Share

At the Edge

Penulis: Theresia Rini S
last update Terakhir Diperbarui: 2021-02-18 17:06:45

Entah tertidur atau pingsan, Nina terkapar sekitar dua jam. Begitu terbangun, dia menggigil. Demam mulai menyerangnya. Nina duduk dengan susah payah. Kereta masih bergerak dan dia berada di antara barang muatan yang akan dikirim ke kota tujuan.

Hidung Nina mencium bau whisky. Dengan tubuh demam dan mata sedikit buram, Nina mencari asal sumber bau tersebut dan menemukan kotak kayu penuh dengan botol whiskey. Tangannya dengan susah payah mencongkel kotak dan membuka segel paku. Jarinya terluka dan kukunya terbeset, tapi ia tidak peduli.

Dirinya butuh minuman tersebut untuk mengurangi nyeri dan membersihkan luka bekas peluru yang mungkin kini mulai terinfeksi. Setelah berhasil membongkar, Nina menyambar satu botol dan membuka lukanya yang kini terasa panas. Dia menyiram luka di perut juga pundaknya dengan whisky. Kemudian mencari kain yang cukup bersih dan membalut kembali. Muatan kargo menyimpan beberapa barang yang cukup menguntungkan.

Sembari menenggak whisky, Nina menyantap apel juga peach dengan lahap, cukup menganjal perutnya. Nina kembali berbaring sambil menikmati minuman alkohol. Benaknya mulai memikirkan sebuah rencana.

***

“Hei … Hei ....!” seseorang menepuk pundaknya. Nina terbangun dan tangannya menyambar pistol serta menodongkan pada pria berkulit hitam tersebut.

“Hei, tenang anak muda!” seru pria setengah baya tersebut. Dari dialeknya, Nina tahu jika pria tersebut tidak berasal dari Rusia. Nina masih dalam sikap siaga dan mengacungkan senjata padanya.

“Aku tidak bermaksud mencelakakan dirimu. Bisa kulakukan saat kamu tidur tadi,” ucap pria itu dengan tangan masih di atas kepala namun tersenyum ramah. Nina meneliti pakaiannya yang kumal dan sepatu boot murahan yang mulai terkelupas kulitnya. Nina menurunkan senjata dan menyimpan kembali.

“Aku tidak tahu apa tujuan dan tugasmu, tapi sebagai sesama penumpang gelap, aku hanya menawarkan kamu ini.”

Pria berkulit hitam itu mengangsurkan roti isi keju pada Nina. Dengan ragu Nina menerima disertai tatapan curiga.

“Makanlah, aku masih punya satu roti besar lagi. Oh ya, aku Ben,” cetus pria berkulit hitam yang bernama Ben tersebut. Nina tidak bertanya lagi dan segera menyantap roti dengan rakus. Ben kembali duduk bersandar pada salah satu peti. Tangannya menyeret ransel dan tangannya bertumpu di atasnya.

“Empat jam lagi kita sampai. Badanmu demam, kamu harus ke rumah sakit begitu sampai. Dari bercak darah itu, sepertinya kamu butuh antibiotic untuk lukamu. Minumlah ini sebagai pertolongan pertama.” Ben kemudian mengulurkan tablet antibiotik dan paracetamol untuk mengurangi demam.

“Apakah kamu punya baju lainnya, aku butuh mengganti kemejaku,” sahut Nina bertanya. Ben mengacungkan jarinya sebagai isyarat untuk menunggu dan tangannya mulai membuka tas. Ben mengangsurkan kaos juga kemeja jeans untuk Nina.

Tanpa segan ataupun sungkan Nina berganti baju dengan cepat. Ben membuang baju Nina yang lama keluar jendela.

“Sedikit kebesaran tapi lumayan,” puji Ben.

