"Daddy... dia sudah sadar!!" Monica berseru penuh suka cita kepada Henry, ketika gadis itu melihat kedua kelopak mata kakaknya mulai perlahan membuka. "Aiden! Aiden, kamu bisa mendengarku?!" "Aiden baru sadar, Sayang. Biarkan dulu ia mencerna semuanya," ucap Henry sang ayah yang kini ikut berada di samping putrinya, dan melempar senyum ke arah putranya yang sedang berbaring dengan tubuh penuh luka. Manik coklat gelap Aiden semula menatap sayu dan kosong kepada dua orang yang yang ikut menatap dirinya, namun ketika sebuah kilasan kenangan terbersit di dalam pikirannya, seketika itu juga ia bergerak-gerak gelisah. "Trixie," ucap bibir pucat, kering dan pecah-pecah itu. "Trixie... aku harus... menyelamatkan Trixie..." "Aiden, tenanglah. Detak jantungmu menjadi tidak stabil. Tolong jangan pikirkan apa pun dulu~~" "TRIXIE!!" Teriak Aiden yang mengabaikan perkataan ayahnya. Tubuhnya bergerak semakin gelisah seolah ingin bangun, namun kondisinya yang sangat lemah itu membuatnya tak b
Sesungguhnya sebagai seorang dokter, ia pun tidak setuju dengan permintaan yang diajukan oleh Aiden Miller. Pria itu memintanya untuk membuang ingatannya spesifik mengenai segala sesuatu yang berkaitan dengan Leon Morgan dan Trixie Bradwell. Awalnya tentu saja Sandeep menolaknya, karena 'melupakan' bukanlah solusi yang tepat untuk setiap menangani setiap masalah. Hipnoterapi sendiri bukanlah bertujuan untuk melupakan masalah, namun 'mengubah' sudut pandang terhadap masalah itu sendiri. Pasien akan dibantu untuk menjadi 'netral' terhadap masalah hidupnya, hingga semua beban itu tak lagi memberatkannya. Dengan cara memberikan makna baru yang lebih baik untuk peristiwa yang telah terjadi, dan juga bisa dengan cara memaafkan diri sendiri dan orang lain dalam prosesnya. Namun Sandeep tak bisa berkutik saat baru menyadari siapa pria bersurai coklat dengan sorot dingin yang meminta bantuannya itu, sosok yang ternyata bukanlah orang biasa. Pria yang ternyata memiliki kuasa yang mengeri
Keputus-asaan.Aiden bisa merasakan betapa dalam dan pekatnya perasaan itu yang tiba-tiba saja menyergap dirinya, saat kenangan akan Leon Morgan kembali teringat di dalam pikirannya.Bahkan Aiden pun ingat pada detik-detik terakhir sebelum Leon berlari ke jalanan, lalu dengan sengaja menabrakkan diri ke salah satu mobil yang sedang melaju kencang.Semua itu ia lakukan tanpa banyak berpikir, kecuali hanya demi ingin menyelamatkan nyawa Trixie.Aiden juga ingat dengan keputusannya yang meminta bantuan kepada Dokter Sandeep Naresh untuk membuatnya "lupa".Juga pada setiap detik dari rasa sakit luar biasa saat otaknya dicuci dari kenangan akan Trixie dan Leon, serta bagaimana pada akhirnya semua ini bermula.Pria bersurai coklat gelap itu pun menghela napas pelan. Ia tak bisa menarik kembali semua yang telah terjadi, meskipun sangat ingin.Aiden baru saja sadar setelah beberapa jam dari pingsannya. Sambil duduk bersandar di kepala ranjang, ia masih berusaha mencerna semua ingatan yang per
