"... Romantisme tak harus datang dari bunga atau indahnya cahaya lilin... "
~ Masih Saja Ara ~
Kami berempat duduk dibawah dengan sebuah botol ditengahnya. Aru memberi peraturannya.
"Jadi siapapun yang ditunjuk oleh botol akan melakukan dare ataupun truth. Tapi tantangannya ialah ia tak akan memilih sendiri, melainkan dipilihkan oleh siapapun dintara kami. Paham?"
Semua mengangguk paham.
"Kita mulai ya?" ujarnya kemudian, dan langsung memutar botol.
Botol menunjuk pada Andre. Dia yang belum siap jadi memprotes.
"Yahhh, kenapa aku yang kena duluan"
"Siapa yang mau memberi tantangan?" tanya Aru, tapi karena tak satupun yang menjawab akhirnya dia melakukannya,
"Aku saja. Andre... mmmh"
"Jangan sulit-sulit. Aku belum berpengalaman dalam permainan ini"
"Permainan ini tidak butuh pengalaman ataupun skill, boca
"... Dia menyakitiku teramat baik, menikmati tiap tikamannya ... " ~ Masih Saja Ara ~ "Kita lanjutkan permainannya?" seseorang berkata begitu, dan aku tidak terlalu perduli. 'El Río' masih mengganjal pikiranku. SUNGAI?? "WHATTT???" aku mengingatnya. "Araaa" seseorang menunjukku. "NO WAY!" ujarku dalam keterkejutan. "NO WAY? Kau tak bisa menolak. Ini giliranmu, Ra" Aku melihat banyak foto dengan background sungai tadi. Foto-foto Quin di kapal. Dan fotonya yang terpana pada Aru cukup untukku menyimpulkan, dia tidak menyimpan Aru sebagai teman dalam hatinya. Itu terlalu jelas. Lantas hal romantis seperti apa yang sudah Aru lakukan hingga membuatnya terpesona begitu? Hal romantis seperti apa yang tak terlalu mahal, tapi bernilai tak terhingga? Apa itu? APA?? "ARRRAAAA!" "Huh?" aku tersadar.
"... Menyalakan fiksi dalam kepala orang yang cemburu itu hal buruk ... "~ Ara Lagi ~"Bagaimana?"Andre keluar memperlihatkan sarung yang dia kenakan. Aru tersenyum dan memberi kode ok. Quin juga keluar dengan daster tidurku yang jarang ku pakai. Aru menertawai-nya."Kenapa? Jelek ya?" protes Quin."Tidak. Stunning kok!""Then let's go!""Tidak... tidak. Siapa bilang kami akan ikut? Hanya kalian berdua yang pergi""Huh, curang!" keluh Andre"Kalian mau apa?""Bebas. Dessert-nya aku mau ice cream matcha. Untuk Ara rasaa... mau apa?""Rasa... ""Rasa sayange, rasa sayang sayange..." Aru menyela dengan tingkah kocaknya."Plis-lah serius!" tegur Quin malas."Rasa strawberry cincau. Kau suka itu kan? IYA. ITU AJA UDAH!""Oke. Matcha dan strawberry cincau" rekap Andre mengingat."Quin
"... Aku akan menikah ..." ~ Aru ~ "Ngak kesini?" Ara mengirim pesan. Aku akan membalas 'tidak' sebenarnya, sebelum pesan susulannya yang ke dua datang dan merubah pikiranku. "Aku sendirian, btw" Kata sendirian di pesan itu mengganggu pikiranku. Seperti medan magnet yang menarik kuat, aku tak bisa menghindar. Tapi tak ingin ini terlalu mudah baginya. "Tasya?" "Kencan" "Aku agak lelah. Kau saja yang kesini" aku masih jual mahal. "Zein di rumah?" "Ya" "Klo gitu, kau saja yang kesini" "Why?" "Ngak enak sama Zein" "Nonsense" "Kau saja yang kesini. Aku masak buat kamu juga, nih. You're invited" "Aku makan disini aja yah" "Aru, please! 🙏 Sayang klo dibuang. Aku dah masak lho ini. Hargai dong!" "Tapi aku dah sama kamu terus lho dari ke
