. Api berwarna hitam pekat itu tampak berkobar tak bersahabat. Wujudnya mengepung Vania memberi tekanan dan dominasi sebelum serentak menyerang. Rasa panas seketika menggerogoti sekujur tubuh Vania. Meski demikian, putri sulung Kerajaan Ishlindisz itu masih bisa menahan dan menjaga fokusnya pada apa yang terjadi di luar sana.
Alvi mulai menyerang dan api kematian tampak menyelubungi keseluruhan mata sabit. Tebasan yang mengenai salah seorang anggota kelompok pemburu langsung disambut oleh bara api kematian yang sekejap melahap habis tubuh malang itu. Satu per satu anggota kelompok pemburu berhasil disantap oleh apinya dan...
“Di mana pemimpin mereka?” Alvi menyapu cepat pandangannya ke depan, kiri dan kanan. Sosok Earnest Dillux tidak tampak di mana-mana.
“Awas, belakang!” Vania spontan membimbing tangan Alvi yang memegang senjata sabit ke posisi menangkis.
“Tidak mungkin!” Ernest Dillux mengumpat kesal saat mendapati serangan muslihatnya gagal. Ia telah mengorbankan seluruh anggota kelompoknya hanya demi keberhasilan satu serangan ini. Sial! Bagaimana Putri Kematian bisa tahu ada serangan dari titik buta di belakang sini?
“Sayang sekali,” sindir Alvi sambil membalikkan badan dan mengayun kuat senjata sabit di tangannya. Api hitam yang jauh lebih besar meletup murka dan membakar habis raga Ernest Dillux dalam waktu kurang dari satu detik.
“Yes! Kita menang!” Vania bersorak gembira sampai lupa bahwa api kematian yang sedang membakar dirinya sudah kehilangan panas dan keganasan. Bunga api itu perlahan-lahan mengecil dan akhirnya lenyap dari inter-dimensi.
Alvi melepas senjata sabit dan membiarkan Vania kembali ke wujud manusia.
“Bagaimana?” tanya sang Tuan Putri dari Kerajaan Ishlindisz penuh kebanggaan diri. Seperti seorang anak kecil saja.
“Tidak buruk,” komentar Alvi tetap dengan sikap tak acuh walau sebenarnya benaknya sendiri sudah memiliki sebuah jawaban.
“Jadi...?” Vania hendak menanyakan kembali keputusan Alvi.
“Aku boleh-boleh saja membantumu. Tapi bagaimana aku bisa yakin kau tidak akan melanggar perjanjian setelah seluruh kontinen tenggara binasa?” tanya sang Putri Kematian.
Senyum lebar seketika merekah di wajah Vania. Ia telah mempersiapkan jawaban atas pertanyaan yang satu ini. “Kita bisa membuat semacam kontrak perjanjian,” tawarnya.
“Kontrak dengan senjata hidup memiliki konsep yang sama seperti senjata-suci milik Kaum Naga. Jika senjata mereka terikat secara otomatis melalui darah keturunan, maka pecahan North Compass yang tertanam dalam tubuhku bisa diikat dengan kontrak perjanjian yang kita berdua sepakati bersama. Jika kau berhasil membinasakan seluruh kontinen tenggara yang menjadi syarat perjanjian, maka tubuh dan nyawaku ini akan menjadi milikmu selamanya. Termasuk pecahan North Compass yang tertanam di jantungku ini.” Vania menunjukkan tekad dan kesungguhan akan niatnya.
“Cukup adil.” Alvi mengangguk setuju. “Tapi aku mau kontrak perjanjian yang kita buat adalah jenis Kutukan-Pengikat-Jiwa. Dengan media nama, aku akan mengikat jiwamu sebagai senjata abadiku. Bahkan ketika tubuhmu hancur sekalipun kau harus terus melayaniku sebagai sebuah senjata kematian.” Alvi terlalu pintar dengan memanfaatkan satu dari tiga jenis perjanjian terkeji.
Ia tentu saja tidak mau melepas kesempatan untuk memiliki utuh senjata sehebat itu. Tak peduli apakah benar pecahan North Compass yang asli atau tidak. Karena pada kenyataannya, Alvi sudah terlanjur jatuh cinta senjata sabit tersebut.
“Tuan Putri.” Kim Hana maju selangkah hendak membujuk Tuan Putrinya untuk mempertimbangkan kembali negosiasi ini. Kutukan-Pengikat-Jiwa bukanlah sesuatu yang bisa dianggap sepele karena risikonya adalah mengikat jiwa selama-lamanya.
