Guncangan kereta dan peluit panjang terdengar sangat memekakkan telinga Nina. Dengan kaget dia terbangun dan memandang ke sekeliling. Pria tua bernama Ben sudah tidak ada bersamanya.
Nina menebarkan pandangan ke sekeliling dan tidak ada tanda-tanda keberadaan Ben. Nina mengencangkan tali sepatu boot-nya. Begitu dia bangkit, matanya menangkap amplop coklat yang tergeletak di samping. Nina mengambil dan membukanya.
‘Sedikit bekal untukmu. Semoga berhasil semua tujuanmu, jika terdesak, mampirlah ke rumahku.’
Sejumlah uang terdapat di dalam amplop. Nina terkesiap. Bertambah keheranannya ketika dia meraba pundak dan perutnya yang telah sembuh total!
Nina merasakan bulu kuduknya berdiri. Siapakah pria tersebut? Caranya berbicara untuk mampir di rumahnya seakan-akan Nina mengetahui alamat dan tahu. Pria yang aneh. Kereta berhenti dan Nina menyimpan semuanya untuk segera bergegas keluar dari gerbong tersebut.
***
Sebuah tendangan menghantam tubuh Katya dan wanita itu terjengkang. Luka di perutnya terasa berdenyut sakit.
“Kau! Bertindak terlalu lamban dan Nina bisa kabur di depan matamu!” pekik pria berkepala botak dan wajah bengis tersebut. Kumis tebal yang melintang di wajah menambah penampilan kejinya.
“Aku ingin kalian menemukan perempuan sialan tersebut segera dan membawanya ke hadapanku, dalam keadaan hidup!” teriak pria bernama Dimitri itu dengan murka.
Serentak mereka menjawab dengan ya dan meninggalkan tempat tersebut. Dimitri mengeraskan rahangnya dan terlihat berada di titik kemarahan tertinggi.
Nina, gadis yang sedari kecil selalu membangkang berakhir menjadi pembunuh bayaran terbaiknya. Dimitri tahu dengan baik bahwa Nina adalah bekas anggotanya yang tidak bisa dengan mudah dia kalahkan dan tangkap. Satu-satunya cara adalah meringkus dengan pasukan yang banyak. Nina akan kalah jumlah dan tanpa perlengkapan senjata, Nina akan bisa mereka sergap.
***
Keputusan pertama yang Nina lakukan adalah mengunjungi toko pakaian untuk membeli baju baru. Sepatu yang yang dia kenakan juga sudah basah kuyup dan kakinya terasa mengembang karena terbungkus lama dalam kondisi lembab.
Setelah mendapatkan baju juga sepatu, ia membersihkan diri di toilet umum. Nina keluar dengan penampilan lebih rapi juga bersih.
Tujuan keduanya adalah mengunjungi restoran. Uang dari Ben masih cukup untuknya bertahan selama beberapa hari. Hotel jelas bukan tempat teraman untuk Nina beristirahat. Setelah selesai menyantap makanannya, Nina bergegas menjauhi keramaian.
Langkahnya cepat dan terkesan buru-buru. Nina berhasil mendapatkan peta yang dia beli dari toko buku.
Setelah tiba di pertokoan kosong yang terlihat mulai hancur karena ditinggalkan, Nina masuk ke dalam salah satu bangunan tersebut. Matanya menelusuri peta dan dia harus mengunjungi benua terjauh untuk menghilangkan jejak.
Nina merogoh kantong dan tiga keping koin emas yang dia selalu bawa untuk keperluan mendadak masih ada di situ. Mungkin dengan menjual ketiganya, Nina bisa mendapatkan uang untuk mengurus passport dan tiket.
Waktu menunjukkan pukul tiga sore, dia mulai mengantuk. Walaupun lukanya sudah sembuh, tapi tidak teratur makan selama beberapa hari melemahkan tubuhnya.
Nina mencari ruang di dalam gedung tak terpakai tersebut dan melihat ada sofa bobrok yang masih bisa dia tiduri. Tak lama kemudian, dia terlelap.
***
Nina tersentak dan memasang kupingnya baik-baik. Instingnya yang sudah terlatih sejak usia dini mengatakan ada bahaya yang mendekati.
