~ Aru ~
Tasya menemuiku tepat saat jam kerja siangku berakhir. Jadi kami memutuskan untuk mengobrol sambil makan siang bareng."Jadi bagaimana kerjaan mu di KL? Kau sudah merasa betah dan nyaman?"
"Mmhh, not bad. Aku menikmati semua proses ini. Kau tidak rindu pulang?"
"Pengennya sih, tai belum nemu waktu yang tepat kapannya. Maybe later"
"Kau tidak perlu mencari waktu yang tepat. Semua waktu tepat. Kau tinggal pulang saja. It's easy, Aru"
"Aku hanya beralasan, okay?"
"Dan sayangnya, aku tahu kau hanya mencari alasan dengan menjawab ku begitu"
Ada jeda untuk memberi waktu kami menikmati makan siang ini.
"So, kenapa kau mencariku sampai sini? Kau bisa menungguku di rumah"
"Sayangnya aku tak punya waktu menunggu mu pulang"
"Kau sudah harus balik ke Kuala Lumpur lagi? Kau baru saja datang beberapa hari lalu?" aku menyuapiku sesuap, "Ohh, kau jadi sibuk sekarang?"
"Ya, sayangnya begitu" Tasya mengambil gelas minumnya, "Aku ketempat Zein tadi sebelum kemari"
"Tumben banget. Kalian tidak akrab. Kenapa menemuinya?"
"Kami akrab karena kalian" Tasya mengamatiku sejenak,
"Menurutmu kenapa aku menemuinya?" dia malah melempar tanya.
Aku hanya mengangkat bahu. Tidak tahu alasan pastinya, tpi tetap menabak.
"Itu pasti soal laptop. Apalagi memang? Oh, wait! Apa dia tidak di apartemen? Lalu kau menemuiku sebagai gantinya?"
Tasya tersenyum simpul. Merasa lucu.
"Lalu, menurut mu kenapa aku harus sampai menemuimu?"
"Itu yang menjadi pertanyaan ku juga. Kenapa kau repot-repot menemuiku kemari. Itu pasti sesuatu yang penting, bukan? Jika tidak, kau tentu tak akan menyusulku sampai ke tempat kerjaku segala, bukan?"
"Bukankah aku juga perlu berpamitan dengan mu sebelum aku pergi? Karena kita berteman dan tinggal serumah?!"
"Such a nice friend, yoo"
"Yes, I am"
"Heh, kau biasanya cuma titip pesan ke Ara atau kirim text ke aku"
Aku menyendok makananku.
"Mungkin, karena temanku bersama mu dan aku tak bisa mengawasinya dari dekat" ujarnya basa-basi.
"Hey, she save with me. Don't worry that much" aku menimpali.
"Oh yah?? Setelah kejadian kemarin, aku merasa dia tidak lagi aman bersama mu" ucapannya semakin menajam,
"Kau tidak tahu apa yang terjadi dengan sahabatku sebenarnya, bukan?" tambahnya memberikan sindiran.
Aku berhenti mengunyah sejenak karena perkataan Tasya barusan terasa mulai menemukan arah muaranya.
"Yah, aku akui aku salah. I lost my mind, a bit"
"A bit? A lot, Aru! You lost your mind every time, entah itu karena cemburumu atau rasa sakit dalam hatimu. I guess, it must be both" nadanya masih santai tapi menohok tanpa simpati.
"Klo kau sudah tahu kenapa bertanya?"
"Jadi bagaimana sekarang? Jika itu karena rasa sakit mu itu, apa kau sudah membaik atau kau masih merasa sakit?"
Aku tersenyum apatis. Merasa pembicaraan ini berubah rupa seperti dalam ruang sidang yang menegangkan dan tak menentu arah bcaranya. Kadang baik, kadang juga menajam.
"Kenapa kau ingin tahu? Kau ingin mengobati lukaku?"
"Hei, mana mungkin aku bisa. Aku bukan obat untukmu, Ru. Sekalipun bagi temanku mungkin iya" dia memberikan kesan santai pada jawabnya kini.
"Kau tahu apa? I felt like..., you both are the main character of this lovesick drama live" ujar Tasya mengomentari kehidupan cintaku dengan Ara.
Aku tergelitik mendengarnya. Mungkin Tasya benar. Ini menggelikan bagi sebagian orang untuk dilihat atau justru memuakkan untuk dinikmati terus-menerus dari sudut mereka memandang, tapi tidak bagi kami yang menjalaninya dengan rasa cinta.
"Yah, aku tahu. Maksudku teman mu membuat ini semua ... looked like... so.. so... dramatic, right?" kataku menghibur diri sendiri juga.
"Aru dengarkan ini bak-baik!" Tasya meminta semua fokusku untuk mendengarkannya berujar,
"Ara begitu tak terduga, Ru. Kadang dia bersikap membingungkan, kadang dia plin-plan, dan kadang dia memang sulit dimengerti dan juga menguras energi juga emosi. Itu benar. Jadi kapan semua drama ini akan berakhir, Ru?" Tasya berhasil menghentikan senyumku dan menggantinya dengan getir.
"Hah?" aku mempertanyakan dengan santai maksud dari arah pembicaraan Tasya yang mulai terasa memberat ini.
Benar dugaanku bukan? Ini pasti sesuatu yang tidak bisa dibahas lewat pesan ataupun didiskusikan dengan sebuah panggilan, melainkan harus didiskusikan dengan tatap muka secara langsung. Itulah kenapa dia mememuiku. Ini pasti sesuatu yang penting.
Tasya meletakkan sendoknya. Menyatukan tangannya didepan muka dan menjadikannya sebagai tumpuan untuk menopang dagunya. Tatapannya serius memandangku.
"Kapan semua penderitaan ini akan berakhir, Aru? Dan aku bisa melihat ending dari drama sedih kalian ini?"
"Kenapa kau bertanya padaku?" aku memberi jeda dan balas menatapnya balik, "Apa kau juga sudah bertanya pada sahabatmu, tentang ending seperti apa yang dia mau?"
Tasya menggeleng.
"Klo begitu ini artinya kau sedang menekanku, bukan?" aku tersenyum dan mengambil sendokku lagi,
"Aku juga berharap, aku punya jawaban untuk pertanyaan mu ini. Aku juga sama seperti mu, ingin melihat ending-nya dengan lebih jelas" jawabku sesantai mungkin, berusaha tidak menunjukkan jika aku teritimidasi dengan ucapan Tasya barusan.
"Apa semua ini masih tidak cukup jelas juga bagimu, Ru?"
