"... Kau berubah pikiran begitu cepat hanya karena seorang ..."
~ Aru ~Aku sampai di Condo bersama Tasya saat Ara sedang menonton acara televisi namun fokusnya tetap ke ponselnya. Wajahnya berseri-seri senang, namun seketika hilang karena tercuri oleh kedatagan kami."Kalian pulang juga akhirnya. Jadi bagaimana hari ini? Menyenangkan? Ada cerita serukah? Kenapa wajah kalian malah jadi beté gini, sih? Kenapa?" Ara langsung memberondong kami dengan banyak pertanyaan.
Setelah melepas sepatuku, aku langsung akan berbaring malas-malasan dipangkuan Ara, tapi tiba-tiba Tasya menyerobotnya lebih dulu.
"Kau bisa duduk di kursi lainnya kan?" protesku pada Tasya.
"Aku sudah lelah, Aru. Aku malas berdebat denganmu. Aku hanya butuh kenyamanan dari sahabat ku. Kau bisa mengertikan? Lagipula, besok aku sudah harus kembali ke KL, tidak bisakah hari ini dia bersamaku, sebentaaarrr saja?!"
"TIDAK BISA!" kataku seraya menjulurkan lidah. Mengejek Tasya,
"Aku juga lelah. Dan butuh kenyamanan yang sama dari kekasihku"
"Sungguh? Menurutmu dia kekasihmu?" katanya sewot dan nadanya juga menyindir. Membuatku tersinggung.
"Tasyaaa!" Ara menegur sahabatnya.
"Kau kekasihku, bukan?" tanyaku tak mau kalah, sekaligus ingin menegaskan pada Tasya jika perkataanku benar.
Raut Arapun kini berubah jadi lelah, menatap temannya dengan ancaman. Sementara dia menatapku dengan kelembutann. Lalu aku dan Tasya jadi saling tatap, menatap Ara penuh tanya.
"Ahh, kalian tahu jawabannya. Jadi jangan memancing perdebatan" Ara tidak ingin memenangkan perdebatan salah satu diantara kami.
"Kau memang kekasihnya tapi yang ke dua, Aru. Ingat itu!" goda Tasya.
"NATASYA!" tegur Ara pada temannya.
Aku mendadak girang karena dibela. Sekali lagi ku julurkan lidah pada Tasya dengan senyum kemenangan.
"Ya, sorry" katanya pada Ara, "But not sorry" lalu katanya padaku. Membalas ejekan ku tadi.
"Ya, ampun!" Ara hanya geleng kepala. Merasa pusing menanggapi kami.
"Jadi kalian bertemu Jasmine atau tidak?" tanya Ara, seperti ingin keluar dari tekanan yang kami mainan.
"Jangan mengalihkan topik!" seruku dan Tasya bersamaan.
Ara tertawa geli, melihat kami yang kompak menjawab tanpa komando. Dan kurasa itu hanya kebetulan belaka.
"Ohh gosh! Baru jalan seharian aja kalian sudah kompak banget gini, apa lagi klo jalan setahunbisa jadi ...? " godanya pada kami.
"Geser dikit" mintaku pada kepala Tasya dan sedikit abai pada kalimat Ara.
Kini kepalaku juga berada dipangkuan Ara, sama seperti Tasya. Menyandar lelah padanya. Dan lantas hanya menyisakan hening diantara kami bertiga.
Seharian tadi aku dan Tasya pergi keluar bersama, tanpa Ara. Tasya meminta ku menemaninya, lebih tepatnya dia meminta bantuan agar aku menjadi supirnya seharian ini, untuk kepentingan chasting-chastingnya. Ara tidak ikut karena, dia bilang lelah dan ingin istirahat saja di rumah.
Awalnya aku sudah menolak tawaran dan ajakan Tasya itu, tapi dia tetap saja menemukan cara juga membujukku, yang membuat ku tak bisa mudah menolak permintaannya lagi.
- KRONOLOGI -
"Aru, ayolah plisss! Aku akan banyak melakukan chasting seharian besok. Itulah kenapa kau harus mengantarku dengan motor mu. Agar aku bisa berpacu dengan waktu yang singkat ini"
"Kau minta saja Doni yang mengantar, ku pinjamkan motorku klo mau"
"Yeeeh, aku minta tolong ke kamu itu karena dia ngak bisa, Aru!" sangkalnya.
"Kalian bahkan biasanya pergi bersama" kini aku menunjuk Tasya dan Ara.
"Aku lelah dan tidak mau kemana-mana. Aku hanya ingin beristirahat saja, okey!"
"Dan tentu saja aku akan menemani mu" aku menyahut pada kalimat Ara.
"Euwwhh. Kau seperti benalu, nempel terus pada sahabatku. Kau tidak mikir apa, barang kali saja Ara lelah dengan sikapmu yang sok manis seperti itu"
Ara mengncam Tasya dengan tatapan tidak suka.
"Maksudku, tidak bisakah kau memberikan 'her time-nya dia sendiri' juga?" Tasya meralat karena tatap Ara.
"Kurasa dia lebih suka menghabiskan waktunya bersamaku. Benarkan, yang?"
Ara tersenyum manis padaku.
"Ihhh, jijik deh. Kayak bocah. Sok unyu!"
"Udah deh, plisss!" mintanya agar kami menghentikan pertengkaran ini.
"Aru bener nih kamu ngak mau?" tanya Tasya sekali lagi, masih mencoba berusaha. Aku menggeleng-geleng. Menolaknya untuk kesekian kali.
"Mhhh, sayang sekali kau tidak mau. Padahal aku denger-denger sih, Si Jasmine bakalan ada disana juga"
"Jasmine? Who's Jasmine? Temen mu?"
"JAS-MIN WANG, Aru!"
Mendengar nama itu disebut mataku langsung terbelalak suka.
"Kau sungguh tidak mengenalnya? Impossible, right? Tidak mungkin kau lupa dengan idola mu sendirikan, hah?"
"Tunggu... tunggu... maksudmu artis dan model Jasmine Wang yang cantik itu?"
Tasya mengangguk. Aku melihat ke arah Ara, meminta dukungan persetujuan.
"Kenapa menatap ku begitu?" tanya Ara, "Kau berubah pikiran begitu cepat hanya karena seorang Jasmine? Sungguh kau akan meninggalkan ku sendirian disini dan berubah pikiran dengan begitu cepat hanya karena dia?"
Ara menatapku tidak percaya, seolah singgasana istimewanya dalam diriku baru saja tersingkirkan dengan begitu mudahnya karena sang artis. Tapi aku jelas tahu dari suaranya, itu hanyalah candaannya.
Aku tersenyum senang juga sekaligus malu mengakuinya. Yah, aku memang berubah pikiran begitu cepat untuk hal-hal yang ku rasa akan menguntungkan ku. Kadang-kadang.
