~ Aru ~
"Ngak kesini?" Ara mengirim pesan.Aku akan membalas 'tidak' sebenarnya, sebelum pesan susulannya yang ke dua datang dan merubah pikiranku.
"Aku sendirian, btw"
Kata sendirian di pesan itu mengganggu pikiranku. Seperti medan magnet yang menarik kuat, aku tak bisa menghindar. Tapi tak ingin ini terlalu mudah baginya.
"Tasya?"
"Kencan"
"Aku agak lelah. Kau saja yang kesini" aku masih jual mahal.
"Zein di rumah?"
"Ya"
"Klo gitu, kau saja yang kesini"
"Why?"
"Ngak enak sama Zein"
"Nonsense"
"Kau saja yang kesini. Aku masak buat kamu juga, nih. You're invited"
"Aku makan disini aja yah"
"Aru, please! š Sayang klo dibuang. Aku dah masak lho ini. Hargai dong!"
"Tapi aku dah sama kamu terus lho dari kemarin. Zein juga ngak lama disini"
"But I miss you" diapun membuat ini tidak mudah untuk ku hindari.
Sekalipun rindunya hanya text, tapi semua itu mampu menggetarkan lagi hatiku. Satu kalimat sederhana yang mampu meluluhkanku. Dia tahu itu.
"Besok saja, OK?"
Aku masih jual mahal. Sekalipun hatiku berkata 'ya' tapi aku mempersulitnya.
"No, Aru! It's like so bad. Real bad"
Sekali lagi dia membujuk dengan kalimat mahalnya yang tak selalu bisa ku dengar setiap hari, setiap waktu. Pernah ku bilang, kan? Jika dia sangat tertutup jika soal perasaannya padaku. Mungkin itulah kenapa rindunya jadi hal yang mahal untukku. Sebab dia tak mengobralnya dengan baik. Kini, tidak ada alasan lain lagi untuk menghindar.
"OK. I'll be there really quick. So you will never ever feel so lonely, I guess?"
"YEAH, gO Aru... quick and hurry!"
"Happy Ra?"
"Mmm, YAASS"
"Need something? š š Aku bisa mampir toko klo kau perlu sesuatu"
"Just you, I guess. It's more than enough. 15 minutes, can you?"
"OK. C.U.S"
"C.U"
Tak perlu waktu lama untuk sampai di Kondo milik Ara. Dia mempersiapkan makan siang kami dengan sederhana. Tanpa lilin, bunga, benda romantis lain. Keromantisan bagi kami ialah saat kita bisa memahami satu sama lain dengan baik. Membantu meringankan tugas satu sama lain dengan baik, bukan dengan mawar, coklat batangan, atau emas. Terlebih Ara bukan tipe perempuan romantis, dia juga bukan tipe penyuka kesederhanaan.
"Ehmmm, wanginya sedap"
"Kau datang? Jangan hanya berdiri saja melihatku. Ayo duduklah"
Alih-alih duduk, aku malah mendekat dan melingkarkan tangan ke perutnya.
"Mm, aromanya membangkitkan nafsu"
Ara menyandar senang dalam pelukku.
"Makan?"
"Ya, nafsu makan. Keliatannya enak"
Ara mengambil sendok dan menyuapiku testernya.
"Bagaimana?"
"You never fail, Nyonya. Sesuai seleraku"
Dia tersenyum mendengar pujianku.
"Bisa bantu aku ULEG Sambal?"
"Tentu"
Aku mencium rambut kepala Ara, sebelum melepas peluk. Dia senang menerimanya.
"Ra ..."
"Mmh?"
"Bisa kau katakan sekali lagi?"
"What?"
"That you miss me so bad" godaku, tapi Ara menggeleng. Menggodaiku balik.
"Oh come on, Ara"
"Nohhh"
"Plis, katakan sekali saja!"
"I miss you" katanya patuh, tapi cepat.
"So bad?" mintaku secara lengkap.
"Not bad"
"So bad!"
"Not that bad" godanya. Tetap kekeh mengelak. Aku gemas dalam diri.