Dari desiran halus yang hampir tidak terdengar suaranya, Nina menghitung ada sekitar sepuluh orang lebih yang kini mengepung gedung. Hari mulai gelap, dan kompleks pertokoan yang dia huni saat ini sangat jauh dari keramaian.
Pelurunya tinggal empat butir, mustahil dia bisa mengalahkan mereka, yang Nina tahu dengan pasti, memiliki persenjataan lengkap.
Otaknya berpikir keras. Bagaimana cara menghadapi mereka?
Belum sempat dia selesai dan menemukan ide, muncul tujuh orang dengan baju hitam dan wajah tertutup. Mereka mengacungkan senjata pada. Nina mengangkat kedua tangan ke atas.
“Ikutlah dan kau akan hidup dalam keadaan utuh!” seru sebuah suara wanita.
Nina mengenal suara tersebut. Nadja, gadis yang juga turut besar bersamanya. Dia tahu bahwa Nadja adalah wanita yang tidak mengenal belas kasih. Dari caranya bicara, dia menduga Dimitri menginginkan dia hidup supaya bisa menyiksa sepuasnya. Sebuah cara sadis untuk membalas sang pengkhianat.
“Aku tidak berbuat salah,” kelit Nina dengan suara dalam.
“Kau telah berkhianat!” tangkis Nadja.
“Jika bukan karena perintah, aku sudah mengulitimu hidup-hidup,” desis perempuan tersebut dengan senyum bengis.
“Aku menginginkan kebebasan. Setiap manusia berhak hidup bebas, Nadja!” tukas Nina sambil berpikir mencari celah untuk kabur.
“Seseorang yang telah ditakdirkan mati kemudian terselamatkan, tidak mungkin memiliki hak untuk hidup kembali!” bentak Nadja dengan wajah keras.
“Nadja, kita semua masih hidup dan masih bernapas!” balas Nina dengan geram.
“Jika kau dibiarkan terlahir dan terbuang dari rahim ibumu, maka kau sudah mati. Dimitri memungut dan memberi kesempatan hidup untuk kita semua. Mengabdi dan memenuhi perintahnya adalah kewajiban!” teriak Nadja kembali.
Nina baru sadar bahwa pencucian otak yang telah mereka terima selama belasan tahun sangat berpengaruh dan sudah mandarah daging pada masing-masing anggota kelompok, kecuali dirinya.
“Kau tahu, Nina. Aku mengubah keputusanku! Kurasa memberimu sedikit pelajaran akan membantu mengingatkan kodrat awal yang harus kamu terima.” Selesai mengucapkan kalimat tersebut, Nadja menembakkan peluru pada kedua paha Nina. Seketika Nina jatuh tersungkur.
“Ikat dia!” perintah Nadja. Mereka mengikat Nina yang tidak mengerang sedikit pun saat rasa panas dan sakit mulai terasa menembus daging pahanya.
Dalam kondisi berdiri, Nina diikat dengan kedua tangan terentang. Sungguh menyakitkan menapak lantai dalam kondisi terluka. Tapi jika dia memilih terjatuh, tali yang mengikat lehernya akan membuat dia tercekik dan tergantung. Nina tidak punya pilihan selain berdiri dengan kaki gemetar menahan nyeri.
Nadja mengeluarkan cambuk bergerigi besi tajam yang menjadi senjata andalannya. Dia menyabetkan tali tersebut ke tubuh Nina. Gerigi itu merobek baju serta menyeret daging dan meninggalkan luka robek yang menggenaskan.
Hampir satu jam, Nina mengalami siksaan. Sesekali salah seorang dari mereka memeriksa dan memastikan jika Nina masih hidup.
“Kita harus segera membawanya kembali ke markas, sebelum kehabisan darah,” bisik pria yang baru memeriksa kondisi Nina. Nadja menyimpan kembali cambuk besi dan dengan wajah dingin menyetujui.
“Katakan pada Dimitri, dia berusaha melarikan diri, jadi terpaksa kita beri pelajaran,” serunya tanpa simpati. Nadja meninggalkan tempat tersebut dengan para anteknya. Dua orang anggota tinggal dan mulai melepas tali yang mengikat Nina. Kondisi wanita itu sangat mengerikan. Kondisi punggungnya penuh dengan luka menganga, robek karena cambukan. Kakinya penuh dengan sayatan silet. Sementara seluruh kuku tangannya tercabut. Wajahnya saja yang masih utuh.
