Sang Capo Italia tersadar dari lamunannya. Sejenak dia terkesiap, namun segera mampu menguasai emosinya. Dia menegakan duduknya, lalu menatap wajah-wajah yang duduk mengelilingi meja besar itu. Mereka semua adalah orang-orang berpengaruh di Perancis dan beberapa negara di Eropa lainnya. Pertemuan rahasia yang tengah berlangsung itu, diadakan dalam sebuah rumah kuno terpencil yang terletak di tepi sungai Saine.
“Dua hal penting telah terjadi,” kata Sang Capo Italia. “Yang pertama adalah kabar baik. Sang Capo Perancis sudah dibereskan vice-ku.”
“Itu kabar yang sangat baik!” seorang pria bermata kelabu berseru. Dia Sang Capo Rumania. “Apa kabar buruknya?” sambungnya.
“Seorang agen DCPJ sepertinya sudah mencium keberadaan kelompok kita. Dia mengendus-endus seperti anjing buldog sampai Paris.”
“Kita bereskan dia,” sahut Sang Capo Rumania cepat-cepat.
“Aku dan anak buahku yang akan membereskannya,” sela Vice Rumania.
“Bawa beberapa prajurit ufficio juga,” imbuh Sang Capo Rumania.
Lima belas menit kemudian tempat itu sudah dikosongkan.
***
“Para pembantu dan saksi mata sedang diintrograsi detektif polisi di ruang sebelah,” ujar Inspektur Philips. "Begitu saya tahu Anda dalam perjalanan pulang dari Zurich, saya langsung menelepon Anda.”
Mariene menggosok-gosok tangannya lalu mengangguk lemah. “Bagaimana persisnya kronologi itu, Inspektur?” Mariene berusaha menahan kesedihannya.
Inspektur Philips sudah membuka mulut untuk bicara. Namun tiba-tiba, seseorang berseru, “Biar saksi mata yang menceritakannya sendiri, Inspektur,” ujar suara berat dari arah ambang pintu. "Selamat malam, Mademoiselle. Saya Detektif Simon Riegrat. Dari kepolisian Paris.”
Tinggi tegap dengan rambut ikal pirang dan sebuah dagu yang terbelah dalam. Detektif Simon Riegrat adalah seorang pria berwajah keras dan berotot seperti baja. Rahangnya kokoh dan selalu dandan berlebihan untuk seorang detektif polisi. Matanya yang besar dan menakutan tampak melihat ke sekeliling ruangan, mempelajari setiap benda di dalam ruangan itu dengan pandangan sekilas yang terlatih.
“Silahkan ceritakan kronologinya, Dokter. kau juga Syam.” Perintahnya pada dua orang yang baru saja masuk.
“Oui, Sir.” Pria itu maju selangkah dari samping detektif polisi itu sehingga Mariene dapat melihat wajahnya dengan jelas.
“Georges!” seru Mariene kaget.
Georges mengusahakan senyuman terbaik, “Aku turut bersedih atas musibah ini, Meriene. Sir Pierre, yah, kau tahu? Beliau sudah seperti ayahku.” Pria berambut kecoklatan itu tampak sedih dan menyesal.
“Jadi, Anda saling mengenal sebelumnya?” tanya Detektif Simon.
“Ya, Sir. Kami bertemu di Yugoslavia saat saya masih menjadi dokter koresponden asing untuk salah satu stasiun tv Paris.” Georges menjelaskan.
“Georges, katakan padaku, bagaimana mungkin mimipi buruk ini bisa terjadi?” suara Mariene terdengar parau.
Bahu pria berusia empat puluhan itu merosot. “Yah, seperti yang sering ayahmu bilang, Meriene, hidup itu singkat tapi kemanusiaan lama. Dan satu hal yang pasti dalam hidup yaitu mati.” Georges berusaha memilih kata-kata berikutnya. “Sekitar pukul delapan kurang seperempat aku ditelepon oleh ayahmu. Aku dimintanya datang ke rumah untuk makan malam sekaligus memeriksa beliau. Rasa sakitnya akhir-akhir ini sering kambuh lagi, kata beliau. Aku tiba di rumahmu antara pukul delapan lewat beberapa menitan. Horsham yang membukakan pintu.”
“Benar, Mademoiselle.” Si ketua pelayan yang bertubuh jangkung dan kurus membenarkan. "Tepatnya pukul delapan lewat lima menit karena saya baru selesai menyiapkan makan malam.”
Georges mengangguk. "Setelah makan malam selesai beliau menggandeng lenganku dan menuntunku ke kamar kerjanya,” sahut Georges. "Beliau ingin diperiksa di sana.”