“Sepakat.” Vania tak butuh waktu lama untuk menyetujui permitaan Alvi. Ia bahkan mengabaikan kekhawatiran Kim Hana. Semenjak memutuskan keluar dari kontinen tenggara dan mencari sosok terkuat yang mampu membinasakan tanah kelahirannya, Vania sudah siap mempertaruhkan nyawa dan risiko-risikonya. Meski itu artinya ia harus menjadi budak yang bertindak sebagai senjata abadi bagi seorang Putri Kematian.
Ya, Vania tidak peduli!
Napas yang tersengal-sengal akibat kelelahan berseling dengan langkah kaki gontai yang menginjak genangan air lumpur tanpa memerdulikan cipratannya mengotori kaki telanjang. Seorang anak perempuan berbusana gaun tidur putih selutut tampak melangkah tergesa-gesa menerobos hujan lebat di antara pepohonan hutan. Pakaiannya telah basah kuyup, sementara warnanya telah berubah menjadi coklat lumpur. Tak terhitung sudah berapa kali ia terjatuh akibat tersandung akar pohon yang menonjol keluar, dan sebanyak itu pulalah ia bangkit berdiri dan terus berlari. “Ke mana anak itu lari? Cepat berpencar dan temukan dia! Jangan biarkan dia lolos!” teriak seseorang di tengah amukan petir yang menemani derasnya hujan di siang itu.Sekelompok pengejar yang terdiri atas tiga puluh orang segera berpencar dalam jarak yang tidak saling berjauhan. Senapan di masing-masing tangan tampak terancung siaga siap menembaki target yang sedang mereka cari.“Di sini! Dia ada di sini!” Seorang anggota berteriak seraya
Sinar matahari yang menyilaukan mata disertai kicauan burung-burung yang merdu di pagi hari membuat Claudia bergelut manja di bawah balutan selimut tebal yang hangat. Semula ia pikir dirinya hanya mengalami mimpi buruk yang amat panjang dan melelahkan. Lalu ketika fajar menyingsing dan matahari mulai menampakkan sinarnya, maka semua akan kembali seperti normal. Kerajaan Ishlindisz yang damai, penduduk yang penuh semangat memulai aktivitas, dan tentu saja di meja makan sudah ada ayah serta kakak yang menantinya untuk sarapan bersama.Gambaran-gambaran indah akan kehidupan tenteram itu seketika buyar sewaktu bunyi dentingan besi yang ditempa berulang kali menusuk telinga Claudia. Udara hangat pelan-pelan berubah menjadi hawa panas yang menciptakan rasa gerah. Claudia En Lacia Ishlindisz terpaksa membuka mata yang masih mengantuk dan berusaha mencari sumber suara yang sangat mengganggu tidurnya itu. Pemandangan pertama yang tertangkap oleh mata dengan iris berwarna hijau miliknya langsun
Claudia mencermati secara saksama setiap ruangan hingga sudut koridor yang ia lewati. Setelah menjelajah singkat ke setiap kamar di lantai dua, ia pun menuruni tangga. Mata dengan iris hijau indahnya sempat melirik sepintas ke arah bengkel sebelum akhirnya pergi menuju dapur di bagian paling belakang. Sesuai ucapan Vice, penginapan ini benar-benar kosong tanpa satu orang pun tak terkecuali karyawan!“Sudah berapa lama tempat ini tidak mendapat tamu?” Claudia bertanya-tanya dalam hati. Telunjuknya mengusap kuat permukaan meja kayu untuk mengukur ketebalan debu.“Kenapa dia tidak pergi saja dari tempat ini dan mencari kehidupan yang lebih menjanjikan?” Anak perempuan itu terus menerka-nerka sambil mulai mencari sosok Vice Kyle yang sedari tadi tidak terlihat.Aneh dan juga sulit dijelaska
