"... Baginya aku hanya pengkhianat, tapi bagiku aku hanya realistis ..."
~ Ara ~
Raut Aru berubah tegas, shock, juga terluka menerima kalimat duriku.
"Ahh maksudku..., kau tak perlu cemas, apalagi cemburu dengan kegiatan kami selama di kantor. We never do anything bad. Kau paham maksudku, kan?"
"Ara, aku tidak menuduhmu apa-apa! Kau dan Bosmu dan apapun yang kalian lakukan di kantor. I'm not jealous that you may have relationship with your bos. Aku juga tidak ingin berpikir begitu!"
"Tapi kau berpikir begitu! Karena aku berkhianat sebelumnya. Dan itu bisa saja terjadi lagi, bukan?"
"OH GOD! Can you hear me first at least? Aku tidak cemburu karena itu, okay?! Aku cemburu karena akhir-akhir ini kau lebih sering menghabiskan waktu mu dengan bosmu ketimbang denganku!" katanya mengeluarkan statmen.
"Aku kesal karna itu, Ra. Buka
"... Jika kau bertanya hatiku, ia tak ingin kau menikah dengannya ... " ~ Aru ~ Hari-hari yang kulalui semakin hari semakin berat. Kecewa semakin lekat, amarah kian mendebat hebat, dan patah hati kian hari memberat. Aku hampir tidak lagi kuat berada di gelanggang panas yang membuatku terus-menerus gerah dan gersang ini. Aku terbakar tiap harinya, entah itu karena tingkah hening Ara, fokus ke pekerjaannya meningkat, atau saat fokus matanya hanya tertuju pada ponselnya. Sebab dalam praduga pikiranku, ketika dia memegang ponselnya itu dia tengah menjalin komunikasi dengan Ar-no. Dia terbukti melanggar perjanjian sederhana yang aku minta, untuk tidak membalas pesan Ar-no saat bersamaku dan itu jadi meracuni pikiranku saat dia memegang ponselnya. Aku lantas membalasnya dengan ikut melanggar janjiku untuk bersikap sopan dan baik padanya. Untuk menghadapi situasi
"... Mungkin karena cinta ini jumlahnya tak terhitung, jadi seperti debu ... " ~ Ara ~ Hari Ini, Di Dua Tahun Kemudian. Aku melakukan rutinitasku, bekerja. Tapi ada yang istimewa hari ini. Ini akan jadi dua hari terakhir ku bekerja disini, setelah hampir dua tahun lamanya. Itulah kenapa aku jadi agak sibuk hari ini. Banyak hal yang mesti dibereskan sebelum aku pergi keluar dan menghirup udara segarku dari hetiknya ruang kerja yang menyita banyak perhatianku selama ini. Aku kembali ke ruanganku. Duduk di kursi nyamanku lagi, setelah memberi laporan yang Bos minta. Sejenak aku mengecek ponselku, melihat jam dari sana, tapi aku malah disambut dengan notivikasi dari dua panggilan tak terjawab yang datang beberapa menit lalu dan itu merupakan nomor asing. "Ra, bisa kau bantu aku dengan ini?" minta
"... Kami jadi manusia asing lagi setelah tahunan dingin, beku bagai gunung es ... "~ Ara ~"Hallooo..." aku menerimanya cepat, merasa jika itu panggilan penting.Sekalipun jika itu tidak penting aku akan menerimanya, karena selama ini aku memang membiarkan banyak nomer asing dengan mudah menghubungiku.Berharap dari banyaknya nomer asing itu akan ada satu panggilan yang selalu ku tunggu, menyapaku kembali meski hanya sekedar 'hai' yang bisa diucapkannya."Hallooow...??" sekali lagi aku menyapa dengan ramah siapapun orang diujung sana, yang masih diam tak menyahut."Hei..., dari Mas Bos nih. Spesial katanya" ujar teman kerjaku sambil meletakkan semangkuk bakso favoritku."Makasih""Ohh, makasihnya sampaikan sendiri saja yah. Aku bukan kurir cinta"Aku tersenyum geli mendengarnya."Okay, baiklah""Oh ya, boleh ku pinj
"... Jangan tanya kabarku bagaimana, itu berat untuk dijawab ... " ~ Aru ~ 'Apa itu anakmu??' Kau akhirnya menemukan kebahagiaan mu juga tanpa ku, kan Ra? Aku tahu itu. Aku tahu itu tak akan pernah terlalu sulit bagimu. Tak pernah sulit bagimu, seperti berada diposisi orang-orang dengan hati yang tersakiti sepertiku. "Semacam...??" "Semacam perpisahan ulang!" "Kenapa? Kau masih menghindariku?" "Tidak tahu! Mungkin ..." Aku menarik nafas berat dan menghembusnya cepat. "Mungkin karena, kau membuatku benci dengan kota indah ini" Aku tahu kalimatku memberi efek berat baginya juga. Dia jadi terdiam, mungkin menyesal telah bertanya begitu. Tapi aku berharap dia tidak akan mengucapkan kata maafnya lagi. Semoga ia mengingat dengan baik, dua hal yang kularang untuk diucapkannya padaku. Sayangnya, lirih dia mengucapkan k
