Jena duduk di ranjang kecil kamar hotel yang ia sewa untuk tempat tinggalnya, ia merapikan pakaian seadanya yang ia punya. Ia akan pergi, namun sebelumnya, ia akan bertemu Maden di taman kota. Air matanya sudah tak menetes lagi, ia harus kuat, dan bertekad membesarkan anaknya seorang diri, tanpa Drew.
Langkah kaki Jena begitu lebar dan cepat, ia melihat Maden sudah duduk menunggunya di kursi besi taman kota. Pria itu beranjak, tersenyum penuh bahagia untuk menyambut wanita itu. Jena mengatur napasnya sejenak sebelum berbicara dengan Maden, mereka berdiri berjarak.
“Jena, ada apa?” tanya Maden yang mencoba mendekat namun Jena menghalau dengan telapak tangan terangkat.
“Apa maumu, Maden?” tanya Jena ketus dengan tatapan tajam.
“Maksudmu?” Maden tampak bingung.
“Drew mendapatkan foto saat aku di Mansion milikmu, saat kau memelukku di balkon, mengusap perutku, dan meniup mataku yang terkena debu tapi seolah kau
Wanita itu berjalan menyusuri trotoar sudah hampir dua jam, keluar masuk kafe juga restoran, mencari pekerjaan untuk menghidupi dirinya yang sedang hamil. Tak mudah, hal itu sudah pasti. Boston sangatlah ramai, hilir mudik manusia yang sibuk berkegiatan, membuat Jena hanya bisa memilih untuk duduk di kursi taman, sisa uang di dompetnya hanya seratus dollar, otaknya berpikir keras bagaimana cara agar ia bisa mendapatkan pekerjaan, juga tempat tinggal. Tak mungkin ia berada di hotel lagi, walau hotel murah. Tak bisa berlama-lama duduk, ia kembali beranjak, kini berjalan ke arah timur, di mana terdapat sederet kompler pertokoan sederhana dengan nuansa klasik dominan warna putih. Jena melangkahkan kaki ke sana. Ia mengusap perutnya. “Semoga di sana, ada pekerjaan untuk ibumu ini, ya sayang, kau harus kuat, kita akan makan nanti,” ucapnya sembari terus berjalan. Pintu kaca itu bertuliskan Rose bakery. Jena mendorong pintu, terdengar suara lonceng kecil di atas pintu yang
Jena masuk ke dalam kamar berukuran kecil itu, hanya ada ranjang, meja kecil di sebelah ranjang, dan kamar mandi. Lemari pakaian pun tidak ada. Marisol pamit untuk pulang, kamar yang di sewa Jena itu berada di apartemen kecil dan bangunan lama namun masih kokoh, cukup padat menang, terdiri dari tiga lantai dengan total kamar ada lima belas, atau masing-masing lantai terisi lima kamar. Jena membuka jendela dengan menggesernya ke atas. Ia menempati lantai dua. Angin malam masuk ke dalam kamarnya, membuat sirkulasi udara lancar dan segar. Jena menyalakan kipas yang tertempel di langit-langit kamar. Sangat sederhana, tapi ia tak masalah. Ranjang sudah ia rapikan dengan sprei baru yang diberikan pemilik bangunan. Wangi parfume laundry membuat Jena rileks, dengan biaya sewa murah, kebersihan terjaga, ia sangat beruntung. Kamar mandi pun ada air hangatnya, ia semakin tersenyum lebar. “Ayo nak, kita mandi, Ibumu begitu lelah, kita tutup jendelanya dulu ya.” Jena seperti oran
Jena selesai merapikan uang hasil gerai pizza berjualan satu hari itu dan menyerahkan ke Luigi. Seperti biasa, mereka akan berkumpul di dapur setelah gerai tutup. Jena meluruskan kakinya sembari menggigit satu buah apel yang diberikan Victor, remaja itu sudah datang dan diperbolehkan masuk melalui pintu belakang.“Victor, kau senang mendapat tempat tinggal baru? Jaga Nyonya Jena, ya,” pinta Luigi yang sibuk memasukan uang ke brankas di dekat lemari es dapur.“Iya, Paman, tapi aku tidak boleh memanggilnya Nyonya, tapi Kakak, karena ia belum terlalu tua.” Celetuk Victor. Semua orang tertawa. Pintu dapur terbuka lagi, Rose kali ini yang masuk, ia membawa keranjang berisi roti.“Kalian semua, bawa roti-roti ini ya, dan, Jena, khusus untukmu, ada rasa butter yang menjadi kesukaanmu bukan?” kedua mata Rose menatap Jena lalu beralih ke Victor.“Victor! Halo, ‘Nak, bagaimana kabar anak remaja ini. Kau juga ya, bawa
