Sofa ruang TV berbahan beludru itu sudah di duduki keduanya yang saling berhadapan. Kaki jenjang Jena menimpa kaki besar dan kokoh Drew, Jena mengusap wajah prianya yang tampak takut untuk mulai bercerita. Jena tersenyum, ia kini siap mendengarkan cerita Drew.
Pria itu memejamkan kedua matanya sejenak, lalu mulai bercerita, awalnya, Jena masih menunjukkan ekspresi biasa, hingga…
“Kalian, tidur, bersama? Saat senior high school?” kedua mata Jena menunjukkan keterkejutan yang cukup mewakilkan hatinya yang mendadak nyeri. Jena tau Drew sering tidur dengan banyak wanita sebelum dirinya, namun wanita itu pelacur, berbeda dengan Camile.
“Ya, Jen, dia yang memintaku, aku menolak, namun kami berdua mabuk, maksudku ia yang pada akhirnya membuat ku mabuk, dan hal itu terjadi, hingga aku merasa bertanggung jawab karena sudah mengambil keperawanannya, dan hubungan kami tetap berteman tapi kami sering melakukan hal itu lagi dan lagi, sampai,
“Iya, aku minta maaf Paman, merepotkanmu karena mendadak berhenti bekerja, aku tidka mau mengganggu restoranmu, maafkan jika aku selama bekerja memiliki kesalahan…”“….”“Ya, sehat selalu Paman, aku akan mampir ke sana jika memang sempat. Sekali lagi terima kasih.” Jena menyudahi sambungan teleponnya, ia lalu memasukan k etas yang sudah ia siapkan, tak lupa ia memeriksa kotak makan siang yang ia siapkan untuk Drew. Wanita cantik itu akan datang ke lokasi syuting, membawakan makanan sekaligus berjumpa dengan para wartawan yang akan berada di sana. Jena memakai pakaian yang menunjukan jati dirinya, ia tak ingin berpenampilan berlebih yang bukan dirinya. Drew juga pasti tak suka hal itu. Kemeja oversize warna putih, celana blue jeans, sepatu hak lima belas sentimeter warna merah cabai, dan tas bertali panjang warna cokelat, ia jadikan outfit-nya hari itu.Di basemen, sudah ada supir pribadi Drew yang menjem
“Argh!” teriak Camile saat memasuki unit apartemennya, ia baru saja tiba setelah menyelesaikan syuting bersama Drew. Emosinya tertahan sejak Jena melakukan konferensi pers siang hari, ditambah, saat Jena mencium Drew begitu penuh rasa cinta.“Aku tidak tahan lagi! Drew hanya milikku! Bukan perempua itu! Sial!” teriak Camile sembari melempari banyak barang yang ada di sekitarnya ke sembarang arah.Ia duduk di kursi, menatap layar ponsel, tak bisa menunda lagi. Ia menghubungi seseorang, dengan senyum liciknya, ia meminta pria tersebut mengirimkan video tentang Drew saat bersama Camile ke ponsel Jena yang nomornya didapat dari seseorang yang ia percaya.“Kirim sekarang, aku mau ia tau siapa Drew yang sebenarnya.” ucap Camile licik. Ia sudah begitu gerah melihat kemesraan Jena dan Drew, membuatnya mual, namun bergairah juga. Ia berjalan menuju ke kamarnya, membuka laci, dan melihat banyak ‘mainannya’ yang siap memuaska
Desahan juga deritan ranjang itu begitu liar, bukan dari Drew desahan itu terucap, namun dari Camile yang akhirnya kembali merasakan inti miliknya dimasuki Drew. Berapa kali Drew memberikan pelepasan bagi wanita sinting yang ia tiduri demi membungkam mulutnya.“Puas, hah?!” tanya Drew yang dianggap menggoda oleh Camile padahal hal itu muak bagi Drew.“Yes, baby. Sangat!” jeritnya. Drew tak ingin ia sampai pada pelepasannya. Hingga akhirnya ia melepaskan miliknya dari dalam tubuh Camile, lalu membuat wanita itu klimaks dengan jemarinya. Begitu emosi Drew lakukan, Camile menjerit bukan sakit, namun nikmat. Sungguh sinting.Drew segera pergi, meninggalkan Camile yang masih terengah. “Drew! Jawabanmu aku tunggu esok, jika kau tidak memberikan jawaban, maka, kau tau kan?” ucapnya. Drew membanting pintu kamar bergitu keras, menimbulkan dentuman kencang.Di dalam mobil, ia memukur setir berkali-kali, bahkan begitu keras hingga
Jena beranjak perlahan dari ranjang, mendorong tubuh Drew pelan ke posisi samping, Drew masih berderai air mata. Ia menarik tangan Jena namun wanita itu melepaskan begitu cepat. Kedua kakinya begitu lemas, lembek semeprti jelly yang membuat dirinya terjatuh begitu saja di atas lantai tanpa sehelai benang ditubuhnya. Drew beranjak cepat, membantu Jena berdiri tapi halau dengan telapak tangannya yang terbuka tepat di depan wajah Drew.Jena beranjak pelan, sakit rasanya, semua yang ada di tubuhnya – hatinya pun – begitu terasa sakit. Ia memejamkan mata, mencoba mengatur napasnya.“Jen …” panggil Drew begitu memohon, ia segera memakai celana pendek dan memeluk Jena dari belakang. Tangan Jena melepaskan rengkuhan tangan besar kekasihnya yang mungkin, sebentar lagi tidak akan lagi menjadi miliknya.Apa semua ini? Mengapa mendadak semua kacau dan berubah. Apa semua hanya mimpi dengan kebohongan yang ikut di belakangnya? Jena menutup pintu
