Ingatan itu selalu muncul dengan cara yang sama. Dia bersama sang adik meringkuk di ruang bawah tanah sebuah rumah kayu kecil, di satu desa dekat Neuilly, usai membunuh si penjaga gerbang utama desa.
“Kita harus pergi jauh dari desa ini kalau tidak ingin mampus!” ujar sang kakak.
“Seharusnya kita tidak membunuhnya,” sesal sang adik.
“Bangsat itu memang seharusnya dikirim ke neraka,” sela sang kakak.
“Tapi apa yang harus kita lakukan sekarang? Mereka akan menemukan kita, cepat atau lambat.”
“Jangan tolol! Kita akan berakhir di tiang gantungan kalau tidak segera meninggalkan tempat terkutuk ini. Aku punya ide. Dengarkan baik-baik.” Sang kakak membisikan rencananya.
“Apa ini akan berhasil?” ujar sang adik skeptis.
“Jika kau melakukan perintahku sampai hal-hal yang terkecil, kita akan hidup.”
“Baiklah, ayo.”
Sang kakak mengangguk. “Kita orang
Sisilia, kita manusia bebas.”
Ketika matahari terbit dan gerbang desa dibuka, dua anak laki-laki yang kumal itu keluar dari tempat persembunyiannya. Mereka segera membaur dengan para petani anggur mencari truk pengangkut barang yang menuju Italia. Sepuluh tahun kemudian nasib telah mengubah segalanya.
Senja itu, melalui dinding kaca anti peluru mereka berdua bisa melihat hasil kerja kerasnya. Sebuah pemandangan di kolam renang besar yang airnya tampak berwarna jingga cerah di bawah matahari Italia. Wanita-wanita muda dan anak-anak bermain di taman yang luas dan indah bagai boneka warna-warni di padang rumput. Sementara para lelaki bermain tenis dan golf dengan penuh semangat seolah-olah dalam sebuah perlombaan.
Melihat semuanya kini, si kakak beradik itu merasakan desir kebahagiaan bercampur kebanggaan. Karena semua ini adalah hasil kreasi dan kerja keras mereka selama bertahun-tahun. Dan dari tempat mereka berdiri, kulit putih Sisilia mereka dapat merasakan sengatan matahari yang tajam melalui dinding kaca. Dan lapangan-lapangan tenis, padang golf, kolam renang, taman dan ketujuh vila mereka dikejauhan, tampak berkilauan seperti Istana Versailles yang semuanya mengibarkan bendera Moriephy Hotel bergambar lapangan hijau tua dengan merpati-merpati putih. Tapi begitu, mereka berdua sama-sama tahu jika hidup mereka akan berubah drastis karena ini. Kekuasaan dan kekayaan yang makin besar pasti akan diwarnai dengan bahaya yang lebih besar pula.
“Lebih baik hidup sehari sebagai singa, dari pada seratus hari sebagai domba,” ujar sang kakak, setengah bergurau.
Sang adik tidak menyahut. Hanya mengangguk pelan.
“Kita telah hidup dalam ketidakadilan. Tapi penderitaan ini membuat kita berpikir semakin bijaksana. Untuk bertahan hidup,” sambungnya.
“Hah! Omong kosong itu tidak merubah apa pun. Hanya kerja yang bisa mengubah segalanya,” sahut adiknya sinis.
“Kau terlalu keras pada dirimu sendiri, Sons.”
“Zaman yang menuntut.”
“Benar juga.”
“Kapan aku pernah salah?” Mereka tertawa.
Pelan-pelan matahari mengundurkan diri dari langit coklat lumpur, dan kembali alam menyuguhkan maha karyanya. Titik-titik bintang mulai menyala. Membentuk suatu rasi kehidupan, dan bulan yang penuh mengambang dengan cahaya kuning keperakan.
Sang Capo Italia tersadar dari lamunannya. Sejenak dia terkesiap, namun segera mampu menguasai emosinya. Dia menegakan duduknya, lalu menatap wajah-wajah yang duduk mengelilingi meja besar itu. Mereka semua adalah orang-orang berpengaruh di Perancis dan beberapa negara di Eropa lainnya. Pertemuan rahasia yang tengah berlangsung itu, diadakan dalam sebuah rumah kuno terpencil yang terletak di tepi sungai Saine.“Dua hal penting telah terjadi,” kata Sang Capo Italia. “Yang pertama adalah kabar baik. Sang Capo Perancis sudah dibereskan vice-ku.” “Itu kabar yang sangat baik!” seorang pria bermata kelabu berseru. Dia Sang Capo Rumania.“Apa kabar buruknya?” sambungnya. “Seorang agen DCPJ sepertinya sudah mencium keberadaan kelompok kita. Dia mengendus-endus seperti anjing buldog sampai Paris.