Nina bungkam dengan wajah datar. Perutnya telah terisi dan obat yang ia minum mulai bekerja. Cukup mengurangi radang yang tadinya menyiksa dan suhu tubuhnya mulai mendingin. Ben berdendang sebuah lagu yang Nina tidak pahami karena hanya berupa gumaman.

“Aku tidak tahu apa yang sedang kamu lalui, tapi jika kamu membutuhkan tempat untuk berlabuh sementara, singgahlah di rumahku. Aku akan senang menyambutmu,” kata Ben dengan senyum hangat. Nina tidak menjawab. Dirinya mulai mengantuk. Sejenak dia kembali terlelap.

***

Nina terbangun oleh guncangan lembut Ben. Pria itu mengatakan saatnya berganti kereta menuju Austria.

“Kita tiba di Kroasia. Beruntung kita penumpang gelap, tidak melewati imigrasi,” canda Ben dengan tawa renyah.

Nina mengikuti langkah kaki Ben yang dengan sabar mengimbangi dirinya yang masih tertatih. Luka sobek di perutnya terasa sangat sakit dan Nina harus berjalan setengah membungkuk.

Siang itu keduanya mengendap dan berhasil berpindah gerbang. Ben mencari tempat persembunyian yang sangat ideal. Mereka berada di tumpukan jerami yang ternyata mengangkut buah dan juga makanan import.

Nina masih belum mengerti, bagaimana Ben bisa menghindari semua pemeriksaan dan tidak kepergok petugas. Pria tua tersebut seperti memahami situasi dengan baik.

Nina melenguh pelan ketika merebahkan tubuhnya kembali di tumpukan jerami. Perutnya terasa ditarik dan dia berusaha untuk tidak menjerit ataupun merengek, Nina berbaring dengan posisi miring.

“Telentanglah, aku akan lihat lukamu,” pinta Ben.

Nina pasrah dan mengikuti permintaannya. Ben menyingkap baju Nina dan tepat di atas pusar, luka sobekan menganga. Goresan yang cukup dalam itu mulai tampak merah seperti meradang.

“Minum ini, aku akan menjahit lukamu,” ucap Ben yang ternyata menyimpan botol whisky dari kereta sebelumnya. Nina menyambar dan minum dengan cepat. Dari dalam tas, Ben mengeluarkan peralatan jahit baju.

“Tidak mewah dan sesuai protokol kesehatan, tapi cukup mencegah lukamu sobek lebih lebar dan infeksi.”

Tangan Ben menjahit luka Nina sepanjang lima senti tersebut. Nina bisa menahan semua derita dan tajamnya jarum yang menusuk kulit. Penyiksaan hukuman dulu jauh lebih mengerikan, termasuk dia pernah dicabut semua kuku tangan kanannya saat gagal menguasai cara merakit bom dan hampir mencelakakan seluruh kelompoknya.

“Hidupmu sangat berat dan kejam,” cetus Ben saat melihat bekas luka lain yang menghiasi lengan Nina. Gadis itu memang menutupi dengan tattoo. Tapi mata Ben cukup jeli melihat itu.

“Terkadang tempaan berat diberikan oleh Tuhan untuk mempersiapkan kita menerima tanggung jawab yang lebih besar,” celoteh Ben. Nina memejamkan mata. Ben terus berkata-kata dan tidak peduli walau Nina tidak pernah menimpali.

Jauh di dalam hati, Nina menyangkal tentang konsep Tuhan yang Ben utarakan. Dia tidak pernah menerima pelajaran agama dan baginya Tuhan itu tidak ada.

Manusia menghadirkan Tuhan sebagai sosok yang bisa mereka jadikan penguat dalam menghadapi cobaan dan menganggap sebagai kontrol untuk terus berbuat baik. Kesuksesan yang mereka dapatkan dari kerja keras, mereka asumsikan sebagai berkat dari Tuhan.

'Beruntung sekali sosok Tuhan ini!' batin Nina sinis.

Setelah selesai menjahit lukanya, Ben menatap Nina dengan lekat.