Mereka tiba menjelang petang, cukup jauh dari kota Newyork, dan, Jena pun tampak terkejut, ini seperti bukan di the big apple city, padahal masih berada di sana. Mansion itu berdiri kokoh di antara bukit dengan rerumputan hijau, pohon juga di keliling pagar hitam tinggi dengan keamanan tingkat tinggi. Seorang petugas keamanan menyambut kedatangan keduanya, Jena sudah lebih tenang, ia tersenyum menyapa petugas yang mempersilakan Maden mengarahkan mobil ke dalam area luas itu hingga tiba di depan pintu mansion.“Ini salah satu property milikku, Jen, aku menginvestasikan uangku di sini.” Maden melepaskan seatbelt, lalu mengajak Jena turun. Wanita itu mengangguk. Ia membuka seatbelt lalu pintu, kaki jenjangnya keluar dari mobil, tangan Maden terulur, membantu Jena beranjak. Jena menerima uluran tangan itu. Keduanya berdiri di depan pintu.“Di sini aman, tidak ada wartawan. Pelayan di sini ada lima, ya memang karena bangunan ini tak begitu besar, aku senga
Rasanya menjadi seorang pria yang begitu bodoh atas tindakan yang dilakukan, begitu membuat Drew dilanda perasaan kalut, cemas, khawatir dan takut sekaligus. Apa yang ia impikan, sudah Tuhan berikan, Jena hamil, namun ia tak mengetahui hal itu. Nicky – adiknya – memberi tahu jika Jena berencana mengabarkan hal itu pada saat hari ulang tahun Drew yang jatuh satu minggu lagi. Ternyata rencana itu menguap, seiring dengan ucapan Drew yang bilang akan menikah dengan Camile. Dave, yang tak bisa berbuat banyak karena hari itu ia menikah, hanya bisa mendoakan yang terbaik, walau di dalam lubuk hatinya, ia sedih karena Drew dan Jena tak bisa hadir di acara sakral ia dan kekasihnya.Kondisi Drew kacau, baru satu malam ia ditinggal Jena, sudah begitu membuatnya buruk. Ia mabuk-mabukan di apartemennya, membuat Nicky begitu emosi. Ia bahkan menyeret kakaknya itu ke dalam kamar mandi kemudian mengguyurnya dengan air shower, sedangkan Drew hanya pasrah menerima.“Je
Dua minggu sudah pencarian Drew, Jena seolah tertelan bumi. Pria itu tetap menjalankan pekerjaan, ia berusaha seprofesional mungkin, walau jelas dari raut wajahnya, ia menahan rasa yang tak karuan di dalam dada juga kepalanya. Camile di atas angin, bahkan ia sibuk mengurus persiapan pernikahan mendadak itu. Drew membaca naskah yang diberikan Dave, ia butuh konsentrasi untuk kembali fokus bekerja.Dave memberikan sebotol air mineral kepada drew yang tampak lemas, beberpa kali pria itu mengehela napas saat membaca naskah. “Kau demam, Drew?” Dave menyentuh kening koki seksi itu, Drew menggelengkan kepala, ia tak mau tampak lemah di depan klien, apalagi sorotan media sudah begitu membuatnya pusing kepala untuk membuat konferensi pers yang selalu berakhir sia-sia karena ancaman Camile.“Hey, Babe, kau sakit? Demam?” tanya Camile dengan senyum yang mampu membuat emosi Drew terpancing. Drew menepak kasar tangan Camile, ia tak sudi di sentuh ta
Jena melangkah menuju ke arah pintu kaca besar menuju ke lokasi Suite room berada. Lantai kamar rawat ekslusif, hanya orang-orang dengan uang berlimpah yang bisa berada di kamar rawat itu. Ia bertemu sekuriti di depan pintu, bahkan penjagaan pun ketat.“Sir, saya Jena, saya—““Ya, Miss Jena, ini kartu akses anda, Tuan Dave tadi sudah memberi tahu kami. Dan, hanya beebrapa orang yang akan di izinkan bertemu Tuan Drew, salah satunya dirimu, silakan anda tempelkan kartu akses ini, Miss Jena, untuk masuk ke dalam area suite room. Kamar Tuan Drew di Suite Room A.”“Baik, terima kasih, Sir, aku ke dalam.” Pamit Jena. Ia menempelkan kartu, pintu terbuka otomatis, ia melangkah masuk, terdengar suara alunan lagu klasik yang menenangkan perawat menyapa Jena ramah, Jena membalas dengan senyuman. Ia berjalan, mencari kamar dengan huruf A di depan pintu. Setelah beberapa detik mencari, ia menemukan ruangan itu di po