"... Kau mau menikah dengan ku ... "~ Ara ~Aru menghindaiku lagi. dan aku tak bisa menghubunginya selama beberapa hari ini, sejak percakapan terakhir waktu itu. Itulah kenapa kini aku ke tempat Zein, menekan bel rumahnya berulang kali, tapi tak seorangpun membukakan pintu.Apartementnya sepi, seperti tak ada penghuni. Akupun sudah puluhan kali menghubungi Aru, tersambung tapi tak pernah diangkat juga. Dia membuatku cemas, terlebih karena tak ada aktivitas di dalam apartemen ini. Cepat aku memberanikan diri beralih ke nomer sahabatnya. Menghubunginya."Ohh, hallo Miss Ara. Kenapa kau menghubungiku? Ahh, biar kutebak. Kau pasti sedang BERTENGKAR dengan sahabatku, lalu dia menghilang begitu saja dari tempatmu. Jadi kau pasti menghubungiku hanya untuk bertanya dimana keberadaan Aru, kan?""Kurasa memang begitu. Kau tahu dimana dia?""Lain kali kau pake aplikasi cari orang saja, jangan melulu bertanya padak
"... Aku mau hubungan ini bernama ... "~ Aru ~Masa perenunganku berakhir. Aku sudah kembali ke tempat Ara, dia terus memintaku untuk kembali, aku menolak sebab aku tak lagi punya selera tinggal dan tetap berada disana. Aku tak punya pekerjaan, dan orang yang ku cintai telah menemukan cintanya yang lain. Berada disana hanya membuatku sakit. Tapi Ara tak pernah berhenti membujuk agar aku kembali. Katanya pekerjaan bisa dicari, dan dia masih mencintaiku.Mudah ditebak, aku luluh lagi. Tapi, bukan karena dia mengatakan cinta aku jadi luluh dan mau kembali. Sebab aku tahu dia juga punya cinta untuk Ar-no juga. Aku memintanya membuktikan kesungguhannya dengan datang ke rumah dan menjemputku. Dan diapun tidak mau awalnya. Dia punya banyak alasan untuk mengelak, tapi akhirnya dia ke rumahku juga membawaku kembali kesinggasana ternyaman kami.Baik Zufan juga Dila senang bertemu dengannya. Mereka
"... Aku ingin egois mencintaimu ... " ~ Aru ~ "Kau bahagia bila menikah dengannya?" rasanya hatiku memar mengatakan itu. Ara menaikkan bahunya. Menatap dengan tidak pasti dan tak terarah. Tapi aku mengembalikan fokusnya padaku. "Tentu aku ingin kau bahagia. Aku ingin melihatmu mengenakan gaun pengantin yang indah juga, dan menjalani hidup bahagia setelah pernikahan. Tapi− " "Tapi?? Bukan dengan Arnold?!" "Entah. I'm not saying it, Ra. Aku hanya ingin kita bahagia. KEBAHAGIAANMU yang paling utama bagiku" Dia mengerti. "Begini saja Ra, pastikan kau bisa hidup bahagia dengannya. Katakan jika HIDUP mu akan LEBIH BAHAGIA dengannya, jauh MELEBIHI saat kau bersamaku. Maka detik ini juga aku akan merelakan mu menikah dengannya. Jadi katakan!" Dia menatapku bimbang. "Kau bisa memastikan itu untukku?" "I can't Aru. I