"Apa menurutmu semua ini cukup jelas? Dia mencintaiku, aku mencintainya, tapi dia membawa orang lain masuk dalam cinta kami. Mengikatnya dengan lebih berani. MEMBINGUNGKAN. Itu cukup membinungkan bagiku, kau tahu!"
"Tidak, Ru! Itu justru namanya sebuah kejelasan yang paling jelas. Bagiku itu tidak membingungkan sama sekali, melainkan inilah sinyal yang paling jelas. Sebuah tanda untuk kekalahanmu"
Aku melepas sendokku, tak berselera menyuapi diriku dengan makanan itu. Sebagai gantinya aku meneguk minum ku untuk membasahi tenggorokan.
Aku tidak bisa menjawab apa-apa, selain hanya diam. Diam menahan semua perasaan pahit yang coba dia utarakan.
"Yah, apapun itu aku selalu berharap itu adalah untuk kebaikan kalian berdua. Oh tidak, maksudku untuk kebaikan kalian bertiga. I mean like happy ending"
"I hope it like you do"
Tasya mengangkat kembali minumnya.
"Cheers for the happy ending" dia meminumnya, bahkan tanpa ku ikuti.
"Tapi kau tahukan? Happy ending selalu harus melewati banyak drama, konflik, keputusan-keputusan sulit dan barulah akhirnya kau bisa melihat ending yang bahagia" aku menanggapi pikirannya dengan santai, sambil masih menikmati semua makanan dihadapanku.
"Jadi maksudmu, jalan kaliian itu harus rumit dulu, barulah bisa menemukan yang namanya happy ending, begitu?"
"Mungkin, seperti itulah jalannya menuju bahagia" aku menyimpulkan,
"Lalu menurutmu, apa kau bahagia dengan Ara?" tanyanya sarkatis.
"Kau tercekik setiap waktu, iyakan Ru? Kau selalu merasa tersakiti bahkan saat Ara hanya mengobrol dengan..."
"Jangan sebut namanya lagi didepanku!" mintaku tegas, seperti pendendam.
"Kau lihat ini juga kan, Ru? Kau bahkan merasa tersiksa hingga aku tidak boleh menyebut namanya. Kau tidak bahagia dengan semua ini, benar bukan?"
"Mhhh, kau benar aku tidak bahagia belakangan ini. Beberapa bulan ini, malah. Karena semua yang ku dapati kini, hanya luka, luka, dan luka. Luka ku yang kian bertambah setiap waktunya, tapi itu bukan berarti aku tidak bahagia bersama Ara. Aku hanya tidak bahagia karena hadirnya orang ketiga. Dan kurasa itu jelas berbeda, Sya"
"Lalu apa menurutmu Ara yang terbaik untukmu?"
Aku terdiam lagi. Memandang hampa pada piring, sendok, dan makanan yang berada dihadapanku.
Aku tahu, Tasya sedang berusaha mengurung dan menekan ku dengan pertanyaan-nya itu. Lalu saat aku menjawab dengan tepat seperti kalimat jebakannya, dia akan mengejarku lagi dengan tanya maupun pernyataan susulannya. Hingga aku benar-benar kalah ataupun mengalah dengan sendirinya. Jadi aku hanya perlu waspada dalam mengeluarkan jawaban. Jangan sampai terjebak atau masuk dalam perangkapnya, lalu aku bisa keluar dari sudut-sudut ucapannya.
Tapi walau bagaimanapun aku suka pembicaraan yang terbuka seperti ini. Setidaknya aku mendapatkan itu dari teman Ara. Maksudku karena Ara tertutup dan menutup diri dari pembicaraan-pembicaraan terbuka seperti ini padaku, walau dulunya tidak seperti ini juga. Dia sangat terbuka padaku, tadinya. Dia berbagi cerita apa saja padaku. Hampir tidak ada rahasia diantara kita, tapi sekarang tidak sama lagi. Ara lebih banyak diam dan memendam semua masalahnya sendiri.
Mungkin dia melakukannya karena selalu melihat efek samping yang terjadi setelah berusaha terbuka padaku. Aku malah jadi marah dan semakin cemburu tak beralasan padanya. Posesifku makin meninggi dan dia jadi merasa terkekang juga terbebani karena sikapku itu. Karena itu, mungkin dia jadi merasa lebih aman menyimpan masalahnya sendiri tanpa bercerita padaku.
Tapi pertanyaan Tasya barusan itu, seperti menyadarkanku dari koma. Pertanyaan itu, akhirnya juga jadi tanya untuk diriku sendiri juga.
'Apa dia yang terbaik untuk ku? Hingga aku tak bisa melepasnya? Hingga aku mati-matian mempertahankannya?'
Aku melepas nafas berat ku lewat mulut.
"I'm not sure about that"
Tasya memfokuskan diri padaku lagi. Berusaha menyimak ku dengan baik.
"Semakin aku mengenalnya serasa dia makin jauh untuk bisa dikenali. Semakin aku memahaminya semakin semua ini tak bisa terpahami ...." keluhku padanya, mengadukan perasaan yang tak bisa ku mengerti juga dari sisiku melihat semua kondisi ini.
"Ya, memang aku mengakui, dulu aku merasa Ara sempurna untuk melengkapi banyak kekurangan dalam hidupku. Apapun perbedaan diantara kami, kita selalu merasa lengkap dan saling bisa memahami dengan begitu baik ...." kenangku mengingat-ingat masa lalu.
"Kita bahkan merasa, jika kami ini seperti medan magnet yang saling tarik menarik dengan kutub-kutub kita yang berbeda. Seperti juga pedal sepeda yang walaupun ketinggiannya berbeda tapi tetap serasi bisa menggerakkan roda itu dengan perpaduan geraknya. Aku merasa, aku dan dia sangat hebat waktu itu. Bahkan dalam pandanganku, semua perbedaan yang ada diantara kami itupun merupakan sebuah keserasian yang fungsinya untuk saling mengisi dan makin melengkapi kami berdua" aku tersenyum senang mengingatnya. Tapi kemudian tersenyum pahit melihat kenyataan yang tidak lagi seperti itu.
"Ironisnya, semua pandangan itu memudar dengan sendirinya saat ini. Magnet itu mulai kehilangan medan tariknya, pedal itu mulai rapuh daya kayuhnya. Dan yang ada hanya lelah memahami semua yang tak terpahami"
Aku melihat Tasya yang kini menatapku simpatik karena aku jadi lemah dan rapuh menyadari perubahan ini. Aku membiarkannya, membiarkan Tasya melihat ku dengan kasihan, tapi bukan untuk dikasihani.