Lokasi : London, apartemen milik Lena Jemari lentik itu menekan bel yang terletak di bagian samping pintu selama beberapa kali, dan tak berapa lama kemudoan akhirnya pintunya itu pun terbuka. Sesosok wanita bersurai gelap ikal yang muncul dari dalam pun seketika terpaku saat maniknya melihat tamu yang berdiri di depan pintu apartemennya. "Halo, Lena," sapa ringan si tamu sembari melambaikan tangannya. Seulas senyum ramah yang terpatri di wajahnya yang cantik terlihat memukau. "TRIXIE?!" Setelah mendapatkan kesadarannya kembali, wanita yang bernama Lena itu pun menjerit kaget dan menghambur untuk memeluk tamunya. "OH MY GOD!! TRIXIE!! AKU... AKU TIDAK SEDANG BERMIMPI KAAN??" "Tidak... uhuk. Kamu tidak sedang bermimpi, Lena. Tapi... bisa lepas? Uhuk-uhuk... aku tidak bisa bernapas," ucap wanita bersurai pirang emas yang bukan cuma terbatuk-batuk karena sesak, tapi juga telinganya mulai berdenging karena mendengar jeritan sahabatnya itu. "Oh. Maaf." Lena pun buru-buru melepaskan p
Trixie pun diam tak bergeming, sembari menatap cemas ke arah leher Lena yang telah berdarah karena teriris pisau. "Tolong jangan sakiti dia," pinta wanita bersurai emas itu kemudian. "Apa yang kamu inginkan?" Seulas senyum licik pun kemudian terurai di wajah lelaki dengan wajah penuh tato itu. "Anda, Nona. Yang saya inginkan adalah Anda, yang menyerahkan diri dengan suka rela." Lelaki itu merogoh sakunya dengan tangan yang semula membungkam mulut Lena, lalu mengeluarkan sesuatu berwarna perak dan langsung melemparkannya ke hadapan Trixie. "Borgol dirimu sendiri, maka aku akan melepaskan temanmu." Trixie pun cepat-cepat meraih benda berbentuk dua lingkaran itu di bawah kakinya, dan memasangnya di pergelangan tangan. "Done." Trixie berucap sembari mengangkat tangannya ke atas kepala, memperlihatkan borgol yang membelenggu kedua tangannya. "Sekarang tolong lepaskan temanku, aku tidak akan lari." Lelaki itu pun menghempas kasar tubuh Lena hingga wanita itu terjatuh ke lantai, lalu
Lokasi : Markas Besar The Black Skull, Madrid. "Aiden!" Pria bersurai coklat itu pun terus melangkah, memgabaikan protes adiknya yang masih mengekorinya di belakang. "Aiden, bukankah kamu masih kesakitan?" Ingatannya sebagai Leon Morgan yang telah kembali, pasti juga menimbulkan rasa sakit luar biasa yang juga ikut kembali karena prosedur menyakitkan yang pernah Aiden alami untuk mengubur kenangannya. Monica meraih tangan kakaknya, yang langsung ditepis kadar oleh Aiden. Pria itu pun lalu melayangkan tatapan nyalang dan tajam kepada adiknya. "Ya, kamu benar. Aku memang sakit, Monica. Sangat sakit. Dan bagiku... hanya Trixie-lah satu-satunya yang mampu mengobatinya." Monica pun mematung mendengar perkataan yang keluar dari mulut Aiden. Begitu kejam dan telak, membuat hatinya seketika hancur entah untuk yang keberapa kalinya. Gadis itu memandangi punggung Aiden yang semakin menjauhinya, dan seketika air mata pun mulai membanjiri wajahnya. "Aiden Miller!! Stop!!" Jerit Monica sp
"Di sini adalah jarak yang aman dari pengawasan Cielo Nostra, Mr. Miller." Aiden mengangguk pelan mendengar informasi dari bawahannya, lalu segera membuang pandangannya kepada lautan lepas sejauh mata memandang. Aiden benar-benar bersyukur karena teknologi Alice yang ia miliki telah berhasil menemukan posisi tempat persembunyian Vivienne dan Cielo Nostra. Deadman's Island. Siapa sangka jika ternyata pulau tak berpenghuni yang terletak di seberang kota Queenborough ini telah menjadi lokasi milik Vivienne. Aiden hanya pernah mendengar bahwa pulau ini tak berpenghuni, dan telah menjadi semacam situs penelitian ilmiah milik Pemerintah Inggris Raya. Tapi ternyata perkiraannya telah salah. Aiden mulai mengenakan masker kaca untuk menyelam di wajahnya serta snorkell di mulutnya. Dari sini, ia akan menyelam hingga sejauh kurang lebih 5 kilo meter. Sementara tangki oksigen yang ia bawa hanya mampu bertahan untuk digunakan bernapas selama 1 jam lebih. Berenang di lautan lepas akan mem
