~ Aru ~
- INDONESIA -
Aku mengikuti saran Zein untuk memberitahukan Quin saat aku pulang kampung, itulah kenapa dia ada disini sekarang. Dia sedang main ke rumahku.
"Kak sudah lihat grup keluarga belum?" teriak adik perempuanku dari dalam rumah, maklum aku ada di teras.
"Belum. Kenapa?"
"Ke pantai" Dila melongokkan wajahnya dari balik pintu, "Kak Quin? Wah, apa kabar? Lama ngak ketemu, kangen deh" sapanya pada temanku dan ikut serta duduk begitu saja di kursi kosong sebelah Quin.
Aku yakin jika dia seumuran, dia akan sama akrabnya dengan Quin. Bahkan mungkin mengalahkanku.
"Baik, sehat, alhamdulillah"
"Kakak sudah lama disini? Kok aku sampai ngak tahu sih?"
"Gimana mau tahu, kau cuman tidur aja seharian ini" aku mengguraui adikku.
"Enak aja, orang aku di dalam lagi beres-beres
"... Kami terjebak dalam kebuntuan, dengan akhir yang tidak menentu ..." ~ Aru ~ Semua keluargaku berada dalam mobil Quin. Dan keluarga Budhe dalam mobil anaknya. Pakdhe tidak jadi ikut karena masih di bengkel. Mungkin dia akan menyusul nanti jika urusan mobilnya beres dan waktunya juga cukup. Mobil Quin berhenti disebuah mini market setelah berjalan sekitar 15 menitan. Kakak ku berbicara pada Dila sebentar, memberi instruksi padanya apa yang harus dibeli. "Ada yang mau nitip?" "Es krim" Quin berkata padaku lirih seraya memegang lengan tanganku. Tatapan polos dan manisnya membuatku luluh seketika. "Es Krim" teriakku menyampaikan titipan. "Aku juga mau es krim" Zufan ikut berteriak memesannya. "Aku mau... Aku mau... Aku juga" riuh. Semua bocil-bocil didalam mobil ini menyuara, menginginkannya juga.Quin makin melebarkan senyumnya.
"... Sulit memag, jika kau masih memiliki nafas cinta untuk orang yang melukai hatimu juga ..."- PANTAI -"Aru.... Kau tahu apa yang paling berat?"AKU MENGANGKAT BAHU. TIDAK TAHU."Saat aku mencintaimu dan kau tak bisa dimiliki"What? Apa Quin baru saja mengungkapkan perasaannya padaku?Aku jadi menatapnya dengan raut paling serius. Apa yang baru saja terjadi? Sulit mencerna dengan benar dengan maksud dan ucapan Quin barusann.Dia membuatku hampir salah paham.Aku tahu dia tidak sedang serius mengatakannya, walau wajahnya terlihat cukup serius dan meyakinkan. Aku hampir terkelabuhi olehnya."Aku tahu kau tidak srius. Jangan bermain dengan kalimat seperti itu untuk mempermainkan perasaan dan fokusku Quin. I kknow you!"Quin tersenyum girang karena aku tidak tertipu dengan kalimatnya. Mungkin dia juga tersenyum untuk mele
"... Namanya mampu mengundang perih datang, menghapus jejak bahagia ..."~ Aru ~"Aku rapuh, Ru. bisakah kau memelukku?" katanya lirih dengan pandangan melamun.Aku ragu jika itu benar-benar sebuah permintaan dari Quin. Kurasa itu hanya sebuah simbol ungkapan akan perasaan dia yang tengah kacau juga gundah. Jadi aku tidak menanggapinya dengan serius.Kami diam lagi, sampai suara Dila hadir memecah keheningan ini."Kak saatnya pulang" teriaknya dari kejauhan jarak yang memisah kami.Aku memberinya simbul tangan OK. Lantas adikku pergi lagi."Ru, mulailah menghiburku dari sekarang" ujarnya padaku mengganti wajah sedihnya dengan senyum hangat.Alright.Quin kembali tegar kini."Yahh, you better get ready!" teriakku saat jarak kami terpisah agak jauh......."Cek-cek sebelah kalian. Ja