"Sepertinya Ara memang bukan yang terbaik untuk ku. Tapi, itu semua hanya dugaan kosong dari dalam diriku. Aku tidak bisa memberikan penilaian ku dengan tepat tentang itu, Sya" Tasya jadi menatapku lebih tajam karena bingung dengan ucapanku barusan.
"Aku tidak bisa menilai pendapat ku sendiri. Apakah itu benar atau tidak. Itu semua hanya berasal dari perasaanku. Perasaanku yang terluka, perasaanku saat dicampakkan, perasaanku yang kesepian. Semuanya berasal dari perasaan satu arus saja, karena aku tak punya pilihan lain untuk dirasakan"
"Maksud kamu?"
Aku menyeruput minumanku sebelum kembali menjawab pertanyaan Tasya yang kini justru memusingkannya.
"Ara mungkin bisa menilaiku, apa aku baik untuknya atau tidak. Karena dia punya pilihan lain untuk dijadikan bahan pertimbangan. Sebab dia punya pilihan untuk dibandingkan. Tapi aku? Kau tahukan jika aku hanya punya dia sepanjang waktuku. Aku tidak punya pilihan lain. Jadi hanyalah dia pilihan ku satu-satunya"
"Hopeless vibe. You're so pathetic, Ru" ujarnya sambil geleng-geleng kepala,
"Jadi apa kau akan menyerah kini?" lanjutnya menyandra pikiranku dalam tekanannya.
Aku tersenyum karena menemukan kebenaran dari dugaanku tadi akannya. Jika ini semacam interogasi yang akan menjebakku atau menggiringku dalam penyataan kalah atau mengalah.
"I'm not sure. Cinta kadang mendorong kita ketempat terlemah kita, hingga kita tak bisa bergerak kemana-mana kecuali untuk hanya sekedar tinggal"
Tasya tersenyum, mengejek pendapatku.
"Tapi Aru, cinta kadang juga bisa mendorong kita ketempat terkuat kita, hingga kita bisa berontak dan keluar dari tekanan juga kegelapan terdalam atas kesengsaraan cinta yang kita rasa, untuk sekedar mempertahankan hatimu sendiri dari kelapukan dan kerapuhan.
"Truth!" ujarku menanggapi.
Tapi, kurasa aku hanya masih terlalu lemah untuk melakukan pemberontakan rasa pada Ara. Ini masih terlalu dalam.
Kami menyendok lagi makananan kami. Memberikan waktu untuk merenung dan memahami keadaan yang tidak mudah ini. Sekalipun orang-orang beranggapan ini mudah. Cukup tinggalkan dia, dan semua masalahmu akan selesai dengan sendirinya. Tentu saja tidak akan pernah semudah itu dalam pikiranku juga Ara, semua ini tidak semudah itu juga. Meninggalkan salah satu dari kami, bukanlah solusi. Itu kehancuran.
"Kau sendiri, bagaimana hubungan mu dengan Doni? Apa semua baik-baik saja?" aku mencoba berpindah topik.
"Yah, semua hubungan sama saja. Selalu ada ujiannya"
"Apa itu artinya kau sedang mengadapi masa sulit dengannya juga?"
"LDR? Yah. Masalah kami masih sebatas itu. Aku beruntung ini tidak seburuk masalahmu. Setidaknya karena kami bukan pencipta drama, mungkin" candanya, masih tetap saja menyindir.
"Ohh, justru itulah titik awal, akar dari permasalahan ini semua, Sya"
"Kau berusaha menakut-nakuti ku?"
"TIDAK! Tapi kurasa memang itulah faktanya. Semua ini berawal dari jarak, lalu kesepian, lantas hadir orang lain yang mengisi, lantas merasa cocok dan semua terjadi begitu saja, begitu lembut. Hingga tahu-tahu aliran masalahannya semakin menderas. Lalu yang ada hanya kita yang saling melukai dan menuduh salah. 'Ini karenamu, karenamu dan karena mu' Ego meninggi. Kedamaian cinta menghilang, perdebatan lebih sering terjadi. Keruh yang hanya bisa dilihat, hingga kau tak bisa mengendalikan dirimu lagi dan emosi meninggi karena ingin balik dimengerti"
"Aku tahu kau sedang menakut-nakuti ku dengan semua ceritmu palsumu itu"
Aku menggeleng lemah. Tapi dengan ekspesi serius.
"Itu awal mula permasalahan ku dengan Ara. Kami sudah melewati babak itu jauh sebelum kau pindah kemari"
"Sungguh?"
"Menurutmu apa aku sedang bercanda?"
"Tidak. Kau hanya sedang menakut-nakutiku. Tapi sayangnya aku tidak takut, Aru. Karena jalan kisah cinta kita berbeda. Kami tak punya penghalang cinta sebesar punya kisah mu. Tidak seperti halangan pada hubungan kalian yang menjebak kalian jadi rumit juga dilema. Kau harus ingat yang satu itu"
"Baguslah. Senang mendengarnya" jawabku tawar, melawan getir perkataan Tasya dalam memilih pembanding.
"Ru, ada beberapa hal yang tidak ku pahami darimu"
"Utarakan"
"Ara orang yang keras kepala. Tidak mudah mengalah kadang, dan terlebih lagi dia beberapa kali coba berpaling darimu. Apa yang membuat mu tetap bertahan dengannya selama ini? Ku harap kau memberikan jawaban yang memuaskan karena aku sangat penasaran dengan sikapmu itu"
Aku tersenyum senang menanggapi rasa penasarannya itu.
"Kurasa kau akan kecewa mendengar jawabanku"
"Katakan!"
"Cause it's LOVE"
"GOD! AS SIMPLE AS THAT?"
Aku mengangguk.
"Ugghh" Tasya masih memandangku tak percaya mendengar jawabku.
"Karena begitulah cinta, Sya. Kau tidak bisa mencintainya sebagian saja. Kau harus mencintainya lengkap. Sepasang. Jika kau hanya mencintai kelebihannya itu bukan cinta tapi rasa kagum. Jika kau mencintai sisi buruknya saja itupun bukan cinta tapi tipu muslihat atau akal bulus. Kau harus mencintainya secara keseluruhan, barulah itu cinta namanya"
Tasya hanya geleng-geleng kepala. Tak bisa mempercayai apa yang ku utarakan padanya.
"Okay, okay it make sense" dia berusaha memahaminya.