Alvi Veenessa Endley mengamati sekeliling dengan rasa penasaran yang berhasil disamarkan oleh mimik kaku di wajah. “Ishlindisz, inikah yang mau kau tunjukkan setelah membawaku berputar jauh ke arah barat daya kontinen tenggara?” tanyanya pada Vania En Laluna Ishlindisz.Tidak ada hal menarik yang bisa diceritakan selain bangunan-bangunan kosong dengan seluruh kaca jendela pecah total di mana serpihannya tampak berserakan di jalanan. Debu tebal juga menyamarkan warna aspal jalan menjadi coklat pasir. Lalu ada banyak sampah kertas yang entah sudah berapa tahun tergeletak di sana sampai-sampai tulisannya telah memudar.Kota mati Osteria dan Gharian merupakan dua kota bertetangga yang menjadi perbatasan langsung antara wilayah barat daya kontinen tenggara dengan kontinen barat. Sayangnya, akses keluar-masuk perbatasan dan kota telah disegel rapat-
Kerangka makhluk raksasa yang dahulu kala sempat dipuja-puja akan keagungan dan napas api seakan terbangun dari tidur abadinya. Makhluk yang hanya terdiri atas susunan tulang belulang itu meraung ganas seraya mengayun kasar tungkai kanan depan ke sisi kiri. Mengempas subjek-subjek gagal buangan Eins Stewart yang lebih dulu maju menyerang. Dengan segala keunggulan yang dimiliki, sang makhluk raksasa mengembuskan napas berat, sementara mata dengan iris semerah bara magma mengawasi makhluk-makhluk kerdil lainnya yang mulai merapat.Subjek-subjek buangan yang terempas berakhir dengan menubruk dinding bangunan dan memekik sakit. Meski demikian, mereka tetap berusaha bangkit walau struktur anatomi tubuh tampak semakin tak karuan. Dislokasi parah terlihat jelas pada sendi dan tulang mereka. Misalnya ada yang membungkuk permanen akibat tonjolan-tonjolan tak wajar pada tulang punggung seperti hendak mencuatkan sesu
Entah kenapa suasana di kota mati Gharian menjadi sedikit lebih hangat sejak pertemuan kembali dua tuan putri yang menjadi pewaris sah atas takhta Kerajaan Ishlindisz. Para subjek gagal menjadi lebih jinak dan berdiam di sudut-sudut tergelap kota. Sisa-sisa jiwa manusia yang masih tertinggal di dalam diri mereka seakan mengenali sang Tuan Putri.Vania dan Kim Hana akhirnya berhasil menemukan satu rumah bertingkat dua yang masih utuh baik luar maupun bagian dalam. Ada dua kamar tidur yang lengkap dengan kasur, penghangat ruangan, kotak obat serta beberapa pakaian yang mungkin bisa mereka pakai. Setidaknya malam ini mereka bisa terlindung dari serbuan angin malam yang semakin beku.“Endley, kau bisa masuk angin kalau terus di luar sini.” Vania berusaha memanjat ke atap rumah melalui balkon lantai dua.
Setiap kali Claudia membuka mata, ia selalu menemukan dirinya berada di tempat berbeda dengan orang berbeda pula. Tapi kali ini ia seperti terbangun dari mimpi di dalam mimpi. Tidak mungkin pemandangan di depan matanya adalah nyata. Tidak mungkin kakak yang selama ini berusaha ia cari muncul begitu saja di sampingnya. “Kak Vania...” Bibir Claudia bergumam tanpa mengeluarkan sedikit pun suara. Matanya masih terpaku tak percaya pada sosok wanita yang sedang tidur tengkurap dengan wajah menghadap ke arahnya. Claudia hendak bangkit dari baringan untuk memastikan ini semua bukanlah mimpi. Namun keraguan itu terjawab sudah oleh rasa sakit yang seketika menjalar ke seluruh tubuh terutama di bagian punggung. Rasa menyiksa itu bukanlah sesuatu yang bisa diproduksi oleh mimpi atau pun ilusi. Tapi kenapa kakaknya bisa ada di sini? Lagi pula, ini di mana?
