Jena selesai melakukan pekerjaannya di restoran pie itu, ia terkejut saat berjalan keluar dari resto, banyak wartawan yang menghampiri. Jena kikuk, ia ingin menghindar dari mereka tapi tak bisa.
“Jena, apa kau tau skandal yang pernah dibuat Drew dan Camile? Mereka sepasang kekasih bukan?!”
“Nona Jena, apa kau tau tentang hubungan mereka di masa lalu? Gosip ini sudah sampai ke banyak media. Apa kau perebut kekasih orang?!”
“Nona Jena jawab, kami butuh jawaban dari mu. Apa kamu selingkugan Drew? Karena sesungguhnya Drew kekasih Camile, bahkan sejak mereka kecil sudah dekat dan dijodohkan!”
Rentetan pertanyaan ditanyakan Jena, wanita it uterus menutup wajahnya dengan lengan, berjalan cepat namun sinar menyilaukan dari kamera terus menyerangnya. Hingga ia merasakan seseorang menutupi dirinya dengan jas. Jena menoleh, Maden, pria itu membawanya masuk ke dalam mobil sedan mewahnya, kemudian melesat cepat menjauh dari area itu
Sofa ruang TV berbahan beludru itu sudah di duduki keduanya yang saling berhadapan. Kaki jenjang Jena menimpa kaki besar dan kokoh Drew, Jena mengusap wajah prianya yang tampak takut untuk mulai bercerita. Jena tersenyum, ia kini siap mendengarkan cerita Drew.Pria itu memejamkan kedua matanya sejenak, lalu mulai bercerita, awalnya, Jena masih menunjukkan ekspresi biasa, hingga…“Kalian, tidur, bersama? Saat senior high school?” kedua mata Jena menunjukkan keterkejutan yang cukup mewakilkan hatinya yang mendadak nyeri. Jena tau Drew sering tidur dengan banyak wanita sebelum dirinya, namun wanita itu pelacur, berbeda dengan Camile.“Ya, Jen, dia yang memintaku, aku menolak, namun kami berdua mabuk, maksudku ia yang pada akhirnya membuat ku mabuk, dan hal itu terjadi, hingga aku merasa bertanggung jawab karena sudah mengambil keperawanannya, dan hubungan kami tetap berteman tapi kami sering melakukan hal itu lagi dan lagi, sampai,
“Iya, aku minta maaf Paman, merepotkanmu karena mendadak berhenti bekerja, aku tidka mau mengganggu restoranmu, maafkan jika aku selama bekerja memiliki kesalahan…”“….”“Ya, sehat selalu Paman, aku akan mampir ke sana jika memang sempat. Sekali lagi terima kasih.” Jena menyudahi sambungan teleponnya, ia lalu memasukan k etas yang sudah ia siapkan, tak lupa ia memeriksa kotak makan siang yang ia siapkan untuk Drew. Wanita cantik itu akan datang ke lokasi syuting, membawakan makanan sekaligus berjumpa dengan para wartawan yang akan berada di sana. Jena memakai pakaian yang menunjukan jati dirinya, ia tak ingin berpenampilan berlebih yang bukan dirinya. Drew juga pasti tak suka hal itu. Kemeja oversize warna putih, celana blue jeans, sepatu hak lima belas sentimeter warna merah cabai, dan tas bertali panjang warna cokelat, ia jadikan outfit-nya hari itu.Di basemen, sudah ada supir pribadi Drew yang menjem
“Argh!” teriak Camile saat memasuki unit apartemennya, ia baru saja tiba setelah menyelesaikan syuting bersama Drew. Emosinya tertahan sejak Jena melakukan konferensi pers siang hari, ditambah, saat Jena mencium Drew begitu penuh rasa cinta.“Aku tidak tahan lagi! Drew hanya milikku! Bukan perempua itu! Sial!” teriak Camile sembari melempari banyak barang yang ada di sekitarnya ke sembarang arah.Ia duduk di kursi, menatap layar ponsel, tak bisa menunda lagi. Ia menghubungi seseorang, dengan senyum liciknya, ia meminta pria tersebut mengirimkan video tentang Drew saat bersama Camile ke ponsel Jena yang nomornya didapat dari seseorang yang ia percaya.“Kirim sekarang, aku mau ia tau siapa Drew yang sebenarnya.” ucap Camile licik. Ia sudah begitu gerah melihat kemesraan Jena dan Drew, membuatnya mual, namun bergairah juga. Ia berjalan menuju ke kamarnya, membuka laci, dan melihat banyak ‘mainannya’ yang siap memuaska
