Mereka tiba menjelang petang, cukup jauh dari kota Newyork, dan, Jena pun tampak terkejut, ini seperti bukan di the big apple city, padahal masih berada di sana. Mansion itu berdiri kokoh di antara bukit dengan rerumputan hijau, pohon juga di keliling pagar hitam tinggi dengan keamanan tingkat tinggi. Seorang petugas keamanan menyambut kedatangan keduanya, Jena sudah lebih tenang, ia tersenyum menyapa petugas yang mempersilakan Maden mengarahkan mobil ke dalam area luas itu hingga tiba di depan pintu mansion.
“Ini salah satu property milikku, Jen, aku menginvestasikan uangku di sini.” Maden melepaskan seatbelt, lalu mengajak Jena turun. Wanita itu mengangguk. Ia membuka seatbelt lalu pintu, kaki jenjangnya keluar dari mobil, tangan Maden terulur, membantu Jena beranjak. Jena menerima uluran tangan itu. Keduanya berdiri di depan pintu.
“Di sini aman, tidak ada wartawan. Pelayan di sini ada lima, ya memang karena bangunan ini tak begitu besar, aku senga
Rasanya menjadi seorang pria yang begitu bodoh atas tindakan yang dilakukan, begitu membuat Drew dilanda perasaan kalut, cemas, khawatir dan takut sekaligus. Apa yang ia impikan, sudah Tuhan berikan, Jena hamil, namun ia tak mengetahui hal itu. Nicky – adiknya – memberi tahu jika Jena berencana mengabarkan hal itu pada saat hari ulang tahun Drew yang jatuh satu minggu lagi. Ternyata rencana itu menguap, seiring dengan ucapan Drew yang bilang akan menikah dengan Camile. Dave, yang tak bisa berbuat banyak karena hari itu ia menikah, hanya bisa mendoakan yang terbaik, walau di dalam lubuk hatinya, ia sedih karena Drew dan Jena tak bisa hadir di acara sakral ia dan kekasihnya.Kondisi Drew kacau, baru satu malam ia ditinggal Jena, sudah begitu membuatnya buruk. Ia mabuk-mabukan di apartemennya, membuat Nicky begitu emosi. Ia bahkan menyeret kakaknya itu ke dalam kamar mandi kemudian mengguyurnya dengan air shower, sedangkan Drew hanya pasrah menerima.“Je
Dua minggu sudah pencarian Drew, Jena seolah tertelan bumi. Pria itu tetap menjalankan pekerjaan, ia berusaha seprofesional mungkin, walau jelas dari raut wajahnya, ia menahan rasa yang tak karuan di dalam dada juga kepalanya. Camile di atas angin, bahkan ia sibuk mengurus persiapan pernikahan mendadak itu. Drew membaca naskah yang diberikan Dave, ia butuh konsentrasi untuk kembali fokus bekerja.Dave memberikan sebotol air mineral kepada drew yang tampak lemas, beberpa kali pria itu mengehela napas saat membaca naskah. “Kau demam, Drew?” Dave menyentuh kening koki seksi itu, Drew menggelengkan kepala, ia tak mau tampak lemah di depan klien, apalagi sorotan media sudah begitu membuatnya pusing kepala untuk membuat konferensi pers yang selalu berakhir sia-sia karena ancaman Camile.“Hey, Babe, kau sakit? Demam?” tanya Camile dengan senyum yang mampu membuat emosi Drew terpancing. Drew menepak kasar tangan Camile, ia tak sudi di sentuh ta
Jena melangkah menuju ke arah pintu kaca besar menuju ke lokasi Suite room berada. Lantai kamar rawat ekslusif, hanya orang-orang dengan uang berlimpah yang bisa berada di kamar rawat itu. Ia bertemu sekuriti di depan pintu, bahkan penjagaan pun ketat.“Sir, saya Jena, saya—““Ya, Miss Jena, ini kartu akses anda, Tuan Dave tadi sudah memberi tahu kami. Dan, hanya beebrapa orang yang akan di izinkan bertemu Tuan Drew, salah satunya dirimu, silakan anda tempelkan kartu akses ini, Miss Jena, untuk masuk ke dalam area suite room. Kamar Tuan Drew di Suite Room A.”“Baik, terima kasih, Sir, aku ke dalam.” Pamit Jena. Ia menempelkan kartu, pintu terbuka otomatis, ia melangkah masuk, terdengar suara alunan lagu klasik yang menenangkan perawat menyapa Jena ramah, Jena membalas dengan senyuman. Ia berjalan, mencari kamar dengan huruf A di depan pintu. Setelah beberapa detik mencari, ia menemukan ruangan itu di po
Setiap orang tidak akan suka dibohongi, apalagi dengan orang yang dicintai. Begitu pun Jena yang hanya menunduk saat mengetahui Drew menjadikannya taruhan dengan teman-teman sesame model, bahkan, video mereka berhubungan badan pun, Drew perlihatkan hingga ada yang mencuri dan kini berada di tangan Camile. Drew tertunduk, sembari menggenggam jemari tangan Jena yang di tempelkan di keningnya yang masih sedikit demam.Isak tangis Jena terdengar, tapi ia tak bisa marah kepada ayah janin yang dikandungnya, untuk apa marah jika akhirnya ia justru tenggelam di pusara terdalam rasa cinta yang membuatnya tampak bodoh. Dikecupnya lama jemari tangan Jena yang masih digenggam erat pria itu. Air mata penyesalan juga turun dengan begitu deras.“Jadi, jika Camile menyebarkan video itu, karirmu hancur, Drew?” Jena mencoba memastikan. Drew tersenyum sembari menghapus jejak air mata di wajah cantik wanita yang akan membawa keturunannya selama Sembilan bulan di dalam perut.