"Bolehkah aku berubah pikiran untuk menemani Tasya dan untuk tidak menemanimu sekali ini saja?"
"Huh, kau sungguh tidak bisa dipercaya ya, Aru!" keluhnya masih dalam intonasi candaan, sekalipun dia mengeluh kesal.
Aku masih menatap Ara dengan raut memohonku. Tanpa harus memohon.
"Why asked me? You want it, you do it. Maybe, it's once in a blue moon" ujar Ara kini dengan senyum lepas. Lepas dari candaan yang tadi dia pertahankan.
* (Once in a blue moon adalah ungkapan untuk menyatakan sesuatu yang langka atau jarang terjadi)
"YOLO, Aru. YOLO!*" tambah Tasya memperingatkan.
* (YOLO: You Only Live Once. Ungkapan untuk memanfaatkan kesempatan yang ada dengan sebaik mungkin)
"Jadi kau tidak keberatan?"
"Emhhh, tentu tidak, karena itu tidak berat. Itu permintaan ringan. Kau bisa bersenang-senang dengan Tasya"
"Kamu? Kau tidak apa-apa sendirian?"
"Nanti klo aku bosan, aku bisa hang out sama temanku yang lain. Jangan dipusingkan. Kau boleh menemaninya"
"Baiklah. Aku akan mengantar mu" kataku pada Tasya.
"Nah, gitu dong. Itu baru benar!"
Tasya melirik sahabatnya senang, dan Ara juga tersenyum senang melihatnya, begitu pula dengan ku. Aku juga tersenyum senang, tak mau kalah dengan mereka.
"Tapi dengan satu syarat tambahan, Sya. Kau yang bayar bensinnya, okay?"
"Mudah. Aku tinggal minta klaim saja pada Nyonya rumah ini. Kau bakalan bayarin bensinnya kan, Ra?"
"Heissh, yang pergi kalian kenapa jadi aku yang harus keluar duit sih!" keluhnya.
"Iya, kenapa jadi Ara yang harus bayar? Aku kan mintanya sama kamu!"
"Tapi kau tetap maukan ngeluarin duit buat beli bensinnya? Untuk pacarmu juga temanmu sendiri. Untuk kebahagiaan kita bersama. Mau kan?"
"Iya, iya. Bensin kalian aku yang tanggung"
"Yeahhh!" suara Tasya senang.
"Kenapa jad kamu yang bayar sih? Biarin aja Tasya yang keluar duit!" lirihku memprotes Ara.
"Itu karena kau tak pernah punya modal. Jadi Ara yang menanggung" jawab Tasya sewot padaku.
Aku merasa aneh, Ara tak seharusnya melakukan itu semua. Tapi akuu hanya bisa protes dalm hati.
- KRONOLOGI END -
Tapi mendapatkan kenyataan yang berbeda di hari ini dengan waktu saat di-iming-imingi itu membuatku betè.
"Kalian sungguh hanya akan diam seperti ini sampai larut? Tanpa bercerita apapun padaku? Apa yang terjadi dengan kalian?" Ara mencoba memecah keheningan diantara kami. Karena tak satupun dari kami berbicara.
"Jadi kalian bertemu Jasmin atau tidak?"
Dengan sedih aku menggeleng dan semakin meringkuk dalam kenyamanan berbaring dipangkuan Ara, walaupun sempit karena keberadaan Tasya disisi pangkuan Ara yang satunya.
"Yah, aku bertemu dengannya. Tapi hanya gambar banernya doang. Palsu!" keluhku, sebal.
Ara tertawa puas juga geli, diikuti Tasya berikutnya.
"Jadi itulah kenapa kalian jadi betè seperti ini?"
"Tidak! Aku betè karena Aru jadi banyak mengeluh akan hal itu. Bikin pusing kepala tauk!" Tasya menyahut terlebih dahulu.
"Siapa suruh kau membohongi ku!"
"Aku tidak berbohong, Aru! Ya, mana aku tahu klo Jasmine tidak bisa hadir hari ini. Itu bukan salahku, TAUK! Jadi aku jelas bukan pemb−"
"Tapi, kau harusnya bisa mendapatkan info yang lebih akurat lagi. Bukan info sampah sepert−"
"STOPP it please!" Ara menghentikan perdebatanku dengan Tasya.
"Kalian sudah makan?"
"Sudah" jawab kami berdua kompak.
"Baiklah klo begitu. Minggir. Kaki ku pegal karena kepala kalian berdua berat" Ara bangkit dari duduknya.
"Aru, kau mandilah lalu istirahat. Kita ngobrol lain hari saja yah. Aku juga lelah dan ingin beristirahat" Suruhnya Ara.
"Dan itu juga berlaku untukmu, Sya! Selamat malam" Ara lantas pergi begitu saja dengan wajah bahagianya.
Entah karena apa. Kurasa dia sedang menertawakan kepahitan kami yang tidak jadi bertemu artis dan idolanya.
Aku dan Tasya masih sama-sama saling menatap dan melongo karena ditinggal Ara dengan raut bahagianya.
"Kau merasa dia agak aneh?" tanyaku.
"Yah, kurasa dia memang aneh. Over happiness hingga menuju error. Dia menuju perasaan gila, Aru!"
"Apa maksudmu?"
"Kau tidak lihat? Sehari saja dia tanpamu dia terlihat begitu bahagia"
"NGAWUR!" protesku.
"He...he... he. Mungkin dia jadi sedikit aneh dan itu karena kau tidak menemaninya seharian ini!" ujar Tasya meralat kalimat sebelumnya.
"Ha... Ha... Ha... Itu baru pas dan tepat. Ha... Ha... Ha..." Aku tertawa menerima jawaban Tasya yang bagus itu. Seperti sebuah pujian bagiku menerimanya.
"Kau juga sepertinya akan gila sebentar lagi" tambah Tasya saat melihatku tertawa puas dan bahagia. Tapi bahkan kalimatnya yang inipun masih membuatku tertawa geli.
"Guys mandi!" Ara mengulang perintah.
"Yah. Dan kurasa kau juga akan sama jadi gilanya seperti kami, karena melihat kami berdua bahagia dalam kegilaan. Hahaha... Haha... Hahaaa..." balasku pada Tasya.
Aku meninggalkan Tasya di ruang itu sendirian, karena harus mematuhi perintah Ara untuk mandi.
"Ohhhh... Please don't! Aku tidak mau jadi gila seperti mereka, Tuhan" katanya sebelum mengekor dan menyusul Ara.
"Ra, tunggu aku. Bukankah kita harus bertukar cerita, huh?"
Aku mendengar Tasya berujar, tapi tidak terlalu menaruh perduli dengan urusan para perempuan. Yang ku tahu aku masih merasa senang dengan sanjungan Tasya. Itu terlalu membuatku berbunga-bunga.