Desahan juga deritan ranjang itu begitu liar, bukan dari Drew desahan itu terucap, namun dari Camile yang akhirnya kembali merasakan inti miliknya dimasuki Drew. Berapa kali Drew memberikan pelepasan bagi wanita sinting yang ia tiduri demi membungkam mulutnya.“Puas, hah?!” tanya Drew yang dianggap menggoda oleh Camile padahal hal itu muak bagi Drew.“Yes, baby. Sangat!” jeritnya. Drew tak ingin ia sampai pada pelepasannya. Hingga akhirnya ia melepaskan miliknya dari dalam tubuh Camile, lalu membuat wanita itu klimaks dengan jemarinya. Begitu emosi Drew lakukan, Camile menjerit bukan sakit, namun nikmat. Sungguh sinting.Drew segera pergi, meninggalkan Camile yang masih terengah. “Drew! Jawabanmu aku tunggu esok, jika kau tidak memberikan jawaban, maka, kau tau kan?” ucapnya. Drew membanting pintu kamar bergitu keras, menimbulkan dentuman kencang.Di dalam mobil, ia memukur setir berkali-kali, bahkan begitu keras hingga
Jena beranjak perlahan dari ranjang, mendorong tubuh Drew pelan ke posisi samping, Drew masih berderai air mata. Ia menarik tangan Jena namun wanita itu melepaskan begitu cepat. Kedua kakinya begitu lemas, lembek semeprti jelly yang membuat dirinya terjatuh begitu saja di atas lantai tanpa sehelai benang ditubuhnya. Drew beranjak cepat, membantu Jena berdiri tapi halau dengan telapak tangannya yang terbuka tepat di depan wajah Drew.Jena beranjak pelan, sakit rasanya, semua yang ada di tubuhnya – hatinya pun – begitu terasa sakit. Ia memejamkan mata, mencoba mengatur napasnya.“Jen …” panggil Drew begitu memohon, ia segera memakai celana pendek dan memeluk Jena dari belakang. Tangan Jena melepaskan rengkuhan tangan besar kekasihnya yang mungkin, sebentar lagi tidak akan lagi menjadi miliknya.Apa semua ini? Mengapa mendadak semua kacau dan berubah. Apa semua hanya mimpi dengan kebohongan yang ikut di belakangnya? Jena menutup pintu
Mereka tiba menjelang petang, cukup jauh dari kota Newyork, dan, Jena pun tampak terkejut, ini seperti bukan di the big apple city, padahal masih berada di sana. Mansion itu berdiri kokoh di antara bukit dengan rerumputan hijau, pohon juga di keliling pagar hitam tinggi dengan keamanan tingkat tinggi. Seorang petugas keamanan menyambut kedatangan keduanya, Jena sudah lebih tenang, ia tersenyum menyapa petugas yang mempersilakan Maden mengarahkan mobil ke dalam area luas itu hingga tiba di depan pintu mansion.“Ini salah satu property milikku, Jen, aku menginvestasikan uangku di sini.” Maden melepaskan seatbelt, lalu mengajak Jena turun. Wanita itu mengangguk. Ia membuka seatbelt lalu pintu, kaki jenjangnya keluar dari mobil, tangan Maden terulur, membantu Jena beranjak. Jena menerima uluran tangan itu. Keduanya berdiri di depan pintu.“Di sini aman, tidak ada wartawan. Pelayan di sini ada lima, ya memang karena bangunan ini tak begitu besar, aku senga
Rasanya menjadi seorang pria yang begitu bodoh atas tindakan yang dilakukan, begitu membuat Drew dilanda perasaan kalut, cemas, khawatir dan takut sekaligus. Apa yang ia impikan, sudah Tuhan berikan, Jena hamil, namun ia tak mengetahui hal itu. Nicky – adiknya – memberi tahu jika Jena berencana mengabarkan hal itu pada saat hari ulang tahun Drew yang jatuh satu minggu lagi. Ternyata rencana itu menguap, seiring dengan ucapan Drew yang bilang akan menikah dengan Camile. Dave, yang tak bisa berbuat banyak karena hari itu ia menikah, hanya bisa mendoakan yang terbaik, walau di dalam lubuk hatinya, ia sedih karena Drew dan Jena tak bisa hadir di acara sakral ia dan kekasihnya.Kondisi Drew kacau, baru satu malam ia ditinggal Jena, sudah begitu membuatnya buruk. Ia mabuk-mabukan di apartemennya, membuat Nicky begitu emosi. Ia bahkan menyeret kakaknya itu ke dalam kamar mandi kemudian mengguyurnya dengan air shower, sedangkan Drew hanya pasrah menerima.“Je
Dua minggu sudah pencarian Drew, Jena seolah tertelan bumi. Pria itu tetap menjalankan pekerjaan, ia berusaha seprofesional mungkin, walau jelas dari raut wajahnya, ia menahan rasa yang tak karuan di dalam dada juga kepalanya. Camile di atas angin, bahkan ia sibuk mengurus persiapan pernikahan mendadak itu. Drew membaca naskah yang diberikan Dave, ia butuh konsentrasi untuk kembali fokus bekerja.Dave memberikan sebotol air mineral kepada drew yang tampak lemas, beberpa kali pria itu mengehela napas saat membaca naskah. “Kau demam, Drew?” Dave menyentuh kening koki seksi itu, Drew menggelengkan kepala, ia tak mau tampak lemah di depan klien, apalagi sorotan media sudah begitu membuatnya pusing kepala untuk membuat konferensi pers yang selalu berakhir sia-sia karena ancaman Camile.“Hey, Babe, kau sakit? Demam?” tanya Camile dengan senyum yang mampu membuat emosi Drew terpancing. Drew menepak kasar tangan Camile, ia tak sudi di sentuh ta