Kebringasan klan Crucchfix Curiezio sudah terkenal sejak lebih dari seratus tahun yang lalu di Sisilia. Di kepulauan itu, mereka telah mengobarkan perang selama tiga puluh lima tahun terhadap rival mereka, klan Pietero Santandio, untuk memperebutkan kepemilikan atas sebuah wilayah hutan, dan beberapa ekar ladang gandum.Ketika Mussolini dan partai fasisnya merebut kekuasaan penuh di Italia, mereka memberantas seluruh jaringan mafia di negeri itu.Dengan menerapkan proses hukum serta mengerahkan kekuatan bersenjata yang tangguh, beberapa jaringan mafia berhasil dilumpuhkan. Tapi akhirnya ribuan orang tak bersalah pun ikut masuk penjara atau ikut diasingkan tanpa tahu sebab-musababnya. Hanya klan Crucchfix Curiezio yang berani menentang peraturan-peraturan kaum fasis dengan kekerasan. Mereka membunuh pemimpin lokal fasis di daerah mereka, dan menyerang garn
“Bagaimanapun, mana yang lebih baik: menjalani hidup bahagia, atau hidup yang teguh akan nilai-nilai moral tapi miskin dan ditindas?” tanya Profesor Michael pada orang yang baru duduk di hadapannya. “Kalau kau diberi satu juta dolar untuk membunuh satu juta orang, maukah kau melakukannya?” laki-laki itu balik bertanya. Lalu keduanya tertawa.“Kau benar, Fredd. Kita adalah manusia bebas. Konsep tentang kebebasan bertindak sangat jelas. Orang bisa memilih menjadi budak untuk mencari nafkahnya sehari-hari, tanpa harga diri atau harapan, atau orang bisa memilih untuk mencari nafkah sebagai manusia yang menuntut untuk dihargai. Keluargamu adalah lingkungan masyarakatmu, Tuhanmu adalah hakimmu, dan para pengikutmu melindungimu,” ujar Profesor Michael.“Tuhan telah menc
Mariene menegakan duduknya. Telunjuk kirinya mengetuk-ngetuk bahu kursi mahoni dan menciptakan irama yang tak beraturan. Lalu dia mengangkat sedikit wajahnya, memandang berkeliling ruangan itu. Inspektur Philips berdiri di samping kirinya. Sementara Detektif Simon duduk di kursi meja tulis di samping kanan Mariene dengan mengangkang. “Tampaknya keadaannya buruk sekali,Sir.” Inspektur Philips mendesah. “Bagaimana laporan tim forensik?” sahutDetektif Simon. “apa sudah tiba?”“Oui. Lima belas menit lalu. Tapi sialnya tidak ada reaksi ninhidrin pada pisau belati itu. Andai saja ada loops dan whorls, yang tertinggal di sana,” erang Inspektur Philips. “lingkaran-lingkaran pada aitik jari itu, pasti akan membantu kita sedikit.”“Pelaku pasti memakai sarung tangan atau membungkus tangannya dengan sesuatu,” sela
PrologNeuilly. Pukul 20:10 malam.Selama satu atau dua menit Sang Capo Perancis berjalan mondar-mandir di dalam ruang kerja pribadinya yang remang-remang. Ketika Horsham masuk membawa kopi dia merosot duduk dalam sebuah kursi berlengan kayu di muka perapian.“Belakangan ini rasa sakitku sering kambuh lagi,” kata Sang Capo Perancis, dengan tenang sambil menuang kopi. “Sebaiknya kau berikan lagi aku tablet-tabletmu itu, Sons.”“Sudah kuduga.”“Bagus. Berikan padaku sekarang.”“Astaga! Obat itu ada di dalam tas dan aku lupa meninggalkannya di ruang muka. Aku akan mengambilnya.”“Jangan repot-repot. Horsham akan mengambilnya. Syam, tolong ambilkan tas milikMonsieur.”“Baik, Tuan.”“Sir ....”“Tunggu, Sons. Biarkan aku memberes
Mariene Lodwight Sagrat tengah bergegas menuju vila pribadinya. Ketika mendengar sirene tanda bahaya serangan udara, meraung-raung memekakan telinga. Diikuti suara pesawat pembom di atasnya, yang siap menjatuhkan muatan. Dia berhenti, terpaku dicengkram kengerian.Tiba-tiba dia bagaikan kembali ke Yugoslavia dan bisa mendengar desing suara bom. Dia memjamkan matanya dengan erat. Tetapi mustahil mengusir bayang-bayang mengerikan itu, dari pikirannya. Langit di timur, seolah terbakar. Suara dentum mortir, ledakan bom dan senapan otomatis seolah menulikan telinga. Bau amis darah bercampur bau bubuk mesiu menggumpal di udara.Dari jarak yang sedikit jauh, terdengar suara laki-laki berkata, “Anda baik-baik saja,Mademoiselle?”Perlahan-lahan, dengan takut-takut, Mariene membuka matanya dan kembali berada di jalan depan vilanya dalam udara dini hari Perancis, mendengarkan suara pesawat jet yang pelanpelan