“Seharusnya kamu mencoba mengenali sosok Tuhan yang aku ceritakan tadi. Dia adalah Sang Maha Tahu yang paling mengerti jati dirimu yang sesungguhnya. Dia menyediakan rumah di mana pun aku membutuhkan.”

Nina cukup terkejut. Retinanya membesar sesaat. Ben terkekeh. Bagaimana dia tahu yang Nina pikirkan?

“Dia tidak ada sewaktu aku diperkosa ketika berusia sepuluh tahun. Dia tidak pernah menolong saat aku disiksa dengan kejam hingga hampir mati. Dia juga tidak pernah muncul pada waktu aku dipaksa membunuh para bayi yang dinilai jenius hanya demi kepentingan sepele manusia yang lain. Maaf, Ben. Bagiku Tuhan itu abstrak,” tukas Nina sinis dan geram. Ben menghela napas panjang.

“Dia selalu melihatmu, tapi jika semua itu tidak kamu alami, kau tidak pernah akan mampu menjadi manusia pilihanNya,” sangkal Ben dengan sedih.

“Maksudmu?” tanya Nina tidak mengerti. Ben menyimpan kembali peralatan jahitnya.

“Lupakan. Hanya ucapan orang tua bodoh. Tidurlah.” Ben menyentuh dahi Nina dan gadis itu seketika terjatuh dalam tidur lelap. Ben menatap Nina dan matanya berkaca-kaca.

“Maaf, tapi Dia juga turut menangis bersamamu …,” bisiknya dan mengecup kening Nina dengan lembut. Bulir bening menetes di pipi tuanya. Luka di perut dan pundaknya berangsur pulih dengan ajaib dan cepat. Kereta terus melaju menuju Austria. Perjalanan panjang akan mereka tempuh. Semoga menjadi titik kebebasan Nina Averin seutuhnya! Benarkah?  

Bab terkait

  • The Huntress Trilogy #1 Daughters of Lucifer   The Savior

    Guncangan kereta dan peluit panjang terdengar sangat memekakkan telinga Nina. Dengan kaget dia terbangun dan memandang ke sekeliling. Pria tua bernama Ben sudah tidak ada bersamanya. Nina menebarkan pandangan ke sekeliling dan tidak ada tanda-tanda keberadaan Ben. Nina mengencangkan tali sepatu boot-nya. Begitu dia bangkit, matanya menangkap amplop coklat yang tergeletak di samping. Nina mengambil dan membukanya.‘Sedikit bekal untukmu. Semoga berhasil semua tujuanmu, jika terdesak, mampirlah ke rumahku.’Sejumlah uang terdapat di dalam amplop. Nina terkesiap. Bertambah keheranannya ketika dia meraba pundak dan perutnya yang telah sembuh total!Nina merasakan bulu kuduknya berdiri. Siapakah pria tersebut? Caranya berbicara untuk mampir di rumahnya seakan-akan Nina mengetahui alamat dan tahu. Pria yang aneh. Kereta berhenti dan Nina menyimpan semuanya untuk segera bergegas keluar dari gerbong tersebut.***Sebuah tendangan menghantam tubuh Katya d

    Terakhir Diperbarui : 2021-02-18
  • The Huntress Trilogy #1 Daughters of Lucifer   Change the Direction

    Setelah Nadja dan pengikutnya menemukan dua anggota mereka tewas, kelompok pembunuh bayaran tersebut segera melakukan pengejaran.“Brengsek!” teriak Nadja dengan geram. Ternyata tidak semudah itu melumpuhkan Nina. Gadis itu benar-benar tangguh dan masih selicin belut. Nadja selalu membenci Nina karena dia tidak pernah mengungguli kemampuannya.“Cari sampai dapat!” pekik Nadja terlihat kalap.Mereka menelusuri tetes darah yang berceceran di sepanjang jalan. Sangat mudah untuk mengikuti arah lari Nina, begitu anggapan mereka. Namun begitu tiba di depan sebuah gereja yang gelap dan tertutup, jejak darah tersebut hilang. Raib dan Nina seperti tidak pernah melalui jalan tersebut.“Dia pasti naik menumpang salah satu mobil yang lewat,” analisa seorang anggota. Nadja dengan tidak sabar segera memerintahkan untuk menyusul.“Kali ini aku mau dia mati!” teriak Nadja geram. Murkanya sudah mencapai puncak.***Kelopak mata Nina bergerak dan perla