"Jangan sentuh temanku!!" Teriak wanita itu, sambil kembali hendak menendang pria bernama Carlos yang hendak menjamah Lena. Namun rambutnya keburu ditarik dengan keras dan diseret keluar dari ruangan itu. Trixie menjerit dan meronta-ronta, sakit yang luar biasa membuat rambutnya seolah akan terkelupas dari kulit kepala. Namun ia tak berdaya dengan kedua tangan yang diborgol dan tubuh yang diseret di sepanjang jalan. Kakinya mengais-ngais berusaha untuk berdiri, namun tetap tak mampu. "LENAAA!!!" Trixie menjerit dengan sekuat tenaga. Air mata pun mulai mengalir di wajahnya membayangkan Lena yang akan dilecehkan dan disiksa oleh lelaki biadab bernama Carlos itu. Ya Tuhan. Tolong lindungi Lena! "Diamlah. Señora Vivienne ingin bertemu denganmu, mi amor. Sebaiknya kamu tidak membuatnya kesal, karena dia tidak akan segan menembak kaki atau tanganmu hanya karena tidak suka mendengar suaramu." "Tolong lepaskan temanku Lena," pinta wanita itu sambil memohon dengan air mata yang berc
Sepanjang makan malam itu, Aiden hanya bisa menjaga ekspresi wajahnya datar seperti biasa, padahal dalam hati ia meringis Bagaimana tidak? Tristan Bradwell, salah satu saudara kembar istrinya itu sejak tadi seolah tak lepas menatapnya dengan sangat tajam, seolah ingin mengulitinya hidup-hidup. Penyebabnya tidak lain dan tidak bukan adalah karena perkataan dari putrinya yang bernama Ailee. Aiden pun hanya bisa mendesah pelan sembari mengusap bibirnya dengan serbet. Rasanya ia sudah kenyang, meskipun makanannya belum habis di dalam piringnya. Berbanding terbalik dengan ayahnya, Ailee malah menatap dirinya dengan manik yang berbinar-binar. Gadis kecil berusia 5 tahun itu seolah kini telah resmi menjadi penggemarnya sejak Ailee melihat bagaimana Aiden menghajar empat orang musuhnya di tanah kosong samping villa. "Uncle, ini minumnya." Dengan cekatan, Ailee menuangkan teko kaca bening yang berisi air putih di gelas Aiden yang telah kosong. "Terima kasih, Ailee. Kamu manis se
"AIDEEN!!" Senyum bahagia terkembang di wajah tampan namun penuh lebam itu kepada kekasihnya yang datang menyongsong dirinya sambil berlari. Pelukan erat disertai tangisan penuh kelegaan itu diberikan oleh kekasihnya, membuat Aiden mengangkat tubuh Trixie dan mendaratkan ciuman dengan segenap perasaan cinta yang membuncah di dadanya kepada sosok rupawan ini. "Kamu benar-benar telah kembali..." isak Trixie di sela-sela pagutan bibir mereka. "Aku pasti kembali, Angel. Aku sudah berjanji padamu kan?" Aiden pun semakin memperdalam ciumannya, membuat kedua insan itu larut dalam lautan euforia. Trixie melepaskan bibirnya dan menyusupkan wajahnya di dada bidang Aiden. Ia bisa merasakan irama jantung yang berdetak dengan kuat dan membuatnya semakin terisak. "A-aku mengira... kamu tidak selamat..." Aiden mendaratkan kecupan lembut di puncak kepala Trixie. "Sejujurnya, aku pun tadinya mengira begitu," ungkap Aiden jujur. "Ada masanya aku mengira bahwa langkahku akan terhenti, k