Seorang pria berbahu bidang, dengan postur tubuh tinggi berotot berjalan ke arah Mariene dengan tungkai-tungkai kuatnya yang terlatih. Dia terlihat sedang berbicara lewat ponsel genggamnya. Namun menyelesaikan pembicaraan ketika tiba di depan Mariene.“Saya Inspektur Philips Adler,” kata pria itu. Suaranya serak dan dalam. Namun nada suaranya pas, bergumam parau seperti badai yang hendak tiba.“Ikuti saya, Mademoiselle!” sambungnya.Inspektur Philips membimbing Mariene ke kamar kerja ayahnya. Pria tinggi besar dengan mata hitam yang menyembunyikan keketatan dalam tuntutan akan kesempurnaan, juga menyiratkan percaya diri dan kewaspadaan yang tinggi, tampak sangat gelisah malam itu. Di belakang, Mariena merasa kabut yang mengambang di sekitarnya menjadi lebih tebal.Begitu mereka sampai di depan sebuah pintu, tampak dua orang polisi berdiri di kedua sisi pintu dengan senapan laras panjangnya. Semen
Mariene menegakan duduknya. Telunjuk kirinya mengetuk-ngetuk bahu kursi mahoni dan menciptakan irama yang tak beraturan. Lalu dia mengangkat sedikit wajahnya, memandang berkeliling ruangan itu. Inspektur Philips berdiri di samping kirinya. Sementara Detektif Simon duduk di kursi meja tulis di samping kanan Mariene dengan mengangkang. “Tampaknya keadaannya buruk sekali,Sir.” Inspektur Philips mendesah. “Bagaimana laporan tim forensik?” sahutDetektif Simon. “apa sudah tiba?”“Oui. Lima belas menit lalu. Tapi sialnya tidak ada reaksi ninhidrin pada pisau belati itu. Andai saja ada loops dan whorls, yang tertinggal di sana,” erang Inspektur Philips. “lingkaran-lingkaran pada aitik jari itu, pasti akan membantu kita sedikit.”“Pelaku pasti memakai sarung tangan atau membungkus tangannya dengan sesuatu,” sela
“Bagaimanapun, mana yang lebih baik: menjalani hidup bahagia, atau hidup yang teguh akan nilai-nilai moral tapi miskin dan ditindas?” tanya Profesor Michael pada orang yang baru duduk di hadapannya. “Kalau kau diberi satu juta dolar untuk membunuh satu juta orang, maukah kau melakukannya?” laki-laki itu balik bertanya. Lalu keduanya tertawa.“Kau benar, Fredd. Kita adalah manusia bebas. Konsep tentang kebebasan bertindak sangat jelas. Orang bisa memilih menjadi budak untuk mencari nafkahnya sehari-hari, tanpa harga diri atau harapan, atau orang bisa memilih untuk mencari nafkah sebagai manusia yang menuntut untuk dihargai. Keluargamu adalah lingkungan masyarakatmu, Tuhanmu adalah hakimmu, dan para pengikutmu melindungimu,” ujar Profesor Michael.“Tuhan telah menc
Kebringasan klan Crucchfix Curiezio sudah terkenal sejak lebih dari seratus tahun yang lalu di Sisilia. Di kepulauan itu, mereka telah mengobarkan perang selama tiga puluh lima tahun terhadap rival mereka, klan Pietero Santandio, untuk memperebutkan kepemilikan atas sebuah wilayah hutan, dan beberapa ekar ladang gandum.Ketika Mussolini dan partai fasisnya merebut kekuasaan penuh di Italia, mereka memberantas seluruh jaringan mafia di negeri itu.Dengan menerapkan proses hukum serta mengerahkan kekuatan bersenjata yang tangguh, beberapa jaringan mafia berhasil dilumpuhkan. Tapi akhirnya ribuan orang tak bersalah pun ikut masuk penjara atau ikut diasingkan tanpa tahu sebab-musababnya. Hanya klan Crucchfix Curiezio yang berani menentang peraturan-peraturan kaum fasis dengan kekerasan. Mereka membunuh pemimpin lokal fasis di daerah mereka, dan menyerang garn
Sang Capo Italia tersadar dari lamunannya. Sejenak dia terkesiap, namun segera mampu menguasai emosinya. Dia menegakan duduknya, lalu menatap wajah-wajah yang duduk mengelilingi meja besar itu. Mereka semua adalah orang-orang berpengaruh di Perancis dan beberapa negara di Eropa lainnya. Pertemuan rahasia yang tengah berlangsung itu, diadakan dalam sebuah rumah kuno terpencil yang terletak di tepi sungai Saine.“Dua hal penting telah terjadi,” kata Sang Capo Italia. “Yang pertama adalah kabar baik. Sang Capo Perancis sudah dibereskan vice-ku.” “Itu kabar yang sangat baik!” seorang pria bermata kelabu berseru. Dia Sang Capo Rumania.“Apa kabar buruknya?” sambungnya. “Seorang agen DCPJ sepertinya sudah mencium keberadaan kelompok kita. Dia mengendus-endus seperti anjing buldog sampai Paris.