Ya, anggaplah Ara memang tak bisa hidup tanpaku, itulah kenapa dia jadi sedikit aneh hari ini. Mungkin, itu karena dia harus melewati harinya dalam kesendirian hari ini. Tanpa humor Aru, jadi dia bersikap sedikit aneh dari sikap wajarny yang biasa.
*****
Aku terlambat bangun. Rumah sudah sepi lagi. Tasya sudah kembali ke negeri seberang beberapa hari lalu. Aku mengetuk pintu kamar Ara, tapi tidak ada tanda seseorang didalam. Aku lantas pergi ke dapur, masih dengan wajah menguap dan rasa kantuk yang sepertinya belum juga bisa hilang.
Sebuah memo tertempel di pintu kulkas.
"Aku buru-buru dan tidak bisa membuatkan mu sarapan, tapi semoga jus buatanku bisa menyegarkan harimu−" aku menggeleng-geleng dan tersenyum bahagia.
"Bantu aku melakukan sesuatu bisa?" aku masih senyam-senyum membaca pesan dari Ara, walaupun tidak satu kalimatpun yang mengandung humor. Tapi bagiku ini pesan yang lucu.
"Tolong cucikan kemeja putih dan rok hitam ku yang biasanya ku pakai saat rapat, ada di kamar. Aku perlu memakainya besok. Thank you!"
Aku membuka pintu kulkas, dan mengambil jus buatan Ara. Terdapat tempelan kertas lain disana.
"Energi untuk pagimu" dengan sebuah gambar senyum yang lebar dibawahnya.
Aku meminumnya dengan perasaan bersemangat. Lantas aku pergi ke kamarnya lagi. Mencari dimanakah baju itu dia letakkan. Tapi tanganku terhenti pada baju lain yang tidak ku kenali. Aku mengambilnya keluar begitu saja.
Baju itu masih memiliki label. Baju baru. Bahannya lembut, warnanya cerah tapi soft, tentu saja itu warna pink. So girly. Warna favoritnya Ara.
Apa dia baru membelinya? Dia tidak memintaku menemaninya berbelanja, juga sepertinya diapun tidak terlihat pergi berbelanja dengan Tasya kemarin.
Mungkin hanya aku yang lupa, atau aku yang melupakan sesuatu? Mungkin kemarin dia akhirnya hang out juga dengan temannya dan membeli ini.
Aku melihat merk dan sesuatu yang lain justru muncul menarik kecurigaanku. Karena baju itu juga bertuliskan made in Indonesia, sementara Ara bahkan belum pulang ke rumahnya, dan Orang tuanya waktu itu juga tidak membawakan oleh-oleh berupa baju, hanya makanan.
Apa ini sebuah hadiah dari temannya? Apa temannya berkunjung kemari dan memberikan ini?
Aku mencoba mengingat-ingat. Namun sejauh yang bisa ku ingat, aku tak ingat seorangpun ada yang datang kemari.
Kami selalu bertiga, bersama. Apa mungkin waktu aku keluar untuk membeli sesuatu di toko dekat sini? Tapi itupun kepergian yang singkat. Aku yakin tidak ada yang datang berkunjung beberapa hari belakang ini.
"Ohh, tunggu. Mungkinkah itu terjadi saat aku dan Tasya pergi keluar berdua saja?" batinku menerka dan menduga, "Tapi siapa yang datang? Tidak ada yang bertanya padaku tentang alamat tempat ini juga deh, jika itu teman dari Indo" aku menduga pada diri sendiri.
Aku mengambil ponselku cepat.
"Can I ask something? Apa ada temen kita yang bertanya padamu tentang alamat tinggalku, Ze? Mungkin, Ben, Gani, atau Norah?" Aku mengetikkan pesan itu dan mengiriminya ke Zein.
Lalu dengan sedikit editan kata aku juga mengirimnya ke Ara. Baik Zein ataupun Ara menjawab tidak.
"Hai, makasih untuk energi paginya, btw" ku kirim ke Ara setelah dia membalas tadi.
Lantas Ara hanya membalas dengan emotikon senyum dan ok. Sepertinya Ara sedang sibuk di kantor, jaadi hanya membalas singkat. Sesingkat emotikon.
Ahh, mungkin saja itu sebuah paket. Bukan berarti kunjungan seorang. Mungkinn dia berbelanja online.
Aku mengecek ke tempat sampah, merasa yakin jika sampah beberapa hari lalu belum dibuang karena kami beberapa hari ini jarang masak dan memilih hanya pesan antar, jadi tidak terlalu banyak sampah.
Aku tidak menemukan bekas bungkusan paket sama sekali. Dan entah kenapa itu justru semakin membuatku curiga. Aku membersihkan lagi sampah-sampah pastik dan bungkus-bungkus kertas itu.
"Itu artinya ini bukan paket. Tapi bisa jadi memang ini sebuah kunjungan. Siapa yang kira-kira datang?" terkaku lagi. Mencoba menemukan jawabnnya.
Aku beranjak dari pikiran itu sejenak, kembali mencari baju Ara yang dia minta untuk dicuci. Ketemu. Tapi aku lantas berpikir ulang, daripada aku hanya mencuci dua helai bajunya saja, lebih baik aku cucikan saja semua baju kotornya. Selain untuk meringankan pekerjaannya, itu juga pasti akan membuatnya bahagia.
Itunng-itung nyari pahala karena membahagiakan orang lain.
Ada dua keranjang baju kotor punya Ara. Satu khusus baju-bajunya, yang satunya lagi khusus untuk pakaian (d****) rahasia miliknya. 😁
Aku mengambil keranjang baju kotor Ara, tanpa mengusik yang satunya. Aku membawanya keruang laundry, dan mengambil satu-satu bajunya untuk dicek, barang kali ada baju yang harus dipisah karena bisa luntur. Bila lolos seleksi aku langsung memasukkannya dalam mesin cuci.
Aku memandang curiga sekali lagi pada satu baju lain yang kini berada dalam genggaman tanganku. Diantara semua baju-bajunya itu, baju inilah yang mendapatkan perhatian khusus dalam kaca mata pikiranku menerawang. Menambahkan satu lagi dugaan curiga dalam kumpulan pikiranku dan seketika memunculkan beberapa pertanyaan mendasarnya.
Pertanyaan pertama yang muncul ialah kapan dia memakai baju ini untuk keluar? Sementara aku tidak melihat Ara memakai gaun midi navy-nya ini dipakai dihari manapun saat dia bersamaku, beberapa hari belakang lalu.
Kedua. Baju ini termasuk dalam daftar baju yang jarang dia pakai sehari-hari. Yang artinya butuh momen tidak biasa untuknya mengeluarkan baju satu ini dan memakainya. Dengan kata lain itu pasti hari atau acara yang sedikit lebih spesial untuknya. Dan hari apakah itu?