“Ooough ….” Lenguhan terdengar dari mulutnya.
Nina merasakan sakit yang tidak terperi. Pandangannya mulai kabur, namun dia harus tetap sadar. Keinginannya untuk bebas begitu kuat. Seandainya dia harus binasa, dia memilih mati sebagai manusia bebas.
Dengan tenaga yang tersisa, begitu tali terlepas, dan dua orang tersebut memapah tubuhnya, Nina mencabut dua pistol dari pinggang kedua manusia tersebut dan menembak kepala mereka. Dua orang tersebut mati seketika. Pistol dengan peredam suara tersebut tidak menimbulkan kecurigaan anggota lainnya yang berada di luar, masih menunggu.
Nina berlari sekuat tenaga menuju pintu belakang. Mungkin keinginannya untuk bebas begitu tinggi, Nina seperti mendapat energi baru untuk berlari dengan cepat. Lima menit berlalu dan mereka belum menyadari jika Nina telah kabur.
Nina tidak lagi mengerti kemana dia harus berlari. Matanya menengadah dan melihat lampu terang berbentuk salib dari kejauhan. Dia terus melangkah memacu kakinya. Darah mengucur dengan deras dari semua lukanya.
Halaman gereja tampak sepi. Nina masuk dan saat mendorong pintu, tidak terkunci. Gadis itu segera menutup kembali pintu dan memasang palang.
Dengan tertatih, dia melewati jajaran rapi bangku yang tersusun di kanan juga kiri. Belum sempat mencapai altar, Nina merasakan tidak sanggup lagi melangkah. Napasnya mulai payah, ini saatnya dia menyerah. Mati sebagai manusia bebas. Nina menarik pelatuk pistol yang terarah ke kepalanya, namun tenaganya sudah habis. Seketika semua gelap dan kesadarannya hilang.
Setelah Nadja dan pengikutnya menemukan dua anggota mereka tewas, kelompok pembunuh bayaran tersebut segera melakukan pengejaran.“Brengsek!” teriak Nadja dengan geram. Ternyata tidak semudah itu melumpuhkan Nina. Gadis itu benar-benar tangguh dan masih selicin belut. Nadja selalu membenci Nina karena dia tidak pernah mengungguli kemampuannya.“Cari sampai dapat!” pekik Nadja terlihat kalap.Mereka menelusuri tetes darah yang berceceran di sepanjang jalan. Sangat mudah untuk mengikuti arah lari Nina, begitu anggapan mereka. Namun begitu tiba di depan sebuah gereja yang gelap dan tertutup, jejak darah tersebut hilang. Raib dan Nina seperti tidak pernah melalui jalan tersebut.“Dia pasti naik menumpang salah satu mobil yang lewat,” analisa seorang anggota. Nadja dengan tidak sabar segera memerintahkan untuk menyusul.“Kali ini aku mau dia mati!” teriak Nadja geram. Murkanya sudah mencapai puncak.***Kelopak mata Nina bergerak dan perla
Kota kecil di Amerika ini memang terkenal sebagai kota terdingin kedua di dunia. Roger Pass, Montana. Musim panas hanya terjadi singkat dan sepanjang tahun mengalami musim dingin yang panjang. Abigail berlari dengan sepatu boot merahnya. Rambutnya yang pirang sebahu tampak lepek dan basah oleh udara lembab. Matanya biru dan sangat menawan. Gadis berumur sepuluh tahun tersebut tertawa sambil berlari dari kejaran ibunya yang membawa sayuran dan buah murah yang mereka beli di pasar petani.“Mama, ayo tangkap aku!” seru Abigail dengan ceria. Ibunya tampak masih muda dan terlihat kecantikan Abigail didapatkan dari gen ibunya, Jean.“Keranjang ini terlalu berat, Abe. Mama tidak akan bisa mengejarmu. Langkahmu juga terlalu cepat,” gelak Jean sekaligus membuat besar kepala putrinya.“Sebentar lagi aku besar dan dewasa, Mama. Paman Lexi akan mempekerjakan aku menjadi asistan dapurnya,” balas Abigail dengan bangga. Lexi adalah pemilik restoran kecil yang