Siang itu, api hitam kematian tampak membumbung tinggi membakar habis seluruh kota mati Gharian dan Osteria tanpa sedikit pun sisa. Kemunculan api yang menjadi momok menakutkan bagi Beta Urora itu sekaligus menjadi bukti nyata akan kehadiran sang Putri Kematian di kontinen tenggara. Wanita itu datang untuk memberi penghakiman atas tanah yang sudah tak memiliki harapan atau pun masa depan.“Alvi Veenessa Endley telah masuk ke wilayahmu. Kau tidak berencana menghentikannya?” tanya seorang pria dari balik bayang-bayang gelap teras taman istana Kerajaan Ishlindisz yang tak terjamah oleh cahaya matahari.Bangunan istana megah itu terletak di tengah-tengah kontinen tenggara dan selama berabad-abad telah menjadi pusat pemerintahan Kerajaan Ishlindisz yang mencakup seluruh wilayah tenggara Beta Urora.Nuan
Raka Gilbert Vaiskyler membawa Vania En Laluna Ishlindisz ke sisi lain halaman. Walau jarak dengan pantai tidak sedekat tempat sebelumnya, namun pemandangan akan hamparan lautan masih bisa terlihat jelas. Vania menyentak ringan bahu kanannya sambil mengambil langkah kecil memisahkan diri dari Raka. Tadinya ia sengaja mengikuti skenario yang sengaja diciptakan Raka untuk menjauhi Fhillipe. Namun sekarang akting itu sudah tidak diperlukan. Raka yang sadar diri segera melepas rangkulannya. Dengan sedikit canggung laki-laki itu memasukkan kedua tangan ke saku jaket abu-abu berbahan katun. Matanya mengikuti arah pandang Vania menuju gelombang pasang surut air pantai. “Dulu aku tidak sempat pamit denganmu. Jadi hari ini aku datang untuk mengucapkan salam perpisahan.” Raka bersuara memecah kebisuan di antara mereka. Vania tidak merespons. Matanya menatap sendu pada pantulan semu bulan pada permukaan air laut. “Aku juga berutang maaf dan sepenggal ucapan selamat... atas pernikahanmu.” Su
Satu-satunya ruang rapat di lantai tujuh berhasil disulap menjadi seperti kapal pecah oleh Rihan Daniel. Tumpukan buku menggunung di atas meja panjang di tengah ruangan, sementara sampah kertas terlihat bertebaran di lantai beralas karpet. Coretan tulisan berupa detail kejadian demi kejadian yang berlangsung selama kurun waktu dua puluh tahun terakhir tampak ditempel di atas peta seluruh Beta Urora yang dipampang sangat besar dan mencolok di dinding sebelah kiri dari pintu masuk. Rentetan kisah itu sangat panjang dan tak mungkin habis dalam satu malam jika harus diceritakan.Ada beberapa catatan yang diperoleh Vania dan yang lain setelah selesai dari ruang di lantai tujuh itu. Tentang North Compass maupun kejadian yang terjadi selama dua lima puluh tahun terakhir—atau mungkin lebih lama dari itu, menurut pengakuan Nega Vaiskyler; sang naga api yang terjebak dalam raga anak perempuan manusia.
Rihan mengayunkan pedangnya dengan sangat beringas ke arah Alvi Veenessa Endley. Bilah pedang tajam berwarna hitam dengan ornamen kuning di tengah tampak melesat menuju dada sang Putri Kematian yang tak terlindungi. Namun mau sekuat apa pun Rihan menyerang, sebuah pelindung tak kasat mata selalu berhasil menghentikan amukan pedangnya.“Percuma saja,” ujar sosok yang sedang mengendalikan tubuh Alvi. Ia tidak meremehkan lawannya tapi juga tidak sepenuhnya menganggap serius.Lagi, bola-bola transparan misterius yang sebelumnya juga sempat bangkit dari balik lantai teras mulai terbentuk dan melayang ke antara jarak sempit di tengah kedua orang itu.Rihan seketika melompat mundur menghindari benda menyebalkan yang sewaktu-waktu bisa meledak. Meski sudah mencoba dan gagal beberapa kali, tapi tidak ada gu
Rihan Daniel berdiri seorang diri di teras atas bekas markas Samsara seraya melempar pandangan jauh ke arah lautan. Ia sudah mematung di sana selama hampir dua jam lamanya, seakan tiupan angin laut yang begitu kencang membawa serta dirinya untuk berkelana jauh ke berbagai hal di masa lalu.Namun segala ketenangan yang menyelimuti wilayah paling selatan dari Beta Urora terusik oleh raungan samar seekor naga di kejauhan. Tak lama, makhluk berukuran raksasa yang tinggi hampir setara dengan bekas markas Samsara bertingkat tujuh itu mendarat tepat di samping bangunan bekas markas Samsara. Salah satu sayapnya segera terlipat sempurna, namun satunya lagi hanya terlipat setengah. Ketiga penumpang yang ia bawa di punggungnya pun segera turun dan menapakkan kaki ke atas bangunan dengan memanfaatkan setengah sayap yang terlipat sebagai jembatan.“Vania En Laluna Ish
“Daniel.” Vania En Laluna Ishlindisz memanggil sambil menjulurkan kepala keluar pintu kamar. Suasana lorong di depan pintu kamar terasa amat sepi dan hening.“Lily?” panggilnya lagi karena sang macan tutul salju juga tak tampak. Bahkan Robo yang selalu siaga di lorong pun tak kelihatan batang hidungnya.Aneh, ada apa dengan mereka? Apa yang sedang Rihan Daniel rencanakan?Vania ragu selama beberapa waktu, mempertimbangkan apakah dirinya harus memanfaatkan kesempatan ini untuk lari atau tidak. Segala kemungkinan yang berhasil dipikirkan tidaklah memberinya alasan untuk tetap tinggal. Keberadaan Alvi sendiri yang belum diketahui semakin membulatkan tekad Vania untuk pergi dari sini selagi bisa.Degup jantung berdetak kencang sewaktu Vania berhasil m
Sebuah kamar tidur di lantai paling atas memiliki pencahayaan serta pemandangan menghadap laut yang paling strategis. Sinar matahari pagi akan langsung menyongsong masuk melalui jendela serta pintu kaca balkon. Sementara pada malam hari, akan ada pemandangan lautan bintang berkelap-kelip di langit gelap, menciptakan ilusi indah yang tak pernah disaksikan Vania bahkan di istana Kerajaan Ishlindisz sekali pun.Suasana bekas markas Samsara yang senyap di wilayah paling selatan Beta Urora sungguh memberi ketenangan tersendiri pada Vania. Wanita itu bahkan sudah tidak ingat kapan terakhir kalinya ia merasa rileks dan sedamai ini. Mungkin sebelum kekacauan di kontinen tenggara terjadi, atau mungkin jauh sebelumnya sewaktu dirinya masih seorang remaja naif. Tapi, duduk bersandar di tempat tidur sambil menikmati pemandangan di luar jendela... apakah dirinya masih pantas mendapatkan kemewahan ini?