"...Maaf adalah kata yang mewakili semua perasaanku padamu... "~ Ara ~"Kau... apa kau ...""Katakan saja, Ru!""Apa.... Kau bahagia?"Itukah yang membuatnya merasa berat? Kebahagiaan ku?! Apa kau merasa harus bertanggung jawab atas kebahagiaanku? Kau merasa terbebani jika aku berlarut dalam kesedihan itu atau bagaimana?Tapi aku tidak ingin kau merasa buruk karena merasa terbebani dengan itu."Mhhh...ya. Ya, aku... aku bahagia. Aku bahagia dengan apa yang kujalani kini""That's great!"Rasa aneh menyelinap. Getar suara Aru tidak terdengar baik. Seperti ada radiasi gemuruh yang hendak menyapa. Hawa ini seperti, hawa tenang sebelum badai."Good for you, Ra. Good for you!"Kalimatnya juga terasa aneh didengar.But, "Thanks"mungkin itu hanya dugaan ku saja, bukan sebuah isyarat.Mungkin
"... Ingatan itu seperti pintu ajaib, berhenti dan maju kemanasaja ... " ~ Aru ~ . . - Beberapa jam sebelum menelpon Ara - Aku terbangun dari lamunan singkatku, saat tiba-tiba dan seketika saja arus pikiranku terbawa mengingat ulang satu wajah yang berusaha aku singkirkan selama beberapa tahun ini, karena dia jadi punya dampak mengganggu bagiku, kini. Ya, sejak pertengkaran berat itu. Aku memutuskan untuk sepenuhnya menjauh dari Ara. Aku berjuang keras membunuh setiap rindu yang datang karenanya. Karena sejak itu aku sadar sepenuhnya jika semua hidupku dengannya hanyalah tersisa luka dan luka. Ara tak bisa menunjukkan ucapannya dengan tindakan serius. Dia hanya terus berusaha menahanku tapi tak pernah bisa mengeksekusi dengan tindakan nyata. Sebab itu aku membencinya setengah mati. Membuang namanya jauh-jauh. Tapi kena
"... Mungkin, kacamata cinta kami yang tak serupa hingga berselisih pham... "~ Aru ~"Kenapa? Kenapa sekarang kau tiba-tiba menanyakannya lagi? Ini perasaanmu lagi, atau masih tentang sakit hatimu? AHH... Kau ingin menuntutnya, ya? KAU INGIN BALAS DENDAM??!""Hey... hey, calm down bro! Aku hanya ingin bertanya hardisk ku. Sepertinya masih di tempatnya waktu itu""Jadi kau menanyakan nomernya hanya untuk mengambil hardisk, begitu?""Yep!""HECKKK NO! Kau pikir aku akan percaya BUALANMU, huh? Kau bisa beli yang baru klo soal itu, bruh!!""Aku tak bisa membeli file didalamnya!""Pertanyaannya, kenapa baru sekarang kau mencarinya? Setelah dua tahun??? Dan kau akan muncul begitu saja hanya untuk bertanya pada Ara 'hei Ra, kau masih menyimpan hardiskku?' BEGITU? HECK NO ARU!! AKU MENGENALMU!""Tapi aku memang perlu itu sekarang" "
"... Segalanya tak akan sama tanpanya ... "~ Aru ~..- FLASHBACK -Ara kembali memberikan sinyal ketidak jeslasannya lagi. Kadang dia manja lalu berubah menyebalkan. Kadang dia ingin ditemani tapi kemudian ingin aku pergi.Kadang dia manis lalu selanjutnya sifat manisnya itu melumer jadi tangis karena perdebatan kami berulang lagi. Aku bingung dengannya, mungkin dia juga sama bingungnya denganku. Kita jadi sangat membingungkan satu sama lain."Ru...?" panggil Ara memecah lamunku.Dia terlihat ingin mengutarakan sesuatu siang itu, tapi terus merasa ragu-ragu."Apa?""Amhh, tidak jadi. Bukan apa-apa kok, hanya ingin memanggil kamu saja"Dia urung mengutarakan niatnya setelah mengamatiku. Dari situ aku curiga dan bisa menebak jika mungkin saja dia ingin menjawabku saat itu. Tapi entah kenapa malah merasa ragu dan menundanya. Mngkin dia hanya