Satu tahun berlalu, Jena dan Drew begitu sibuk mengelola bisnis mereka, tetapi tak melupakan urusan keluarga, hal itu tetap menjadi prioritas utamanya. Restoran mahal yang dibangun Drew dengan mengusung nama Phil's Steak house by Drew and Jena, perlahan menarik banyak orang untuk menikmati kelezatan masakan Drew, walaupun Drew hanya sesekali terjun langsung ke dapur, ia tak ingin begitu menonjol, takut jika akan memancing kaum hawa yang akan terkesima melihatnya beraksi di dapur. Ia tak mau kehidupan pribadinya juga kembali tersorot media.Lain dengan Jena yang toko kue dan pastrynya tak pernah sepi, Nina bahkan dipercayakan sebagai manajer toko. Jena sendiri lebih senang berada di dapur untuk membuat makanannya.Ayah Mark, bekerja dan mengelola steak dengan konsep merakyat, jangkauan masyarakat sekitar dan perkantoran ya
Pahit, perih, kecewa, seolah menjadi kata yang mampu mengungkapkan masa lalu keduanya. Jelas sepele, hanya salah paham, tetapi bagi beberapa manusia, hak itu tetaplah menjadi momok perkara besar dari hal sepele.Dengan perut besarnya, Jena menatap interior toko kue dan pastry miliknya. Bernuansa putih dan merah muda. Drew yang duduk di kursi tinggi itu ikut menatap kagum sembari mengusap pinggang Jena yang katanya pegal. Memasuki kehamilan 39 minggu sudah membuatnya semakin lelah dan pegal sana sini.Kecupan Drew mendarat di lengan Jena yang kali itu memakai pakaian hamil lengan buntung. Mengekspos lengan putihnya, lalu tangannya mengusap perut Jena yang begitu keras."Jena, aku pikir oven ini cukup, kita akan mempekerjakan dua karyawan saja, kan?" ucap ibu
Jena dan Drew sudah merapikan kamar mereka yang di tambah dengan lemari pakaian anak, dan juga hiasan lainnya. Keduanya tampak puas dengan hasil yang mereka kerjakan berdua."Apa kau tahu, Jen, aku merasa hidupku jauh berbeda semenjak akan menjadi seorang Ayah, malaikat kecil di dalam sini sungguh membuatku bertekuk lutut," ucap Drew sembari mengusap perut isrinya dengan posisi ia duduk di kursi sedangkan Jena berdiri di samping lemari pakaian bayi."Kadang, kita memang harus menerjang badai untuk bisa melihat lautan tenang yang luas, dengan sinar matahari yang terang. Aku hanya berharap, dirimu jangan mengulangi kesalahan yang sama, karena akan berimbas ke keluarga kita.Aku kecewa padamu, karena kamu tidak mempercayai kata-kataku, wanita yang kau cintai,
Victor memberi tahu arah rumah teman sekolahnya. Mereka bertiga kini menuju ke rumah tersebut."Vic, kau yakin itu rumahnya?" tanya Drew meyakinkan lagi sebelum menepikan mobil."Iya, itu. Dan kau lihat, temanku dan dua adiknya sedang duduk di teras, temanku selalu berusaha terlihat tegar." Lanjut Victor."Siapa nama temanku, aku lupa?" Kini Jena bertanya."Mark. Dia anak berprestasi di sekolah, Kak, aku terkejut saat mengetahui kondisi keluarganya." Victor melepaskan sabuk pengaman, ia dan kedua kakaknya bersiap turun."Vic, jangan kau bawa turun dulu yang tadi kita beli, nanti saja." Perintah Drew, Victor paham.
Jena berdecak sebal ke Drew, pria itu dengan seenaknya membuat daftar kebutuhan belanja perlengkapan bayi. Jena bahkan terkejut saat melihat jumlah yang harus mereka bayar."Drew, kau pikir anakmu membutuhkan semua ini? Jangan berlebihan." Jena mencoret beberapa barang yang ditulis suaminya, dan hampir semuanya mainan. "Philippe butuh pakaian, popok, selimut, itu yang utama, bukan ini. Kau gila," keluh Jena. Drew lalu meregangkan otot-otot tubuhnya, ia bersandar pada kursi meja makan, menatap Jena yang mencatat ulang barang belanjaan.Hari itu mereka memutuskan mulai membeli perlengkapan bayi, usia kandungan Jena memang masih enam bulan, mereka melakukan itu karena akan mulai memikirkan membangun usaha, takut terlalu fokus lalu mendadak lupa untuk menyiapkan hal terpenting lainnya.