    Terakhir Diperbarui : 2021-02-19
  • The Huntress Trilogy #1 Daughters of Lucifer   Abigail Castain

    Kota kecil di Amerika ini memang terkenal sebagai kota terdingin kedua di dunia. Roger Pass, Montana. Musim panas hanya terjadi singkat dan sepanjang tahun mengalami musim dingin yang panjang. Abigail berlari dengan sepatu boot merahnya. Rambutnya yang pirang sebahu tampak lepek dan basah oleh udara lembab. Matanya biru dan sangat menawan. Gadis berumur sepuluh tahun tersebut tertawa sambil berlari dari kejaran ibunya yang membawa sayuran dan buah murah yang mereka beli di pasar petani.“Mama, ayo tangkap aku!” seru Abigail dengan ceria. Ibunya tampak masih muda dan terlihat kecantikan Abigail didapatkan dari gen ibunya, Jean.“Keranjang ini terlalu berat, Abe. Mama tidak akan bisa mengejarmu. Langkahmu juga terlalu cepat,” gelak Jean sekaligus membuat besar kepala putrinya.“Sebentar lagi aku besar dan dewasa, Mama. Paman Lexi akan mempekerjakan aku menjadi asistan dapurnya,” balas Abigail dengan bangga. Lexi adalah pemilik restoran kecil yang

    Terakhir Diperbarui : 2021-02-20
  • The Huntress Trilogy #1 Daughters of Lucifer   Little Devil

    Mobil terus meluncur melewati perbatasan meninggalkan Roger Pass jauh di belakang. Nina mulai merasa lega dan kini satu-satunya kendala adalah apa yang selanjutnya mesti dia perbuat terhadap Abigail.“Mama ….”Terdengar Abigail memanggil mamanya dan mulai siuman. Semua terjadi tepat saat mereka tiba di depan sebuah motel yang bisa Nina pilih untuk merapikan Abigail yang masih berlumuran darah. Mobil memasuki halaman dan Nina menoleh ke belakang.“Kamukah yang menyelamatkan aku tadi?” tanya Abigail dengan mata sedikit terpicing. Nina mengangguk namun kemudian menyadari kondisi gelap dan Abigail tidak mungkin melihat anggukan kepalanya.“Ya, aku Nina,” sahutnya dengan suara datar.“Kenapa kamu membawaku? Apakah kamu termasuk orang jahat yang membunuh kakek dan nenek?” tanya Abigail dengan cepat dan bersiap mengacungkan tangannya untuk memukul.“Tidak! Aku dikirim oleh seseorang untuk menyelamatkanmu,” jawab Nina tidak kalah cepat. Dia tidak ingin ad

    Terakhir Diperbarui : 2021-02-23
  • The Huntress Trilogy #1 Daughters of Lucifer   Escape