“Lalu, saya disuruh Tuan mengambil tas Dokter Georges yang tertinggal di ruang tamu,” sela Horsham.
“Aku meninggalkannya waktu numpang buang air kecil, dan karena ayahmu memanggilku aku buru-buru sampai lupa membawa tasku.” Georges mengakui dengan malu.
“Seharian ini Tuan tampak tegang dan gelisah. Beliau menghabiskan waktu berjam-jam di ruang kerjanya sambil terus menggerutu.” Horsham menambahkan.
“Dia pasti sedang ada masalah,” sahut Mariene.
Georges mengangguk. “Sebenarnya,” kata Georges dengan ragu, “ayahmu sedang ada masalah dengan mitra bisnisnya. Dia tidak menjelaskan padaku secara terperinci. Tapi dia mengatakan kalau mitra bisnisnya itu, ternyata bangsat.”
“Apakah Anda tahu bisnis apa ayah Anda, Mademoiselle?” tanya Detektif Simon.
“Real estate. Hanya saham kecil-kecilan,” jawab Mariene.
“Orang-orang real estate memang bajingan semua,” sela Inspektur Philips yang geram.
Georges mengangguk lagi. “Kira-kira pukul sembilan kurang sepuluh menit, aku meninggalkan ayahmu. Yah, itu dapat aku pastikan karena tak lama berselang lonceng gereja berbunyi. Waktu aku keluar ayahmu masih duduk persis seperti ...” Georges melirik jasad korban. “Seperti itu.” Georges berhenti sebentar, Mariene mendesah. “Seketika itu aku langsung pulang karena ada pasien menunggu di rumah. Waktu aku hendak memeriksa pasienku, barulah aku sadar stetoskopku tertinggal di meja ruang kerja ayahmu. Aku kembali segera untuk mengambilnya.”
“Tuan Georges tergesa-gesa sekali waktu itu,” sahut Horsham.
"Pasienku sudah menunggu di rumah dan keadaannya cukup mencemaskan Syam.” Georges berpaling pada si ketua pelayan itu sambil mengangguk, lalu berpaling lagi pada Mariene. "Seperti kataku tadi, aku sangat buru-buru. Bagi seorang dokter, ketika sedang bertugas setiap detik berarti taruhannya nyawa seseorang. Nah, sampai di mana kita tadi? Oh iya, aku langsung saja mengetuk pintu kerja ayahmu begitu aku sampai. Tapi tak ada jawaban dari dalam pintunya pun dikunci. Lalu aku memanggil Horsham tentunya. Dia mengatakan kalau sejak aku pulang ayahmu belum keluar sama sekali.”
“Dari siang Tuan tidak ingin diganggu,” potong Horsham,. "Karena itu, ketika Dokter Georges pulang dan Tuan tidak keluar juga, saya tidak curiga apa-apa. Begitu juga saat saya tahu kalau pintu ruang kerja Tuan dikunci dari dalam.”
“Tapi karena khawatir, akhirnya kami mendobrak pintu dan kami menemukan ayahmu sudah ....” Georges tidak melanjutkan kata-katanya lagi.
Kebringasan klan Crucchfix Curiezio sudah terkenal sejak lebih dari seratus tahun yang lalu di Sisilia. Di kepulauan itu, mereka telah mengobarkan perang selama tiga puluh lima tahun terhadap rival mereka, klan Pietero Santandio, untuk memperebutkan kepemilikan atas sebuah wilayah hutan, dan beberapa ekar ladang gandum.Ketika Mussolini dan partai fasisnya merebut kekuasaan penuh di Italia, mereka memberantas seluruh jaringan mafia di negeri itu.Dengan menerapkan proses hukum serta mengerahkan kekuatan bersenjata yang tangguh, beberapa jaringan mafia berhasil dilumpuhkan. Tapi akhirnya ribuan orang tak bersalah pun ikut masuk penjara atau ikut diasingkan tanpa tahu sebab-musababnya. Hanya klan Crucchfix Curiezio yang berani menentang peraturan-peraturan kaum fasis dengan kekerasan. Mereka membunuh pemimpin lokal fasis di daerah mereka, dan menyerang garn
“Bagaimanapun, mana yang lebih baik: menjalani hidup bahagia, atau hidup yang teguh akan nilai-nilai moral tapi miskin dan ditindas?” tanya Profesor Michael pada orang yang baru duduk di hadapannya. “Kalau kau diberi satu juta dolar untuk membunuh satu juta orang, maukah kau melakukannya?” laki-laki itu balik bertanya. Lalu keduanya tertawa.“Kau benar, Fredd. Kita adalah manusia bebas. Konsep tentang kebebasan bertindak sangat jelas. Orang bisa memilih menjadi budak untuk mencari nafkahnya sehari-hari, tanpa harga diri atau harapan, atau orang bisa memilih untuk mencari nafkah sebagai manusia yang menuntut untuk dihargai. Keluargamu adalah lingkungan masyarakatmu, Tuhanmu adalah hakimmu, dan para pengikutmu melindungimu,” ujar Profesor Michael.“Tuhan telah menc