Drew sudah beranjak lebih dulu ke atas ranjang, ia merasa nyaman bisa tidur di kasur yang luar biasa empuk. Jena menatap suaminya dari pantulan cermin, ia masih sibuk mengoleskan lotion untuk perutnya. Drew memiringkan badan, menatap pemandangan itu sembari tersenyum. Ia mengagumi istrinya melebihi apa pun."Apa yang kau lihat?" tanya Jena judes. Drew terkekeh."Tidak ada," jawabnya namun diakhiri senyuman. Jena mendengkus, ia berjalan mendekat ke arah ranjang, lalu duduk bersila di atasnya."Kau mau apa, Drew?" Jena menatap suaminya itu."Aku mencintaimu, Jena," ucap Drew setelahnya ia mengulum senyum. Jena diam, ia merebahkan dirinya, memiringkan tubuhnya ke kiri."Aku membencimu," balas Jena.&
Victor duduk menemani Jena yang lelah karena sudah satu jam berkeliling toko furniture untuk membeli barang kebutuhan mereka. Drew akhirnya berjalan sendiri, ia menuju ke area kitchen set dan peralatan dapur. Jena duduk bersandar, di dalam perutnya, Philipe juga begitu aktif, sepertinya ia senang dengan apa yang ayahnya lakukan.“Kak, suamimu sungguh kaya raya? Bagaimana bisa kau membencinya begitu besar, dia bahkan memilih semua dengan perhitungan matang.” Toleh Victor menatap Jena.“Aku tidak membencinya, hanya kecewa dan kesal,” sanggah ibu hamil itu. Victor terkekeh.“Sungguh? Sejak kapan kau menarik kata ‘membenci’ menjadi ‘hanya kecewa’, bahkan aku sering mendengar kau ucapkan itu saat kita masih menyewa kamar yang kecil itu.“Ck. Diamlah kau, Vic. Ayo, temani aku melihat sofa ruang TV, aku ingin yang nyaman, akan ku buat dia menghabiskan banyak uang untukku.” Jena beranjak lagi, Vict
“Kita tidak bisa tinggal di sini selamanya, Jena, kita harus pindah. Apartemen ini terlalu kecil untuk kita tinggali.” Tegas Drew saat ia baru saja menunjukkan beberapa apartemen lain yang bisa ia sewa. Jena tak mau jika Drew membelinya – walau suaminya jelas mampu – tetapi itu tak membuat Jena senang. Pria itu sudah memberi kejutan dengan mengajaknya menikah begitu cepat, maka, kali ini Jena juga akan memberikan kejutan dengan tidak akan mudah menuruti kemauan Drew.“Tidak. Kau saja jika mau pindah ke sana. Aku masih betah di sini, atau, cari yang lebih murah biaya sewanya. Aku bukan selebritas, dan daerah ini jauh dari sekolah Victor.” Tolak Jena.“Aku akan membelikan Victor mobil,” ujar Drew lagi.“Kau…, mulai lagi menjadi sombong dan arogan dengan menunjukkan siapa dirimu.” Jena melipat kedua tangan di depan dada, ia terkekeh sinis. Keduanya sedang duduk di kedai es krim. Ibu hamil itu lelah
Drew sudah berdiri di sisi kiri pendeta dengan sedikit berjarak. Ia menatap Jena dengan air mata sudah mengembeng di pelupuk. Ia tak menyangka harinya tiba untuk mensakralkan apa yang sempat tertunda, tetapi, tidak dengan Jena yang menatap dingin dan judes ke pria yang akan menjadi suaminya. Perut buncit Jena membuat fokus Drew berpindah ke sana, ia semakin haru, Jena semakin mencebik kesal dengan bola mata menatap jengah ke pria itu.“Kau cantik, sayang,” bisik Andy Thomson saat melepaskan tangan putrinya untuk diserahkan ke Andrew Sebastian.“Terima kasih, Ayah. Mm.. apa aku bisa kabur sekarang?” bisiknya. Andy tertawa kecil, ia mencium kedua pipi putrinya. Jena menatap ke arah Drew, perasaannya campur aduk, ia sendiri bingung harus memilih yang mana. Semua abu-abu.“Kamu cantik,” lirih Drew. Jena kali ini benar-benar jengah. Ia tersenyum masam. Acara pemberkatan dimulai, keduanya sudah mengikrarkan janji s