Mobil terus meluncur melewati perbatasan meninggalkan Roger Pass jauh di belakang. Nina mulai merasa lega dan kini satu-satunya kendala adalah apa yang selanjutnya mesti dia perbuat terhadap Abigail.“Mama ….”Terdengar Abigail memanggil mamanya dan mulai siuman. Semua terjadi tepat saat mereka tiba di depan sebuah motel yang bisa Nina pilih untuk merapikan Abigail yang masih berlumuran darah. Mobil memasuki halaman dan Nina menoleh ke belakang.“Kamukah yang menyelamatkan aku tadi?” tanya Abigail dengan mata sedikit terpicing. Nina mengangguk namun kemudian menyadari kondisi gelap dan Abigail tidak mungkin melihat anggukan kepalanya.“Ya, aku Nina,” sahutnya dengan suara datar.“Kenapa kamu membawaku? Apakah kamu termasuk orang jahat yang membunuh kakek dan nenek?” tanya Abigail dengan cepat dan bersiap mengacungkan tangannya untuk memukul.“Tidak! Aku dikirim oleh seseorang untuk menyelamatkanmu,” jawab Nina tidak kalah cepat. Dia tidak ingin ad
Sheriff itu masih menunggu jawaban dari Nina. Sesaat wanita itu merasa hampir hilang kesabaran dan ingin menempuh jalan pintas. Akal sehatnya kembali dengan cepat dan akhirnya Nina menutup wajahnya, mulai menangis.“Tenang-tenang … kami tidak bermaksud jahat,” seru Sheriff itu mendadak terlihat bersimpati. Rekannya yang ternyata perempuan yang cukup matang keluar.“Ada apa, Bill?” seru wanita tersebut dari jauh.“Kurasa nyonya ini membutuhkan bantuan kita,” ucap sheriff yang bernama Bill tersebut. Petugas wanita tersebut turut mendekat dan bergabung bersama mereka.“Nyonya, apakah Anda dalam kesulitan?” tanyanya lembut. Nina membuka tangan yang menutup wajahnya.“Aku lari dari suamiku dan kami tidak sempat membawa apa pun kecuali dompet dan sedikit baju. Dia memukuli aku dan juga anakku. Aku mohon jangan tangkap kami,” tangis Nina dengan pilu.“Oh Tuhan, anakmu lebam di
Markus menutup pintu ruang kerjanya di salah satu kantor di Vatikan, Roma. Sebagai kardinal yang baru terpilih, dia harus bekerja lumayan berat. Beberapa urusan yang berhubungan dengan dokumen rahasia dan juga barang bersejarah yang memiliki unsur ajaib, menjadi tanggung jawab Markus. Dengan pelan dia menekan telepon dan nada sambung terdengar.Begitu selesai menelepon, pintunya diketuk dan Markus menjawab lantang untuk masuk. Seorang frater, atau calon pastor masuk. Wajahnya sangat tampan dan menawan. Rambutnya sedikit ikal berwarna cokelat tua dengan mata hijau lumut dan tubuh tinggi tegap. Jubah warna hitam dengan collar putih menambah ketampanan dan membuat wajahnya bersinar. Seorang pemuda berhati bersih juga baik.“Oliver, tahukah kamu jika keponakanku Abigail sedang dalam perjalanan menuju ke Vatikan?” tanya Markus sembari duduk di meja kerjanya. Oliver masih berdiri dan mengangguk.“Ya, Kardinal Castain. Aku sudah menyiapkan semua kebutuhan ke
Guncangan terasa dan Abigail mendengar Nina memintanya bangun untuk bergegas pergi. Abigail mengusap mata dan dengan lambat meraih ransel pinknya untuk mengikuti Nina yang sudah keluar.“Kita menjauh dari pusat kota!” seru Nina dan masuk ke dalam mobil van tua. Nina membeli mobil itu dengan harga murah dan kini mereka akan memulai perjalanan untuk terus menghindar hingga kejelasan langkah berikutnya.Nina membaca peta dengan cepat dan menemukan tujuannya yang segera dia tandai. Abigail duduk di depan dan memasang sabuk pengaman dalam diam. Nina melirik sekilas. Wajah Abigail terlihat pucat dan tidak bercahaya. Ada sedikit rasa iba dalam hati Nina, namun segera ia tepis. Mengikuti perasaan bukanlah hal yang ia dalami selama ini. Mobil meluncur meninggalkan motel dan menuju Philadelpia.Pagi mulai berganti siang dan setelah mengisi bensin juga bersantap, Nina melanjutkan perjalanan.Dalam hati dia mengumpat karena Alter Fidelis tidak memberi kabar