Mariene menegakan duduknya. Telunjuk kirinya mengetuk-ngetuk bahu kursi mahoni dan menciptakan irama yang tak beraturan. Lalu dia mengangkat sedikit wajahnya, memandang berkeliling ruangan itu. Inspektur Philips berdiri di samping kirinya. Sementara Detektif Simon duduk di kursi meja tulis di samping kanan Mariene dengan mengangkang. “Tampaknya keadaannya buruk sekali,Sir.” Inspektur Philips mendesah. “Bagaimana laporan tim forensik?” sahutDetektif Simon. “apa sudah tiba?”“Oui. Lima belas menit lalu. Tapi sialnya tidak ada reaksi ninhidrin pada pisau belati itu. Andai saja ada loops dan whorls, yang tertinggal di sana,” erang Inspektur Philips. “lingkaran-lingkaran pada aitik jari itu, pasti akan membantu kita sedikit.”“Pelaku pasti memakai sarung tangan atau membungkus tangannya dengan sesuatu,” sela
PrologNeuilly. Pukul 20:10 malam.Selama satu atau dua menit Sang Capo Perancis berjalan mondar-mandir di dalam ruang kerja pribadinya yang remang-remang. Ketika Horsham masuk membawa kopi dia merosot duduk dalam sebuah kursi berlengan kayu di muka perapian.“Belakangan ini rasa sakitku sering kambuh lagi,” kata Sang Capo Perancis, dengan tenang sambil menuang kopi. “Sebaiknya kau berikan lagi aku tablet-tabletmu itu, Sons.”“Sudah kuduga.”“Bagus. Berikan padaku sekarang.”“Astaga! Obat itu ada di dalam tas dan aku lupa meninggalkannya di ruang muka. Aku akan mengambilnya.”“Jangan repot-repot. Horsham akan mengambilnya. Syam, tolong ambilkan tas milikMonsieur.”“Baik, Tuan.”“Sir ....”“Tunggu, Sons. Biarkan aku memberes
Mariene Lodwight Sagrat tengah bergegas menuju vila pribadinya. Ketika mendengar sirene tanda bahaya serangan udara, meraung-raung memekakan telinga. Diikuti suara pesawat pembom di atasnya, yang siap menjatuhkan muatan. Dia berhenti, terpaku dicengkram kengerian.Tiba-tiba dia bagaikan kembali ke Yugoslavia dan bisa mendengar desing suara bom. Dia memjamkan matanya dengan erat. Tetapi mustahil mengusir bayang-bayang mengerikan itu, dari pikirannya. Langit di timur, seolah terbakar. Suara dentum mortir, ledakan bom dan senapan otomatis seolah menulikan telinga. Bau amis darah bercampur bau bubuk mesiu menggumpal di udara.Dari jarak yang sedikit jauh, terdengar suara laki-laki berkata, “Anda baik-baik saja,Mademoiselle?”Perlahan-lahan, dengan takut-takut, Mariene membuka matanya dan kembali berada di jalan depan vilanya dalam udara dini hari Perancis, mendengarkan suara pesawat jet yang pelanpelan
Seorang pria berbahu bidang, dengan postur tubuh tinggi berotot berjalan ke arah Mariene dengan tungkai-tungkai kuatnya yang terlatih. Dia terlihat sedang berbicara lewat ponsel genggamnya. Namun menyelesaikan pembicaraan ketika tiba di depan Mariene.“Saya Inspektur Philips Adler,” kata pria itu. Suaranya serak dan dalam. Namun nada suaranya pas, bergumam parau seperti badai yang hendak tiba.“Ikuti saya, Mademoiselle!” sambungnya.Inspektur Philips membimbing Mariene ke kamar kerja ayahnya. Pria tinggi besar dengan mata hitam yang menyembunyikan keketatan dalam tuntutan akan kesempurnaan, juga menyiratkan percaya diri dan kewaspadaan yang tinggi, tampak sangat gelisah malam itu. Di belakang, Mariena merasa kabut yang mengambang di sekitarnya menjadi lebih tebal.Begitu mereka sampai di depan sebuah pintu, tampak dua orang polisi berdiri di kedua sisi pintu dengan senapan laras panjangnya. Semen
Ingatan itu selalu muncul dengan cara yang sama. Dia bersama sang adik meringkuk di ruang bawah tanah sebuah rumah kayu kecil, di satu desa dekat Neuilly, usai membunuh si penjaga gerbang utama desa.“Kita harus pergi jauh dari desa ini kalau tidak ingin mampus!” ujar sang kakak.“Seharusnya kita tidak membunuhnya,” sesal sang adik.“Bangsat itu memang seharusnya dikirim ke neraka,” sela sang kakak. “Tapi apa yang harus kita lakukan sekarang? Mereka akan menemukan kita, cepat atau lambat.”“Jangan tolol! Kita akan berakhir di tiang gantungan kalau tidak segera meninggalkan tempat terkutuk ini. Aku punya ide. Dengarkan baik-baik.” Sang kakak membisikan rencananya.