Lantas kami sibuk lagi dengan makan siang kami. Tak ada pertanyaan lagi. Kami menikmati makan siang dengan nyaman walupun banyak obrolan tajamnya juga.
"Aru ...," Tasya diam sejenak meneliti wajahku. Mulai lagi membangun obrolan selanjutnya, "Dengarkan ini dengan baik!"
Aku memejam sebentar. Mempersiapkan hal buruk yang mungkin akan dia sampaikan padaku. Aku mempersilahkan dia melanjutkan kalimat yang ingin dia sampaikan.
"Ara mungkin bodoh dalam meraba perasaannya. Dia kurang peka dan seringkalinya mengecewakan mu. Dia bahkan tidak berani menghadapi perasaanmu dengan terbuka. Dia mungkin juga tidak berani mengatakan maksudnya secara terang dan gamblang padam ..."
"Aku tahu itu dengan baik. Itu sudah menjadi bagian dari sifatnya, bukan?"
Tasya menggeleng. Aku jadi terdiam. Sepertinya dia tak suka aku memotong kalimatnya. Sepertinya itu hal serius.
"Dia menjadi tidak jelas, itu semua karena perasaanmu padanya terlalu besar, Aru. Itu yang juga membuatnya sulit. Kau mengerti maksudku bukan?"
"Ya, tentu aku mengerti"
Jadi Ara juga tercekik karena perasaanku? Karena aku terlalu mencintainya? Apa Ara berkata begitu pada Tasya?
Tunggu. Tidak mungkin dia tersiksa karena besarnya cintaku, bukan? Aku tidak mengerti ini dan aku tidak ingin salah memahami ini semua.
"Sorry, Sya. Aku tidak tahu maksudmu. Apa maksud mu berkata begitu, pada...?"
"Dia tak bisa meninggalkan mu"
"Karena besarnya perasaan cintaku?"
Tasya mengangguk. Aku merasa senang. Itu juga yang aku mau. Aku ingin menunjukkan semua cintaku padanya, sekalipun dia tidak bisa. Aku senang mendengarnya, sangat senang jika dia bisa merasakan besarnya cinta yang kumiliki untuknya.
"Dia merasa bersalah karena tidak bisa mengimbangi perasaanmu. Karena itu dia tidak bisa meninggalkan mu"
Tapi sejurus kemudian, semua kebahagiaan itu meredup dengan sendirinya. Memudar seiring dengan kalimat Tasya untukku.
Apa semua itu benar? Dia bertahan bukan untuk cintanya padaku, melainkan itu semua karena rasa ibanya padaku? Apa aku salah memahami kalimat itu ataukah Tasya yang salah menyimpulkan ini semua? Jadi dia tak bisa mengimbangi perasaanku, itu artinya dia tak bisa lagi mencintaiku?
"Lalu, apa yang harus ku lakukan?"
"Leave her!"
"What? I shall do what?"
Aku tidak percaya Tasya meminta hal yang sama seperti Zein.
"Kau bisa melakukannya. Ara terlalu lemah dan tak bisa memutuskan apa yang menjadi keinginannya"
"Nonsense! Apa ini peringatan untukku dari seorang teman baik Ara? Atau itu memang keinginan Ara?"
Tasya menatapku resah.
"Aku sebenarnya tak ingin mencampuri urusan kalian, tapi aku juga tak bisa tinggal diam. Dia sahabatku, Ru. Begitu juga kamu. Ak...."
"Kau membuatku pusing. TINGGALKAN BASA-BASIMU ITU!"
Tasya merasa tak enak hati, tapi karena aku memintanya dengan emosi, dia menuruti ku juga akhirnya.
"Kau sudah dua kali mengusik pertunangan Ara. Dan membuat Ara benar-benar terpuruk dan stres" tutur Tasya berterus terang.
Aku tersenyum pahit. Mengerti arah ini.
"Kalian hanya akan saling melukai dengan bertahan"
Aku ingin sekali membantah ucapan Tasya. Tapi dia ada benarnya juga.
"Mungkin kau benar, kita saling melukai dengan bertahan pada cinta itu. Tapi separuh diriku yang lainnya masih menginginkannya, Sya. Kurasa begitu juga dengan Ara"
"Menginginkan terluka, maksudmu?" Tasya mengoreksi kalimatku.
"Bertahan pada cinta ini, Tasya!"
"It does't work this time, Aru. Trust me!"
"Apa kau peramal? Atau malaikat pembawa pesan? Kau tidak tahu. Kau tidak tahu apa yang Tuhan tuliskan, Sya. JADI JANGAN SOK TAHU!" elakku.
Aku tahu, mungkin Tasya tahu sesuatu lebih dari aku. Mungkin dia punya rahasia yang tidak ku ketahui tentang Ara, karena itu Tasya coba meyakinkan ku dengan begitu yakin. Tapi aku hanya memilih untuk tidak terganggu dengan semua itu. Aku memilih mengelak untuk percaya pada apa yang dia ketahui.
"ARU, INILAH KENAPA HUBUNGAN KALIAN SELALU RUMIT! KALIAN SAMA-SAMA TAHU TAK PUNYA HARAPAN TAPI TERUS SAJA MELAWAN TAKDIR!" Tasya menjeda emosinya meluap.
"Buka lagi kesadaran dirimu, Ru, maka kau akan melihatnya dengan jelas. Jika hubungan kalian sungguh tak punya masa depan" ucapnya lebih tenang.
Aku hanya diam, menatap hampa Tasya. Wajahnya meremang. Fokus pandangku hilang. Tapi suara Tasya masih terdengar lantang di telinga.
"Aru, kau punya wajah yang tampan. Kau punya hati yang baik, jadi kurasa kaupun bisa mendapatkan siapa saja. Apa sulitnya melepaskan Ara?"
Aku berkedip. Merefresh bayangan remang dan buram itu jadi jelas lagi.
"Kau tahu, Sya? Saran mu terdengar lucu sekali di telingaku. Kau tidak ingat perkataan mu diawal tadi? Tentang aku yang terlalu mencintainya? Tentu saja semua ini sulit untuk ku karena besarnya perasaan itu. Kami saling melengkapi satu sama lain. Ingat itu juga Sya!"
"Bukannya tadi kau bilang itu dulu. Tidak sama lagi sekarang, bukan?"
"Akan tetap sama!"
"Mungkin saja iya ...," Tasya juga tak mau kalah ngototnya dengan ku,
"Mungkin saja begitu Ru, jika saja kalian tidak lupa tentang if yang ada diantara kalian" sangkal Tasya cepat. Aku mencoba meraba maksud perkataan Tasya.
