- Apa aku seburuk itu di mata kamu, Dave? Kamu bahkan ga balas chatku sama sekali. Kamu benar-benar ga punya hati. Apa salah aku cuma ingin bertemu dengan kamu?David membaca chat dari Listy. Jujur, dia makin geram saja. Listy ternyata masih berusaha mengejarnya. Apa kurang jelas yang David katakan waktu itu? Tak bisa didiamkan jika begini. Akhirnya, selesai melakukan kontrol pasien hari itu sekitar jam sebelas siang, David pergi ke rumah Listy. Dulu jika dia pergi ke rumah cantik itu hati David berbunga-bunga. Tapi kali ini, dia merasa enggan. Hanya saja dia harus menemui Listy. David masuk ke halaman rumah Listy. Ada motor lain yang diparkir di sana. Apa ada tamu? Mungkin ini bukan waktu yang tepat. David mengurungkan langkah kakinya. Sepertinya dia akan kembali lain hari saja. Terdengar suara orang bicara dari dalam rumah. David menoleh. Hesty keluar rumah, disusul seorang pemuda di belakangnya. "Ya, cepetan dikit, jangan sampai telat." Hesty berkata pada pria itu. Hesty mengan
Di dalam rumah itu, tangis Listy makin jadi. Karena geram dan marah, dia menarik taplak meja di depannya. Vas bunga dan minuman gelas air mineral beberapa di atasnya berhamburan.Praannkk!!Hesty terkejut mendengar suara itu dan berlari ke depan."Uuhhuukkk ... huhuhukkk ... Dave ... beri aku kesempatan sekali lagi ... Dave, kamu hanya ingin aku luka karena meninggalkan kamu ..." tangis Listy. Dia memukul-mukul sofa berulang kali."Kak, sudahlah ... Kak, tenang, please ..." Hesty memeluk kakaknya, mendekapnya, dan berusaha membuat Listy tenang kembali.Sampai beberapa lama Listy mulai tenang. Hesty mengambilkannya minum. Listy meneguk beberapa kali air mineral di tangannya, sementara Hesty membereskan vas bunga dan semua yang berserakan karena kemarahan Listy."Seperti apa kekasih Dave sampai dia tak mau memberi aku kesempatan? Apa istimewanya?" kata Listy geram.Hesty kembali duduk. Ya, meskipun dia tahu siapa kekasih David, Hesty tidak pernah bilang apa-apa pada Listy. David juga buk
Lintang menatap Syifa dengan sedikit gamang, tapi dia akui Syifa benar. Bisa jadi ini memang ujian kesungguhan David pada Lintang dan sebaliknya, sekuat apa sayang Lintang buat dokter itu. "Udah, orderan urusan bisnis. Urusan hati sisihkan dulu. Okey?" Syifa menepuk pipi Lintang. Lintang merangkul Syifa. "Makasih, Sahabatku yang cantik. Love you." Lintang harus menekan semua rasa tidak nyaman yang muncul. Itu hanya kekuatiran yang tak beralasan. Saat weekend, Wulan membantu Lintang menyiapkan semua pesanan. Wulan cekatan dan tangkas juga mengerjakan ini itu yang Lintang minta. "Kak, dari list masih lima tempat lagi yang belum disiapkan pesanannya." Wulan menunjukkan daftar pesanan yang sedang mereka siapkan. "Oke. Ini setengah jam lagi semua beres. Kamu cek lagi, semua alamat sesuai ga dengan yang pesan?" Lintang menjawab sambil tetap melihat kue yang masih di oven. Wulan pun mengulang cek pesanan yang siap dengan nama dan alamat pelanggannya. "Mau ue ... mama ... mau ..." Sua
Masih sambil mengunyah kue, Mito menjawab pertanyaan Listy. "Kami dari desa yang sama.” "Oohh, jadi sudah lama kenal dia?" Listy makin penasaran. "Lumayan. Tapi ga kenal-kenal banget." Mito mengambil gelas air mineral di meja. "Aku minum dulu." "Apa dia ..." "Ayo, Mas. Aku sudah siap." Hesty muncul dengan kostum keren. Mau jadi MC pernikahan kali ini. Pertanyaan Listy urung tersampaikan. Ah, padahal kesempatan baik. "Wah, keren banget ... cantik, Nona!" Mito tersenyum lebar. "Adiknya Kak Listy, model ternama kita." Hesty ikut tersenyum lebar. Matanya melirik ke kakaknya. Listy tersenyum kecut dengan candaan itu. Setiap ingat dia pernah jadi model, rasa perih menyelinap di hati Listy. "Lha, emang iya. Masih sering gambar kamu dipasang di mana-mana." sahut Mito, seolah bisa membaca rasa tidak nyaman Listy. Mito berdiri, bersiap pergi. "Aku sudah pensiun," tukas Listy. Dia tegas mengatakannya. Dia mau Hesty tahu Listy tidak suka dengan candaannya. "Listy, thanks kuenya. Lain ka
