"Hey! Hana, tunggu!" Erick berteriak memanggil Hana yang berjalan beberapa langkah di depannya. Teriakannya yang cukup keras, membuat orang-orang di sekitar pria itu menoleh ke arahnya.
Hana menghentikan langkahnya. Wanita itu mendengus seraya membalikkan badannya. Ia menatap Erick malas.
"Tidak perlu berteriak. Aku terus berjalan bukan karena aku tidak bisa mendengarmj, tetapi hanya karena aku tidak ingin mendengarmu."ucap Hana setelah Erick tiba di hadapannya.
Erick memasang senyum tanpa dosa sehingga menampakkan deretan gigi putih yang membuatnya kian terlihat manis. "Maafkan aku. Sejak tadi aku berusaha memanggilmu tapi kau sama sekali tidak menghiraukanku."
"Sudah kukatakan aku hanya sedang tidak ingin menghiraukanmu."ujar Hana ketus.
Erick mengerutkan dahinya. Pria itu kemudian menyejajarkan langkahnya di sebelah Hana. "Kau baik-baik saja? Kulihat mood mu
Happy reading and enjoy 💕
Louis tengah berjalan di koridor rumah sakit saat ini. Kedua kaki jenjangnya melangkah dengan tenang di atas lantai rumah sakit yang dingin. Sesekali ia menyenandungkan irama lagu yang hanya ua sendiri yang tahu lagu apa itu. Tiba-tiba pria itu teringat pada Dallas. Sungguh, tingkah sahabatnya itu hari ini benar-benar menyebalkan. Sebenarnya, setiap hari juga seperti itu. Akan tetapi, hari ini Dallas sungguh kelewat batas. Louis juga tidak habis pikir, bagaimana Dallas bisa tetap bersikap tenang seolah tidak terjadi apapun. Bahkan, Louis yang tidak ikut melakukannya saja merasa malu. Dan Dallas? Jangankan merasa malu, pria itu bahkan tidak merasa perbuatan yang telah ia lakukan itu salah. Ia bahkan dengan santainya berbicara kepada dokter Hana seolah tidak menyesali perbuatannya itu. Louis menghela napasnya kasar. Pria itu kini telah sampai di basement rumah sakit. Dan ia, tengah berjalan mendekati mobilnya.
Hari yang benar-benar melelahkan bagi Hana. Banyak hal terjadi yang cukup menguras emosi dokter muda tersebut. Tapi, untungnya hari yang melelahkan itu telah usai. Wanita cantik itu saat ini tengah berjalan menuju basement rumah sakit. Ia melangkah kan kakinya cepat. Sepertinya, Hana ingin tiba di rumahnya sesegera mungkin. Kedua mata bewarna coklat milik Hana tampak sayu memperlihatkan betapa lelahnya wanita itu hari ini. Wajahnya juga tampak tak lagi bersemengat. Rasanya, Hana ingin cepat-cepat menghempaskan tubuh di atas ranjang kesayangannya di rumah. "Hai, Hana." Langkah Hana terpaksa terhenti saat ia mendengar seseorang memanggil namanya. Hana tak perlu menolehkan kepala maupun membalikkan badannya. Karena, orang yang memanggil namanya itu telah berdiri tepat di sebelahnya saat ini. Dia adalah Alan yang sepertinya juga hendak pulang setelah seharian bekerja. Na
Louis tengah berada di dalam mobilnya. Melajukan kendaraan pribadinya itu dengan kecepatan stabil. Wajah pria itu tampak kusut. Ia telah melewati sebuah hari yang cukup melelahkan. Banyak hal mengejutkan yang terjadi padanya. Membuat kepala pria itu nyaris pecah karena menerima beberapa hal mengejutkan secara bertubi-tubi. Louis menghela napasnya pelan. Pria itu berusaha fokus pada jalanan di depannya. Ia tidak ingin mengalami kejadian seperti Dallas hanya karena banyak hal yang mengganggu pikirannya. Tiba-tiba Louis teringat pada percakapan beberapa waktu yang lalu. Percakapan dengan seorang pria misterius di basement rumah sakit. Pria tersebut adalah Daniel, informan kepercayaannya. Louis benar-benar terkejut dengan sebuah fakta yang ia dapat dari Daniel hari ini. Fakta tentang seorang wanita yang bernama Amanda. Wanita yang sebelumnya Louis perintahkan kepada Daniel untuk mencar