    Sheriff itu masih menunggu jawaban dari Nina. Sesaat wanita itu merasa hampir hilang kesabaran dan ingin menempuh jalan pintas. Akal sehatnya kembali dengan cepat dan akhirnya Nina menutup wajahnya, mulai menangis.“Tenang-tenang … kami tidak bermaksud jahat,” seru Sheriff itu mendadak terlihat bersimpati. Rekannya yang ternyata perempuan yang cukup matang keluar.“Ada apa, Bill?” seru wanita tersebut dari jauh.“Kurasa nyonya ini membutuhkan bantuan kita,” ucap sheriff yang bernama Bill tersebut. Petugas wanita tersebut turut mendekat dan bergabung bersama mereka.“Nyonya, apakah Anda dalam kesulitan?” tanyanya lembut. Nina membuka tangan yang menutup wajahnya.“Aku lari dari suamiku dan kami tidak sempat membawa apa pun kecuali dompet dan sedikit baju. Dia memukuli aku dan juga anakku. Aku mohon jangan tangkap kami,” tangis Nina dengan pilu.“Oh Tuhan, anakmu lebam di

    Terakhir Diperbarui : 2021-02-24
  • The Huntress Trilogy #1 Daughters of Lucifer   Behind The Mission

    Markus menutup pintu ruang kerjanya di salah satu kantor di Vatikan, Roma. Sebagai kardinal yang baru terpilih, dia harus bekerja lumayan berat. Beberapa urusan yang berhubungan dengan dokumen rahasia dan juga barang bersejarah yang memiliki unsur ajaib, menjadi tanggung jawab Markus. Dengan pelan dia menekan telepon dan nada sambung terdengar.Begitu selesai menelepon, pintunya diketuk dan Markus menjawab lantang untuk masuk. Seorang frater, atau calon pastor masuk. Wajahnya sangat tampan dan menawan. Rambutnya sedikit ikal berwarna cokelat tua dengan mata hijau lumut dan tubuh tinggi tegap. Jubah warna hitam dengan collar putih menambah ketampanan dan membuat wajahnya bersinar. Seorang pemuda berhati bersih juga baik.“Oliver, tahukah kamu jika keponakanku Abigail sedang dalam perjalanan menuju ke Vatikan?” tanya Markus sembari duduk di meja kerjanya. Oliver masih berdiri dan mengangguk.“Ya, Kardinal Castain. Aku sudah menyiapkan semua kebutuhan ke

    Terakhir Diperbarui : 2021-02-25
  • The Huntress Trilogy #1 Daughters of Lucifer   Strange Power

    Guncangan terasa dan Abigail mendengar Nina memintanya bangun untuk bergegas pergi. Abigail mengusap mata dan dengan lambat meraih ransel pinknya untuk mengikuti Nina yang sudah keluar.“Kita menjauh dari pusat kota!” seru Nina dan masuk ke dalam mobil van tua. Nina membeli mobil itu dengan harga murah dan kini mereka akan memulai perjalanan untuk terus menghindar hingga kejelasan langkah berikutnya.Nina membaca peta dengan cepat dan menemukan tujuannya yang segera dia tandai. Abigail duduk di depan dan memasang sabuk pengaman dalam diam. Nina melirik sekilas. Wajah Abigail terlihat pucat dan tidak bercahaya. Ada sedikit rasa iba dalam hati Nina, namun segera ia tepis. Mengikuti perasaan bukanlah hal yang ia dalami selama ini. Mobil meluncur meninggalkan motel dan menuju Philadelpia.Pagi mulai berganti siang dan setelah mengisi bensin juga bersantap, Nina melanjutkan perjalanan.Dalam hati dia mengumpat karena Alter Fidelis tidak memberi kabar

    Terakhir Diperbarui : 2021-03-01
  • The Huntress Trilogy #1 Daughters of Lucifer   Beware of Friendly Enemy