Dia biasanya memakai baju ini untuk... dinner spesial bersamaku, acara pesta, kumpul bersama teman-temannya, yang notabenya tidak selalu setiap hari. Anggaplah untuk acara-acara khusus.
Jadi untuk acara apa dia memakai baju ini? Dan kapankah itu? Mengapa aku sampai tidak tahu jika dia punya momen spesial? Biasanya dia selalu mengatakan padaku jika punya acara spesial, karena biasanya dia bahkan tidak sungkan mengajak ku serta untuk menemaninya.
Apa ini yang waktu itu Tasya katakan, agar aku memberikan waktu 'me time-nya' untuk diri Ara sendiri juga? Agar dia tidak merasa bosan denganku?
Mengapa firasatku mengatakan, jika ada sesuatu yang tidak benar, juga tidak beres disini.
Kecurigaanku semakin meluas, dengan dugaan yang sama makin melebar juga dalam pikiranku. Apa? Siapa? Kapan? Kenapa dan juga mengapa adalah pertanyaan dasar yang terus muncul membanjiri isi kepalaku saat ini.
Aku menjeda pikiran kacau itu meluas.
Aku kembali memasukkan baju sisanya dalam mesin cuci dan mengatur perintah pada mesin itu. Sementara itu, aku masih mencoba mengingat-ingat ulang dari semua hari yang ku lalui selama seminggu ini kebelakang. Apa yang kulewatkan darinya. Hari manakah yang terasa aneh dan janggal dari semua hari-hari itu?
Dan aku menemukannya. Satu hari yang dia lalui tanpaku. Ada satu hari yang dia lalui tanpaku disisinya, dan ada satu hari yang tidak kuhabiskan dengannya.
Jika saja dugaanku benar, maka dia pasti tahu sesuatu. Yah, dia pasti tahu sesuatu!
Untuk memuaskan apakah dugaanku ini benar adanya, jika memang ini adalah sebuah rahasia yang dia sembunyikan lagi dariku. Aku harus bertanya dan mengkonfirmasikan ini pada seseorang.
Aku mengambil ponselku. Hanya ada dua nama saja yang kini terlintas di kepalaku, yang harusnya mereka atau salah satu dari mereka bisa menjelaskan semua dugaan dan kecurigaanku ini menjadi sebuah fakta, bukan lagi sebuah analisa. Nama pertama ialah sipemilik rahasia, yaitu Ara. Dan yang kedua si penjaga rahasia yaitu Tasya. Aku tentu memilih menghubungi yang kedua lebih dulu, guna mencari informasi terkait sebagai analisa serta jejak bukti.
Aku mencari nomernya dan menghubunginya segera.
"HALLO"
"Hai, Sya. Kau sibuk? Bisa kita bicara sebentar saja?"
"Tumben banget kau menelponku, biasanya juga text. Iya, aku agak sibuk hari ini. Jadi buruan. Kenapa? Ada apa? Kau mau bicara soal apa denganku?"
"Baiklah. Aku hanya butuh lima menit sdarimu. Jawab quis dariku okay?"
"Apa ini semacam survei? Kau bekerja untuk survei-survei sekarang?"
"Mmm, kurang lebih begitu"
"Okay. Katakan dan mulailah!"
"Waktu kemarin kau di rumah, apa kau menerima paket yang dikirim dari Indo?" aku berusaha agar tidak memancing kecurigaannya lebih dulu.
"Ngak tuh. Kayaknya gak ada paket yang datang. Kau beli barang online dan belum sampai, yah? Coba kamu cek aja pengirimannya, atau tanyakan langsung ke jasa kirimnya"
"Okay. Okay. Thank you yah"
"Hah? Kau telp cuma untuk itu? Huh, aku kira survei-survei pekerjaan"
"Emmhhh, tentu saja tidak. Ini survei yang sifatnya tidak mengikat. Dan tentu saja aku masih ada satu pertanyaan penting lainnya"
"Apa?"
"Apa arti dari ucapanmu malam itu?"
"Maaalam itu?" aku bisa menangkap ketegangan dalam suara Tasya,
"Malam itu yang mana, Aru? Yang detail dong!" kini suaranya sudah kembali stabil.
"Malam dimana Ara terasa agak aneh dan kau menjawab sesuatu yang aneh juga dengan tanyaku waktu itu"
Aku memulai serangan dari tanyaku yang sesungguhnya. Tak ingin lagi menahan diri, karena dia pasti tahu sesuatu tentang satu hari itu. Kenapa dia mengajakku untuk pergi menemaninya. Kenapa Ara juga mau menanggung ongkos perjalanan kami berdua keluar, padahal aku membebankan itu pada Tasya, tapi kenapa dia mau saja saat temannya itu balik membebankan ongkos perjalanan padanya. Kurasa itu bukan lagi karena aku pacarnya dan Tasya sahabat baiknya. Pasti ada dasar alasan lainnnya yang belum ku ketahui.
"Kau menjawab, mungkin karena kau tidak menemaninya seharian itu?" aku mengkopi-paste ucapannya waktu itu,
"Apa maksud dari kalimat mu itu yang sebenarnya, Sya?"
"Apa maksudku? Kau sungguh tidak memahaminya? Aku berbicara fakta, apa adanya kan? Bukankah kau memang tidak bersamanya seharian itu? Apanya yang aneh sih?"
Benar. Itu faktanya, aku tidak bersamanya, dan dia juga tidak bersama ku. Lalu dia bersama siapa, dong?
Sepertinya mereka berkata jujur padaku waktu itu. Tasya berkata jujur dan Ara juga berkata jujur jika dia akan hang out dengan seseorang.
Tapi siapa? Dan kenapa harus mereka rahasiakan itu dariku?
"Menurutku itu aneh saja, sekarang. Lebih aneh lagi adalah kalimat mu berikutnya. 'Kau juga sepertinya akan gila sebentar lagi' Aku kira kau berkata itu karna mengacu pada tawaku, tapi kau punya maksud lain juga kan dari kalimat konotatif itu?" aku memberinya dugaan dari sisiku kini memandang kalimatnya jadi berubah makna.
"Kenapa menurutmu aku akan gila sebentar lagi? Kenapa dan karena apa?"
Aku tersenyum dalam perasaan sedih.
Menyadarinya juga, jika mungkin Tasya sedang memprediksi keadaanku waktu itu. Aku akan menggila, bila saja aku tahu sesuatu tentang hari itu."Tasya, JAWAB AKU! Kalimat mu malam itu terdengar sangat ambigu bagiku kini. Sebenarnya kemana kau merujuk kalimat itu, hah?"