"Maybe you both are completely each other if you both have no if. Semua titik awal permasalahan mu dengan Ara bukan tentang jarak Aru, tapi ..."
"If?" aku menyambung dugaanku pada kalimat yang Tasya tuturkan. Tasya mengangkat alisnya. Menyetujui.
"If adalah space diantara kalian. If adalah faktor terkuat yang memberikan kalian jarak, yang tak bisa kalian lewati selama ini. Dari awal sampai kini, Aru. If itu tak pernah bisa kalian sebrangi dan atasi bersama"
"Jadi maksudmu pemisah terkuat diantara hubungan kami hanya kata jika?"
"Exactly!"
"Jadi apa if yang kau maksud itu, Sya?"
"Kau sangat tahu jawabnya dengan pasti" Tasya melepas lelah dari nada bicaranya. Aku merenung sendiri.
"Kau pikir kenapa Ara selalu membawa orang lain masuk dalam hubungan kalian selama ini? Kenapa dia seperti terus saja berlari meninggalkanmu? Kau tahu jawabnya Aru. Kau sangat tahu!"
"Maka perjelas agar aku semakin yakin dan percaya dengan ucapanmu itu"
"Itu jawabnya Aru. Kau bahkan sudah menjawabnya" Tasya menatapku tegas sepertinya dia juga mencoba mencari tahu apa aku sudah paham atau belum dengan maksudnya.
"Keyakinan dan kepercayaan kalian yang berbeda" sambungnya gamblang.
Aku terdiam menyadari benteng kokoh itu masih terus berdiri memberi pembatas yang nyata bagiku dan Ara.Memang sejak awal hubungan kami, beteng itu sudah ada menyekat kami. Dan memang itulah kenapa Ara selalu menyembunyikan ku seperti seorang simpanan. Itulah kenapa keluarganya tak boleh tahu tentang hubungan ini. Itulah kenapa semua masalah kami tak pernah selesai. Karena perbedaan satu itu, kami terpisah bagai bumi dan langit.
"Aru, pikirkan juga tentang keluargamu, keluarga Ara, karena hubungan ini bukan tentang kalian saja jika kalian ingin tetap keras kepala dan bertahan"
"Darn. Why your advice feel so right, right now?" jujurku pada Tasya dengan senyuman layu.
Aku tahu itu sejak lama, hanya saja selama ini baik aku maupun Ara tidak pernah ingin membahasnya secara serius. Karena itu menyakitkan, sekaligus melelahkan. Karena kita tahu membahas hal itu akan menyeret kami dalam perdebatan panjang dan serasa tiada habisnya dan tak akan ada yang menang juga. Kami memiliki keegoisan kami masing-masing. Kami memiliki keteguhan kami masing-masing dalam hal keyakinan itu. Dia punya imannya dan aku memeluk imanku juga.
"Thank you for remain me that thing, Sya"
Tasya memandangku teduh dan tenang saat aku mulai merasa lemah."Aru, kalian sama-sama temenku. Aku hanya ingin yang terbaik untuk kalian. Aku mengatakan semua ini bukan untuk menekanmu, dan tidak juga bermaksud menambah luka atau beban yang kau miliki. Aku ingin kalian berdua selamat dari kebudakan yang diatas namakan cinta ini. Aku harap kau bisa menerima dan merenungkan semua ini, juga memahami maksudku dengan baik"
Aku sudah merenungi semua pembicara ini sejak tadi. Jauh sebelum kau memintanya, bahkan.
"Aku harap kau tidak terluka dengan semua perbincangan kita siang ini"
"I hurt one way or another, by the way. Never mind. Itu bukanlah masalah besar bagiku. Aku memang terluka setiap saat dan sembuh lagi lain harinya, bukan sesuatu yang baru dalam hidupku. Luka memang suka datang dan pergi tanpa permisi, juga tanpa kepastian" ujarku bukan untuk menyindir atau merasa pesimis lantas agar dikasihani. Tidak. Ini hanya perasaan penat dan kesadaran yang bersatu menjadi dilema diri.
"Mmhh yah, aku mengerti dan aku menghargai atas usaha baikmu menasihatiku"
"Aru, aku bisa melihat kau pemuda yang baik. Kau bisa bertahan disituasi sesulit apapun. Kau tidak jahat, hanya jail terkadang, dan tidak bodah. Aku yakin kau bisa dengan mudah mendapatkan perempuan lain diluar sana"
Aku menatap Tasya tidak percaya, tidak juga menyangka. Apa Ara mencurhatkan sesuatu pada Tasya tentang keluh ku saat aku mabuk waktu itu? Dan apa Tasya teman yang baik untuk Ara? Dia memintaku untuk meninggalkan sahabatnya saat Ara bahkan memintaku untuk tetap tinggal disisinya. Dia juga bahkan berujar agar aku mencari wanita lain disaat aku masih bersama sahabatnya?
Oh, mungkin Tasya hanya melihat ketidak mungkinan dari hubunganku dengan Ara. Mungkin, itulah kenapa dia menasihatiku begitu.
"Bagaimana klo kau saja?"
"Flight with Doni then. Dead or live"
Aku tersenyum palsu, "Aku suka kau mengatakan kebenaran yang tidak bisa ku lihat dari sisiku selama ini. You did a good job before you go, Sya"
"Sungguh Aru, kau pantas mendapatkan seorang yang lebih baik dari Ara"
"Apa itu artinya Ara tidak baik? Atau aku tidak pantas untuknya?"
"Heh, I'm not saying that. Kau yang menyimpulkannya sendiri, seperti itu"
"Jadi perempuan seperti apa yang pantas untuk ku, menurut mu?"
"Entahlah. Tapi mungkin yang berhijab, yang punya hati lembut dan bisa kau bimbing. Dan yang paling penting yang bisa membuatmu merasa bahagia bukan tersiksa seperti hidup dalam uap neraka"
Aku tersenyum senang mendengar harapan baik Tasya untukku. Tapi yang menggelitik di kepala ku saat ini ialah kenapa aku berpikiran jika perempuan yang Tasya maksud dan yang muncul di pikiranku adalah Ara. Ara yang berhijab. Aku menghempas pikiran khayal itu.
"I'll find someone like you said someday and somehow"
"I wish, Aru. I wish"
"Jadi dia tak menangis kau pergi?"
"Ara selalu menangis bukan karenaku, tapi karena mu, bodoh"
"Tadi kau bilang aku tidak bodoh"
"Iya, pintar"
"Kau naik apa?"