“Kau tidak punya cita-cita?! Bohong,” sungut Jena saat ia dan Victor baru keluar dari toko sepatu yang disarankan Marisol. Mereka tak hanya membeli sepatu, tapi juga membeli beberapa baju baru untuk Victor sekolah, yang lebih resmi seperti kaos kerah warna polos, jaket, juga celana jeans, karena, baju yang diberikan Pedro, itu untuk dipakai harian.“Kak, kita duduk di sana, kau tampak lelah, aku akan membelikanmu minuman di toko itu, kau mau apa? Jangan kopi yang jelas, ya.”“Kenapa?” tanya Jena bingung.“Aku membaca buku diperpustakaan, katanya, jika ada orang hamil, tidak boleh meminum kafein banyak-banyak, akan mengganggu janin. Betul kah?”“Sok tahu, anak kecil.” kekeh Jena namun mengangguk kemudian. Ia memberikan uang sepuluh dollar kepada Victor, remaja itu segera berlari ke kedai yang menjual aneka minuman. Jena menatap belanjaan miliknya dan Victor, ia tersenyum, lalu mengusap perutnya ya
Maden duduk di kursi seorang diri, menunggu seseorang yang sudah ia buat janji bertemu di lokasi itu. Suara pintu terbuka terdengar, tiga orang masuk, namun hanya satu yang duduk berhadapan dengannya dan satu meja. Tatapannya begitu penuh kesal, selain karena Maden yang duduk di hadapannya, namun, karena gerak wanita itu tak bisa bebas.“Baju ini menyiksaku, Maden, kau… bisa kan, membantuku keluar dari tempat sialan ini!” bentak Camile dengan tampilan tak lagi seperti Camile tiga bulan lalu, saat ia sudah merancang semua rencana busuk untuk mendapatkan Drew, juga memisahkan Jena dari pria itu.“Camile, apa ini akhir dari semuanya?” tanya Maden yang tampak masih waras dibandingkan Camile yang memang, sudah dua minggu berada di rumah sakit jiwa itu. Selain berita pernikahannya yang hancur dan batal dengan Drew, juga, karena perusahaan keluarganya hancur dengan sekali serangan berita dari Toby – ayah Drew – yang tak terima jika a
Hari berganti minggu, hingga bulan, kini, Jena sudah berada di Boston selama lima bulan. Ia juga mampu menyewa apartemen sederhana dengan dua kamar, sesuai janjinya kepada Victor yang begitu menjaganya. “Kak, kita ke dokter jam berapa? Aku tak sabar ingin melihat keponakanku.” Victor baru saja keluar kamar setelah mengerjakan tugas sekolahnya di hari sabtu. “Jam sebelas. Bersiapkan Vic, aku juga akan bersiap.” Jena merapikan pakaian yang baru saja ia setrika di sudut ruangan. Victor mengangguk, ia masuk kembali ke kamarnya, berganti memakai celana jeans karena sebelumnya ia hanya memakai kaos dan celana pendek. Jena menatap pantulan dirinya di cermin, perutnya sudah membuncit, ia mengusap pelan, tersara ada yang bergerak di dalam perutnya. Jena tersenyum. “Sedang apa kau di dalam sana, sayang, empat bulan lagi kita akan bertemu, kuat ya, kita berjuang bersama,” ucapnya. Ia termenung, mendadak pikiran jika anaknya tak akan memil
“Kau yakin, tidak ingin mengetahui kabar Drew?” wanita berkaca mata dengan rambut pirang itu menatap Jena yang duduk di hadapannya pada satu kafe yang ada di dekat apartemen tempat tinggal Jena.“Tidak, aku pikir sudah selesai semua, Abie.” Jena tersenyum ke wanita yang merupakan salah satu orang kepercayaan Drew untuk mengelola restorannya di New York saat itu. Abie yang sudah melahirkan dan kini mewarnai rambutnya menjadi pirang, sempat membuat Jena bingung karena perubahan penampilan itu.“Drew, dia di Barcelona, Jen, dan ia bekerja di dapur salah satu temannya. Tidak lagi menjadi koki hebat dan panas abad ini. Ia menanggalkan semuanya semenjak…, yeah, kau tahu sendiri, bukan.”Jena mengangguk. Ia menatap Victor yang duduk di luar kafe, sesekali menatap ke arahnya untuk sekedar mengawasi.“Apa dia…” tunjuk Abie. Jena terkekeh.“Adik angkatku, Abie, dia bukan… mmm. Siapapu
“Kembalilah orang gila! Jena dan anakmu membutuhkan dirimu, Drew! Bedebah! Bajingan tengik! Tidak punya hati!” Hannah memukul lengan kakaknya bertubi-tubi layaknya samsak tinju. Ia baru tiba di Barcelona lima jam lalu, setelah mendapat alamat tempat tinggal Drew yang Hannah nilai seperti kandang kucing peliharaannya alias kecil. Hannah segera memaki kakaknya yang begitu berantakan.“Anak itu anakmu Drew! Maden sudah mengakui kesalahannya. Dan, Camile masuk rumah sakit jiwa karena depresinya! Kau masih mau mengelak, hah! Apa kau mau aku seret dengan kasar!” kedua mata wanita berambut pirang panjang sebahu itu melotot menatap Drew yang diam menerima pukulan adiknya.“Kau masih tidak percaya, huh!” kini Hannah kembali murka. Drew diam, bergeming menatap adiknya yang berdiri berkacak pinggang di hadapannya yang duduk di atas ranjang.“Abie bertemu Jena di Boston, ia tingga di sana dan bekerja di Luigi’s Pizza sebagai k