"Kau tersenyum seperti orang gila, Aru. Tentu saja aku merujuk kesana!" sangkal Tasya pada kalimatku.
"Itu yang tersurat, kan? Bagaimana dengan makna yang tersiratnya? Apa makna lain dari kalimat ambigu itu?"
"Aru, kau bersikap aneh. Apa kau demam? Kau sakit? Jadi mengigau seperti ini? Aku tidak mengerti maksud perkataan mu!" dia mengelak.
"Kurasa aku sedang sangat waras saat ini, hingga bisa mencium aroma busuk mu dengan begitu mudah"
"Sorry man, kau membuatku bingung. Dan kau hanya membuang-buang waktu berhargaku. Aku sib−"
"Jadi kau masih ingin merahasiakannya dariku?" aku memotong kalimatnya.
"Rahasia? Rahasia apa yang sedang kau bicarakan padaku saat ini, Ru?"
Lihatlah, dia masih berpura-pura tidak mengerti.
"Rahasia yang kau rahasiakan dariku"
"Kau membuatku bingung, Aru! Aku sibuk, jadi sebaiknya kita akh−" suara ketusnya mulai berubah jadi kesadaran yang membuatnya merasa harus lari, menghindar dari kejaran tanyaku. Agar dia tak semakin terjerat dalam rumit ini.
"See? Kau bersikap aneh dan juga sangat mencurigakan, Sya! Sepertinya kecurigaanku ini pada mu memang benar adanya. Jika kau memang merahasiakan sesuatu dariku dihari itukan?"
"TIDAK! Aku tida merahasiakan apapun darimu, Aru. Kau yang selalu negatif thinking padaku!"
"Nice trying, Sya! Jika kau merasa tidak merahasiakan apapun dariku, bukankah seharusnya kau bersikap terbuka? Bukan menghindar dari tanyaku dan membuatku kesal menunggu!"
"Aku sungguh tak mengerti maksudmu. APA MAUMU SEBENARNYA, RU?" dia mulai hilang kesabaran menghadapiku.
"Akui saja jika kalimat mu malam itu bersifat konotatif dan punya double meaning, bukan?"
"Hahh? Mengapa kau berpikir begitu?"
Dia mengatur ulang emosinya agar tidak terpancing olehku. Dan kurasa, kini diapun sadar apa maksudku bertanya ini dan itu padanya. Kurasa dia tahu, jadi dia mulai meningkatkan waspada.
"Aku hanya merespon dari apa yang kulihat dalam menanggapimu. Itu saja!"
"Benar, kau memang melakukannya. Kau meresponnya dengan jujur malam itu. Sangat jujur malah, melebihi Ara. Jadi jujurlah juga kali ini dan sekali lagi. Katakan siapa yang datang menemui Ara waktu itu?"
Aku tidak akan menyerah mencari semua informasi itu secara lengkap dan menyeluruh, karena dugaan itu sudah hampir terungkap.
"Aku tidak mengatakan sesuatu apapun tentang Ara. Kenapa kau menarik kesimpulan kesana dan seperti itu?"
"Tasya, aku tahu kau sangat jujur dengan kalimat pertamamu tadi, bukan?" aku mulai menunjukkan bukti,
"Kau sungguh tidak memahaminya? Aku berbicara fakta, bukankah kau memang tidak bersamanya seharian itu?−" aku menirukan ulang kalimatnya tadi,
"Itu artinya ada orang lain juga yang bersama Ara waktu kita pergi berdua, bukan? Atau memang waktu itu kau sengaja membawaku jauh dari Ara, agar dia bisa menemui seseorang, kan? Jadi katakan saja siapa yang Ara temui?"
"Huuufff..." Tasya menghela nafas berat. Seperti merasa pusing dengan semua kalimat-kalimat tuduhanku,
"Aku tidak ingin masuk dan ikut terseret dalam hubungan kalian yang rumit itu"
Dia terdengar tengah merenungi perkataanku juga kini. Dan aku merasa dia akan mengatakan sesuatu yang penting dari kalimatnya ini. Mungkin Tasya akhirnya lelah dan ingin terbuka padaku.
"Aku rasa semua pertanyaan mu itu tidak ada hubungannya denganku, Ru. Jadi sepertinya kau salah bertanya padaku, jika semua yang kau tanyakan ini sejatinya tentang Ara! Maaf, tapi aku bukan orang yang perlu memberikan penjelasan apapun padamu. Kau datang dan bertanya pada orang yang salah, kurasa! Kau membuat lima menitku terbuang dengan sia-sia, kawan"
"Aku tahu kau jelas mengetahui sesuatu dan ikut merahas− Hallo.. Sya.. Sya− hallo. Ishhh...!"
SIAL! Sambungan diputus begitu saja. Tapi pikiranku tetap tidak mau berhenti berasumsi dan terus mencoba mencari jawaban-jawaban dari teka-teki itu.
Apa? Apa sebenarnya maksud Tasya dengan kalimat gila itu? Ara jadi over bahagia karena tidak bersamaku hingga hingga menuju error dan gila? Apa maksud itu semua? Aku tahu itu juga harusnya punya maksud lain yang lebih tersembunyi. Karena dia sembunyikan rahasia. Lalu hal apa yang kira-kira bisa membuat ku gila? Mengapa aku akan gila jika mengetahui hal itu? Mengapa?
'OH NO! Oh No the other way. NO WAY! Tidak. TIDAK MUNGKIN itu ...?!' Sebuah nama baru saja melintasi pikiranku. Melolos keluar begitu saja dengan cepat dari pikiranku sendiri sebagai jawaban dari tanya monologku.
Aku merasa pahit mendapati nama itu muncul begitu saja dari pikiranku.
'TIDAK MUNGKIN ITU ARNOLD, KAN?' getir batinku menerka sekali lagi.
"Tidak mungkin itu dia, kan yang datang kemari dan menemui Ara? Tapi itu juga mungkin saja, terlebih ada campur tangan Tasya disini, untuk mengawasi sekaligus menyandra gerak ku. Dan ini jadi semakin masuk akal dinalar. Dan tentang bensin yang Tasya minta kepada Arapunn kini jadi masuk akal"
SIAL! Mengapa aku baru saja memahami ini? Mengapa pemahaman ini datang terlambat padaku? Kenapa tidak datang tepat waktu?
Okay. Baiklah, mungkin aku tidak bisa mendapatkan pernyataan Tasya secara terus terang, tapi aku tahu kalimat terakhirnya juga merupakan petunjuk yang dia benarkan dan akui secara tersirat juga, yang menunjukkan padaku kemana harusnya aku mencari semua kejelasan ini. Tentu saja, ARA sendiri yang akan menjawab semua ini nanti!