Ingatan itu selalu muncul dengan cara yang sama. Dia bersama sang adik meringkuk di ruang bawah tanah sebuah rumah kayu kecil, di satu desa dekat Neuilly, usai membunuh si penjaga gerbang utama desa.“Kita harus pergi jauh dari desa ini kalau tidak ingin mampus!” ujar sang kakak.“Seharusnya kita tidak membunuhnya,” sesal sang adik.“Bangsat itu memang seharusnya dikirim ke neraka,” sela sang kakak. “Tapi apa yang harus kita lakukan sekarang? Mereka akan menemukan kita, cepat atau lambat.”“Jangan tolol! Kita akan berakhir di tiang gantungan kalau tidak segera meninggalkan tempat terkutuk ini. Aku punya ide. Dengarkan baik-baik.” Sang kakak membisikan rencananya.
Seorang pria berbahu bidang, dengan postur tubuh tinggi berotot berjalan ke arah Mariene dengan tungkai-tungkai kuatnya yang terlatih. Dia terlihat sedang berbicara lewat ponsel genggamnya. Namun menyelesaikan pembicaraan ketika tiba di depan Mariene.“Saya Inspektur Philips Adler,” kata pria itu. Suaranya serak dan dalam. Namun nada suaranya pas, bergumam parau seperti badai yang hendak tiba.“Ikuti saya, Mademoiselle!” sambungnya.Inspektur Philips membimbing Mariene ke kamar kerja ayahnya. Pria tinggi besar dengan mata hitam yang menyembunyikan keketatan dalam tuntutan akan kesempurnaan, juga menyiratkan percaya diri dan kewaspadaan yang tinggi, tampak sangat gelisah malam itu. Di belakang, Mariena merasa kabut yang mengambang di sekitarnya menjadi lebih tebal.Begitu mereka sampai di depan sebuah pintu, tampak dua orang polisi berdiri di kedua sisi pintu dengan senapan laras panjangnya. Semen
Mariene Lodwight Sagrat tengah bergegas menuju vila pribadinya. Ketika mendengar sirene tanda bahaya serangan udara, meraung-raung memekakan telinga. Diikuti suara pesawat pembom di atasnya, yang siap menjatuhkan muatan. Dia berhenti, terpaku dicengkram kengerian.Tiba-tiba dia bagaikan kembali ke Yugoslavia dan bisa mendengar desing suara bom. Dia memjamkan matanya dengan erat. Tetapi mustahil mengusir bayang-bayang mengerikan itu, dari pikirannya. Langit di timur, seolah terbakar. Suara dentum mortir, ledakan bom dan senapan otomatis seolah menulikan telinga. Bau amis darah bercampur bau bubuk mesiu menggumpal di udara.Dari jarak yang sedikit jauh, terdengar suara laki-laki berkata, “Anda baik-baik saja,Mademoiselle?”Perlahan-lahan, dengan takut-takut, Mariene membuka matanya dan kembali berada di jalan depan vilanya dalam udara dini hari Perancis, mendengarkan suara pesawat jet yang pelanpelan
PrologNeuilly. Pukul 20:10 malam.Selama satu atau dua menit Sang Capo Perancis berjalan mondar-mandir di dalam ruang kerja pribadinya yang remang-remang. Ketika Horsham masuk membawa kopi dia merosot duduk dalam sebuah kursi berlengan kayu di muka perapian.“Belakangan ini rasa sakitku sering kambuh lagi,” kata Sang Capo Perancis, dengan tenang sambil menuang kopi. “Sebaiknya kau berikan lagi aku tablet-tabletmu itu, Sons.”“Sudah kuduga.”“Bagus. Berikan padaku sekarang.”“Astaga! Obat itu ada di dalam tas dan aku lupa meninggalkannya di ruang muka. Aku akan mengambilnya.”“Jangan repot-repot. Horsham akan mengambilnya. Syam, tolong ambilkan tas milikMonsieur.”“Baik, Tuan.”“Sir ....”“Tunggu, Sons. Biarkan aku memberes