OMG. BATU BANGET SIH!
"You said that you miss me so bad before"
"Tapi sekarang kau sudah disini, Aru. So, it's not so bad anymore like before"
Tapi aku tetap senang mendengarnya.
"Bisa aja ngereceh, huh?"
"Dan aku tahu kau suka hal-hal receh seperti itu"
Kami lantas berbagi tawa bersama.
"Ru ..."
"Mmm?"
"Kapan Zein balik shanghai?"
"Entahlah. Kenapa?"
"Klo dia balik, kau tinggal disini lagi ya? Kan bentar lagi Tasya juga balik KL"
"Kenapa? Takut ya sendirian?"
"Lebih kesepian aja sih. Ngak ada temen ngobrol dan tukang pijat aku"
"Huh, dasar. Kurasa alasan kedua yang membuatmu ingin aku tinggal disini. Pijat gratis"
"Tahu ajah"
"Ra, bagaimana klo kali ini tidak gratis?"
"Mmhh? Apa imbalan yang kau mau?"
"A kiss maybe?" godaku mencandainya.
"Nope!"
Sekalipun aku tahu dia akan menolak, tetap saja hati ini jadi sedikit nyeri.
"Favorit banget sih bilang NO ke aku?"
"Kau, kenapa favorit banget pengen menciumku?" celotehannya balik.
Aku menarik pipinya, "Karna GEMAS!"
Ara mencubit tanganku ganti dan aku melepaskan tanganku dari pipinya.
"Masak? Sama Quin ngegemesin mana?"
"Oh sh*t!" air dari cabe rebus yang ku uleg masuk ke mataku.
"Kenapa? Terganggu yah?"
"Mataku pedih tahu. Kena cabe!" aku membasuh mataku dengan air.
"Coba kulihat"
Dia berjinjit dan meniup mataku. Aku bisa merasakan kasih dan perhatiannya yang lembut padaku. Tapi apa kau juga bersikap seperti ini pada Arnold?
"Hei, kau mengundangku kesini bukan untuk nge-roasting aku dan Quin, kan?"
Ara berhenti dan tersenyum bahagia.
"Kau lebih menggemaskan darinya saat ini, okay?"
"Hanya saat ini?"
"Jangan serakah ...." aku mencolek hidungnya, "Aku tak bisa memprediksi perasaanku besok padamu apa masih gemas seperti ini, atau jadi sebal esok hari. Yang jelas aku masih cinta"
"Tapi kenapa aku tak merasa kau begitu padaku?"
"Mmmh mungkin, karena kau tidak lagi tertarik padaku" gurauku lagi.
"Uhmm, SARKASME BANGET SIH!"
Ada jeda hening yang kami gunakan untuk mempersiapkan semua makanan di atas meja.
"Ra..."
"Mmhh. Apa lagi, sekarang? Mau minta cium lagi?" Ara duduk di kursinya,
"Aku tegasin lagi yah sama kamu, NO ARU. NO, OKAY!"
"Bukan itu. Aku tahu akan ditolak klo minta itu lagi. Aku tak mau mengulang sakit hati lagi"
"Terus?"
"Kita main tanya jawab aja ya? Jawab tanyaku dengan cepat, okay?" mintaku.
"Kau ingin menjailiku? Maaf aku bukan Quin yang selalu menerima tantangan darimu"
"Masih cemburu juga? Dia udah pulang. Rumah udah adem, jangan dibikin panas lagi dong"
"Abis kamu yang mulai sih"
"Kok aku sih? Kan kamu yang mulai. Aku hanya ingin tanya jawab cepat"
"Apa ini semacam kuis cerdas cermat? Atau apa? Kenapa aku harus jawab cepet, ngak santuy aja?"
"Yah. Mungkin. Aku ingin tahu reflek cepat kepandaian mu seberapa"
"Kau ingin membandingkan aku dengan Quin, begitu?"
"Ya, ampun. Enggak! Ngak ada sangkut pautnya juga dengan Quin. JUST STOP THINKING ABOUT HER, YA!"
Dia hanya diam, malas.
"Jadi mau ngak?"