"... Untuk pertama kalinya aku mengerti jika wajah rindu bisa memberi siksa ... "~ Ara ~Hari-hari ini terlewati dengan sangat membosankan, terlebih karena waktu terasa berjalan seperti di punggung kura. Lama sekali dan itu mengesalkan, terlebih saat aku tidak banyak kegiatan belakangan ini. Lembur pun tidak.Pikiranku jadi kembali lagi pada Aru, dan perasaan kesepian ini makin mengikat juga mendekapku terlalu erat. Hingga semua ini membuatku berlari lagi pada kenangan indah yang bisa menghibur perasaan kacau juga sendiriku.Mana bisa aku tahan air mata kesepian ini. Mana bisa aku tahan perasaan rindu ini, walaupun mungkin beberapa hari lalu aku masih mengelak jika ini bukan rindu. Ini hanya perasaan hampa. Hanya perasaan sakit patah hati. Tapi kali ini aku harus mengalah dan jujur pada diriku sendiri. Jika ini adalah rindu yang cukup menyiksa, rindu yang tak bisa ditampakkan dengan benar wujudnya.
"... Aku tahu rindu bisa menghadirkan nyilu dan siksa, tapi baru tahu jika rindu bisa membuat orang jadi anomali ..."~ Aru ~Aku terbangun dari tidurku karena mimpi yang cukup menyedihkan. Aku melihat Ara terjatuh dari sepeda dan aku menangis begitu kacaunya karena melihat Ara tidak bergerak lagi.Aku duduk dipinggiran kasur dengan wajah agak pucat tapi perasaan melega, karena semua itu hanyalah mimpi.Semoga dia baik-baik saja. Dia harus baik-baik saja! Apa dia baik-baik saja? Perasaanku jadi kacau lagi hanya dengan menanyakan pada diriku sendiri pertanyaan keraguan semacam itu. Tapi aku segera menepisnya.Dia baik-baik saja. Terakhir kali aku melihatnya, dia masih baik-baik saja. Dia terlihat baik-baik saja tanpa adaku.Menyedihkan. Tapi begitulah adanya.Ara masih bisa tersenyum dan masih juga bisa makan dengan benar. Dia masih bisa hang out dan mengob
"... Putus, tidak membuat keadaan kita lebih baik ..."~ Ara ~Aku membeku didepan pintu, melihat orang yang kurindukan berdiri tegak didepanku. Bagaimana bisa dia datang diwaktu yang sangat tepat begini? Apa kini aku juga punya pemancar radar seperti milik ...? Jadi dia bisa merasakannya? Atau ini hanya sebuah kebetulan belaka. Padahal aku kira dia masih disana bersama ....Tunggu! Tunggu sebentar. Ini bukan hanya halusinasi atau ilusi dari perasaan rinduku yang terlalu kuat semata, bukan?Nyata atau tidak. Yang jelas semua perasaan berat dan lesu dan sunyi itu lenyap dalam sekejap hanya dengan melihatnya kembali. Aru memang obat mujarab untuk semua gundahku.Ah, ini hari apa? Malam minggu kelabu?! Kenapa imaginasi ini terasa begitu nyata? Karena aku merasa amat kosong, kurasa. Jadi bayangan Aru jadi senyata ini."Hai..."Dia bahkan mengucapkan hai yang ter