"... Bukan hanya cinta yang memberi luka, tapi juga rasa kecewa ..."~ ARU ~"Ma− "'Aku jatuh cinta, Ma. Aku jatuh hati pada seorang wanita terpandang, anggun, dan bertatakrama. Dia wanita yang punya hati lembut seperti Mami, sensitif dan juga ke-ibuan. Kami saling mencintai. Tapi masalahnya, dia tak seiman dengan kita. Bolehkah aku menikahinya, Ma?'Aku ingin jujur dan mengatakan itu pada ibuku, tapi aku tak sampai hati untuk menambah beban pikirannya dan aku tak punya nyali mengatakannya. Aku takut ini terlalu melukai hatinya. Aku takut itu beresiko pada jantungnya. Aku tidak siap kehilangan siapapun saat ini. Tidak Ara, tidak juga keluargaku.Aku makin terpuruk dalam tangis memeluknya, hingga kepalaku pening."Ma, bagaimana kabar Mami saat ini?" akhirnya, hanya itu saja yang berani kulepas keluar dari mulutku."Mami baik sayang, sanga
"... Kau ragu dengan apa yang ku lakukan di kantor ..."~ Ara ~Aku merasa Aru sedang mengawasiku dari tempat duduknya. Dia jadi berbeda sejak pergi begitu saja kemarin. Aku merasa dia lebih pendiam dan cuek dari biasanya, tapi aku tak mengambil pusing atas semua aksinya itu. Aku hanya terus bersikap normal, tak seperti ada yang salah. Aku juga bicara seperlunya.Mungkin Aru sedang protes padaku tentang sesatu yang tak ku tahu pasti tentang apanya. Aku malas ribut, jadi aku hanya bersikap biasa. Tak bertanya kenapa atau ada apa dengannya.Kami duduk dalam satu ruang, tapi tak satupun dari kami yang membuka suara untuk mengajak ngobrol. Aru sibuk dengan game-nya, dan aku sibuk dengan akun-akun sosmed ku dan pekerjaan."Hufff" Aru bangun dan meghentakkan nafas lelahnya.Aku sebatas meliriknya tanpa tanya."Something wrong with us, right?""N
~ Ara ~ . . . ... Sepasang sesal ... Menepikanmu yang kurasa sanggupMeniadakanmu yang kurasa mampu Tapi bayangmu tak pernah jauh dari heningkuDan seluruh heningku tak pernah sepi darimu Jangan menyerah Karena kau masih memikatkuDan hatiku masih terpaut dekat denganmuSekalipun kau tak tahu itu benarSekalipun tak ku ucapkan dengan benar Kau tahu aku hanya berlagakKau tahu aku selalu malu berbicara cintaJadi bisakah sekali lagi kau menunggukuKuharap hatimu tak berubah padaku Sekalipun kini hanya berat yang tertinggal Dan benteng kuatku telah menemui lapukan terlemahnya berupa sesal. . . - Guilty on tuesdays - " Lyn Wen " . . I hope one day you'll come backAnd at least say hiWipe off the tears on my faceAnd give us a try, Cause I can tellYou're done with this leaving hell yeah...I can tellYou're done with what I do To keep me away from youTo keep me away from you, Every good moment has passedYou're still not hereCrying alone in my car seems to famil
"... Aku tak perlu berkorban lagi untukmu, karena kau telah bahagia ..." ~ Aru ~ . . Pernah aku terpenjara dalam jerat cinta, yang membawa arusku jadi seru dan semu, tapi aku jatuh juga dari ketinggian mencinta kedalam ulu hara, dalam perangkapnya kasih menjadi siksa. Karena itu, setelah badai tikai itu, aku memilih menutup diri. Memberinya kemerdekaan dalam hilangku. Dan kutangani sisa luka, konsekuensi dari berani mencintainya, sendiri. Tak kubiarkan orang tahu atas luka patah hatiku. Kusembunyikan kepatahan itu dari sekelilingku. Karena aku tak ingin membebankan perasaan luka yang kuterima pada orang lain, dan itulah kebijakanku. Meski itu tak mudah, aku berhasil membuatnya terlihat begitu. Serupa seperti tak berlinang air mata. Serupa hatiku tak retak karena terluka. Padahal diam-diam akupun menangis dalam sembunyiku. Di kamar mandi, atau dibilik kamar redup lampu. Lantas pura-pura tidur saat ada yang mendekat. Sebab aku tak punya alasan benar, menunjukkan pedihku pada mere