"Train"
"Aru, sebelum aku pergi bisakah kau berjanji padaku satu hal?"
"Tidak. Aku tidak suka membuat hutang"
"Itu bukan permintaanku. Aku tidak menyuruhmu berhutang padaku. Aku hanya memintamu berjanji. Berjanjilah, kau tidak akan membiarkannya terpuruk dalam stres, kau tidak boleh menyuruhnya bekerja berat"
"Hei, aku tak pernah menyuruhnya bekerja berat, asal kau tahu. Aku malah berkli-kali menyuruhnya untuk cuti dari kerjaannya tapi dia tidak mendengarku. Kenapa kau jadi seprotektif ini padanya? Melebihi aku. Apa kata dokter?"
"DIA HAMIL!"
Aku tertawa senang mendengarnya.
"Jadi dia harus banyak istirahat dan jauh dari stres. PAHAM?"
Aku terkekeh sekali lagi.
Tasya tidak harusnya membuat lelucon menggelitik seperti itu.
*****
"... Jangan menunggu hingga tenggelam untuk membuat kisah ini berakhir ... "~ Ara ~Aku terkejut saat Zein mengirimiku pesan jika dia akan berkunjung ketempat ku tapi bukan untuk menemui Aru, melainkan untuk berbicara empat mata denganku. Itu tidak biasanya. Sangat tidak biasanya. Dan yang semakin membuatku bertanya-tanya ialah apa kira-kira topik obrolan yang akan dia bawa diantara kami. Sejak kami tidak lagi saling akrab, rasanya jadi canggung berbicara dengannya.Aku segera membukakan pintu saat bell di rumah ini berbunyi."Hai, Ra""Hai. Masuklah" aku Mempersilahkan.Tanpa canggung Zein masuk begitu saja dan memilih tempat duduknya."Everything looks same here, yah. Kau dan Aru tidak banyak merubahnya, ternyata""Yah, memang begini sejak lama. Anggaplah kami tak punya waktu untuk melakukan perubahan. Kami berdua terlalu sibuk, kurasa""Yah,
"... Bukan akulah pemilik hati dan cintanya ... " ~ Aru ~ Udara pagi di Singapura sangat sejuk. Ohh kurasa tidak hanya disini saja, tapi semua udara pagi memang sejuk. Itulah kenapa aku suka bangun pagi, untuk menikmati kesejukan ini atau hanya untuk sekedar melihat kearah langit, mengamati bintang atau bulan yang masih tertinggal dibiru pekat, maupun biru terangnya langit pagi, atau untuk sebetas melihat mentari lahir dengan sinar-sinar cerahnya. Itu saja sudah memberikan ku rasa bahagia dan nyaman. Namun pagi ini berbeda. Aku memilih melewatkan semuanya karena tubuhku merasa butuh istirahat lebih, setelah aku melalui banyak shift malam beberapa hari terakhir ini. Bahkan akupun melewatkan beberapa rutinitas pagiku bersama Ara. Dia juga sepertinya mengerti kondisiku, jadi dia membiarkan ku tidur lebih panjang tanpa membangunkan ku untuk sekedar sarapan bersama, baiknya lagi setiap kali aku t
"... Cinta mendorongku mengenakan banyak riasan topeng diwajah ... "~ Aru ~ "Apa yang Tia pikiran tentang tunangannnya itu? Putriku pasti bercerita padamu tentang itu juga, kan?"Aku tahu pertanyaan itu menrusak perasaanku, tapi tak ada yang bisa ku tunjukkan selain senyum kepalsuan untuk menguatkan rapuhnya hatiku."Selama ini Tia jarang mengeluh tapi, dia juga tak pernah terbuka dengan Tante maupun papanya soal asmara dan hatinya. Memang dia selalu jadi anak penurut, tapi firasat hati seorang Ibu juga tidak bisa diabaikan begitu saja bukan, Ru?"Aku mengangguk lagi."Firasat seorang Ibu memang luar biasa Tante. Itulah kenapa orangtua dan anak selalu punya koneksi, meskipun mereka jauh"Dan itu yang mulai ku khawatirkan juga. Firasat seorang ibu.Kini aku bisa melihat senyum tulus, lembut, juga anggunnya muncul. Bahkan kini Ibu ara menatapku dengan hangat juga t
"... Aku melihat ada gajah bersandar malas di punggung mu ... "~ Ara ~Aku tidak tahu apa yang terjadi pada Aru. Tapi beberapa minggu belakangan ini dia begitu perhatian. Aku sangat suka sikapnya yang begitu dewasa dan pengertian. Setiap kali aku pulang kerja dan merasa sangat lelah, dia selalu menawarkan diri untuk memijatku, atau sekedar membuatkan minuman hangat untukku, terkadang dia juga memasak untukku. Bukan hal sepesial memang. Tapi itu membuatku dispesialkan.Sama halnya seperti hari ini. Aku baru saja pulang lembur dan dia yang biasanya sedang main game saat aku pulang, kini sudah menungguku dengan senyum manisnya, menyapa dengan lembutnya."Kau pulang? Bagaimana harimu di kantor?""Sama seperti biasanya. Melelahkan"Aru lantas menghampiri ku, mengambil tas dari bahuku, menarikku menuju sofa dan mendudukkan ku disana. Dia juga membantuku melepas kardigan dan kaos kaki yang ku ken
"... Kau berubah pikiran begitu cepat hanya karena seorang ..."~ Aru ~ Aku sampai di Condo bersama Tasya saat Ara sedang menonton acara televisi namun fokusnya tetap ke ponselnya. Wajahnya berseri-seri senang, namun seketika hilang karena tercuri oleh kedatagan kami. "Kalian pulang juga akhirnya. Jadi bagaimana hari ini? Menyenangkan? Ada cerita serukah? Kenapa wajah kalian malah jadi beté gini, sih? Kenapa?" Ara langsung memberondong kami dengan banyak pertanyaan. Setelah melepas sepatuku, aku langsung akan berbaring malas-malasan dipangkuan Ara, tapi tiba-tiba Tasya menyerobotnya lebih dulu. "Kau bisa duduk di kursi lainnya kan?" protesku pada Tasya. "Aku sudah lelah, Aru. Aku malas berdebat denganmu. Aku hanya butuh kenyamanan dari sahabat ku. Kau bisa mengertikan? Lagipula, besok aku sudah harus kembali ke KL, tidak bisakah hari ini dia bersamaku, sebentaaarrr saja?!" "TIDAK BISA