"Sebenarnya kau ingin mengujiku atau meremehkan kemampuanku?"
"Kita akan tahu nanti. Kau bisa menjawabnya dengan cepat atau tidak"
"Okay. Baiklah. Mainkan!"
"Yeah. Jawab cepat lho yah"
Ara mengangguk. Aku membuang nafas cepat. Menyiapkan diriku sendiri juga.
"Oke, kita mulai. Katakan aku ganteng!"
"What?"
"Refleks mu payah" ejekku.
"Itu karena permintaan mu terlalu narsis"
"Sekalipun begitu, klo kau memutuskan bermain maka ikuti peraturannya. Jangan banyak membantah atau kau akan dinyatakan kalah"
"Iya.. iya, oke. Ulangi sekali lagi!"
"Oke. Jawab cepat, fokuslah pada ucapan juga perintahku. Paham?"
"Iya!"
"Katakan aku ganteng" aku mengulang.
"Kau ganteng"
"Sebut tiga hal yang kau suka dariku!"
"Tidak ada"
"TIDAK ADA? SERIUS??"
"Sekarang kenapa kau yang protes? Kau memintaku menjawab dengan cepat"
"Tapi pertanyaannya sebutkan tiga yang kau suka dariku. Sungguh tidak ada?"
Ara tersenyum, meminta damai.
"Baik, smart dan... penyayang. Puas?"
Aku mengangguk senang.
"Sebut tiga nama orang terdekat mu"
"Tasya, Aru, Ar- Texxi"
Aku memandangnya curiga. Kurasa Ara baru saja akan menyebut Ar-no. Aku tahu hatiku mulai terpengaruh kesal. Tapi aku tak oleh meledak dan merusak keharmonisan kecil ini.
"Sejak kapan Texxi jadi orang?"
"Dia seperti anakku, Aru"
"Tapi aku tidak mau jadi Papa Anjing"
Dia terbahak begitu senang.
"Lanjutkan permainanmu"
"Katakan sebuah kebohongan"
"I hate you Papa Anjing" aku tersenyum mendengar gurauannya.
"So, tell me something true"
Aku berharap dia akan bilang 'I love you.'
"This game is funny"
Aku kecewa, jawabnya tak seharap denganku.
"Thank you. Then tell me a secret, Ara"
"Aku akan menikah" jawabnya spontan.
"MENIKAH?"
Dan permainan terhenti dengan wajah buram di raut kami.
Akupun spontan menyeringai keruh berbalut luka sekali lagi. Aku tak bisa mengantisipasi perasaan canggung yang kian cepat menjalar kemana-mana.
Sekalipun itu bukan lagi kabar baru. Tapi mendengarnya langsung dari mulut orang yang kusayang adalah hal yang menyakitkan hatiku. Kehangatan kecil ini jadi aus dalam sekejap.
"Aru... Aru, I'm so sorry. Sorry!"
"Untuk apa?" aku berusaha tenang.
"Semua. Aku tak bermaksud menyakiti dan merusak momen ini"
"But you did it so well. You ruin my heart so well. Congrats Ara. I wish you happy" kataku sambil berusaha pergi.
"Aruuu... please... dengerin aku dulu..."
"Apalagi?" kataku lelah.
"Kau tak perlu menjelaskan apapun. Kita sudah tak bersama juga. Lagipula, aku juga tahu posisi sulitmu. Ya, aku SANGAT PAHAM. Tak perlu ada penjelasan lagi!"
"Aru... Kita lurusan ini semua ya!"
"Semua sudah jelas. Aku sudah kalah"
"Bisakah kita tidak seperti ini?"
"Lalu seperti apa?"
"Kita bicarakan ini dengan baik-baik. Tak perlu bertengkar"
"Apa menurut mu, kita bertengkar? NO! I'm chill, Ra. I AM SO CHILL!"
"NO, you're not!"
Ara mengapitkan tangannya di leherku, lantas mencium pipiku dengan cepat.
Dia menyapu semua emosi dalam diriku seketika redam. Aku menenang dalam sekejap. Tidak hanya itu, aku pun jadi lemah dan bimbang dibuatnya.