~ Ara ~ . . . ... Sepasang sesal ... Menepikanmu yang kurasa sanggupMeniadakanmu yang kurasa mampu Tapi bayangmu tak pernah jauh dari heningkuDan seluruh heningku tak pernah sepi darimu Jangan menyerah Karena kau masih memikatkuDan hatiku masih terpaut dekat denganmuSekalipun kau tak tahu itu benarSekalipun tak ku ucapkan dengan benar Kau tahu aku hanya berlagakKau tahu aku selalu malu berbicara cintaJadi bisakah sekali lagi kau menunggukuKuharap hatimu tak berubah padaku Sekalipun kini hanya berat yang tertinggal Dan benteng kuatku telah menemui lapukan terlemahnya berupa sesal. . . - Guilty on tuesdays - " Lyn Wen " . . I hope one day you'll come backAnd at least say hiWipe off the tears on my faceAnd give us a try, Cause I can tellYou're done with this leaving hell yeah...I can tellYou're done with what I do To keep me away from youTo keep me away from you, Every good moment has passedYou're still not hereCrying alone in my car seems to famil
"... Aku tak perlu berkorban lagi untukmu, karena kau telah bahagia ..." ~ Aru ~ . . Pernah aku terpenjara dalam jerat cinta, yang membawa arusku jadi seru dan semu, tapi aku jatuh juga dari ketinggian mencinta kedalam ulu hara, dalam perangkapnya kasih menjadi siksa. Karena itu, setelah badai tikai itu, aku memilih menutup diri. Memberinya kemerdekaan dalam hilangku. Dan kutangani sisa luka, konsekuensi dari berani mencintainya, sendiri. Tak kubiarkan orang tahu atas luka patah hatiku. Kusembunyikan kepatahan itu dari sekelilingku. Karena aku tak ingin membebankan perasaan luka yang kuterima pada orang lain, dan itulah kebijakanku. Meski itu tak mudah, aku berhasil membuatnya terlihat begitu. Serupa seperti tak berlinang air mata. Serupa hatiku tak retak karena terluka. Padahal diam-diam akupun menangis dalam sembunyiku. Di kamar mandi, atau dibilik kamar redup lampu. Lantas pura-pura tidur saat ada yang mendekat. Sebab aku tak punya alasan benar, menunjukkan pedihku pada mere
"... Biarkan hatimu menuntun maunya, tapi ijinkan takdir yang memutuskan jawabnya ... " ~ Ara ~ . . "Ara, aku bertemu dia. Kami bicara. Tentu aku melihat apa yang tak bisa kau lihat darinya, Ra" "ARU TAK BAIK, RA." "TIDAK. Dia harus baik-baik saja. Harus!" "Yah, tampaknya memang begitu" "Tampaknya?" "Mau menggeser sedikit saja persepsimu akan kebencian Aru padamu itu?" "Tak yakin!" "Bagaimana jika kepergiannya itu bukanlah atas dasar kebenciannnya? Mungkin saja itu sesuatu yang lain" "TIDAK. Itu harus benci. HARUS!" "Dan bagaimana jika yang kau lihat benci itu, mungkin, sebenarnya hanya bentuk lain dari luka? Mungkin itupun bentuk dari defensif Aru dalam melindungi hatinya. Bukan benci" "Kenapa begitu?" "Aru bisa saja menjadi brengsek waktu itu. Dia bisa merusak pernikahanmu sebelum takdir melakukannya. Tapi alih-alih begitu, dia malah memilih mundur. Menarik semua kedekatannya darimu tanpa menciptakan kegaduhan, Ra. Jadi Apa tindakan itu mencerminkan kebencian?" Aku m
"... Takdir memaksa kita mengerti dan menerima keadaan tak baik kita, meski kita tak ingin... " ~ Ara ~ . . - THE WEDDING - Aku baru selesai dirias dan Tasya masuk. "Woooh.. who's this gurl? So gorgeous!" "Thank you" Aku senang menerima pujian itu. Meski hatiku juga merasakan getir gelisah yang lain. "Bagaimana rasanya jadi mempelai?" "Nervous, I guess?" "Kurasa akupun akan begitu saat diposisiimu. Wajar, Ra. Itu gerogi yang baik" "Kuharap begitu. Tapi lebih dari itu. Aku sangat bahagia. Akhhirnya Sya... Akhirnya!" "Umh, I'm so happy for you too" Sudut mata kami mengeluarkan embun haru. Tasya lalu memelukku. "Okay-okay, ini hari bahagiamu dan aku tak ingin riasanmu rusak karena kebahagiaan ini" Kami menghapusnya. "U