Nina dan Abigail masih terperanjat atas kekuatan yang muncul dalam diri Nina. Tiga orang itu menembaki keduanya dengan cepat. Namun Nina keburu bangkit dan lari sembari menarik Abigail dengan kecepatan fantastis menghindar. Rasa sakit masih terasa, namun kini dia kuat menahannya. Nina yang masih merasakan bingung juga syok segera menguasai diri. Dia meminta Abigail lari bersembunyi sementara dirinya melompat salto dengan kilat serta menyambar pistol miliknya yang tergeletak di lantai. Tangan Nina menembakkan peluru pada tiga orang penyerangnya. Tidak peduli mereka mati atau tidak, Nina berteriak pada Abigail untuk segera masuk ke dalam Van.Keduanya segera masuk dan Nina melarikan kendaraannya dalam kecepatan tinggi. Tidak ada yang muncul saat mereka diserang. Mungkin manusia yang ada di tempat tersebut juga sudah mati. Nina baru merasakan ngilu juga nyeri.“Ambilkan aku whisky dan kain!” pinta Nina. Abigail dengan cepat memberikan kedua barang tersebut. Ti
Hotel yang Fidelis siapkan untuk mereka sangat mewah dan mahal. Nina kini tidak lagi mengendurkan kewaspadaannya. Begitu masuk kamar, Nina memeriksa semua kondisi kamar dan setiap sudut. Ketika merasa aman, dia baru meminta Abigail untuk masuk ke dalam.“Aku menyimpan ini di pesawat tadi,” ucap Abigail dengan pelan. Nina mengambil surat kabar berbahasa Inggris tersebut dan membaca berita tentang kematian dia Roger Pass.“Bukan hanya keluargaku yang meninggal, tapi beberapa keluarga yang memiliki nama Abigail,” lanjut gadis kecil itu dengan lirih.Nina termangu. Abigail memandang tajam Nina.“Lupakan semua. Kini kau memiliki hidup yang baru,” cetus Nina tanpa simpati. Abigail menatap Nina dengan kejengkelan memuncak. Ada rasa curiga yang menggunung dalam hatinya. Mungkinkah wanita aneh ini juga ingin mencelakakan dirinya? Berbagai pertanyaan berputar di kepala gadis kecil tersebut. Rasa ingin memberontak mulai bangkit dan dia tidak
Menjalani kehidupan kampus dan menjadi manusia terdidik membuat kualitas diri Abigail terbentuk dengan sangat baik.Satu tahun berlalu, remaja yang telah beralih menjadi wanita dewasa muda itu tampak berkembang menjadi pribadi yang memiliki mental kuat, kokoh dan juga tidak cengeng.Delapan belas tahun sudah usianya sekarang. Abigail terlihat secantik kakaknya, Nina.Kulitnya yang halus seperti warna peach di musim semi dengan rambut kemerahan dan mata biru, membuatnya kadang menjadi pusat perhatian.Pada tahun kedua, Abigail mendapat pendampingan dari senior dan tanpa diduga, Conradlah yang terpilih menjadi pendampingnya.Claire yang tergila-gila pada Conrad dengan tulus dan tidak kehilangan antusiasnya mendukung penuh Abigail untuk mendekati.“Kau sinting, Claire!” omel Abigail dengan gelengan kepala tidak berhenti.Rambutnya yang panjang telah ia potong sebahu dan Abigail makin terlihat menawan, tegap dan
Luke melempar bola basket tersebut dan dengan tepat masuk ke dalam keranjang. Tepuk tangan penonton memenuhi di lapangan outdoor kampus. Luke sudah menjadi idola baru sejak awal semester. Baru dua lalu, Luke dinobatkan sebagai pria paling seksi dan itu ditolak mentah-mentah oleh Abigail dan Claire.“Kau pernah menciumku, Abe! Akui saja!” cetus Luke dengan mimik kesal.“Ya! Sebagai latihan dan untuk memenangkan taruhan dengan Claire!” kedua teman wanitanya tos dan terkekeh.Luke mengomel dan jengkel karena dua sahabatnya adalah manusia yang tidak mengakui ketampanannya.“Oh, lihatlah dia! Conrad Siltra! Sangat dewasa, menarik dan cerdas. Kualitas unggul dari seorang pria!” puji Claire dengan ekspresi terpesona tingkat tinggi.Luke dan Abigail menunjukkan mimik tidak setuju.“Angkuh, sombong dan kaku! Itu yang tepat!” bantah Abigail.Kali ini Luke sepakat.“Kalian tidak tahu p