"Hufffttt!!"ucap Hana lelah seraya menghembuskan napasnya kasar. Wanita itu melangkah gontai ke dalam rumahnya. Langkah kakinya terhenti ketika melihat ke arah ranjang. Rasanya, Hana ingin sekali menghempaskan badan ke atas ranjang empuk beraroma lavender itu. Akan tetapi, ia mengurungkan niatnya. Tubuh Hana berkeringat setelah seharian bekerja. Ia juga baru saja pulang dari rumah sakit. Tempat di mana bakteri dan penyakit dapat berkumpul. Tentu saja, Hana tidak ingin jika smua bakteri yang ia bawa menempel pada ranjang bewarna ungu kesayangannya. Setelah menyimpan tas dan ponselnya, Hana lalu melangkah ke kamar mandi. Membersihkan tubuhnya dengan air hangat sekaligus memberikan kesegaran pada dirinya yang begitu kelelahan. Selang 30 menit kemudian, Hana keluar dari kamar mandi. Wanita itu segera mengenakan baju tidur yang nyaman. Tidak lupa pula, Hana memakai skincare night routin
Dallas mengutak-atik remote yang ia pegang. Pria itu berulang kali mengganti siaran di layar televisi. Berharap akan menemukan sebuah acara yang dapat menghibur dirinya. Namun, sayangnya sudah hampir sejam ia tidak menemukan acara yang ia maksud. CEO muda itu melempar remote ke atas ranjangnya sembarangan. Ia kemudian menghela napasnya kasar. Sudah hampir jam 10 malam. Namun, kedua matanya masih belum bisa tertidur. Dallas bertanya-tanya, apa obat yang diberikan oleh pihak rumah sakit tidak berpengaruh padanya. Karena seharusnya, ia mengantuk dan tertidur setelah mengkonsumi obat-obatan tersebut. Namun, nyatanya, bahkan menguap saja ia tidak. Dallas memperhatikan ke sekelilingnya. Ia benar-benar merasa bosan. Tidak ada satupun hal menarik yang dapat ia temukan di dalam kamarnya. Bahkan ponsel mahal milik pria itu juga tidak membantu sama sekali. Louis yang biasanya menemani Dallas juga k
"Hallo, dokter Hana." Hana mengerutkan dahinya. Suara seorang pria terdengar dari seberang telpon. Suara itu terkesan familiar bagi Hana. Seperti ia pernah mendengar suara orang itu sebelumnya. "Siapa ini?"tanya Hana penasaran. Namun, pria itu lagi-lagi diam. Selama hampir beberapa menit, Hana hanya mendengar keheningan dari seberang telpon. "Hey, apa kau ini penipu?"tanya Hana waspada. Pria di seberang telepon tertawa renyah membuat Hana mengerutkan dahinya. Wanita itu tidak merasa ada yang lucu dengan apa yang ia katakan. "Untuk apa aku menipumu? Aku tidak punya alasan untuk melakukan hal itu."jawab pria itu di akhir tawanya. "Tentu saja untuk uang. Bukankah sudah banyak kejadian orang tertipu karena orang asing yang menelponnya,"papar Hana. "Aku sudah punya segalanya. Aku tidak perlu menipumu hanya untuk mendapatkan uang."
"Selamat pagi, dokter Hana." Hana tersenyum menanggapi sapaan para staff rumah sakit saat ia tiba di sana. Sesekali ia juga membalas sapaan mereka. Sesekali juga, ia hanya membalasnya dengan senyuman. "Pagi, Hana," sapa Erick saat ia tidak sengaja bertemu dengan wanita itu di koridor rumah sakit. Pria itu membawa segelas kopi hangat di tangannya. Hana menghentikan langkahnya. Ia tersenyum tipis seraya membalas sapaan Erick. "Pagi, Erick," jawab Hana singkat. "Kau sudah sarapan? Mau sarapan bersama sebelum bekerja?"tawar Erick pada Hana. Namun, wanita itu menolak ajakannya halus. "Aku sudah sarapan tadi. Mungkin lain kali," papar Hana. Erick menganggukkan kepalanya paham. "Baiklah, jika begitu. Aku ingin pergi ke cafeteria, membeli sepotong sandwich. Sampai jumpa," ucap pria itu sebelum akhirnya berlalu dari hadapan Hana. &nbs
"Aku tidak perduli!" Itu adalah kalimat terakhir yang Hana ucapkan sebelum keluar dari kamar Dallas. Wanita itu dengan terang-terangan menunjukkan penolakannya terhadap usulan yang diajukan pasien tampannya itu. Namun, di sinilah ia sekarang. Duduk serius dengan sebuah laptop di hadapannya. Kedua mata bulatnya menatap serius ke pada layar laptop tersebut. Ia tampak mencari beberapa informasi dari sana. Hana tengah sibuk mencari informasi seputar Hawai. Tentang apa saja hal menarik yang berada di negara bagian Amerika serikat tersebut. "Ini lumayan," komentar Hana seraya menatap fokus ke layar laptop. "Pantai di sana juga sangat terkenal. Sepertinya akan menyenangkan jika aku berkunjung ke sana," sambungnya. Tiba-tiba Hana terdiam. Hawai adalah saran dari Dallas. Bukankah tadi ia mengatakan bahwa ia tidak perduli dengan tempat yang dikatakan pria itu? Lalu, mengapa se