Suara pertarungan. Jeritan frustrasi Alvi.Tawa Kirra Anggriawan.Semua itu bersahut tak karuan di dalam kepala Vania mengiringi sisa-sisa kesadaran yang ia miliki. Tubuhnya mati rasa. Luka fatal yang membelah dadanya tak lagi terasa sakit. Bahkan hangatnya genangan darah yang mengalir keluar sudah tidak dirasakan. Lalu, rasa dingin mulai menjalar. Suara langkah kaki terdengar mendekat lalu berhenti. Vania ingin bersuara, ingin menyampaikan kalau ia masih hidup. Namun ambang batas antara hidup dan kematian begitu dekat dengannya. Vania tak bisa berbuat apa-apa selain terus menatap cahaya kecil yang perlahan-lahan menjauh dan memudar. Ia sekuat tenaga mengangkat tangan, berusaha menjangkau cahaya redup yang menjadi satu-satunya alasan untuk bertahan.“Nyawa Alvi Veenessa Endley adalah segala-galanya. Kali ini aku tidak akan melepaskan tanganku lagi.” Rihan Daniel berkata bersamaan dengan tarikan pelan di ujung kaos lengan panjang yang ia kenakan.Laki-laki itu refleks berbalik dan se
Sambut tak menyenangkan yang diberikan oleh naga-naga Waldermar disaksikan secara diam-diam oleh raja Kaum Naga itu sendiri. Laki-laki yang terlihat masih sangat muda itu menatap datar menyaksikan perlakuan Kaumnya pada para tamu asing. Bahu kirinya bersandar rileks pada sebatang pohon, sementara kedua tangannya terlipat di depan dada.“Aku akan menghentikan mereka.” Julius Aditya Kane tak kuasa menahan diri melihat perbuatan para Waldermar. Ia telah maju selangkah ketika tangan kanan Raka Gilbert Vaiskyler menghentikannya.“Tunggu sebentar,” pinta sang raja Kaum Naga tanpa melepas pandangan. Ada suatu hal yang ingin ia pastikan, dan momen ini adalah kesempatan satu-satunya.Dari jauh Alvi tampak bangkit dan melesat sangat cepat hingga Raka sendiri spontan mengernyit takjub. Laki-laki itu ham
Vice Kyle jatuh berlutut dengan napas tersengal-sengal. Sesuatu yang sepintas terjadi barusan hampir menguras habis seluruh tenaga dan kekuatannya. “Sial, mau sampai kapan kau keras kepala seperti ini?” gumamnya setengah kesal, setengah lega.Mayat hidup yang tersisa di kawah tinggal kurang dari tiga puluh. Seharusnya Vice bisa menyelesaikan dengan lebih cepat seandainya hal mendadak itu tidak terjadi.Satu gerakan melingkar secara horizontal dari senjata rantai panjang mengakhir pertarungan tak seimbang di dasar kawah ini. Senjata berwarna hitam keseluruhan itu menyusut menjadi lebih pendek dan tampak seolah-olah hidup karena bergerak luwes kembali pada Vice. Tingkahnya seperti anak kecil yang meminta pujian setelah melakukan tugasnya dengan sangat baik.Vice mengusap lembut puncak mata rantai yang berb