Satu tahun berlalu, Jena dan Drew begitu sibuk mengelola bisnis mereka, tetapi tak melupakan urusan keluarga, hal itu tetap menjadi prioritas utamanya. Restoran mahal yang dibangun Drew dengan mengusung nama Phil's Steak house by Drew and Jena, perlahan menarik banyak orang untuk menikmati kelezatan masakan Drew, walaupun Drew hanya sesekali terjun langsung ke dapur, ia tak ingin begitu menonjol, takut jika akan memancing kaum hawa yang akan terkesima melihatnya beraksi di dapur. Ia tak mau kehidupan pribadinya juga kembali tersorot media.Lain dengan Jena yang toko kue dan pastrynya tak pernah sepi, Nina bahkan dipercayakan sebagai manajer toko. Jena sendiri lebih senang berada di dapur untuk membuat makanannya.Ayah Mark, bekerja dan mengelola steak dengan konsep merakyat, jangkauan masyarakat sekitar dan perkantoran ya
Pahit, perih, kecewa, seolah menjadi kata yang mampu mengungkapkan masa lalu keduanya. Jelas sepele, hanya salah paham, tetapi bagi beberapa manusia, hak itu tetaplah menjadi momok perkara besar dari hal sepele.Dengan perut besarnya, Jena menatap interior toko kue dan pastry miliknya. Bernuansa putih dan merah muda. Drew yang duduk di kursi tinggi itu ikut menatap kagum sembari mengusap pinggang Jena yang katanya pegal. Memasuki kehamilan 39 minggu sudah membuatnya semakin lelah dan pegal sana sini.Kecupan Drew mendarat di lengan Jena yang kali itu memakai pakaian hamil lengan buntung. Mengekspos lengan putihnya, lalu tangannya mengusap perut Jena yang begitu keras."Jena, aku pikir oven ini cukup, kita akan mempekerjakan dua karyawan saja, kan?" ucap ibu
Jena dan Drew sudah merapikan kamar mereka yang di tambah dengan lemari pakaian anak, dan juga hiasan lainnya. Keduanya tampak puas dengan hasil yang mereka kerjakan berdua."Apa kau tahu, Jen, aku merasa hidupku jauh berbeda semenjak akan menjadi seorang Ayah, malaikat kecil di dalam sini sungguh membuatku bertekuk lutut," ucap Drew sembari mengusap perut isrinya dengan posisi ia duduk di kursi sedangkan Jena berdiri di samping lemari pakaian bayi."Kadang, kita memang harus menerjang badai untuk bisa melihat lautan tenang yang luas, dengan sinar matahari yang terang. Aku hanya berharap, dirimu jangan mengulangi kesalahan yang sama, karena akan berimbas ke keluarga kita.Aku kecewa padamu, karena kamu tidak mempercayai kata-kataku, wanita yang kau cintai,
Victor memberi tahu arah rumah teman sekolahnya. Mereka bertiga kini menuju ke rumah tersebut."Vic, kau yakin itu rumahnya?" tanya Drew meyakinkan lagi sebelum menepikan mobil."Iya, itu. Dan kau lihat, temanku dan dua adiknya sedang duduk di teras, temanku selalu berusaha terlihat tegar." Lanjut Victor."Siapa nama temanku, aku lupa?" Kini Jena bertanya."Mark. Dia anak berprestasi di sekolah, Kak, aku terkejut saat mengetahui kondisi keluarganya." Victor melepaskan sabuk pengaman, ia dan kedua kakaknya bersiap turun."Vic, jangan kau bawa turun dulu yang tadi kita beli, nanti saja." Perintah Drew, Victor paham.
Jena berdecak sebal ke Drew, pria itu dengan seenaknya membuat daftar kebutuhan belanja perlengkapan bayi. Jena bahkan terkejut saat melihat jumlah yang harus mereka bayar."Drew, kau pikir anakmu membutuhkan semua ini? Jangan berlebihan." Jena mencoret beberapa barang yang ditulis suaminya, dan hampir semuanya mainan. "Philippe butuh pakaian, popok, selimut, itu yang utama, bukan ini. Kau gila," keluh Jena. Drew lalu meregangkan otot-otot tubuhnya, ia bersandar pada kursi meja makan, menatap Jena yang mencatat ulang barang belanjaan.Hari itu mereka memutuskan mulai membeli perlengkapan bayi, usia kandungan Jena memang masih enam bulan, mereka melakukan itu karena akan mulai memikirkan membangun usaha, takut terlalu fokus lalu mendadak lupa untuk menyiapkan hal terpenting lainnya.