Elba menenteng dua koper milik Abigail ke dalam bagasi mobil dan juga kardus yang berisi semua keperluan yang dibutuhkan selama tinggal di asrama universitas nanti.Hari ini mereka mengantar Abigail ke Montana University untuk mulai kehidupan baru sebagai mahasiswi fakultas kedokteran.Panther duduk di belakang kemudi dan mereka un berangkat.“Tidak seharusnya kalian mengantarku semua!” gerutu Abigail malu.Coque tidak mengacuhkan karena sibuk memeriksa catatan yang ada dalam jurnalnya. Semua yang Abigail butuhkan Coque periksa kembali dengan teliti dan cermat.“Kita harus mampir di supermarket sebentar karena belum ada krim repellent untuk anti nyamuk!” seru Coque menutup jurnalnya dan memasukkan ke dalam saku kemeja.“Buat apa repellent anti nyamuk?” tanya Roth heran.“Di asrama nanti mustahil mereka menjaga kebersihan seperti kita, Roth! Abigail bisa terkena demam berdarah!&rd
Claire dan Luke tidak lagi bertanya atau meragukan keseluruhan kisah hidup Abigail yang sebenarnya mereka sudah dengar desas desisnya sejak kecil dulu sebagai keturunan dari makhluk kegelapan.Tapi semenjak tragedi Belial menimpa seluruh dunia, keduanya tidak menyangka bahwa sahabat mereka yang selama ini dikenal adalah tokoh utama yang berperan bersama iblisnya dalam musibah tersebut.Sebagai remaja yang ternyata menganut paham terbuka dan modern, Claire dan Luke hanya mendukung Abigail sepenuhnya hingga tidak lagi mengalami trauma terhadap apa yang pernah ia lihat di medan perang.Bukan itu saja, seluruh pengalaman pahit Abigail juga perlu diterima dengan nalar dan logika yang cerdas supaya mental tidak terpukul. Disitulah peran kedua remaja dalam hidup Abigail.Sementara itu, Elba telah memeriksa dengan teliti bersama Roth untuk kekuatan adik dari Nina tersebut secara maksimal.Berbagai macam tes dilakukan untuk mengetahui apakah k
Ungkapan paling tepat untuk situasi dunia saat ini adalah mati suri.Hampir sebagian besar perekonomian lumpuh dan kehilangan kemampuan untuk meraih level stabil. Bangkit dari keterpurukan adalah hal yang paling sulit untuk dilakukan.Semua orang merasa berkepentingan untuk dibantu dan melupakan esensi dari berjuang bersama. Ketakutan yang masih mengukung dan meninggalkan trauma dalam hidup mereka, membuat masing-masing pribadi memilih untuk mempersiapkan diri jika ada kejadian berikutnya.Kecurigaan satu sama lain dan buruk sangka selalu terjadi.Setelah pasca serangan Belial yang sempat mengugah para penyintas untuk saling bahu membahu, tiba-tiba saja bisa berubah. Para manusia saling menarik diri dan jika itu dilihat secara menyeluruh, pemerintah pun seakan bersikap yang sama.Pemimpin negara kehilangan kemampuan mereka untuk mengarahkan rakyat yang semakin memilih cara sendiri untuk bertahan hidup.Hilangnya kepercayaan mereka pada para