Mariene menegakan duduknya. Telunjuk kirinya mengetuk-ngetuk bahu kursi mahoni dan menciptakan irama yang tak beraturan. Lalu dia mengangkat sedikit wajahnya, memandang berkeliling ruangan itu. Inspektur Philips berdiri di samping kirinya. Sementara Detektif Simon duduk di kursi meja tulis di samping kanan Mariene dengan mengangkang. “Tampaknya keadaannya buruk sekali,Sir.” Inspektur Philips mendesah. “Bagaimana laporan tim forensik?” sahutDetektif Simon. “apa sudah tiba?”“Oui. Lima belas menit lalu. Tapi sialnya tidak ada reaksi ninhidrin pada pisau belati itu. Andai saja ada loops dan whorls, yang tertinggal di sana,” erang Inspektur Philips. “lingkaran-lingkaran pada aitik jari itu, pasti akan membantu kita sedikit.”“Pelaku pasti memakai sarung tangan atau membungkus tangannya dengan sesuatu,” sela
“Bagaimanapun, mana yang lebih baik: menjalani hidup bahagia, atau hidup yang teguh akan nilai-nilai moral tapi miskin dan ditindas?” tanya Profesor Michael pada orang yang baru duduk di hadapannya. “Kalau kau diberi satu juta dolar untuk membunuh satu juta orang, maukah kau melakukannya?” laki-laki itu balik bertanya. Lalu keduanya tertawa.“Kau benar, Fredd. Kita adalah manusia bebas. Konsep tentang kebebasan bertindak sangat jelas. Orang bisa memilih menjadi budak untuk mencari nafkahnya sehari-hari, tanpa harga diri atau harapan, atau orang bisa memilih untuk mencari nafkah sebagai manusia yang menuntut untuk dihargai. Keluargamu adalah lingkungan masyarakatmu, Tuhanmu adalah hakimmu, dan para pengikutmu melindungimu,” ujar Profesor Michael.“Tuhan telah menc
Kebringasan klan Crucchfix Curiezio sudah terkenal sejak lebih dari seratus tahun yang lalu di Sisilia. Di kepulauan itu, mereka telah mengobarkan perang selama tiga puluh lima tahun terhadap rival mereka, klan Pietero Santandio, untuk memperebutkan kepemilikan atas sebuah wilayah hutan, dan beberapa ekar ladang gandum.Ketika Mussolini dan partai fasisnya merebut kekuasaan penuh di Italia, mereka memberantas seluruh jaringan mafia di negeri itu.Dengan menerapkan proses hukum serta mengerahkan kekuatan bersenjata yang tangguh, beberapa jaringan mafia berhasil dilumpuhkan. Tapi akhirnya ribuan orang tak bersalah pun ikut masuk penjara atau ikut diasingkan tanpa tahu sebab-musababnya. Hanya klan Crucchfix Curiezio yang berani menentang peraturan-peraturan kaum fasis dengan kekerasan. Mereka membunuh pemimpin lokal fasis di daerah mereka, dan menyerang garn
Sang Capo Italia tersadar dari lamunannya. Sejenak dia terkesiap, namun segera mampu menguasai emosinya. Dia menegakan duduknya, lalu menatap wajah-wajah yang duduk mengelilingi meja besar itu. Mereka semua adalah orang-orang berpengaruh di Perancis dan beberapa negara di Eropa lainnya. Pertemuan rahasia yang tengah berlangsung itu, diadakan dalam sebuah rumah kuno terpencil yang terletak di tepi sungai Saine.“Dua hal penting telah terjadi,” kata Sang Capo Italia. “Yang pertama adalah kabar baik. Sang Capo Perancis sudah dibereskan vice-ku.” “Itu kabar yang sangat baik!” seorang pria bermata kelabu berseru. Dia Sang Capo Rumania.“Apa kabar buruknya?” sambungnya. “Seorang agen DCPJ sepertinya sudah mencium keberadaan kelompok kita. Dia mengendus-endus seperti anjing buldog sampai Paris.