"... Aku tidak bisa jujur karena, kata jujurku akan jadi luka baru ditempat mu ..." ~ Ara ~ Beberapa hari lalu Tasya mengirimiku pesan aneh yang tidak ku pahami maksudnya, dia menyuruh ku agar berhati-hati dengan Aru, sementara aku sendiri tidak merasa ada yang aneh dari Aru, kecuali satu hal saja. Dia hanya memutar satu lagu galau saja sepanjang hari lalu, itu lagu hit ditahun 2000-an. Padahal biasanya dia mendengarkan banyak lagu dalam sehari. Selebihnya dia masih baik-baik saja, dia masih memperhatikan ku sama, walau yah kadang memang ada komunikasi yang slip diantara kita. Tapi kita masih baik-baik saja. Ini hari libur nasional, baik aku maupun Aru sama-sama berada di rumah. Tapi nanti rencananya kami akan keluar bersama. Sejak liburan kami gagal waktu itu. Kami belum sempat lagi kemana-mana. Jadi aku mengusulkan ulang padanya agar dia membawaku pergi berlibur, sejanak memenggal semua urusan sibuk kami ka
"... Kau meninggikan bukan untuk menyanjung melainkan untuk menjatuhkan ... "~ Aru ~"Ra..." aku memanggil namanya tapi kemudian merasa ragu menunjukkan kalimat lanjutannya.Aku hanya ingin semua masalah ini terselesaikan hari ini, tanpa perlu menundanya terus menerus. Tapi aku juga takut semua kalimatku akan membebaninya seperti hari lalu, hingga membuatnya tak sadarkan diri. Jadi aku membuat gerakan peralihan dengan menyuapinya sepotong buah yang ada dihadapanku.Hening. Sepi kembali mengisi diantara kami, bukan karena aku tak punya kalimat untuk dikeluarkan. Bukan!Ada ratusan kalimat yang mengganggu dipikiranku, hanya saja aku tidak bisa mengeluarkan semuanya begitu saja. Mungkin bisa, sangat mudah bagiku mengeluarkannya begitu saja apalagi saat kepalaku dibanjiri dengan begitu banyak pemikiran campur aduk seperti ini.Hanya saja, yang membuat ini semua jadi sulit diutarakan, itu kar
"... Kau bukan orang asing bagiku, Kau juga berharga untukku ... " ~ Ara ~ "Leave him!" "Wha...t? Leave...?" Aku tidak menyangka dia akan memintaku untuk melakukan hal semacam itu. Tentu saja ini tidak semudah itu, Aru. Ini tidak se-simpel seperti ucapan mu itu juga. Bagaimana bisa kau mengatakan dan meminta itu padaku? Aru, aku memang lebih menyukaimu dari pada Arnold untuk saat ini. Tapi bukan berarti aku bisa dengan mudah meninggalkan dia. Itu terlalu berat untuk ku. Itu akan memicu banyak kekacauan dalam keluargaku. Dan aku tidak yakin bisa mengatasinya, jika itu sampai terjadi. Namun, mengatakan semua itu pada Aru juga percuma saja. Dia tak bisa melihat posisi rumitku disini. Dia hanya melihat dirinya, cintanya juga luka-lukanya karenaku. Aku tidak yakin dia akan paham dengan keadaan ku, karena akupun tidak sepenuhny
~ Ara ~ . . . ... Sepasang sesal ... Menepikanmu yang kurasa sanggupMeniadakanmu yang kurasa mampu Tapi bayangmu tak pernah jauh dari heningkuDan seluruh heningku tak pernah sepi darimu Jangan menyerah Karena kau masih memikatkuDan hatiku masih terpaut dekat denganmuSekalipun kau tak tahu itu benarSekalipun tak ku ucapkan dengan benar Kau tahu aku hanya berlagakKau tahu aku selalu malu berbicara cintaJadi bisakah sekali lagi kau menunggukuKuharap hatimu tak berubah padaku Sekalipun kini hanya berat yang tertinggal Dan benteng kuatku telah menemui lapukan terlemahnya berupa sesal. . . - Guilty on tuesdays - " Lyn Wen " . . I hope one day you'll come backAnd at least say hiWipe off the tears on my faceAnd give us a try, Cause I can tellYou're done with this leaving hell yeah...I can tellYou're done with what I do To keep me away from youTo keep me away from you, Every good moment has passedYou're still not hereCrying alone in my car seems to famil
"... Aku tak perlu berkorban lagi untukmu, karena kau telah bahagia ..." ~ Aru ~ . . Pernah aku terpenjara dalam jerat cinta, yang membawa arusku jadi seru dan semu, tapi aku jatuh juga dari ketinggian mencinta kedalam ulu hara, dalam perangkapnya kasih menjadi siksa. Karena itu, setelah badai tikai itu, aku memilih menutup diri. Memberinya kemerdekaan dalam hilangku. Dan kutangani sisa luka, konsekuensi dari berani mencintainya, sendiri. Tak kubiarkan orang tahu atas luka patah hatiku. Kusembunyikan kepatahan itu dari sekelilingku. Karena aku tak ingin membebankan perasaan luka yang kuterima pada orang lain, dan itulah kebijakanku. Meski itu tak mudah, aku berhasil membuatnya terlihat begitu. Serupa seperti tak berlinang air mata. Serupa hatiku tak retak karena terluka. Padahal diam-diam akupun menangis dalam sembunyiku. Di kamar mandi, atau dibilik kamar redup lampu. Lantas pura-pura tidur saat ada yang mendekat. Sebab aku tak punya alasan benar, menunjukkan pedihku pada mere
"... Biarkan hatimu menuntun maunya, tapi ijinkan takdir yang memutuskan jawabnya ... " ~ Ara ~ . . "Ara, aku bertemu dia. Kami bicara. Tentu aku melihat apa yang tak bisa kau lihat darinya, Ra" "ARU TAK BAIK, RA." "TIDAK. Dia harus baik-baik saja. Harus!" "Yah, tampaknya memang begitu" "Tampaknya?" "Mau menggeser sedikit saja persepsimu akan kebencian Aru padamu itu?" "Tak yakin!" "Bagaimana jika kepergiannya itu bukanlah atas dasar kebenciannnya? Mungkin saja itu sesuatu yang lain" "TIDAK. Itu harus benci. HARUS!" "Dan bagaimana jika yang kau lihat benci itu, mungkin, sebenarnya hanya bentuk lain dari luka? Mungkin itupun bentuk dari defensif Aru dalam melindungi hatinya. Bukan benci" "Kenapa begitu?" "Aru bisa saja menjadi brengsek waktu itu. Dia bisa merusak pernikahanmu sebelum takdir melakukannya. Tapi alih-alih begitu, dia malah memilih mundur. Menarik semua kedekatannya darimu tanpa menciptakan kegaduhan, Ra. Jadi Apa tindakan itu mencerminkan kebencian?" Aku m