Drew sudah beranjak lebih dulu ke atas ranjang, ia merasa nyaman bisa tidur di kasur yang luar biasa empuk. Jena menatap suaminya dari pantulan cermin, ia masih sibuk mengoleskan lotion untuk perutnya. Drew memiringkan badan, menatap pemandangan itu sembari tersenyum. Ia mengagumi istrinya melebihi apa pun."Apa yang kau lihat?" tanya Jena judes. Drew terkekeh."Tidak ada," jawabnya namun diakhiri senyuman. Jena mendengkus, ia berjalan mendekat ke arah ranjang, lalu duduk bersila di atasnya."Kau mau apa, Drew?" Jena menatap suaminya itu."Aku mencintaimu, Jena," ucap Drew setelahnya ia mengulum senyum. Jena diam, ia merebahkan dirinya, memiringkan tubuhnya ke kiri."Aku membencimu," balas Jena.&
Victor duduk menemani Jena yang lelah karena sudah satu jam berkeliling toko furniture untuk membeli barang kebutuhan mereka. Drew akhirnya berjalan sendiri, ia menuju ke area kitchen set dan peralatan dapur. Jena duduk bersandar, di dalam perutnya, Philipe juga begitu aktif, sepertinya ia senang dengan apa yang ayahnya lakukan.“Kak, suamimu sungguh kaya raya? Bagaimana bisa kau membencinya begitu besar, dia bahkan memilih semua dengan perhitungan matang.” Toleh Victor menatap Jena.“Aku tidak membencinya, hanya kecewa dan kesal,” sanggah ibu hamil itu. Victor terkekeh.“Sungguh? Sejak kapan kau menarik kata ‘membenci’ menjadi ‘hanya kecewa’, bahkan aku sering mendengar kau ucapkan itu saat kita masih menyewa kamar yang kecil itu.“Ck. Diamlah kau, Vic. Ayo, temani aku melihat sofa ruang TV, aku ingin yang nyaman, akan ku buat dia menghabiskan banyak uang untukku.” Jena beranjak lagi, Vict
“Kita tidak bisa tinggal di sini selamanya, Jena, kita harus pindah. Apartemen ini terlalu kecil untuk kita tinggali.” Tegas Drew saat ia baru saja menunjukkan beberapa apartemen lain yang bisa ia sewa. Jena tak mau jika Drew membelinya – walau suaminya jelas mampu – tetapi itu tak membuat Jena senang. Pria itu sudah memberi kejutan dengan mengajaknya menikah begitu cepat, maka, kali ini Jena juga akan memberikan kejutan dengan tidak akan mudah menuruti kemauan Drew.“Tidak. Kau saja jika mau pindah ke sana. Aku masih betah di sini, atau, cari yang lebih murah biaya sewanya. Aku bukan selebritas, dan daerah ini jauh dari sekolah Victor.” Tolak Jena.“Aku akan membelikan Victor mobil,” ujar Drew lagi.“Kau…, mulai lagi menjadi sombong dan arogan dengan menunjukkan siapa dirimu.” Jena melipat kedua tangan di depan dada, ia terkekeh sinis. Keduanya sedang duduk di kedai es krim. Ibu hamil itu lelah
Drew sudah berdiri di sisi kiri pendeta dengan sedikit berjarak. Ia menatap Jena dengan air mata sudah mengembeng di pelupuk. Ia tak menyangka harinya tiba untuk mensakralkan apa yang sempat tertunda, tetapi, tidak dengan Jena yang menatap dingin dan judes ke pria yang akan menjadi suaminya. Perut buncit Jena membuat fokus Drew berpindah ke sana, ia semakin haru, Jena semakin mencebik kesal dengan bola mata menatap jengah ke pria itu.“Kau cantik, sayang,” bisik Andy Thomson saat melepaskan tangan putrinya untuk diserahkan ke Andrew Sebastian.“Terima kasih, Ayah. Mm.. apa aku bisa kabur sekarang?” bisiknya. Andy tertawa kecil, ia mencium kedua pipi putrinya. Jena menatap ke arah Drew, perasaannya campur aduk, ia sendiri bingung harus memilih yang mana. Semua abu-abu.“Kamu cantik,” lirih Drew. Jena kali ini benar-benar jengah. Ia tersenyum masam. Acara pemberkatan dimulai, keduanya sudah mengikrarkan janji s