"... Biarkan hatimu menuntun maunya, tapi ijinkan takdir yang memutuskan jawabnya ... " ~ Ara ~ . . "Ara, aku bertemu dia. Kami bicara. Tentu aku melihat apa yang tak bisa kau lihat darinya, Ra" "ARU TAK BAIK, RA." "TIDAK. Dia harus baik-baik saja. Harus!" "Yah, tampaknya memang begitu" "Tampaknya?" "Mau menggeser sedikit saja persepsimu akan kebencian Aru padamu itu?" "Tak yakin!" "Bagaimana jika kepergiannya itu bukanlah atas dasar kebenciannnya? Mungkin saja itu sesuatu yang lain" "TIDAK. Itu harus benci. HARUS!" "Dan bagaimana jika yang kau lihat benci itu, mungkin, sebenarnya hanya bentuk lain dari luka? Mungkin itupun bentuk dari defensif Aru dalam melindungi hatinya. Bukan benci" "Kenapa begitu?" "Aru bisa saja menjadi brengsek waktu itu. Dia bisa merusak pernikahanmu sebelum takdir melakukannya. Tapi alih-alih begitu, dia malah memilih mundur. Menarik semua kedekatannya darimu tanpa menciptakan kegaduhan, Ra. Jadi Apa tindakan itu mencerminkan kebencian?" Aku m
"... Takdir memaksa kita mengerti dan menerima keadaan tak baik kita, meski kita tak ingin... " ~ Ara ~ . . - THE WEDDING - Aku baru selesai dirias dan Tasya masuk. "Woooh.. who's this gurl? So gorgeous!" "Thank you" Aku senang menerima pujian itu. Meski hatiku juga merasakan getir gelisah yang lain. "Bagaimana rasanya jadi mempelai?" "Nervous, I guess?" "Kurasa akupun akan begitu saat diposisiimu. Wajar, Ra. Itu gerogi yang baik" "Kuharap begitu. Tapi lebih dari itu. Aku sangat bahagia. Akhhirnya Sya... Akhirnya!" "Umh, I'm so happy for you too" Sudut mata kami mengeluarkan embun haru. Tasya lalu memelukku. "Okay-okay, ini hari bahagiamu dan aku tak ingin riasanmu rusak karena kebahagiaan ini" Kami menghapusnya. "U
"... Kau mungkin bahagia, tapi benarkah itu kebahagian yang ingin kau jalani ... "~ Ara ~.."Tasya?""Surprise!"Dia memelukku."Katamu besok?""Tidak jadi. Aku mempercepat segalanya""Masuklah!""So, how's your life Ara?""Seperti yang bisa kau lihat. Baik!""Kau menjawab persis seperti seseorang" gumamnya, "Kau sedang sibuk?""Tidak""Apa yang akan kita lakukan hari ini?""No shopping, karena kau pasti masih jetlag. And I'm not about going anywhere. Jadi kurasa kita hanya perlu disini saja""Good girl. Kau sangat memahamiku!""O-ya, kau jadi ketempat Zein?""Ya""Dia mengusirmu?""Tidak. Dia berubah menyenangkan""Uh, impresif. Kalian membicarakanku?""Sedikit. Oh, iya, kau mau minum apa?""Tak perlu repot. Aku bukan tamu istimewa""Aku k