Karmuzu mengatakan belum waktunya dan akan tiba saat yang tepat untuk mereka melanjutkan perjalanan ke gunung Sinai. Di sisi lain, Lucifer tidak pernah mampu menemukan di mana Nina Averin berada. Tidak peduli seberapa kuat Raja Iblis itu mencari dengan menyebarkan pasukannya, hasilnya tetap nihil. Rasa heran mulai menguasai diri Lucifer. Siapakah Nina sebenarnya?Abigail tiba pada situasi menjadi remaja yang penuh gejolak dan pemberontakan. Mengancam akan kabur jika tidak dipenuhi permintaannya. Mereka akhirnya mengikuti tuntutan Abigail untuk kembali ke Roger Pass, Montana.Walaupun Nina menentang, Oliver bersikukuh memutuskan untuk memenuhi permintaan Abigail dan kelimanya terbang kembali ke Amerika Serikat.Suatu malam, Oliver bermimpi aneh. Ketika ia menceritakan tentang mimpinya, semua terhenyak. Seseorang yang sangat misterius, mirip dengan sosok malaikat, memberitahu jika Lucifer sesungguhnya memiliki dua putri. Putri sulungnya adalah kunci untuk mengalah
Besar di panti asuhan, Nina Averin terdidik menjadi sosok manusia yang sangat ahli menyamar dan mempertahankan diri. Mengalami masa kecil menggenaskan, Nina bahkan diperkosa saat masih berusia sepuluh tahun.Nina menjadi mesin pembunuh yang telah menjalani tugas ratusan kali. Gadis itu sejak kecil dituntut untuk mematikan emosi juga perasaannya. Hingga pada saat berusia 23 tahun dia memutuskan untuk melarikan diri.Alasan utama Nina melarikan diri karena lelah menjalani kehidupan sebagai pembantai dan kebebasannya terkungkung. Berbeda dengan semua teman yang menjalani profesi dengannya, Nina sudah menunjukkan bakat pemberontak sejak kecil.Bertemu dengan sosok Ben yang sebetulnya adalah Alter Fidelis yang menyamar, Nina mendapat bekal juga tertolong saat terjepit. Namun hari berikutnya, Nina kembali mati-matian menghadapi sindikat yang berusaha membunuhnya. Nina terluka parah.Pada titik terendahnya, Nina memutuskan untuk mengakhiri hidup, namun ia keburu
Bau anyir yang bercampur busuk jenazah menguar di sepanjang lembah Norwegia. Entah bagaimana mereka akan membereskan semua kekacauan ini.Semua masih terlalu berduka dan terpukul akan kepergian Nina.Abigail yang dalam perawatan Sky dan Pixen, belum sepenuhnya pulih. Secara fisik remaja itu baik-baik saja, tapi memori yang terekam dalam benaknya sulit untuk kembali.Bagi Abigail, semua baik-baik saja. Tidak ada yang salah.Berkali-kali pula, dia menanyakan mengenai di mana kakaknya dan semua belum bisa menjawab dengan fakta yang sesungguhnya. Mereka mengalihkan dengan topik yang lain dan Roth mulai tidak nyaman menyembunyikan terus menerus.“Aku seperti menelan racun pahit,” cetus Roth dengan mata lekat menatap Abigail yang sedang menjalani fisioterapi dengan Sky.Fisiknya masih terkadang lemah dan Abigail butuh menghilangkan semua racun yang selama ini bersarang di tubuhnya.Beberapa kali remaja itu muntah cairan hitam me
Lembah Norwegia menjadi saksi tentang sebuah pengorbanan yang tulus dan bukti nyata dari kasih seorang kakak pada adiknya.Abigail yang terkapar di samping Belial, perlahan kembali ke wujud manusia dan luka yang ada di tubuh remaja itu, sembuh dengan sendirinya. Elba melepas jubah dan berjalan mendekat, lalu menutupi tubuh Abigail yang telanjang.Roth mengambil alih dan memberi isyarat pada Elba untuk mendekati Nina, kekasihnya.Pria itu terlihat gemetar, menyentuh tubuh yang masih menelungkup dan tombak masih tertancap di perutnya. Saat membalikkan badan Nina dan mencabut tombak surgawi, Elba tergugu. Mata Nina masih terbuka dan menatap tanpa cahaya.Jarinya menutup dengan ucapan yang mengalun begitu pilu. Tidak pernah terbayang akan mengalami hal yang terjadi saat ini. Siapa yang dapat menyangka, jika Nina benar-benar membutikan ucapannya dulu? Siapa yang bisa menduga, cinta yang Nina miliki begitu besar?Pelukan itu tidak mampu menyingkirkan luk