    Nina dan Abigail masih terperanjat atas kekuatan yang muncul dalam diri Nina. Tiga orang itu menembaki keduanya dengan cepat. Namun Nina keburu bangkit dan lari sembari menarik Abigail dengan kecepatan fantastis menghindar. Rasa sakit masih terasa, namun kini dia kuat menahannya. Nina yang masih merasakan bingung juga syok segera menguasai diri. Dia meminta Abigail lari bersembunyi sementara dirinya melompat salto dengan kilat serta menyambar pistol miliknya yang tergeletak di lantai. Tangan Nina menembakkan peluru pada tiga orang penyerangnya. Tidak peduli mereka mati atau tidak, Nina berteriak pada Abigail untuk segera masuk ke dalam Van.Keduanya segera masuk dan Nina melarikan kendaraannya dalam kecepatan tinggi. Tidak ada yang muncul saat mereka diserang. Mungkin manusia yang ada di tempat tersebut juga sudah mati. Nina baru merasakan ngilu juga nyeri.“Ambilkan aku whisky dan kain!” pinta Nina. Abigail dengan cepat memberikan kedua barang tersebut. Ti

    Terakhir Diperbarui : 2021-03-04

Bab terbaru

  • The Huntress Trilogy #1 Daughters of Lucifer   Young Heroes Were Born

    Menjalani kehidupan kampus dan menjadi manusia terdidik membuat kualitas diri Abigail terbentuk dengan sangat baik.Satu tahun berlalu, remaja yang telah beralih menjadi wanita dewasa muda itu tampak berkembang menjadi pribadi yang memiliki mental kuat, kokoh dan juga tidak cengeng.Delapan belas tahun sudah usianya sekarang. Abigail terlihat secantik kakaknya, Nina.Kulitnya yang halus seperti warna peach di musim semi dengan rambut kemerahan dan mata biru, membuatnya kadang menjadi pusat perhatian.Pada tahun kedua, Abigail mendapat pendampingan dari senior dan tanpa diduga, Conradlah yang terpilih menjadi pendampingnya.Claire yang tergila-gila pada Conrad dengan tulus dan tidak kehilangan antusiasnya mendukung penuh Abigail untuk mendekati.“Kau sinting, Claire!” omel Abigail dengan gelengan kepala tidak berhenti.Rambutnya yang panjang telah ia potong sebahu dan Abigail makin terlihat menawan, tegap dan

  • The Huntress Trilogy #1 Daughters of Lucifer   The Bliss

    Luke melempar bola basket tersebut dan dengan tepat masuk ke dalam keranjang. Tepuk tangan penonton memenuhi di lapangan outdoor kampus. Luke sudah menjadi idola baru sejak awal semester. Baru dua lalu, Luke dinobatkan sebagai pria paling seksi dan itu ditolak mentah-mentah oleh Abigail dan Claire.“Kau pernah menciumku, Abe! Akui saja!” cetus Luke dengan mimik kesal.“Ya! Sebagai latihan dan untuk memenangkan taruhan dengan Claire!” kedua teman wanitanya tos dan terkekeh.Luke mengomel dan jengkel karena dua sahabatnya adalah manusia yang tidak mengakui ketampanannya.“Oh, lihatlah dia! Conrad Siltra! Sangat dewasa, menarik dan cerdas. Kualitas unggul dari seorang pria!” puji Claire dengan ekspresi terpesona tingkat tinggi.Luke dan Abigail menunjukkan mimik tidak setuju.“Angkuh, sombong dan kaku! Itu yang tepat!” bantah Abigail.Kali ini Luke sepakat.“Kalian tidak tahu p

  • The Huntress Trilogy #1 Daughters of Lucifer   Whatever Happen, Just Move Forward

    Elba menenteng dua koper milik Abigail ke dalam bagasi mobil dan juga kardus yang berisi semua keperluan yang dibutuhkan selama tinggal di asrama universitas nanti.Hari ini mereka mengantar Abigail ke Montana University untuk mulai kehidupan baru sebagai mahasiswi fakultas kedokteran.Panther duduk di belakang kemudi dan mereka un berangkat.“Tidak seharusnya kalian mengantarku semua!” gerutu Abigail malu.Coque tidak mengacuhkan karena sibuk memeriksa catatan yang ada dalam jurnalnya. Semua yang Abigail butuhkan Coque periksa kembali dengan teliti dan cermat.“Kita harus mampir di supermarket sebentar karena belum ada krim repellent untuk anti nyamuk!” seru Coque menutup jurnalnya dan memasukkan ke dalam saku kemeja.“Buat apa repellent anti nyamuk?” tanya Roth heran.“Di asrama nanti mustahil mereka menjaga kebersihan seperti kita, Roth! Abigail bisa terkena demam berdarah!&rd