"... Kau mungkin bahagia, tapi benarkah itu kebahagian yang ingin kau jalani ... "~ Ara ~.."Tasya?""Surprise!"Dia memelukku."Katamu besok?""Tidak jadi. Aku mempercepat segalanya""Masuklah!""So, how's your life Ara?""Seperti yang bisa kau lihat. Baik!""Kau menjawab persis seperti seseorang" gumamnya, "Kau sedang sibuk?""Tidak""Apa yang akan kita lakukan hari ini?""No shopping, karena kau pasti masih jetlag. And I'm not about going anywhere. Jadi kurasa kita hanya perlu disini saja""Good girl. Kau sangat memahamiku!""O-ya, kau jadi ketempat Zein?""Ya""Dia mengusirmu?""Tidak. Dia berubah menyenangkan""Uh, impresif. Kalian membicarakanku?""Sedikit. Oh, iya, kau mau minum apa?""Tak perlu repot. Aku bukan tamu istimewa""Aku k
"... Cinta itu telah berakhir ..."~ Aru ~.."Berjuang lebih keras, Aru!""Kau kira kenapa aku bertahan dalam sengsara itu jika bukan untuk berjuang?""Sudah Tasya! Aku mencoba segala yang kubisa. Dari memprovokasi cemburunya, memperbaiki emosiku, hingga bersikap manis padanya untuk mendapatkan lagi hatinya. Tapi Arnold yang selalu menang. Kau hanya tak tahu usahaku itu!"Dia termenung."Aku berupaya hingga tak punya cara lain lagi selain menyudahi keegoisanku untuk memilikinya seorang diri.""Huhf..." helanya."Aku pasti jadi psycho jika diposisimu. Kau harusnya gunakan emosi kesalmu itu untuk memukuli seseorang. Jangan diam saja dan malah lari!"Aku terhibur mendengarnya.Apa dia tak tahu aku memukul Ara waktu itu?"Kau pernah punya pikiran jahat? Seperti psycho?""Mungkin""Sungguh? SESAIKO APA?""Mungkin karen
"... Rasanya aku ingin membunuhnya saat melihatnya pamer bahagia, sedang aku menahan nyilu dan cemburu ..." ~ Aru ~ . . Aku terdampar dalam sebuah kemegahan asing dalam duniaku. Tapi ini bukan ilusi. Aku duduk merenung, menikmati nyaman yang belum pernah kunikmati begini sebelumnya. Membahagiakan. Aku menghirup aroma cappucinoku, sebelum mengecap bagaimana rasanya. Dan benar rasanya istimewa, seperti harganya yang bisa membuat dilema kepala orang biasa. Tapi disinilah aku kini, mengagumi soreku yang biasanya tak selalu indah. Tapi kini berubah begitu menawan dalam sekedip. Aku menyesap lagi gelas kopiku, sambil menunggu dengan santai seseorang yang telah membuat janji temu denganku. Dudukku mulai menyila, tapi bosan masih jauh dari pikiranku. Meskipun kini aku terkurung di lantai 122, diketinggian ratusan meter, dalam atmosfer megah restauran kelas dunia, di Burj Khalifa.
"... Itu pilihan, ingin menjadikannya ujian dalam cinta atau takdir dalam cintamu... "~ Ara ~ . . Kenapa aku sendiri masih terus ragu dengan apa yang Zein tuturkan barusan. "Ara, kau masih mencintainya, kan?" "Entah Zein!" "Apa kau tahu, ragu adalah bagian dari iya yang belum disetujui lewat kata""Yang kutahu, aku tidak kesini untuk membahas hal seperti itu" "Benarkah? Apa kau pikir hanya dengan modus mengembalikan ini, aku lantas percaya? Tidak Ara. Aku tak sebodoh itu!""Kau terlalu berlebihan Zein""Menyangkalnya membuat hatimu lebih baik?""Zein, Aru membenciku!""Maksudku dia masih membenciku, kan?" aku mencari defensif lain."Ya, benar. Dia membencimu hingga tak ingin lagi melihatmu. Hingga ingin menguburmu. Hingga ingin menghilang darimu. Dan itu benar, dia membencimu"Hatiku terluka mende
"... Mengapa orang lain bisa melihat cintaku dengan jelas, tapi aku tidak ... "~ Ara ~ . . Ada banyak hal yang ingin kusampaikan saat berada dalam masa perenungan lalu. Karena kehilangan Aru membuatku tak seimbangan. Tapi setiap kali menatap wajah penuh lukanya, akupun kehilangan cara untuk membela diri dari kekacauan yang kubuat sendiri. Kalimatku lenyap, bibirku terbungkam. Aku tak bisa menyanggah kalimat penuh lukanya karenaku. Dan karena itu, yang terlintas hanya perasaan sesalku, jadi alih-alih membela diri, aku lebih ingin meminta maaf.Tapi Aru selalu tak ingin mendengarnya. Dia tak ingin mendengarnya, seberapapun aku merasa bersalah padanya.Tapi menyumpahiku gagal menikah adalah hal yang paling tak bisa kuterima. Dan itu sangat melukai hati terdalamku.Begitulah aku menyerah pada akhirnya. Karena mungkin dengan membiarkannya pergi, itu menghinda