Selalu muncul getaran di hati Lintang saat menikmati momen begini, apalagi tangan kuat David menggenggam jemarinya. “Kak, apa aku bisa jadi istri yang baik buat Kak Dave nanti?" Lintang menatap David. Ada sedikit rasa takut di sudut hatinya. Sekalipun mereka sudah bersama lebih dari dua tahun tetap saja akan beda jika sudah menikah nanti. "Kamu takut?" David melihat bening mata cantik Lintang. "Iya, sedikit," jujur, Lintang berkata. "Aku juga belum pernah jadi suami." David tersenyum. "Kita akan masuk pernikahan sama-sama sebagai orang yang ga tahu bagaimana nanti. Asalkan kita saling terbuka seperti sekarang, saling percaya, kita pasti bisa menjalani semuanya." Hati Lintang meletup. Karena tatapan David yang selalu membuat dadanya tak tenang. Tapi juga karena makin dekat hari pernikahan rasanya makin tegang. "Ternyata mau nikah ribet ya, Kak. Banyak yang diurus. Ga sesimpel yang aku lihat di fillm." Lintang menarik tangan kanannya, merapikan rambutnya ke belakang telinga. "Ten
"Lintang, aku terus terang saja, cukup terkejut setelah tahu hubungan kamu dengan Dave. Karena, ya … kamu begitu muda. Aku yakin kamu juga tahu kalau aku dulu pernah pacaran dengan Dave, bahkan mau menikah." Pembicaraan dimulai. Jantung Lintang mulai bereaksi. Ini kenapa tiba-tiba Listy begini? Ada yang menggelitik perut Lintang, membuat tak nyaman. "Ya, aku tidak berpikir panjang, sampai akhirnya kami berpisah," lanjut Listy. "Aku sangat kenal Dave. Aku hanya ingin memastikan dia memilih kamu karena dia sungguh sayang kamu. Dan juga ... aku yakin dengan kamu dia akan bahagia." Mata Lintang tak berkedip. "Ini apa maksud Listy berkata begini?" batinnya. "Kamu cantik dan baik. Aku senang. David mungkin tidak salah pilih. Setelah sekian lama denganku, ga mudah ya ... bisa beralih hati, tapi ..." "Hai!!! Aku pulang!!!" Listy dan Lintang menoleh ke pintu. Ada Hesty di sana. Di belakang Hesty, Mito mengikuti. Lintang menyapa Hesty sambil tersenyum. "Lintang antar kue lagi? Mau dong!"
Lintang masuk dalam rumah. Masih terngiang semua yang Listy katakan tadi. Lintang sedikit merasa heran. Kenapa dia harus melakukan itu? Apa dia merasa Lintang bukan orang yang tepat buat David? Apa dia benar-benar memikirkan kebahagiaan David? Tapi kenapa dia dulu lebih memilih kebahagiaan dirinya? Lintang berjalan pelan masuk ke rumah, melepas sepatu di depan pintu. Lalu dia berjalan ke ruang tengah, duduk dan termenung di sana. "Lintang?" Diana menatap Lintang. Gadis itu bahkan tidak menyadari Diana duduk di depannya membaca sebuah majalah. *"Aku sangat kenal Dave. Aku hanya ingin memastikan dia memilih kamu karena dia sungguh sayang kamu. Dan juga ... aku yakin dengan kamu dia akan bahagia." "Kamu cantik dan baik. Aku senang ... David mungkin tidak salah pilih, setelah sekian lama denganku, ga mudah ya ... bisa beralih hati, tapi ..."* Kata-kata Listy masih terus saja bertalu-talu, beredar-edar di kepala Lintang. Dia masih menatap lurus ke lantai, seperti sedang tidak ada di
"Wulan, minggu ini ujian selesai?" Lintang bertanya pada adiknya yang sedang serius belajar. "Iya, Kak. Lalu libur, tunggu lulusan." Wulan melihat kakaknya sekilas lalu balik memelototi buku di tangannya. "Sudah besar adikku. Bukan anak kecil lagi." Lintang memencet hidung Wulan. "Aauhhh! Sakit, Kak ..." Wulan kaget juga, refleks mengusuk hidungnya. "Ga terasa kamu segede ini sekarang." Lintang memandang Wulan yang makin mirip ibu mereka. "Kakak kenapa, sih?" Wulan mengangkat mukanya, heran dengan kakaknya. "Ga apa-apa. Seneng aja lihat kamu uda remaja." Lintang tersenyum. "Kalau kayak gini Kakak tuh, kelakuan kayak ibu-ibu. Bukan kayak kakak aku," tandas Wulan. Lintang terkikik. Wulan benar juga. "Ya uda, lanjut saja belajarnya." Lintang mengusap kepala Wulan dan keluar kamar. Lintang duduk di ruang tengah. Dia membuka laptop dan mulai cek tugas untuk akhir semester yang sudah di depan mata. Senangnya kuliah tata boga, tidak banyak ujian teori. Lebih banyak praktek dan semua