  • The Huntress Trilogy #1 Daughters of Lucifer   Life After Extinction

    Claire dan Luke tidak lagi bertanya atau meragukan keseluruhan kisah hidup Abigail yang sebenarnya mereka sudah dengar desas desisnya sejak kecil dulu sebagai keturunan dari makhluk kegelapan.Tapi semenjak tragedi Belial menimpa seluruh dunia, keduanya tidak menyangka bahwa sahabat mereka yang selama ini dikenal adalah tokoh utama yang berperan bersama iblisnya dalam musibah tersebut.Sebagai remaja yang ternyata menganut paham terbuka dan modern, Claire dan Luke hanya mendukung Abigail sepenuhnya hingga tidak lagi mengalami trauma terhadap apa yang pernah ia lihat di medan perang.Bukan itu saja, seluruh pengalaman pahit Abigail juga perlu diterima dengan nalar dan logika yang cerdas supaya mental tidak terpukul. Disitulah peran kedua remaja dalam hidup Abigail.Sementara itu, Elba telah memeriksa dengan teliti bersama Roth untuk kekuatan adik dari Nina tersebut secara maksimal.Berbagai macam tes dilakukan untuk mengetahui apakah k

  • The Huntress Trilogy #1 Daughters of Lucifer   I Want My Sister Back!

    Ungkapan paling tepat untuk situasi dunia saat ini adalah mati suri.Hampir sebagian besar perekonomian lumpuh dan kehilangan kemampuan untuk meraih level stabil. Bangkit dari keterpurukan adalah hal yang paling sulit untuk dilakukan.Semua orang merasa berkepentingan untuk dibantu dan melupakan esensi dari berjuang bersama. Ketakutan yang masih mengukung dan meninggalkan trauma dalam hidup mereka, membuat masing-masing pribadi memilih untuk mempersiapkan diri jika ada kejadian berikutnya.Kecurigaan satu sama lain dan buruk sangka selalu terjadi.Setelah pasca serangan Belial yang sempat mengugah para penyintas untuk saling bahu membahu, tiba-tiba saja bisa berubah. Para manusia saling menarik diri dan jika itu dilihat secara menyeluruh, pemerintah pun seakan bersikap yang sama.Pemimpin negara kehilangan kemampuan mereka untuk mengarahkan rakyat yang semakin memilih cara sendiri untuk bertahan hidup.Hilangnya kepercayaan mereka pada para

  • The Huntress Trilogy #1 Daughters of Lucifer   Summary 2

    Karmuzu mengatakan belum waktunya dan akan tiba saat yang tepat untuk mereka melanjutkan perjalanan ke gunung Sinai. Di sisi lain, Lucifer tidak pernah mampu menemukan di mana Nina Averin berada. Tidak peduli seberapa kuat Raja Iblis itu mencari dengan menyebarkan pasukannya, hasilnya tetap nihil. Rasa heran mulai menguasai diri Lucifer. Siapakah Nina sebenarnya?Abigail tiba pada situasi menjadi remaja yang penuh gejolak dan pemberontakan. Mengancam akan kabur jika tidak dipenuhi permintaannya. Mereka akhirnya mengikuti tuntutan Abigail untuk kembali ke Roger Pass, Montana.Walaupun Nina menentang, Oliver bersikukuh memutuskan untuk memenuhi permintaan Abigail dan kelimanya terbang kembali ke Amerika Serikat.Suatu malam, Oliver bermimpi aneh. Ketika ia menceritakan tentang mimpinya, semua terhenyak. Seseorang yang sangat misterius, mirip dengan sosok malaikat, memberitahu jika Lucifer sesungguhnya memiliki dua putri. Putri sulungnya adalah kunci untuk mengalah