Jika itu memang Ar-no, harusnya aku bisa mengajaknya berbicara empat mata. Membahas ini semua dengan tuntas dengannya, selagi kami bisa saling bertatap muka. Harusnya, memang harus ada duel diantara kami. Lalu kita akan sama-sama tahu siapakah yang akan memenangkan Ara.
Ya, tapi Tasya benar. Dia melakukan hal yang benar dengan melepas tangan dari urusan kami, agar ia tak terseret terlalu jauh dan terlalu dalam dalam kerumitan ini. Ini hanya masalah ku dengan Ara. Kamilah yang akan menuntaskannya bersama, tanpa membawa serta orang lain ataupun pihak ketiga ikut campur.
Tapi apa benar itu dia, yang datang? Mungkin saja orang lain. Mungkin saja, ini bukan baju darinya. Mungkin saja, semua dugaankulah yang salah. Karena, itupun terasa tidak benar bagiku.
Ara tak akan berubah pikiran dengan begitu cepat, bukan? Berpaling dariku, setelah malam lalu bahkan memintaku untuk membawanya lari tapi aku tak menyetujuinya. Karena lari dari semua inipun terasa tidak benar dan tidak menyelesaikan permasalahan.
Apa kau juga akan berubah pikiran dengan cepat hanya karena orang lain, Ara? Orang yang baru beberapa bulan lalu kau kenal. Itu tidak benar, bukan?
Baiklah. Kita lihat saja sejauh mana aku bisa menemukan semua jejak-jejak puzle-nya, untuk merubah dugaan ini menjadi sebuah kepastian yang benar.
Aku pasti akan menemukan ketepatan itu dalam mengungkap fakta aslinya.
Lalu kita akan lihat...,
Apakah satu nama yang masih tertinggal dan mengganggu dalam pikiranku itu, benar jejaknya telah berada disini beberapa hari lalu bersama kekasihku?
Lalu kita akan lihat...,
Apakah ini akhir dari garis kebersamaan ku dengan Ara. Ataukah akan ada maaf sekali lagi untuknya?
Kita akan lihat, sebentar lagi.
Tentu sebentar lagi!
*****
"... Aku tidak bisa jujur karena, kata jujurku akan jadi luka baru ditempat mu ..." ~ Ara ~ Beberapa hari lalu Tasya mengirimiku pesan aneh yang tidak ku pahami maksudnya, dia menyuruh ku agar berhati-hati dengan Aru, sementara aku sendiri tidak merasa ada yang aneh dari Aru, kecuali satu hal saja. Dia hanya memutar satu lagu galau saja sepanjang hari lalu, itu lagu hit ditahun 2000-an. Padahal biasanya dia mendengarkan banyak lagu dalam sehari. Selebihnya dia masih baik-baik saja, dia masih memperhatikan ku sama, walau yah kadang memang ada komunikasi yang slip diantara kita. Tapi kita masih baik-baik saja. Ini hari libur nasional, baik aku maupun Aru sama-sama berada di rumah. Tapi nanti rencananya kami akan keluar bersama. Sejak liburan kami gagal waktu itu. Kami belum sempat lagi kemana-mana. Jadi aku mengusulkan ulang padanya agar dia membawaku pergi berlibur, sejanak memenggal semua urusan sibuk kami ka
"... Kau meninggikan bukan untuk menyanjung melainkan untuk menjatuhkan ... "~ Aru ~"Ra..." aku memanggil namanya tapi kemudian merasa ragu menunjukkan kalimat lanjutannya.Aku hanya ingin semua masalah ini terselesaikan hari ini, tanpa perlu menundanya terus menerus. Tapi aku juga takut semua kalimatku akan membebaninya seperti hari lalu, hingga membuatnya tak sadarkan diri. Jadi aku membuat gerakan peralihan dengan menyuapinya sepotong buah yang ada dihadapanku.Hening. Sepi kembali mengisi diantara kami, bukan karena aku tak punya kalimat untuk dikeluarkan. Bukan!Ada ratusan kalimat yang mengganggu dipikiranku, hanya saja aku tidak bisa mengeluarkan semuanya begitu saja. Mungkin bisa, sangat mudah bagiku mengeluarkannya begitu saja apalagi saat kepalaku dibanjiri dengan begitu banyak pemikiran campur aduk seperti ini.Hanya saja, yang membuat ini semua jadi sulit diutarakan, itu kar
"... Kau bukan orang asing bagiku, Kau juga berharga untukku ... " ~ Ara ~ "Leave him!" "Wha...t? Leave...?" Aku tidak menyangka dia akan memintaku untuk melakukan hal semacam itu. Tentu saja ini tidak semudah itu, Aru. Ini tidak se-simpel seperti ucapan mu itu juga. Bagaimana bisa kau mengatakan dan meminta itu padaku? Aru, aku memang lebih menyukaimu dari pada Arnold untuk saat ini. Tapi bukan berarti aku bisa dengan mudah meninggalkan dia. Itu terlalu berat untuk ku. Itu akan memicu banyak kekacauan dalam keluargaku. Dan aku tidak yakin bisa mengatasinya, jika itu sampai terjadi. Namun, mengatakan semua itu pada Aru juga percuma saja. Dia tak bisa melihat posisi rumitku disini. Dia hanya melihat dirinya, cintanya juga luka-lukanya karenaku. Aku tidak yakin dia akan paham dengan keadaan ku, karena akupun tidak sepenuhny
"... Waktu tidak merubah kalian menjauh, tak juga merubah wajah asyik kalian ... "~ Aru ~Seperti biasanya, Zein berdiri di depan pintu setelah pintunya terbuka, namun tidak segera menyuruhku masuk kedalam rumahnya. Dia menatapku curiga, seperti menduga ada yang tak biasanya darinya."Sepertinya ada yang diusir dari rumah. Kalian bertengkar lagi, ya?" ujarnya saat melirik tangan kananku yang menjinjing tas lebih besar dari biasanya."Tidak""Kenapa bajumu basah? Hujan huh, disuatu tempat?" aku ikut melirik bajuku.Benar. Karena buru-buru mengemas baju-bajuku, aku sampai lupa belum mengganti bajuku yang basah karena disiram Ara tadi."Kenapa pipimu juga merah sebelah? Tidak mungkinkan itu karena blush on?" tanyanya menyindir juga ingin tahu."Hufft, tidak bisakah kau membiarkan teman mu ini masuk lebih dulu? Baru interogasinya belakangan"Zein terkekeh sej