Aiden memang telah mematuhi persyaratan untuk menjadi manusia yang bebas dari jeratan hukum, namun entah kenapa kini hatinya makin terasa kosong. Perasaan bersalah yang menggerogoti batinnya membuat wajah dan tubuhnya membeku layaknya patung. Benarkah apa yang ia lakukan saat ini? Menjadi pembelot ke arah kebenaran, dengan menjatuhkan orang yang seharusnya ia berikan kesetiaan? Aiden melihat dua orang sedang berjalan ke arahnya setelah menuruni salah satu tangga helikopter yang masih melayang di udara. Monica dan Nathan. Mereka datang untuk menjemputnya pulang. "Oh ya, satu lagi." Tiba-tiba Agent Gale kembali berkata. "Pengampunan dari Pemerintah Inggris Raya tidak serta merta memberikan kembali semua kehidupanmu seperti semula, Mr. Miller. Mengingat sepak terjangmu sebelumnya sebagai pimpinan mafia, maka semua asetmu telah diambil alih. Jadi dengan kata lain, kamu telah 'dibangkrutkan'." Monica yang baru saja sampai, seketika membelalakkan mata mendengar perkataan Agent
Hujan salju ternyata telah terjadi sejak Aiden memasuki kediaman milik Ryuuto. Dan kini, di tengah-tengah hujan salju dan deru angin yang meniupkan butirannya ke segala arah, Aiden berdiri berhadapan dengan Ryuuto. Sebilah katana tajam telah berada di tangan mereka, dengan posisi yang sama bersiap waspada. "Ingatkah dengan sumpah setiamu sendiri, Aiden-kun?" Kalimat itu membuat Aiden mendesah pelan. Sumpah setia, adalah bentuk pengabdian seorang murid kepada sensei-nya. "Kitsune no me," guman Aiden pelan. Semua murid Ryuuto telah mengucapkan sumpah setia, yang berupa tak akan pernah menyerang gurunya sendiri. Namun jika itu terjadi, maka mereka harus bertarung dengan kondisi kedua mata yang tertutup, yang disebut dengan istilah kitsune no me. Aiden telah mendapat pelatihan kitsune no me, bahkan ia mendapatkan peringkat pertama. Tapi melawan Ryuuto-sensei yang ahlinya ilmu bertarung dengan mata tertutup, adalah sama halnya dengan mustahil. SRAAKKK!!! Ryuuto melempar ikat kep
Lokasi : Utashinai, Pulau Hokkaido - JepangMusim dingin tahun ini sangat menggigit. Salju yang tebal bagaikan selimut dingin yang bukan saja telah membekukan bumi, tapi juga waktu yang seolah terhenti dalam keheningannya.Setelah berjalan kaki sejauh tiga kilometer dan beberapa kali terperosok ke dalam salju, akhirnya pria itu sampai juga pada tujuannya.Yaitu sebuah rumah yang luas bergaya Jepang dengan bangunan yang didominasi dari bahan kayu.Manik coklat gelap itu pun tercenung menatap pemandangan familier di depannya.Semuanya masih sama. Rumah besar ini sama sekali tak berubah, meski sepuluh tahun telah berlalu sejak ia pergi.Memori masa lalu pun seketika menyerbu ke dalam ingatannya, menghantarkan ribuan kenangan yang telah membentuk jati diri dan turut mengokohkan namanya di dunia hitam kriminal."Aiden-kun!"Suara pria tua yang memanggil namanya dengan nada gembira, membuatnya mengalihkan pandangan ke seseorang yang ternyata telah berdiri di hadapannya sambil tersenyum."Ry
Trixie pun sontak menahan napas saat ibunya memotong perkataannya dengan mengajukan pertanyaan kepada Aiden! Jika saja bisa, rasanya ia ingin sekali menyusut menjadi partikel atom terkecil sekarang. Aiden bermaksud untuk keluar dari persembunyiannya agar dapat menemui Arabella Bradwell secara langsung, namun Trixie menahannya sambil menggelengkan kepala. "Ck. Baiklah. Mungkin untuk saat ini Trixie belum ingin mempertemukan ibunya dengan kekasihnya, bukan begitu?" Cetus Arabella sambil menatap tajam putrinya. "Mom... ini rumit, dan aku butuh waktu," jelas Trixie dengan wajah serius. "Berilah kesempatan kepada kami, Mom. Biarkan Aiden memperbaiki semua dengan caranya sendiri." Ibu dan putrinya yang saling beradu pandang itu pun kemudian tak ada lagi yang bersuara, hingga akhirnya desahan napas pelan Arabella mulai terdengar di udara. "Fine," guman wanita paruh baya elegan itu. "Untuk satu kali ini saja, Mom tidak akan mengadukan kepada ayahmu tentang kedatangan Aiden yang menemuim