"... Takdir memaksa kita mengerti dan menerima keadaan tak baik kita, meski kita tak ingin... " ~ Ara ~ . . - THE WEDDING - Aku baru selesai dirias dan Tasya masuk. "Woooh.. who's this gurl? So gorgeous!" "Thank you" Aku senang menerima pujian itu. Meski hatiku juga merasakan getir gelisah yang lain. "Bagaimana rasanya jadi mempelai?" "Nervous, I guess?" "Kurasa akupun akan begitu saat diposisiimu. Wajar, Ra. Itu gerogi yang baik" "Kuharap begitu. Tapi lebih dari itu. Aku sangat bahagia. Akhhirnya Sya... Akhirnya!" "Umh, I'm so happy for you too" Sudut mata kami mengeluarkan embun haru. Tasya lalu memelukku. "Okay-okay, ini hari bahagiamu dan aku tak ingin riasanmu rusak karena kebahagiaan ini" Kami menghapusnya. "U
"... Kau mungkin bahagia, tapi benarkah itu kebahagian yang ingin kau jalani ... "~ Ara ~.."Tasya?""Surprise!"Dia memelukku."Katamu besok?""Tidak jadi. Aku mempercepat segalanya""Masuklah!""So, how's your life Ara?""Seperti yang bisa kau lihat. Baik!""Kau menjawab persis seperti seseorang" gumamnya, "Kau sedang sibuk?""Tidak""Apa yang akan kita lakukan hari ini?""No shopping, karena kau pasti masih jetlag. And I'm not about going anywhere. Jadi kurasa kita hanya perlu disini saja""Good girl. Kau sangat memahamiku!""O-ya, kau jadi ketempat Zein?""Ya""Dia mengusirmu?""Tidak. Dia berubah menyenangkan""Uh, impresif. Kalian membicarakanku?""Sedikit. Oh, iya, kau mau minum apa?""Tak perlu repot. Aku bukan tamu istimewa""Aku k
"... Cinta itu telah berakhir ..."~ Aru ~.."Berjuang lebih keras, Aru!""Kau kira kenapa aku bertahan dalam sengsara itu jika bukan untuk berjuang?""Sudah Tasya! Aku mencoba segala yang kubisa. Dari memprovokasi cemburunya, memperbaiki emosiku, hingga bersikap manis padanya untuk mendapatkan lagi hatinya. Tapi Arnold yang selalu menang. Kau hanya tak tahu usahaku itu!"Dia termenung."Aku berupaya hingga tak punya cara lain lagi selain menyudahi keegoisanku untuk memilikinya seorang diri.""Huhf..." helanya."Aku pasti jadi psycho jika diposisimu. Kau harusnya gunakan emosi kesalmu itu untuk memukuli seseorang. Jangan diam saja dan malah lari!"Aku terhibur mendengarnya.Apa dia tak tahu aku memukul Ara waktu itu?"Kau pernah punya pikiran jahat? Seperti psycho?""Mungkin""Sungguh? SESAIKO APA?""Mungkin karen
"... Rasanya aku ingin membunuhnya saat melihatnya pamer bahagia, sedang aku menahan nyilu dan cemburu ..." ~ Aru ~ . . Aku terdampar dalam sebuah kemegahan asing dalam duniaku. Tapi ini bukan ilusi. Aku duduk merenung, menikmati nyaman yang belum pernah kunikmati begini sebelumnya. Membahagiakan. Aku menghirup aroma cappucinoku, sebelum mengecap bagaimana rasanya. Dan benar rasanya istimewa, seperti harganya yang bisa membuat dilema kepala orang biasa. Tapi disinilah aku kini, mengagumi soreku yang biasanya tak selalu indah. Tapi kini berubah begitu menawan dalam sekedip. Aku menyesap lagi gelas kopiku, sambil menunggu dengan santai seseorang yang telah membuat janji temu denganku. Dudukku mulai menyila, tapi bosan masih jauh dari pikiranku. Meskipun kini aku terkurung di lantai 122, diketinggian ratusan meter, dalam atmosfer megah restauran kelas dunia, di Burj Khalifa.
"... Itu pilihan, ingin menjadikannya ujian dalam cinta atau takdir dalam cintamu... "~ Ara ~ . . Kenapa aku sendiri masih terus ragu dengan apa yang Zein tuturkan barusan. "Ara, kau masih mencintainya, kan?" "Entah Zein!" "Apa kau tahu, ragu adalah bagian dari iya yang belum disetujui lewat kata""Yang kutahu, aku tidak kesini untuk membahas hal seperti itu" "Benarkah? Apa kau pikir hanya dengan modus mengembalikan ini, aku lantas percaya? Tidak Ara. Aku tak sebodoh itu!""Kau terlalu berlebihan Zein""Menyangkalnya membuat hatimu lebih baik?""Zein, Aru membenciku!""Maksudku dia masih membenciku, kan?" aku mencari defensif lain."Ya, benar. Dia membencimu hingga tak ingin lagi melihatmu. Hingga ingin menguburmu. Hingga ingin menghilang darimu. Dan itu benar, dia membencimu"Hatiku terluka mende
"... Mengapa orang lain bisa melihat cintaku dengan jelas, tapi aku tidak ... "~ Ara ~ . . Ada banyak hal yang ingin kusampaikan saat berada dalam masa perenungan lalu. Karena kehilangan Aru membuatku tak seimbangan. Tapi setiap kali menatap wajah penuh lukanya, akupun kehilangan cara untuk membela diri dari kekacauan yang kubuat sendiri. Kalimatku lenyap, bibirku terbungkam. Aku tak bisa menyanggah kalimat penuh lukanya karenaku. Dan karena itu, yang terlintas hanya perasaan sesalku, jadi alih-alih membela diri, aku lebih ingin meminta maaf.Tapi Aru selalu tak ingin mendengarnya. Dia tak ingin mendengarnya, seberapapun aku merasa bersalah padanya.Tapi menyumpahiku gagal menikah adalah hal yang paling tak bisa kuterima. Dan itu sangat melukai hati terdalamku.Begitulah aku menyerah pada akhirnya. Karena mungkin dengan membiarkannya pergi, itu menghinda