"Kita tidak bisa menghabiskan waktu kita dengan terus bertengkar seperti ini. Aku lelah. Sungguh sangat lelah dengan semua keadaan ini juga. Aku... aku akan jelaskan semua, tapi bisakah kita tetap baik seperti ini?"
"I SAID NO! JANGAN MENJELASKAN APAPUN PADAKU. ITU AKAN SEMAKIN MELUKAIKU. TIDAK BISAKAH KAU PAHAM ITU?!"
"You're not chill at all" Ara menangis.
"Sorry, my bad"
Aku mendekapnya. Menenangkannya.
"Sungguh, kau sudah seyakin itu dengannya? HUBUNGAN KALIAN SUDAH SESERIUS ITU??"
"Entahlah, Ru. Aku juga tidak merasa baik dengan ini semua. Aku hanya merasa semakin tertekan dan pening"
"Tapi kau tetap tak bisa berbuat apa-apa untuk menolaknya?"
Ara mengangguk-angguk di pelukku.
"Ara..., apa cintaku tak pernah cukup untuk melengkapimu? Hingga harus ada orang lain diantara hubungan kita?"
Dia semakin terbenam dalam tangis.
"Kau tahu, Ru. Masalah kita bukan itu. Ini bukan lantaran cintamu tidak cukup untukku atau aku tak lagi mencintaimu. Bukan itu Aru!"
"Klo begitu, jangan menikah dengannya"
Matanya jadi berkaca-kaca karena mendengar permintaanku yang tak sederhana, tapi dia hanya diam dalam gemuruh di hatinya.
"Kenapa?"
"KENAPA??"
Aku terluka dengan tanya Ara itu.
"Kenapa tidak bisa hanya aku saja, Ra?"
"Lalu, kau bisa menikahiku?"
*****
"... Kau mau menikah dengan ku ... "~ Ara ~Aru menghindaiku lagi. dan aku tak bisa menghubunginya selama beberapa hari ini, sejak percakapan terakhir waktu itu. Itulah kenapa kini aku ke tempat Zein, menekan bel rumahnya berulang kali, tapi tak seorangpun membukakan pintu.Apartementnya sepi, seperti tak ada penghuni. Akupun sudah puluhan kali menghubungi Aru, tersambung tapi tak pernah diangkat juga. Dia membuatku cemas, terlebih karena tak ada aktivitas di dalam apartemen ini. Cepat aku memberanikan diri beralih ke nomer sahabatnya. Menghubunginya."Ohh, hallo Miss Ara. Kenapa kau menghubungiku? Ahh, biar kutebak. Kau pasti sedang BERTENGKAR dengan sahabatku, lalu dia menghilang begitu saja dari tempatmu. Jadi kau pasti menghubungiku hanya untuk bertanya dimana keberadaan Aru, kan?""Kurasa memang begitu. Kau tahu dimana dia?""Lain kali kau pake aplikasi cari orang saja, jangan melulu bertanya padak
"... Aku mau hubungan ini bernama ... "~ Aru ~Masa perenunganku berakhir. Aku sudah kembali ke tempat Ara, dia terus memintaku untuk kembali, aku menolak sebab aku tak lagi punya selera tinggal dan tetap berada disana. Aku tak punya pekerjaan, dan orang yang ku cintai telah menemukan cintanya yang lain. Berada disana hanya membuatku sakit. Tapi Ara tak pernah berhenti membujuk agar aku kembali. Katanya pekerjaan bisa dicari, dan dia masih mencintaiku.Mudah ditebak, aku luluh lagi. Tapi, bukan karena dia mengatakan cinta aku jadi luluh dan mau kembali. Sebab aku tahu dia juga punya cinta untuk Ar-no juga. Aku memintanya membuktikan kesungguhannya dengan datang ke rumah dan menjemputku. Dan diapun tidak mau awalnya. Dia punya banyak alasan untuk mengelak, tapi akhirnya dia ke rumahku juga membawaku kembali kesinggasana ternyaman kami.Baik Zufan juga Dila senang bertemu dengannya. Mereka