  • The Huntress Trilogy #1 Daughters of Lucifer   Summary 1

    Besar di panti asuhan, Nina Averin terdidik menjadi sosok manusia yang sangat ahli menyamar dan mempertahankan diri. Mengalami masa kecil menggenaskan, Nina bahkan diperkosa saat masih berusia sepuluh tahun.Nina menjadi mesin pembunuh yang telah menjalani tugas ratusan kali. Gadis itu sejak kecil dituntut untuk mematikan emosi juga perasaannya. Hingga pada saat berusia 23 tahun dia memutuskan untuk melarikan diri.Alasan utama Nina melarikan diri karena lelah menjalani kehidupan sebagai pembantai dan kebebasannya terkungkung. Berbeda dengan semua teman yang menjalani profesi dengannya, Nina sudah menunjukkan bakat pemberontak sejak kecil.Bertemu dengan sosok Ben yang sebetulnya adalah Alter Fidelis yang menyamar, Nina mendapat bekal juga tertolong saat terjepit. Namun hari berikutnya, Nina kembali mati-matian menghadapi sindikat yang berusaha membunuhnya. Nina terluka parah.Pada titik terendahnya, Nina memutuskan untuk mengakhiri hidup, namun ia keburu

  • The Huntress Trilogy #1 Daughters of Lucifer   Bad Ending with No Lights

    Bau anyir yang bercampur busuk jenazah menguar di sepanjang lembah Norwegia. Entah bagaimana mereka akan membereskan semua kekacauan ini.Semua masih terlalu berduka dan terpukul akan kepergian Nina.Abigail yang dalam perawatan Sky dan Pixen, belum sepenuhnya pulih. Secara fisik remaja itu baik-baik saja, tapi memori yang terekam dalam benaknya sulit untuk kembali.Bagi Abigail, semua baik-baik saja. Tidak ada yang salah.Berkali-kali pula, dia menanyakan mengenai di mana kakaknya dan semua belum bisa menjawab dengan fakta yang sesungguhnya. Mereka mengalihkan dengan topik yang lain dan Roth mulai tidak nyaman menyembunyikan terus menerus.“Aku seperti menelan racun pahit,” cetus Roth dengan mata lekat menatap Abigail yang sedang menjalani fisioterapi dengan Sky.Fisiknya masih terkadang lemah dan Abigail butuh menghilangkan semua racun yang selama ini bersarang di tubuhnya.Beberapa kali remaja itu muntah cairan hitam me

  • The Huntress Trilogy #1 Daughters of Lucifer   Lucifer Returning

    Lembah Norwegia menjadi saksi tentang sebuah pengorbanan yang tulus dan bukti nyata dari kasih seorang kakak pada adiknya.Abigail yang terkapar di samping Belial, perlahan kembali ke wujud manusia dan luka yang ada di tubuh remaja itu, sembuh dengan sendirinya. Elba melepas jubah dan berjalan mendekat, lalu menutupi tubuh Abigail yang telanjang.Roth mengambil alih dan memberi isyarat pada Elba untuk mendekati Nina, kekasihnya.Pria itu terlihat gemetar, menyentuh tubuh yang masih menelungkup dan tombak masih tertancap di perutnya. Saat membalikkan badan Nina dan mencabut tombak surgawi, Elba tergugu. Mata Nina masih terbuka dan menatap tanpa cahaya.Jarinya menutup dengan ucapan yang mengalun begitu pilu. Tidak pernah terbayang akan mengalami hal yang terjadi saat ini. Siapa yang dapat menyangka, jika Nina benar-benar membutikan ucapannya dulu? Siapa yang bisa menduga, cinta yang Nina miliki begitu besar?Pelukan itu tidak mampu menyingkirkan luk

DMCA.com Protection Status