"... Rasanya menyakitkan, kau harus berpisah dari orang yang kau sayangi ..." ~ Aru ~ Sejak ditinggal Zein sendirian dan tak punya teman berbicara, kini aku lebih sering terperangkap dalam lamunan. Membawa bayang-bayang Ara ikut serta kemana saja, bahkan ke tempat kerja hingga aku kehilangan fokus hari ini. Pertama, aku salah membuat kopi pesanan pelanggan karena kepalaku dibawa arus melamun, memikirkan Ara. Kedua, aku menumpahkan ekspresso ke baju pelanggan dan membuatnya marah. Ketiga, aku memecahkan gelas karena tersandung kaki kursi. Bos lantas memanggilku dan menyuruhku pulang lebih awal. Beruntung dia hanya menyuruh ku istirahat di rumah tidak sekaligus memecatku. Tapi berita buruknya, gajiku akan dipangkas untuk mengganti rugi kesalahanku. Apa yang terjadi denganku saat ini?Kenapa setelah berhari-hari aku baru merasakan kacau seperti
"... Nama itu masih memiliki efek berat bagi diriku ..."~ Ara ~Ketukan dua kali di pintu menyadarkan aku pada remang-remangnya lamunan yang tengah menjajah pikiran."Ra, breakfast is ready"Aru?"I'm coming, Bi..." sahutku dengan semangat keceriaan baru, namun berubah jadi kaku saat wajah yang tanpak diambang pintu berbeda."Bieee?" wajah heran Tasya muncul dari baliknya, "Kau memanggilku, Bi? Seriously?" protesnya."Oh, sorry. Ku kira itu−""Aru?" Tasya memutar bola matanya lelah menanggapiku."So sorry, Sya. Habis kau melakukan kebiasaa−" belaku sendiri."Kau bahkan tidak bisa membedakan suara cantikku dengan suaranya ARU, apa?" katanya tampak sangat kecewa."Kenapa kau mengetuk pintu? Biasanya juga tidak!""Apa hanya Aru yang boleh mengetuk pintu? Aku tidak
"... Akan ada saatnya indah datang menyapamu ..."~ Ara ~Aku masih bersama Tasya dan belum keluar dari mall inni, tapi kalimat tadi sungguh masih terperangkap di pikiran dan membuatku terganjal.Apa yang sebenarnya terjadi padaku? Mengapa pikiranku tak berhenti memikirkannya? Mengapa aku membawa bayang-bayang Aru kemana saja aku pergi? Apa ini semacam rindu? Atau hanya sebuah perasaan kacau yang tak menentu? Ku harap ini bukan semacam firasat buruk, karena dia tak menanggapi chat dari sapaan-sapaan beruntun ku.Baiklah. Mungkin aku hanya perlu mengeluarkan ingatan itu tentangnya. Jikka ini hanya rinndu, ingatan itu pasti akan sedikit membantu mengobatinnya."Apa aku boleh membeli ini?" tanyaku waktu itu pada Aru.Dia tidak langsung menjawab, tapi malah balik menatapku dengan tanyanya."Kenapa kau ingin membeli itu?""Imut aja. Lagian aku juga belum punya""Araa
"... Semoga bersamamu, membuatku lupa pada sakitnya patah hati ... "~ Aru ~- INDONESIA -Aku mengikuti saran Zein untuk memberitahukan Quin saat aku pulang kampung, itulah kenapa dia ada disini sekarang. Dia sedang main ke rumahku."Kak sudah lihat grup keluarga belum?" teriak adik perempuanku dari dalam rumah, maklum aku ada di teras."Belum. Kenapa?""Ke pantai" Dila melongokkan wajahnya dari balik pintu, "Kak Quin? Wah, apa kabar? Lama ngak ketemu, kangen deh" sapanya pada temanku dan ikut serta duduk begitu saja di kursi kosong sebelah Quin.Aku yakin jika dia seumuran, dia akan sama akrabnya dengan Quin. Bahkan mungkin mengalahkanku."Baik, sehat, alhamdulillah""Kakak sudah lama disini? Kok aku sampai ngak tahu sih?""Gimana mau tahu, kau cuman tidur aja seharian ini" aku mengguraui adikku."Enak aja, orang aku di dalam lagi beres-beres
~ Ara ~ . . . ... Sepasang sesal ... Menepikanmu yang kurasa sanggupMeniadakanmu yang kurasa mampu Tapi bayangmu tak pernah jauh dari heningkuDan seluruh heningku tak pernah sepi darimu Jangan menyerah Karena kau masih memikatkuDan hatiku masih terpaut dekat denganmuSekalipun kau tak tahu itu benarSekalipun tak ku ucapkan dengan benar Kau tahu aku hanya berlagakKau tahu aku selalu malu berbicara cintaJadi bisakah sekali lagi kau menunggukuKuharap hatimu tak berubah padaku Sekalipun kini hanya berat yang tertinggal Dan benteng kuatku telah menemui lapukan terlemahnya berupa sesal. . . - Guilty on tuesdays - " Lyn Wen " . . I hope one day you'll come backAnd at least say hiWipe off the tears on my faceAnd give us a try, Cause I can tellYou're done with this leaving hell yeah...I can tellYou're done with what I do To keep me away from youTo keep me away from you, Every good moment has passedYou're still not hereCrying alone in my car seems to famil
"... Aku tak perlu berkorban lagi untukmu, karena kau telah bahagia ..." ~ Aru ~ . . Pernah aku terpenjara dalam jerat cinta, yang membawa arusku jadi seru dan semu, tapi aku jatuh juga dari ketinggian mencinta kedalam ulu hara, dalam perangkapnya kasih menjadi siksa. Karena itu, setelah badai tikai itu, aku memilih menutup diri. Memberinya kemerdekaan dalam hilangku. Dan kutangani sisa luka, konsekuensi dari berani mencintainya, sendiri. Tak kubiarkan orang tahu atas luka patah hatiku. Kusembunyikan kepatahan itu dari sekelilingku. Karena aku tak ingin membebankan perasaan luka yang kuterima pada orang lain, dan itulah kebijakanku. Meski itu tak mudah, aku berhasil membuatnya terlihat begitu. Serupa seperti tak berlinang air mata. Serupa hatiku tak retak karena terluka. Padahal diam-diam akupun menangis dalam sembunyiku. Di kamar mandi, atau dibilik kamar redup lampu. Lantas pura-pura tidur saat ada yang mendekat. Sebab aku tak punya alasan benar, menunjukkan pedihku pada mere