"... Putus tetap saja menyekat perasaan kita tak bisa normal seperti biasanya ..."~ Ara ~Aku langsung menuju dapur dan membuka lemari paling atas, dimana mie instan biasanya ku simpan."Spageti, pasta atau mie instan?""Yang paling simpel dan cepat""Indomi? Ramen? Bihun? Laksa?""Indomi dong. Tapi apapun buatanmu pasti ku makan""Bagaimana klo ditambah cabe?""Tetap akan ku makan mie-nya bukan cabenya""Klo aku menyuruhmu makan cabenya juga. Kau tetap akan makan?""Ya, meskipun sedikit. Karena itu permintaan mu""Okay. Kau bisa duduk dan menunggu"Aku menyalakan kompor dan Aru melepas tas slempangnya, menuruti perintah ku. Tapi kemudian aku mengingat sesuatu. Aku memintanya untuk mengambilkan ponselku agar aku bisa memastikan satu hal darinya."Kau bisa mengambilkan ponselku?""Dimana?""Balkoni"
"... Hati manusia tidak di desain untuk selamanya kuat ..." ~ Aru ~ Aku mencuci mangkok ku saat Ara sedang ke kamar mandi, katanya mau sekalian gosok gigi. Lalu aku membaca pesan balasan dari Zein yang datangnya sangat terlambat. "Mate, ARE YOU F***KING KIDDING ME?" balasan pertamanya, "Kendalikan dirimu foolish. Kau sudah putus dengannya!" tambanya Zein. "Don't get mad dude" balasku, "Kau kemana saja tadi? Baru sekarang membalasku. TOO LATE NOW! Aku sudah terlanjur memperbaikinya" "WTF?" makkinya kesal, "Kau lupa time difference? Ini tengah malam di Sydney" "Yah, kurasa aku lupa tentang itu. Siapa juga yang tahu klo kau sedang di Sydney? Aku kira kemarin Shanghai bukan Sydney" "Panjang ceritanya. Lagian ini bukan ceritaku, ini tentang ceritamu. Jadi kembali kemas
~ Ara ~ . . . ... Sepasang sesal ... Menepikanmu yang kurasa sanggupMeniadakanmu yang kurasa mampu Tapi bayangmu tak pernah jauh dari heningkuDan seluruh heningku tak pernah sepi darimu Jangan menyerah Karena kau masih memikatkuDan hatiku masih terpaut dekat denganmuSekalipun kau tak tahu itu benarSekalipun tak ku ucapkan dengan benar Kau tahu aku hanya berlagakKau tahu aku selalu malu berbicara cintaJadi bisakah sekali lagi kau menunggukuKuharap hatimu tak berubah padaku Sekalipun kini hanya berat yang tertinggal Dan benteng kuatku telah menemui lapukan terlemahnya berupa sesal. . . - Guilty on tuesdays - " Lyn Wen " . . I hope one day you'll come backAnd at least say hiWipe off the tears on my faceAnd give us a try, Cause I can tellYou're done with this leaving hell yeah...I can tellYou're done with what I do To keep me away from youTo keep me away from you, Every good moment has passedYou're still not hereCrying alone in my car seems to famil
"... Aku tak perlu berkorban lagi untukmu, karena kau telah bahagia ..." ~ Aru ~ . . Pernah aku terpenjara dalam jerat cinta, yang membawa arusku jadi seru dan semu, tapi aku jatuh juga dari ketinggian mencinta kedalam ulu hara, dalam perangkapnya kasih menjadi siksa. Karena itu, setelah badai tikai itu, aku memilih menutup diri. Memberinya kemerdekaan dalam hilangku. Dan kutangani sisa luka, konsekuensi dari berani mencintainya, sendiri. Tak kubiarkan orang tahu atas luka patah hatiku. Kusembunyikan kepatahan itu dari sekelilingku. Karena aku tak ingin membebankan perasaan luka yang kuterima pada orang lain, dan itulah kebijakanku. Meski itu tak mudah, aku berhasil membuatnya terlihat begitu. Serupa seperti tak berlinang air mata. Serupa hatiku tak retak karena terluka. Padahal diam-diam akupun menangis dalam sembunyiku. Di kamar mandi, atau dibilik kamar redup lampu. Lantas pura-pura tidur saat ada yang mendekat. Sebab aku tak punya alasan benar, menunjukkan pedihku pada mere