"... Aku ingin egois mencintaimu ... " ~ Aru ~ "Kau bahagia bila menikah dengannya?" rasanya hatiku memar mengatakan itu. Ara menaikkan bahunya. Menatap dengan tidak pasti dan tak terarah. Tapi aku mengembalikan fokusnya padaku. "Tentu aku ingin kau bahagia. Aku ingin melihatmu mengenakan gaun pengantin yang indah juga, dan menjalani hidup bahagia setelah pernikahan. Tapiā " "Tapi?? Bukan dengan Arnold?!" "Entah. I'm not saying it, Ra. Aku hanya ingin kita bahagia. KEBAHAGIAANMU yang paling utama bagiku" Dia mengerti. "Begini saja Ra, pastikan kau bisa hidup bahagia dengannya. Katakan jika HIDUP mu akan LEBIH BAHAGIA dengannya, jauh MELEBIHI saat kau bersamaku. Maka detik ini juga aku akan merelakan mu menikah dengannya. Jadi katakan!" Dia menatapku bimbang. "Kau bisa memastikan itu untukku?" "I can't Aru. I
"... Bukan hanya cinta yang memberi luka, tapi juga rasa kecewa ..."~ ARU ~"Ma− "'Aku jatuh cinta, Ma. Aku jatuh hati pada seorang wanita terpandang, anggun, dan bertatakrama. Dia wanita yang punya hati lembut seperti Mami, sensitif dan juga ke-ibuan. Kami saling mencintai. Tapi masalahnya, dia tak seiman dengan kita. Bolehkah aku menikahinya, Ma?'Aku ingin jujur dan mengatakan itu pada ibuku, tapi aku tak sampai hati untuk menambah beban pikirannya dan aku tak punya nyali mengatakannya. Aku takut ini terlalu melukai hatinya. Aku takut itu beresiko pada jantungnya. Aku tidak siap kehilangan siapapun saat ini. Tidak Ara, tidak juga keluargaku.Aku makin terpuruk dalam tangis memeluknya, hingga kepalaku pening."Ma, bagaimana kabar Mami saat ini?" akhirnya, hanya itu saja yang berani kulepas keluar dari mulutku."Mami baik sayang, sanga
"... Kau ragu dengan apa yang ku lakukan di kantor ..."~ Ara ~Aku merasa Aru sedang mengawasiku dari tempat duduknya. Dia jadi berbeda sejak pergi begitu saja kemarin. Aku merasa dia lebih pendiam dan cuek dari biasanya, tapi aku tak mengambil pusing atas semua aksinya itu. Aku hanya terus bersikap normal, tak seperti ada yang salah. Aku juga bicara seperlunya.Mungkin Aru sedang protes padaku tentang sesatu yang tak ku tahu pasti tentang apanya. Aku malas ribut, jadi aku hanya bersikap biasa. Tak bertanya kenapa atau ada apa dengannya.Kami duduk dalam satu ruang, tapi tak satupun dari kami yang membuka suara untuk mengajak ngobrol. Aru sibuk dengan game-nya, dan aku sibuk dengan akun-akun sosmed ku dan pekerjaan."Hufff" Aru bangun dan meghentakkan nafas lelahnya.Aku sebatas meliriknya tanpa tanya."Something wrong with us, right?""N
"... Baginya aku hanya pengkhianat, tapi bagiku aku hanya realistis ..."~ Ara ~Raut Aru berubah tegas, shock, juga terluka menerima kalimat duriku."Ahh maksudku..., kau tak perlu cemas, apalagi cemburu dengan kegiatan kami selama di kantor. We never do anything bad. Kau paham maksudku, kan?""Ara, aku tidak menuduhmu apa-apa! Kau dan Bosmu dan apapun yang kalian lakukan di kantor. I'm not jealous that you may have relationship with your bos. Aku juga tidak ingin berpikir begitu!""Tapi kau berpikir begitu! Karena aku berkhianat sebelumnya. Dan itu bisa saja terjadi lagi, bukan?""OH GOD! Can you hear me first at least? Aku tidak cemburu karena itu, okay?! Aku cemburu karena akhir-akhir ini kau lebih sering menghabiskan waktu mu dengan bosmu ketimbang denganku!" katanya mengeluarkan statmen."Aku kesal karna itu, Ra. Buka