"... Biarkan hatimu menuntun maunya, tapi ijinkan takdir yang memutuskan jawabnya ... " ~ Ara ~ . . "Ara, aku bertemu dia. Kami bicara. Tentu aku melihat apa yang tak bisa kau lihat darinya, Ra" "ARU TAK BAIK, RA." "TIDAK. Dia harus baik-baik saja. Harus!" "Yah, tampaknya memang begitu" "Tampaknya?" "Mau menggeser sedikit saja persepsimu akan kebencian Aru padamu itu?" "Tak yakin!" "Bagaimana jika kepergiannya itu bukanlah atas dasar kebenciannnya? Mungkin saja itu sesuatu yang lain" "TIDAK. Itu harus benci. HARUS!" "Dan bagaimana jika yang kau lihat benci itu, mungkin, sebenarnya hanya bentuk lain dari luka? Mungkin itupun bentuk dari defensif Aru dalam melindungi hatinya. Bukan benci" "Kenapa begitu?" "Aru bisa saja menjadi brengsek waktu itu. Dia bisa merusak pernikahanmu sebelum takdir melakukannya. Tapi alih-alih begitu, dia malah memilih mundur. Menarik semua kedekatannya darimu tanpa menciptakan kegaduhan, Ra. Jadi Apa tindakan itu mencerminkan kebencian?" Aku m
"... Takdir memaksa kita mengerti dan menerima keadaan tak baik kita, meski kita tak ingin... " ~ Ara ~ . . - THE WEDDING - Aku baru selesai dirias dan Tasya masuk. "Woooh.. who's this gurl? So gorgeous!" "Thank you" Aku senang menerima pujian itu. Meski hatiku juga merasakan getir gelisah yang lain. "Bagaimana rasanya jadi mempelai?" "Nervous, I guess?" "Kurasa akupun akan begitu saat diposisiimu. Wajar, Ra. Itu gerogi yang baik" "Kuharap begitu. Tapi lebih dari itu. Aku sangat bahagia. Akhhirnya Sya... Akhirnya!" "Umh, I'm so happy for you too" Sudut mata kami mengeluarkan embun haru. Tasya lalu memelukku. "Okay-okay, ini hari bahagiamu dan aku tak ingin riasanmu rusak karena kebahagiaan ini" Kami menghapusnya. "U
"... Kau mungkin bahagia, tapi benarkah itu kebahagian yang ingin kau jalani ... "~ Ara ~.."Tasya?""Surprise!"Dia memelukku."Katamu besok?""Tidak jadi. Aku mempercepat segalanya""Masuklah!""So, how's your life Ara?""Seperti yang bisa kau lihat. Baik!""Kau menjawab persis seperti seseorang" gumamnya, "Kau sedang sibuk?""Tidak""Apa yang akan kita lakukan hari ini?""No shopping, karena kau pasti masih jetlag. And I'm not about going anywhere. Jadi kurasa kita hanya perlu disini saja""Good girl. Kau sangat memahamiku!""O-ya, kau jadi ketempat Zein?""Ya""Dia mengusirmu?""Tidak. Dia berubah menyenangkan""Uh, impresif. Kalian membicarakanku?""Sedikit. Oh, iya, kau mau minum apa?""Tak perlu repot. Aku bukan tamu istimewa""Aku k
"... Cinta itu telah berakhir ..."~ Aru ~.."Berjuang lebih keras, Aru!""Kau kira kenapa aku bertahan dalam sengsara itu jika bukan untuk berjuang?""Sudah Tasya! Aku mencoba segala yang kubisa. Dari memprovokasi cemburunya, memperbaiki emosiku, hingga bersikap manis padanya untuk mendapatkan lagi hatinya. Tapi Arnold yang selalu menang. Kau hanya tak tahu usahaku itu!"Dia termenung."Aku berupaya hingga tak punya cara lain lagi selain menyudahi keegoisanku untuk memilikinya seorang diri.""Huhf..." helanya."Aku pasti jadi psycho jika diposisimu. Kau harusnya gunakan emosi kesalmu itu untuk memukuli seseorang. Jangan diam saja dan malah lari!"Aku terhibur mendengarnya.Apa dia tak tahu aku memukul Ara waktu itu?"Kau pernah punya pikiran jahat? Seperti psycho?""Mungkin""Sungguh? SESAIKO APA?""Mungkin karen
"... Rasanya aku ingin membunuhnya saat melihatnya pamer bahagia, sedang aku menahan nyilu dan cemburu ..." ~ Aru ~ . . Aku terdampar dalam sebuah kemegahan asing dalam duniaku. Tapi ini bukan ilusi. Aku duduk merenung, menikmati nyaman yang belum pernah kunikmati begini sebelumnya. Membahagiakan. Aku menghirup aroma cappucinoku, sebelum mengecap bagaimana rasanya. Dan benar rasanya istimewa, seperti harganya yang bisa membuat dilema kepala orang biasa. Tapi disinilah aku kini, mengagumi soreku yang biasanya tak selalu indah. Tapi kini berubah begitu menawan dalam sekedip. Aku menyesap lagi gelas kopiku, sambil menunggu dengan santai seseorang yang telah membuat janji temu denganku. Dudukku mulai menyila, tapi bosan masih jauh dari pikiranku. Meskipun kini aku terkurung di lantai 122, diketinggian ratusan meter, dalam atmosfer megah restauran kelas dunia, di Burj Khalifa.
"... Itu pilihan, ingin menjadikannya ujian dalam cinta atau takdir dalam cintamu... "~ Ara ~ . . Kenapa aku sendiri masih terus ragu dengan apa yang Zein tuturkan barusan. "Ara, kau masih mencintainya, kan?" "Entah Zein!" "Apa kau tahu, ragu adalah bagian dari iya yang belum disetujui lewat kata""Yang kutahu, aku tidak kesini untuk membahas hal seperti itu" "Benarkah? Apa kau pikir hanya dengan modus mengembalikan ini, aku lantas percaya? Tidak Ara. Aku tak sebodoh itu!""Kau terlalu berlebihan Zein""Menyangkalnya membuat hatimu lebih baik?""Zein, Aru membenciku!""Maksudku dia masih membenciku, kan?" aku mencari defensif lain."Ya, benar. Dia membencimu hingga tak ingin lagi melihatmu. Hingga ingin menguburmu. Hingga ingin menghilang darimu. Dan itu benar, dia membencimu"Hatiku terluka mende
"... Mengapa orang lain bisa melihat cintaku dengan jelas, tapi aku tidak ... "~ Ara ~ . . Ada banyak hal yang ingin kusampaikan saat berada dalam masa perenungan lalu. Karena kehilangan Aru membuatku tak seimbangan. Tapi setiap kali menatap wajah penuh lukanya, akupun kehilangan cara untuk membela diri dari kekacauan yang kubuat sendiri. Kalimatku lenyap, bibirku terbungkam. Aku tak bisa menyanggah kalimat penuh lukanya karenaku. Dan karena itu, yang terlintas hanya perasaan sesalku, jadi alih-alih membela diri, aku lebih ingin meminta maaf.Tapi Aru selalu tak ingin mendengarnya. Dia tak ingin mendengarnya, seberapapun aku merasa bersalah padanya.Tapi menyumpahiku gagal menikah adalah hal yang paling tak bisa kuterima. Dan itu sangat melukai hati terdalamku.Begitulah aku menyerah pada akhirnya. Karena mungkin dengan membiarkannya pergi, itu menghinda