"... Biarkan hatimu menuntun maunya, tapi ijinkan takdir yang memutuskan jawabnya ... " ~ Ara ~ . . "Ara, aku bertemu dia. Kami bicara. Tentu aku melihat apa yang tak bisa kau lihat darinya, Ra" "ARU TAK BAIK, RA." "TIDAK. Dia harus baik-baik saja. Harus!" "Yah, tampaknya memang begitu" "Tampaknya?" "Mau menggeser sedikit saja persepsimu akan kebencian Aru padamu itu?" "Tak yakin!" "Bagaimana jika kepergiannya itu bukanlah atas dasar kebenciannnya? Mungkin saja itu sesuatu yang lain" "TIDAK. Itu harus benci. HARUS!" "Dan bagaimana jika yang kau lihat benci itu, mungkin, sebenarnya hanya bentuk lain dari luka? Mungkin itupun bentuk dari defensif Aru dalam melindungi hatinya. Bukan benci" "Kenapa begitu?" "Aru bisa saja menjadi brengsek waktu itu. Dia bisa merusak pernikahanmu sebelum takdir melakukannya. Tapi alih-alih begitu, dia malah memilih mundur. Menarik semua kedekatannya darimu tanpa menciptakan kegaduhan, Ra. Jadi Apa tindakan itu mencerminkan kebencian?" Aku m
"... Takdir memaksa kita mengerti dan menerima keadaan tak baik kita, meski kita tak ingin... " ~ Ara ~ . . - THE WEDDING - Aku baru selesai dirias dan Tasya masuk. "Woooh.. who's this gurl? So gorgeous!" "Thank you" Aku senang menerima pujian itu. Meski hatiku juga merasakan getir gelisah yang lain. "Bagaimana rasanya jadi mempelai?" "Nervous, I guess?" "Kurasa akupun akan begitu saat diposisiimu. Wajar, Ra. Itu gerogi yang baik" "Kuharap begitu. Tapi lebih dari itu. Aku sangat bahagia. Akhhirnya Sya... Akhirnya!" "Umh, I'm so happy for you too" Sudut mata kami mengeluarkan embun haru. Tasya lalu memelukku. "Okay-okay, ini hari bahagiamu dan aku tak ingin riasanmu rusak karena kebahagiaan ini" Kami menghapusnya. "U
"... Kau mungkin bahagia, tapi benarkah itu kebahagian yang ingin kau jalani ... "~ Ara ~.."Tasya?""Surprise!"Dia memelukku."Katamu besok?""Tidak jadi. Aku mempercepat segalanya""Masuklah!""So, how's your life Ara?""Seperti yang bisa kau lihat. Baik!""Kau menjawab persis seperti seseorang" gumamnya, "Kau sedang sibuk?""Tidak""Apa yang akan kita lakukan hari ini?""No shopping, karena kau pasti masih jetlag. And I'm not about going anywhere. Jadi kurasa kita hanya perlu disini saja""Good girl. Kau sangat memahamiku!""O-ya, kau jadi ketempat Zein?""Ya""Dia mengusirmu?""Tidak. Dia berubah menyenangkan""Uh, impresif. Kalian membicarakanku?""Sedikit. Oh, iya, kau mau minum apa?""Tak perlu repot. Aku bukan tamu istimewa""Aku k