'Family is the best thing you could ever wish for. They are there for you, during the ups and downs and love you, no matter what' - Anynomous.Membaca kalimat singkat di atas, tentang sebuah keluarga, sangatlah tepat. Setiap kita berasal dari sebuah keluarga. Apapun dan bagaimanapun, mereka bagian hidup kita yang tidak akan pernah hilang. Banyak hal kita belajar pertama kali dari keluarga, dari orang tua kita dan saudara-saudara kita.Memang, tidak sedikit waktu kita kecewa, marah, dan tidak puas dengan mereka yang Tuhan ijinkan menjadi keluarga kita. Kita merasa yang terjadi sangat melukai dan tidak seharusnya. Namun, keluarga adalah keluarga. Mereka orang-orang yang berarti untuk kita bertumbuh, menjadi kuat dan tangguh, justru melalui banyak konflik yang kita hadapi bersama keluarga.'No family is perfect. We argue, we fight, we even stop talking to each other at times, but in the end, family is family' - Anonymous.Jika masih ada keluarga yang kita mi
Lintang menidurkan Kendra di ranjangnya. Masih dia usap-usap lembut rambutnya, memastikan putranya memang telah terlelap. Lintang mengecup keningnya, lalu dia selimuti hingga di bagian dada. Lintang tersenyum, melihat anak lelakinya yang lucu, bertumbuh penuh semangat, dan tampan menggemaskan. "Tidur nyenyak, Sayang. Mama dan papa akan selalu menjagamu. Bertumbuhlah sehat, kuat, dan jadi laki-laki tangguh dan baik hati," bisik Lintang. Dia tinggalkan Kendra dan berpindah ke kamar sebelah. Kamar Kinanti. Gadis cantik itu berbaring sambil memejamkan mata. Saat Lintang mendekat, dia tahu Kinanti belum benar-benar tidur. Bola matanya masih bergerak-gerak. Lintang mengusap keningnya lembut. Kinanti justru membuka matanya. "Tidurlah, Sayang ..." ucap Lintang lirih. Dia duduk di sisi ranjang. "Cerita dulu, Ma." Dengan mata sayu karena mengantuk Kinanti berkata. "Hm? Mau dibacain? Cerita yang mana, Sayang?" tanya Lintang. "Queen Esther," jawab
Acara ultah selesai. Senyum dan tawa ceria terdengar lagi dari anak-anak itu. Beberapa saat berikutnya, Kinanti dengan riang berlari kecil menghampiri mama dan papanya. Dia membawa bingkisan besar, bukan satu, tapi tiga. "Lihat, Ma, Pa!" Dia tunjukkan apa yang dia bawa. Dia letakkan di meja di depan Lintang dan David. "Wah, dapat tiga?" David tersenyum lebar. Dia pandangi putrinya yang terlihat begitu gembira. "Ini buat aku, ini buat adik Ken. Yang ini ..." Kinanti menunjukkan bungkusan dengan kertas kado biru yang cantik. "... aku dapat hadiah ini, karena gaun aku paling unik." Mata gadis itu tertuju pada Lintang. "Ma ... maaf, aku tadi marah-marah sama Mama. Ternyata gaun pilihan Mama paling oke." Lintang dan David tersenyum mendengar kata-kata putri mereka. Kinanti mendekat pada Lintang dan memeluk mamanya kuat. Rasa hangat menjalar di hatinya. Dia menyesal sebelum pergi harus ribut dulu dengan sang ibu. "Aku sayang Mama. Aku ga mau
"Ga mau! Aku mau yang merah! Masa pakai biru lagi?!" Gadis kecil dengan mata bulat bening itu cemberut. Bibirnya manyun, sementara kepalanya menggeleng keras membuat rambut ekor kudanya bergerak bebas dan lucu."Sayang ... mana bisa pakai yang merah? Dress code-nya warna biru," ucap wanita cantik dengan rambut hitam tebal di depannya. Dia berusaha sabar menghadapi gadis kecil yang ngotot dengan gaun pilihannya."Tapi, birunya itu lagi. Bosan aku, Ma." Gadis kecil itu masih saja kesal pada mamanya. Dia cemberut dengan alis berkerut hampir menyatu.Mamanya sudah tidak sabar, karena tidak berapa lama mereka harus segera berangkat atau akan terlambat."Terserah, Kinan mau pakai atau Mama ga akan mengantar pergi." Hilang akal, ancaman pun muncul."Ah, jangan! Iya, aku mau pakai." Dengan wajah masih cemberut, akhirnya gadis kecil itu mengalah.Dari arah pintu muncul seorang pria tampan, memandang pada kedua makhluk cantik yang bersiteg
Mito tersenyum. "Masuk bulan keempat. Dikerjain beneran aku. Harus ekstra sabar.""Hee ... hee..." David terkekeh."Kenapa?" Mito mengerutkan keningnya. Kok David ngakak gitu?"Nasib kita sama. Ternyata bukan cuma Lintang yang aneh-aneh." David menggeleng-geleng."Lintang juga hamil?" Mito memastikan."Masuk bulan kedua. Manja banget. Suka ngambek," jawab David."Listy ngambek nggak, dikit-dikit nangis. Ga enak di hatinya dikit, nangis. Minta apa ga cepat dapat, nangis," kata Mito.Lintang yang sudah balik dari toko mendengar percakapan dua calon bapak muda itu. Dia senyum sendiri, tapi merasa kasihan juga pada mereka.