Ingatan itu selalu muncul dengan cara yang sama. Dia bersama sang adik meringkuk di ruang bawah tanah sebuah rumah kayu kecil, di satu desa dekat Neuilly, usai membunuh si penjaga gerbang utama desa.“Kita harus pergi jauh dari desa ini kalau tidak ingin mampus!” ujar sang kakak.“Seharusnya kita tidak membunuhnya,” sesal sang adik.“Bangsat itu memang seharusnya dikirim ke neraka,” sela sang kakak. “Tapi apa yang harus kita lakukan sekarang? Mereka akan menemukan kita, cepat atau lambat.”“Jangan tolol! Kita akan berakhir di tiang gantungan kalau tidak segera meninggalkan tempat terkutuk ini. Aku punya ide. Dengarkan baik-baik.” Sang kakak membisikan rencananya.
Seorang pria berbahu bidang, dengan postur tubuh tinggi berotot berjalan ke arah Mariene dengan tungkai-tungkai kuatnya yang terlatih. Dia terlihat sedang berbicara lewat ponsel genggamnya. Namun menyelesaikan pembicaraan ketika tiba di depan Mariene.“Saya Inspektur Philips Adler,” kata pria itu. Suaranya serak dan dalam. Namun nada suaranya pas, bergumam parau seperti badai yang hendak tiba.“Ikuti saya, Mademoiselle!” sambungnya.Inspektur Philips membimbing Mariene ke kamar kerja ayahnya. Pria tinggi besar dengan mata hitam yang menyembunyikan keketatan dalam tuntutan akan kesempurnaan, juga menyiratkan percaya diri dan kewaspadaan yang tinggi, tampak sangat gelisah malam itu. Di belakang, Mariena merasa kabut yang mengambang di sekitarnya menjadi lebih tebal.Begitu mereka sampai di depan sebuah pintu, tampak dua orang polisi berdiri di kedua sisi pintu dengan senapan laras panjangnya. Semen
Mariene Lodwight Sagrat tengah bergegas menuju vila pribadinya. Ketika mendengar sirene tanda bahaya serangan udara, meraung-raung memekakan telinga. Diikuti suara pesawat pembom di atasnya, yang siap menjatuhkan muatan. Dia berhenti, terpaku dicengkram kengerian.Tiba-tiba dia bagaikan kembali ke Yugoslavia dan bisa mendengar desing suara bom. Dia memjamkan matanya dengan erat. Tetapi mustahil mengusir bayang-bayang mengerikan itu, dari pikirannya. Langit di timur, seolah terbakar. Suara dentum mortir, ledakan bom dan senapan otomatis seolah menulikan telinga. Bau amis darah bercampur bau bubuk mesiu menggumpal di udara.Dari jarak yang sedikit jauh, terdengar suara laki-laki berkata, “Anda baik-baik saja,Mademoiselle?”Perlahan-lahan, dengan takut-takut, Mariene membuka matanya dan kembali berada di jalan depan vilanya dalam udara dini hari Perancis, mendengarkan suara pesawat jet yang pelanpelan
PrologNeuilly. Pukul 20:10 malam.Selama satu atau dua menit Sang Capo Perancis berjalan mondar-mandir di dalam ruang kerja pribadinya yang remang-remang. Ketika Horsham masuk membawa kopi dia merosot duduk dalam sebuah kursi berlengan kayu di muka perapian.“Belakangan ini rasa sakitku sering kambuh lagi,” kata Sang Capo Perancis, dengan tenang sambil menuang kopi. “Sebaiknya kau berikan lagi aku tablet-tabletmu itu, Sons.”“Sudah kuduga.”“Bagus. Berikan padaku sekarang.”“Astaga! Obat itu ada di dalam tas dan aku lupa meninggalkannya di ruang muka. Aku akan mengambilnya.”“Jangan repot-repot. Horsham akan mengambilnya. Syam, tolong ambilkan tas milikMonsieur.”“Baik, Tuan.”“Sir ....”“Tunggu, Sons. Biarkan aku memberes