"... Jika kau bertanya hatiku, ia tak ingin kau menikah dengannya ... " ~ Aru ~ Hari-hari yang kulalui semakin hari semakin berat. Kecewa semakin lekat, amarah kian mendebat hebat, dan patah hati kian hari memberat. Aku hampir tidak lagi kuat berada di gelanggang panas yang membuatku terus-menerus gerah dan gersang ini. Aku terbakar tiap harinya, entah itu karena tingkah hening Ara, fokus ke pekerjaannya meningkat, atau saat fokus matanya hanya tertuju pada ponselnya. Sebab dalam praduga pikiranku, ketika dia memegang ponselnya itu dia tengah menjalin komunikasi dengan Ar-no. Dia terbukti melanggar perjanjian sederhana yang aku minta, untuk tidak membalas pesan Ar-no saat bersamaku dan itu jadi meracuni pikiranku saat dia memegang ponselnya. Aku lantas membalasnya dengan ikut melanggar janjiku untuk bersikap sopan dan baik padanya. Untuk menghadapi situasi
"... Mungkin karena cinta ini jumlahnya tak terhitung, jadi seperti debu ... " ~ Ara ~ Hari Ini, Di Dua Tahun Kemudian. Aku melakukan rutinitasku, bekerja. Tapi ada yang istimewa hari ini. Ini akan jadi dua hari terakhir ku bekerja disini, setelah hampir dua tahun lamanya. Itulah kenapa aku jadi agak sibuk hari ini. Banyak hal yang mesti dibereskan sebelum aku pergi keluar dan menghirup udara segarku dari hetiknya ruang kerja yang menyita banyak perhatianku selama ini. Aku kembali ke ruanganku. Duduk di kursi nyamanku lagi, setelah memberi laporan yang Bos minta. Sejenak aku mengecek ponselku, melihat jam dari sana, tapi aku malah disambut dengan notivikasi dari dua panggilan tak terjawab yang datang beberapa menit lalu dan itu merupakan nomor asing. "Ra, bisa kau bantu aku dengan ini?" minta
~ Ara ~ . . . ... Sepasang sesal ... Menepikanmu yang kurasa sanggupMeniadakanmu yang kurasa mampu Tapi bayangmu tak pernah jauh dari heningkuDan seluruh heningku tak pernah sepi darimu Jangan menyerah Karena kau masih memikatkuDan hatiku masih terpaut dekat denganmuSekalipun kau tak tahu itu benarSekalipun tak ku ucapkan dengan benar Kau tahu aku hanya berlagakKau tahu aku selalu malu berbicara cintaJadi bisakah sekali lagi kau menunggukuKuharap hatimu tak berubah padaku Sekalipun kini hanya berat yang tertinggal Dan benteng kuatku telah menemui lapukan terlemahnya berupa sesal. . . - Guilty on tuesdays - " Lyn Wen " . . I hope one day you'll come backAnd at least say hiWipe off the tears on my faceAnd give us a try, Cause I can tellYou're done with this leaving hell yeah...I can tellYou're done with what I do To keep me away from youTo keep me away from you, Every good moment has passedYou're still not hereCrying alone in my car seems to famil