Studio syuting. Camile kebingungan, perasaan itu terus membuncah. Ia bahkan melangkah cepat sehingga terdengar stiletonya berbenturan dengan lantai marmer begitu keras dan cepat.BRAK!Ia membuka ruang rapat dekat studio dengan kasar. Napasnya memburu cepat, dres putihnya kontras dengan lipstick merah darah yang ia poleh di bibir tebalnya.“Di mana Drew! Kenapa kalian menyembunyikan dia!” maki Camile dengan sorot mata menatap bergantian ke semua orang yang ada di ruangan itu. Dave menatap Camile sembari tertekeh sinis.Dave beranjak, “urusan kita sudah selesai, terima kasih dan saya mewakili Drew, meminta maaf atas ketidak nyamanan ini. Selamat siang.” Pamit Dave. Ia berjalan dengan pandangan angkuh melewati Camile yang berbalik badan cepat untuk mengejar Dave.“Berhenti Dave! Di mana aku sembunyikan calon suamiku!” teriaknya bak wanita gila yang baru putus cinta. Dave menghentikan langka
“Ini anakmu, Drew,” bibir Jena bergetar saat mengatakan hal itu. Drew menatap dengan sorot mata lain.“Tapi yang kulihat, Maden, ia sepertinya—““Drew! Kau jangan berpikir aku tidur dengannya atau berselingkuh dari mu! Kau tidak waras jika berpikir seperti itu kepadaku!” Maki Jena, ia kesal, karena sudah menjelaskan dengan rinci, tapi Drew seakan ragu dengan kejujurannya. Nancy merangkul bahu Jena, wanita itu juga sudah melepaskan gaun pengantin, berganti dengan pakaian sebelumnya.“Siapa pengirim foto-foto itu?” tanya Toby dengan serius. Drew memejamkan mata.“Camile,” jawabnya.“Apa dia mengancammu?” kini Hannah yang bertanya. Drew mengangguk.“Ia akan menyebarkan video saat aku dan Jena di atas ranjang juga, video aku dan Camile saat kami pertama kali ber-setu-buh.” Drew mengusap kasar wajahnya. Jena terkejut. “Karirku akan selesai, dan akan be
Jena duduk di ranjang kecil kamar hotel yang ia sewa untuk tempat tinggalnya, ia merapikan pakaian seadanya yang ia punya. Ia akan pergi, namun sebelumnya, ia akan bertemu Maden di taman kota. Air matanya sudah tak menetes lagi, ia harus kuat, dan bertekad membesarkan anaknya seorang diri, tanpa Drew.Langkah kaki Jena begitu lebar dan cepat, ia melihat Maden sudah duduk menunggunya di kursi besi taman kota. Pria itu beranjak, tersenyum penuh bahagia untuk menyambut wanita itu. Jena mengatur napasnya sejenak sebelum berbicara dengan Maden, mereka berdiri berjarak.“Jena, ada apa?” tanya Maden yang mencoba mendekat namun Jena menghalau dengan telapak tangan terangkat.“Apa maumu, Maden?” tanya Jena ketus dengan tatapan tajam.“Maksudmu?” Maden tampak bingung.“Drew mendapatkan foto saat aku di Mansion milikmu, saat kau memelukku di balkon, mengusap perutku, dan meniup mataku yang terkena debu tapi seolah kau
Wanita itu berjalan menyusuri trotoar sudah hampir dua jam, keluar masuk kafe juga restoran, mencari pekerjaan untuk menghidupi dirinya yang sedang hamil. Tak mudah, hal itu sudah pasti. Boston sangatlah ramai, hilir mudik manusia yang sibuk berkegiatan, membuat Jena hanya bisa memilih untuk duduk di kursi taman, sisa uang di dompetnya hanya seratus dollar, otaknya berpikir keras bagaimana cara agar ia bisa mendapatkan pekerjaan, juga tempat tinggal. Tak mungkin ia berada di hotel lagi, walau hotel murah. Tak bisa berlama-lama duduk, ia kembali beranjak, kini berjalan ke arah timur, di mana terdapat sederet kompler pertokoan sederhana dengan nuansa klasik dominan warna putih. Jena melangkahkan kaki ke sana. Ia mengusap perutnya. “Semoga di sana, ada pekerjaan untuk ibumu ini, ya sayang, kau harus kuat, kita akan makan nanti,” ucapnya sembari terus berjalan. Pintu kaca itu bertuliskan Rose bakery. Jena mendorong pintu, terdengar suara lonceng kecil di atas pintu yang