Trixie hampir saja larut dalam cumbuan Aiden yang membuat pikirannya melayang, saat tetiba ia teringat akan sesuatu. Wanita itu melepaskan bibirnya dari pagutan Aiden dengan manik biru safirnya yang membelalak lebar seperti orang ketakutan, menghadirkan kernyitan waspada di wajah Aiden. "What's wrong, Angel?" Tanya pria itu sembari diam-diam menyapukan pandangan ke sekitar ruangan kerja Trixie, sebuah reaksi refleks dari seorang petarung di dalam dirinya yang selalu bersiap menghadapi musuh yang setiap saat memunculkan diri. "MOM!!" Pekik Trixie panik, lalu berusaha turun dari gendongan Aiden. "Mom?" Ulang Aiden bingung, tapi ia membiarkan wanita itu melepaskan pelukannya. "Mom... akan datang ke sini. Aargh, aku benar-benar lupa! Cepat sembunyi, Aiden! Aku mau merapikan diri dulu." Trixie buru-buru menyisir rambutnya yang berantakan dengan jemari, lalu mengancingkan kembali blusnya yang tadi dibuka oleh Aiden. Namun ketika ia membalikkan badan, Trixie benar-benar terkejut melih
Tiga minggu pun telah berlalu sejak terakhir kalinya Trixie bertemu dengan Aiden. Wanita itu pun kembali menjalankan aktivitasnya seperti biasa sebagai Direktur Yayasan amal miliknya, meski pikirannya selalu tak fokus dan terpecah. Gara-gara Aiden, sekarang Trixie sering menonton acara berita di televisi. Akhir-akhir ini berita tentang penangkapan salah satu gembong pemimpin mafia obat-obatan terlarang terbesar di dunia cukup menyita perhatiannya. Bukan cuma menggemparkan dunia karena ditemukan berton-ton narkoba di gudangnya, tapi juga mengherankan publik karena gembong mafia itu baru bisa tertangkap setelah dengan bebas beroperasi selama puluhan tahun. Apakah itu ada campur tangan Aiden di dalamnya? Trixie mendesah pelan, lalu berusaha fokus kembali pada laporan data pendanaan yang masuk serta penerima bantuan. Sejak tadi pikirannya melanglang buana kepada Aiden, membuatnya harus mengulang kembali pemeriksaan laporan. Suara ketukan di pintu membuat Trixie menolehkan pandanga
"TRIXIE!!" Seorang wanita yang masih sangat cantik di usianya yang tak lagi muda itu menghambur dan langsung memeluk tubuh Trixie, ketika ia baru saja masuk ke dalam Penthouse miliknya. "Mom?!" Sangat kaget karena kedatangan ibundanya yang tak di sangka-sangka telah berada di tempat tinggalnya di London, Trixie pun melirik Lena yang berada di sampingnya penuh tanya. Sahabatnya itu hanya menggeleng pelan dan mengedikkan bahu, pertanda bahwa ia pun tak tahu menahu akan kehadiran Mrs. Arabella Bradwell, ibunda Trixie yang selama ini tinggal di Indonesia. Manik biru safir Trixie pun semakin membelalak, kala melihat tiga pria yang berada di belakang ibunya. Kedua saudara kembar laki-lakinya, Tristan dan Trevor serta ayahnya, Regan Bradwell. "Apa yang kalian semua lakukan di sini?" Tanya Trixie bingung ketika pulang-pulang dan mendapati seluruh keluarganya berkumpul di tempat tinggalnya. "Kami mendapat kabar dari M15 bahwa kamu telah disandera oleh mafia, Nak." Arabella Bradwel