"... Aku tak perlu berkorban lagi untukmu, karena kau telah bahagia ..." ~ Aru ~ . . Pernah aku terpenjara dalam jerat cinta, yang membawa arusku jadi seru dan semu, tapi aku jatuh juga dari ketinggian mencinta kedalam ulu hara, dalam perangkapnya kasih menjadi siksa. Karena itu, setelah badai tikai itu, aku memilih menutup diri. Memberinya kemerdekaan dalam hilangku. Dan kutangani sisa luka, konsekuensi dari berani mencintainya, sendiri. Tak kubiarkan orang tahu atas luka patah hatiku. Kusembunyikan kepatahan itu dari sekelilingku. Karena aku tak ingin membebankan perasaan luka yang kuterima pada orang lain, dan itulah kebijakanku. Meski itu tak mudah, aku berhasil membuatnya terlihat begitu. Serupa seperti tak berlinang air mata. Serupa hatiku tak retak karena terluka. Padahal diam-diam akupun menangis dalam sembunyiku. Di kamar mandi, atau dibilik kamar redup lampu. Lantas pura-pura tidur saat ada yang mendekat. Sebab aku tak punya alasan benar, menunjukkan pedihku pada mere
"... Biarkan hatimu menuntun maunya, tapi ijinkan takdir yang memutuskan jawabnya ... " ~ Ara ~ . . "Ara, aku bertemu dia. Kami bicara. Tentu aku melihat apa yang tak bisa kau lihat darinya, Ra" "ARU TAK BAIK, RA." "TIDAK. Dia harus baik-baik saja. Harus!" "Yah, tampaknya memang begitu" "Tampaknya?" "Mau menggeser sedikit saja persepsimu akan kebencian Aru padamu itu?" "Tak yakin!" "Bagaimana jika kepergiannya itu bukanlah atas dasar kebenciannnya? Mungkin saja itu sesuatu yang lain" "TIDAK. Itu harus benci. HARUS!" "Dan bagaimana jika yang kau lihat benci itu, mungkin, sebenarnya hanya bentuk lain dari luka? Mungkin itupun bentuk dari defensif Aru dalam melindungi hatinya. Bukan benci" "Kenapa begitu?" "Aru bisa saja menjadi brengsek waktu itu. Dia bisa merusak pernikahanmu sebelum takdir melakukannya. Tapi alih-alih begitu, dia malah memilih mundur. Menarik semua kedekatannya darimu tanpa menciptakan kegaduhan, Ra. Jadi Apa tindakan itu mencerminkan kebencian?" Aku m
"... Takdir memaksa kita mengerti dan menerima keadaan tak baik kita, meski kita tak ingin... " ~ Ara ~ . . - THE WEDDING - Aku baru selesai dirias dan Tasya masuk. "Woooh.. who's this gurl? So gorgeous!" "Thank you" Aku senang menerima pujian itu. Meski hatiku juga merasakan getir gelisah yang lain. "Bagaimana rasanya jadi mempelai?" "Nervous, I guess?" "Kurasa akupun akan begitu saat diposisiimu. Wajar, Ra. Itu gerogi yang baik" "Kuharap begitu. Tapi lebih dari itu. Aku sangat bahagia. Akhhirnya Sya... Akhirnya!" "Umh, I'm so happy for you too" Sudut mata kami mengeluarkan embun haru. Tasya lalu memelukku. "Okay-okay, ini hari bahagiamu dan aku tak ingin riasanmu rusak karena kebahagiaan ini" Kami menghapusnya. "U
"... Kau mungkin bahagia, tapi benarkah itu kebahagian yang ingin kau jalani ... "~ Ara ~.."Tasya?""Surprise!"Dia memelukku."Katamu besok?""Tidak jadi. Aku mempercepat segalanya""Masuklah!""So, how's your life Ara?""Seperti yang bisa kau lihat. Baik!""Kau menjawab persis seperti seseorang" gumamnya, "Kau sedang sibuk?""Tidak""Apa yang akan kita lakukan hari ini?""No shopping, karena kau pasti masih jetlag. And I'm not about going anywhere. Jadi kurasa kita hanya perlu disini saja""Good girl. Kau sangat memahamiku!""O-ya, kau jadi ketempat Zein?""Ya""Dia mengusirmu?""Tidak. Dia berubah menyenangkan""Uh, impresif. Kalian membicarakanku?""Sedikit. Oh, iya, kau mau minum apa?""Tak perlu repot. Aku bukan tamu istimewa""Aku k