Satu tahun berlalu, Jena dan Drew begitu sibuk mengelola bisnis mereka, tetapi tak melupakan urusan keluarga, hal itu tetap menjadi prioritas utamanya. Restoran mahal yang dibangun Drew dengan mengusung nama Phil's Steak house by Drew and Jena, perlahan menarik banyak orang untuk menikmati kelezatan masakan Drew, walaupun Drew hanya sesekali terjun langsung ke dapur, ia tak ingin begitu menonjol, takut jika akan memancing kaum hawa yang akan terkesima melihatnya beraksi di dapur. Ia tak mau kehidupan pribadinya juga kembali tersorot media.Lain dengan Jena yang toko kue dan pastrynya tak pernah sepi, Nina bahkan dipercayakan sebagai manajer toko. Jena sendiri lebih senang berada di dapur untuk membuat makanannya.Ayah Mark, bekerja dan mengelola steak dengan konsep merakyat, jangkauan masyarakat sekitar dan perkantoran ya
Pahit, perih, kecewa, seolah menjadi kata yang mampu mengungkapkan masa lalu keduanya. Jelas sepele, hanya salah paham, tetapi bagi beberapa manusia, hak itu tetaplah menjadi momok perkara besar dari hal sepele.Dengan perut besarnya, Jena menatap interior toko kue dan pastry miliknya. Bernuansa putih dan merah muda. Drew yang duduk di kursi tinggi itu ikut menatap kagum sembari mengusap pinggang Jena yang katanya pegal. Memasuki kehamilan 39 minggu sudah membuatnya semakin lelah dan pegal sana sini.Kecupan Drew mendarat di lengan Jena yang kali itu memakai pakaian hamil lengan buntung. Mengekspos lengan putihnya, lalu tangannya mengusap perut Jena yang begitu keras."Jena, aku pikir oven ini cukup, kita akan mempekerjakan dua karyawan saja, kan?" ucap ibu
Jena dan Drew sudah merapikan kamar mereka yang di tambah dengan lemari pakaian anak, dan juga hiasan lainnya. Keduanya tampak puas dengan hasil yang mereka kerjakan berdua."Apa kau tahu, Jen, aku merasa hidupku jauh berbeda semenjak akan menjadi seorang Ayah, malaikat kecil di dalam sini sungguh membuatku bertekuk lutut," ucap Drew sembari mengusap perut isrinya dengan posisi ia duduk di kursi sedangkan Jena berdiri di samping lemari pakaian bayi."Kadang, kita memang harus menerjang badai untuk bisa melihat lautan tenang yang luas, dengan sinar matahari yang terang. Aku hanya berharap, dirimu jangan mengulangi kesalahan yang sama, karena akan berimbas ke keluarga kita.Aku kecewa padamu, karena kamu tidak mempercayai kata-kataku, wanita yang kau cintai,
Victor memberi tahu arah rumah teman sekolahnya. Mereka bertiga kini menuju ke rumah tersebut."Vic, kau yakin itu rumahnya?" tanya Drew meyakinkan lagi sebelum menepikan mobil."Iya, itu. Dan kau lihat, temanku dan dua adiknya sedang duduk di teras, temanku selalu berusaha terlihat tegar." Lanjut Victor."Siapa nama temanku, aku lupa?" Kini Jena bertanya."Mark. Dia anak berprestasi di sekolah, Kak, aku terkejut saat mengetahui kondisi keluarganya." Victor melepaskan sabuk pengaman, ia dan kedua kakaknya bersiap turun."Vic, jangan kau bawa turun dulu yang tadi kita beli, nanti saja." Perintah Drew, Victor paham.
Jena berdecak sebal ke Drew, pria itu dengan seenaknya membuat daftar kebutuhan belanja perlengkapan bayi. Jena bahkan terkejut saat melihat jumlah yang harus mereka bayar."Drew, kau pikir anakmu membutuhkan semua ini? Jangan berlebihan." Jena mencoret beberapa barang yang ditulis suaminya, dan hampir semuanya mainan. "Philippe butuh pakaian, popok, selimut, itu yang utama, bukan ini. Kau gila," keluh Jena. Drew lalu meregangkan otot-otot tubuhnya, ia bersandar pada kursi meja makan, menatap Jena yang mencatat ulang barang belanjaan.Hari itu mereka memutuskan mulai membeli perlengkapan bayi, usia kandungan Jena memang masih enam bulan, mereka melakukan itu karena akan mulai memikirkan membangun usaha, takut terlalu fokus lalu mendadak lupa untuk menyiapkan hal terpenting lainnya.