"... Cinta itu telah berakhir ..."~ Aru ~.."Berjuang lebih keras, Aru!""Kau kira kenapa aku bertahan dalam sengsara itu jika bukan untuk berjuang?""Sudah Tasya! Aku mencoba segala yang kubisa. Dari memprovokasi cemburunya, memperbaiki emosiku, hingga bersikap manis padanya untuk mendapatkan lagi hatinya. Tapi Arnold yang selalu menang. Kau hanya tak tahu usahaku itu!"Dia termenung."Aku berupaya hingga tak punya cara lain lagi selain menyudahi keegoisanku untuk memilikinya seorang diri.""Huhf..." helanya."Aku pasti jadi psycho jika diposisimu. Kau harusnya gunakan emosi kesalmu itu untuk memukuli seseorang. Jangan diam saja dan malah lari!"Aku terhibur mendengarnya.Apa dia tak tahu aku memukul Ara waktu itu?"Kau pernah punya pikiran jahat? Seperti psycho?""Mungkin""Sungguh? SESAIKO APA?""Mungkin karen
"... Rasanya aku ingin membunuhnya saat melihatnya pamer bahagia, sedang aku menahan nyilu dan cemburu ..." ~ Aru ~ . . Aku terdampar dalam sebuah kemegahan asing dalam duniaku. Tapi ini bukan ilusi. Aku duduk merenung, menikmati nyaman yang belum pernah kunikmati begini sebelumnya. Membahagiakan. Aku menghirup aroma cappucinoku, sebelum mengecap bagaimana rasanya. Dan benar rasanya istimewa, seperti harganya yang bisa membuat dilema kepala orang biasa. Tapi disinilah aku kini, mengagumi soreku yang biasanya tak selalu indah. Tapi kini berubah begitu menawan dalam sekedip. Aku menyesap lagi gelas kopiku, sambil menunggu dengan santai seseorang yang telah membuat janji temu denganku. Dudukku mulai menyila, tapi bosan masih jauh dari pikiranku. Meskipun kini aku terkurung di lantai 122, diketinggian ratusan meter, dalam atmosfer megah restauran kelas dunia, di Burj Khalifa.
"... Itu pilihan, ingin menjadikannya ujian dalam cinta atau takdir dalam cintamu... "~ Ara ~ . . Kenapa aku sendiri masih terus ragu dengan apa yang Zein tuturkan barusan. "Ara, kau masih mencintainya, kan?" "Entah Zein!" "Apa kau tahu, ragu adalah bagian dari iya yang belum disetujui lewat kata""Yang kutahu, aku tidak kesini untuk membahas hal seperti itu" "Benarkah? Apa kau pikir hanya dengan modus mengembalikan ini, aku lantas percaya? Tidak Ara. Aku tak sebodoh itu!""Kau terlalu berlebihan Zein""Menyangkalnya membuat hatimu lebih baik?""Zein, Aru membenciku!""Maksudku dia masih membenciku, kan?" aku mencari defensif lain."Ya, benar. Dia membencimu hingga tak ingin lagi melihatmu. Hingga ingin menguburmu. Hingga ingin menghilang darimu. Dan itu benar, dia membencimu"Hatiku terluka mende
"... Mengapa orang lain bisa melihat cintaku dengan jelas, tapi aku tidak ... "~ Ara ~ . . Ada banyak hal yang ingin kusampaikan saat berada dalam masa perenungan lalu. Karena kehilangan Aru membuatku tak seimbangan. Tapi setiap kali menatap wajah penuh lukanya, akupun kehilangan cara untuk membela diri dari kekacauan yang kubuat sendiri. Kalimatku lenyap, bibirku terbungkam. Aku tak bisa menyanggah kalimat penuh lukanya karenaku. Dan karena itu, yang terlintas hanya perasaan sesalku, jadi alih-alih membela diri, aku lebih ingin meminta maaf.Tapi Aru selalu tak ingin mendengarnya. Dia tak ingin mendengarnya, seberapapun aku merasa bersalah padanya.Tapi menyumpahiku gagal menikah adalah hal yang paling tak bisa kuterima. Dan itu sangat melukai hati terdalamku.Begitulah aku menyerah pada akhirnya. Karena mungkin dengan membiarkannya pergi, itu menghinda