"... Cinta itu telah berakhir ..."~ Aru ~.."Berjuang lebih keras, Aru!""Kau kira kenapa aku bertahan dalam sengsara itu jika bukan untuk berjuang?""Sudah Tasya! Aku mencoba segala yang kubisa. Dari memprovokasi cemburunya, memperbaiki emosiku, hingga bersikap manis padanya untuk mendapatkan lagi hatinya. Tapi Arnold yang selalu menang. Kau hanya tak tahu usahaku itu!"Dia termenung."Aku berupaya hingga tak punya cara lain lagi selain menyudahi keegoisanku untuk memilikinya seorang diri.""Huhf..." helanya."Aku pasti jadi psycho jika diposisimu. Kau harusnya gunakan emosi kesalmu itu untuk memukuli seseorang. Jangan diam saja dan malah lari!"Aku terhibur mendengarnya.Apa dia tak tahu aku memukul Ara waktu itu?"Kau pernah punya pikiran jahat? Seperti psycho?""Mungkin""Sungguh? SESAIKO APA?""Mungkin karen
"... Rasanya aku ingin membunuhnya saat melihatnya pamer bahagia, sedang aku menahan nyilu dan cemburu ..." ~ Aru ~ . . Aku terdampar dalam sebuah kemegahan asing dalam duniaku. Tapi ini bukan ilusi. Aku duduk merenung, menikmati nyaman yang belum pernah kunikmati begini sebelumnya. Membahagiakan. Aku menghirup aroma cappucinoku, sebelum mengecap bagaimana rasanya. Dan benar rasanya istimewa, seperti harganya yang bisa membuat dilema kepala orang biasa. Tapi disinilah aku kini, mengagumi soreku yang biasanya tak selalu indah. Tapi kini berubah begitu menawan dalam sekedip. Aku menyesap lagi gelas kopiku, sambil menunggu dengan santai seseorang yang telah membuat janji temu denganku. Dudukku mulai menyila, tapi bosan masih jauh dari pikiranku. Meskipun kini aku terkurung di lantai 122, diketinggian ratusan meter, dalam atmosfer megah restauran kelas dunia, di Burj Khalifa.
"... Itu pilihan, ingin menjadikannya ujian dalam cinta atau takdir dalam cintamu... "~ Ara ~ . . Kenapa aku sendiri masih terus ragu dengan apa yang Zein tuturkan barusan. "Ara, kau masih mencintainya, kan?" "Entah Zein!" "Apa kau tahu, ragu adalah bagian dari iya yang belum disetujui lewat kata""Yang kutahu, aku tidak kesini untuk membahas hal seperti itu" "Benarkah? Apa kau pikir hanya dengan modus mengembalikan ini, aku lantas percaya? Tidak Ara. Aku tak sebodoh itu!""Kau terlalu berlebihan Zein""Menyangkalnya membuat hatimu lebih baik?""Zein, Aru membenciku!""Maksudku dia masih membenciku, kan?" aku mencari defensif lain."Ya, benar. Dia membencimu hingga tak ingin lagi melihatmu. Hingga ingin menguburmu. Hingga ingin menghilang darimu. Dan itu benar, dia membencimu"Hatiku terluka mende
"... Mengapa orang lain bisa melihat cintaku dengan jelas, tapi aku tidak ... "~ Ara ~ . . Ada banyak hal yang ingin kusampaikan saat berada dalam masa perenungan lalu. Karena kehilangan Aru membuatku tak seimbangan. Tapi setiap kali menatap wajah penuh lukanya, akupun kehilangan cara untuk membela diri dari kekacauan yang kubuat sendiri. Kalimatku lenyap, bibirku terbungkam. Aku tak bisa menyanggah kalimat penuh lukanya karenaku. Dan karena itu, yang terlintas hanya perasaan sesalku, jadi alih-alih membela diri, aku lebih ingin meminta maaf.Tapi Aru selalu tak ingin mendengarnya. Dia tak ingin mendengarnya, seberapapun aku merasa bersalah padanya.Tapi menyumpahiku gagal menikah adalah hal yang paling tak bisa kuterima. Dan itu sangat melukai hati terdalamku.Begitulah aku menyerah pada akhirnya. Karena mungkin dengan membiarkannya pergi, itu menghinda