Melihat ekspresi Lintang David ingin tertawa, tapi dia tahan. Takut saja kalau Lintang makin ngambek. "Jangan sensi, becanda ini." David mengambil sendok. "Mau suap? Doa dulu." Lintang menundukkan kepala, mengucapkan doa sebelum dia mulai makan. "Udah? Ayo, makan." Dan mulai David menyuap Lintang. Ternyata cuma telor ceplok dia lahap sekali. "Pintar ... dikit lagi abis." David tersenyum. "Tapi Kak Dave ga makan. Sini, aku yang suap." Lintang mengambil sendok di tangan David, menyuapi David gantian. "Hm, aku enak juga masak telor ini," ucap David dengan mulut penuh. "Abisin deh, aku minum aja. Udah makannya." Lintang minum seteng
"Tidak.Tapi, kamu tenang saja, Lin. Posisi kamu sangat kuat. Bayu tak akan bisa melakukan apa-apa padamu," sahut Ridwan. "Ya, Pak. Aku paham," ucap Lintang, berusaha menenangkan dirinya. "Jika ada apa-apa, jangan sungkan hubungi aku, kapan saja," sambung Ridwan. "Tentu, Pak." kata Lintang. "Trimakasih, sudah mau saya repotkan." "It is okay." ujar Ridwan. Dan telpon selesai. Lintang menutup telpon. Dia menggigit bibirnya. Dia berharap Bayu akan mengurungkan niatnya datang. Atau dia begitu sibuk dan ga sempat mampir ke rumah ini. ***** "Terima kasih banyak, Mbak. Pesanannya kami antar besok langsung ke alamat ini." Senyum ramah Lintang mengembang. Dua pelanggan yang datang tersenyum pu
"Ayah ..." Lintang melongok di depan kantor ayahnya. "Kalian, masuklah." Farid meletakkan pena yang dipegangnya. Dia memandang anak dan menantunya yang berjalan masuk ke ruang kerjanya. "Ayah ..." Lintang memandang ayahnya. Farid sudah bisa menduga sebenarnya yang Lintang akan katakan. "Aku ... eh ... ayah akan jadi kakek." Lintang tersenyum. Farid pun melebarkan bibirnya. Dia tersenyum senang. "Ayah benar kan, Dave?" "Ya. Ayah benar." David tersenyum. "Ayah sudah tahu?" ujar Lintang, menatap ayahnya yang masih tersenyum senang. "Melihat kamu jadi aneh-aneh. Mirip ibumu saat mengandung kamu," kata Farid.
David mengambil sepiring nasi goreng dan telur, lalu dia bawa ke depan. Lintang balik duduk di ruang tengah, di sofa yang sama. Lintang duduk bersandar pada punggung sofa. "Sayang, sarapan dulu," ujar David. Dia sodorkan piring di depan Lintang. "Ga mau. Eneg, Kak." Lagi-lagi jawaban ketus. "Alin, ini kamu sendiri yang masak," bujuk David. "Ga mau," sahut Lintang, dia bersedekap sambil mengerutkan kedua keningnya karena kesal. "Terus mau sarapan apa?" Agak gusar, David mencoba sabar. "Bubur sumsum," kata Lintang. Dia melirik pada David yang bingung dengan sikap Lintang. "Bubur sumsum?" David menjawab heran. "Iya, beliin." Lintang cemberut. "Jangan pakai ngambek, Alin. Aku ga enak sama ayah. Dipikir aku jahat sama kamu," sahut David. Lintang berdiri dan naik ke kamar. "Emang." David makin bingung. Dia bawa balik piring ke dapur. Ada Wulan juga sekarang di sana. "Dia ga mau?" tanya Farid. "Pingin bubur sumsum katanya," jawab David. Dia letakkan piring di tengah meja. "Sini