Drew sudah beranjak lebih dulu ke atas ranjang, ia merasa nyaman bisa tidur di kasur yang luar biasa empuk. Jena menatap suaminya dari pantulan cermin, ia masih sibuk mengoleskan lotion untuk perutnya. Drew memiringkan badan, menatap pemandangan itu sembari tersenyum. Ia mengagumi istrinya melebihi apa pun."Apa yang kau lihat?" tanya Jena judes. Drew terkekeh."Tidak ada," jawabnya namun diakhiri senyuman. Jena mendengkus, ia berjalan mendekat ke arah ranjang, lalu duduk bersila di atasnya."Kau mau apa, Drew?" Jena menatap suaminya itu."Aku mencintaimu, Jena," ucap Drew setelahnya ia mengulum senyum. Jena diam, ia merebahkan dirinya, memiringkan tubuhnya ke kiri."Aku membencimu," balas Jena.&
Victor duduk menemani Jena yang lelah karena sudah satu jam berkeliling toko furniture untuk membeli barang kebutuhan mereka. Drew akhirnya berjalan sendiri, ia menuju ke area kitchen set dan peralatan dapur. Jena duduk bersandar, di dalam perutnya, Philipe juga begitu aktif, sepertinya ia senang dengan apa yang ayahnya lakukan.“Kak, suamimu sungguh kaya raya? Bagaimana bisa kau membencinya begitu besar, dia bahkan memilih semua dengan perhitungan matang.” Toleh Victor menatap Jena.“Aku tidak membencinya, hanya kecewa dan kesal,” sanggah ibu hamil itu. Victor terkekeh.“Sungguh? Sejak kapan kau menarik kata ‘membenci’ menjadi ‘hanya kecewa’, bahkan aku sering mendengar kau ucapkan itu saat kita masih menyewa kamar yang kecil itu.“Ck. Diamlah kau, Vic. Ayo, temani aku melihat sofa ruang TV, aku ingin yang nyaman, akan ku buat dia menghabiskan banyak uang untukku.” Jena beranjak lagi, Vict
“Kita tidak bisa tinggal di sini selamanya, Jena, kita harus pindah. Apartemen ini terlalu kecil untuk kita tinggali.” Tegas Drew saat ia baru saja menunjukkan beberapa apartemen lain yang bisa ia sewa. Jena tak mau jika Drew membelinya – walau suaminya jelas mampu – tetapi itu tak membuat Jena senang. Pria itu sudah memberi kejutan dengan mengajaknya menikah begitu cepat, maka, kali ini Jena juga akan memberikan kejutan dengan tidak akan mudah menuruti kemauan Drew.“Tidak. Kau saja jika mau pindah ke sana. Aku masih betah di sini, atau, cari yang lebih murah biaya sewanya. Aku bukan selebritas, dan daerah ini jauh dari sekolah Victor.” Tolak Jena.“Aku akan membelikan Victor mobil,” ujar Drew lagi.“Kau…, mulai lagi menjadi sombong dan arogan dengan menunjukkan siapa dirimu.” Jena melipat kedua tangan di depan dada, ia terkekeh sinis. Keduanya sedang duduk di kedai es krim. Ibu hamil itu lelah
Drew sudah berdiri di sisi kiri pendeta dengan sedikit berjarak. Ia menatap Jena dengan air mata sudah mengembeng di pelupuk. Ia tak menyangka harinya tiba untuk mensakralkan apa yang sempat tertunda, tetapi, tidak dengan Jena yang menatap dingin dan judes ke pria yang akan menjadi suaminya. Perut buncit Jena membuat fokus Drew berpindah ke sana, ia semakin haru, Jena semakin mencebik kesal dengan bola mata menatap jengah ke pria itu.“Kau cantik, sayang,” bisik Andy Thomson saat melepaskan tangan putrinya untuk diserahkan ke Andrew Sebastian.“Terima kasih, Ayah. Mm.. apa aku bisa kabur sekarang?” bisiknya. Andy tertawa kecil, ia mencium kedua pipi putrinya. Jena menatap ke arah Drew, perasaannya campur aduk, ia sendiri bingung harus memilih yang mana. Semua abu-abu.“Kamu cantik,” lirih Drew. Jena kali ini benar-benar jengah. Ia tersenyum masam. Acara pemberkatan dimulai, keduanya sudah mengikrarkan janji s