"... Cinta itu telah berakhir ..."~ Aru ~.."Berjuang lebih keras, Aru!""Kau kira kenapa aku bertahan dalam sengsara itu jika bukan untuk berjuang?""Sudah Tasya! Aku mencoba segala yang kubisa. Dari memprovokasi cemburunya, memperbaiki emosiku, hingga bersikap manis padanya untuk mendapatkan lagi hatinya. Tapi Arnold yang selalu menang. Kau hanya tak tahu usahaku itu!"Dia termenung."Aku berupaya hingga tak punya cara lain lagi selain menyudahi keegoisanku untuk memilikinya seorang diri.""Huhf..." helanya."Aku pasti jadi psycho jika diposisimu. Kau harusnya gunakan emosi kesalmu itu untuk memukuli seseorang. Jangan diam saja dan malah lari!"Aku terhibur mendengarnya.Apa dia tak tahu aku memukul Ara waktu itu?"Kau pernah punya pikiran jahat? Seperti psycho?""Mungkin""Sungguh? SESAIKO APA?""Mungkin karen
"... Rasanya aku ingin membunuhnya saat melihatnya pamer bahagia, sedang aku menahan nyilu dan cemburu ..." ~ Aru ~ . . Aku terdampar dalam sebuah kemegahan asing dalam duniaku. Tapi ini bukan ilusi. Aku duduk merenung, menikmati nyaman yang belum pernah kunikmati begini sebelumnya. Membahagiakan. Aku menghirup aroma cappucinoku, sebelum mengecap bagaimana rasanya. Dan benar rasanya istimewa, seperti harganya yang bisa membuat dilema kepala orang biasa. Tapi disinilah aku kini, mengagumi soreku yang biasanya tak selalu indah. Tapi kini berubah begitu menawan dalam sekedip. Aku menyesap lagi gelas kopiku, sambil menunggu dengan santai seseorang yang telah membuat janji temu denganku. Dudukku mulai menyila, tapi bosan masih jauh dari pikiranku. Meskipun kini aku terkurung di lantai 122, diketinggian ratusan meter, dalam atmosfer megah restauran kelas dunia, di Burj Khalifa.
"... Itu pilihan, ingin menjadikannya ujian dalam cinta atau takdir dalam cintamu... "~ Ara ~ . . Kenapa aku sendiri masih terus ragu dengan apa yang Zein tuturkan barusan. "Ara, kau masih mencintainya, kan?" "Entah Zein!" "Apa kau tahu, ragu adalah bagian dari iya yang belum disetujui lewat kata""Yang kutahu, aku tidak kesini untuk membahas hal seperti itu" "Benarkah? Apa kau pikir hanya dengan modus mengembalikan ini, aku lantas percaya? Tidak Ara. Aku tak sebodoh itu!""Kau terlalu berlebihan Zein""Menyangkalnya membuat hatimu lebih baik?""Zein, Aru membenciku!""Maksudku dia masih membenciku, kan?" aku mencari defensif lain."Ya, benar. Dia membencimu hingga tak ingin lagi melihatmu. Hingga ingin menguburmu. Hingga ingin menghilang darimu. Dan itu benar, dia membencimu"Hatiku terluka mende
"... Mengapa orang lain bisa melihat cintaku dengan jelas, tapi aku tidak ... "~ Ara ~ . . Ada banyak hal yang ingin kusampaikan saat berada dalam masa perenungan lalu. Karena kehilangan Aru membuatku tak seimbangan. Tapi setiap kali menatap wajah penuh lukanya, akupun kehilangan cara untuk membela diri dari kekacauan yang kubuat sendiri. Kalimatku lenyap, bibirku terbungkam. Aku tak bisa menyanggah kalimat penuh lukanya karenaku. Dan karena itu, yang terlintas hanya perasaan sesalku, jadi alih-alih membela diri, aku lebih ingin meminta maaf.Tapi Aru selalu tak ingin mendengarnya. Dia tak ingin mendengarnya, seberapapun aku merasa bersalah padanya.Tapi menyumpahiku gagal menikah adalah hal yang paling tak bisa kuterima. Dan itu sangat melukai hati terdalamku.Begitulah aku menyerah pada akhirnya. Karena mungkin dengan membiarkannya pergi, itu menghinda