Edrea melihat sekelilingnya, terlihat tempat tidur queen, sprai berwarna coklat muda dipasang diatasnya. Itu adalah tempat tidur yang selalu Edrea impikan dan sekarang dia memilikinya. Ruang loteng terlihat jelas dengan atap miring dicat putih seperti dinding. Lantai kayu yang kokoh berwarna terang sebagian besar ditutupi dengan karpet besar abu-abu gelap berbulu yang cocok dengan rak berwarna gelap tempat lusinan bantal empuk yang nyaman diletakkan. Selimut coklat diatas tempat tidur seperti menggoda Edrea untuk berbaring dan tidur siang.
Dan ditambah kursi hammock digantung di langit-langit dengan bantal bohemian dan selimut yang tergantung dari kursi di depan jendela tinggi yang ditutupi dengan tirai tipis serupa dengan ruang keluarga di lantai bawah. Sebuah TV dipasang di dinding di atas lemari yang menopang beberapa dekorasi lucu dan tempat perhiasan kosong.
Seluruh ruangan memancarkan keindahan. Interior modern yang belum pernah dilihat Edrea secara langsung, tapi dia sangat menyukainya. Dia menyeret tangannya di sepanjang tempat tidur dan meraba selimut yang diletakkan di sepanjang kaki tempat tidur sebagai hiasan.
"Aku menyukainya," jawab Edrea.
"Tidak ada banyak warna, tapi aku pikir kamu bisa menambahkan beberapa sentuhanmu sendiri."
Ruangan itu sudah tertata dengan sangat baik selain beberapa ruang kosong di dinding. Dia tidak keberatan. Ruang itu sudah cukup begitu indah baginya.
"Kamu melakukan pekerjaan dengan baik. Ini sangat indah," puji Edrea. Siapa pun yang mendapat kamar dalam rumah ini setelah Edrea, dia akan menjadi gadis asuh yang sangat istimewa.
"Terima kasih! Aku juga sangat menyukainya!" Julie meyakinkannya.
"Ini kamar mandi dan lemarimu." lanjutnya
Kamar mandi yang memiliki ruang cukup kecil dinding yang dicat berwarna putih membuatnya terlihat lebih luas. Sebuah cermin oval emas tergantung di dinding di atas wastafel. Rak handuk aluminium dipasang di dinding menyimpan banyak handuk putih berbulu.
Di samping pintu kamar tidur dan kamar mandi ada lemari. Tidak mungkin Edrea memiliki pakaian yang cukup untuk memenuhi lemari. Dia bahkan tidak pernah memiliki lemari sebelumnya.
"Ini sangat bagus," ucap Edrea. Julie terlalu baik untuk seorang gadis asuh sepertinya.
"Aku sangat berharap kamu menyukai semuanya. Kamu bisa menikmatinya sekarang dan aku akan meninggalkanmu sendirian. Jika kamu lapar, ambil apa saja di dapur."
"Aku akan menyuruh anak-anak itu untuk tidak mengganggumu, tapi jangan kaget jika suara berisik di sini saat mereka bersiap-siap untuk tidur. Mereka semua berbagi kamar mandi yang terkadang bisa menimbulkan masalah." Julie memutar bola matanya.
"Ngomong-ngomong, kamu bisa bertemu mereka semua besok. Apa kamu butuh sesuatu?"
Edrea menggelengkan kepalanya. Dia hanya ingin Kesunyian dan memiliki ruang untuk dirinya sendiri. Tapi dia tidak akan mengatakan itu.
"Aku menuliskan semua nomor telepon, kata sandi wifi, kata sandi Netflix, dan hal-hal seperti itu di secarik kertas di buku catatan di meja samping tempat tidur. Kirimi aku pesan jika kamu butuh sesuatu, oke?"
Edrea mengangguk. "Oke."
Tidak lama kemudian Julie meninggalkan Edrea sendirian di kamarnya dan turun ke lantai bawah. Edrea menutup pintu dan menguncinya setelah Julie keluar dari kamarnya. Edrea mengendurkan bahunya dan menghembuskan nafasnya kasar, dia merasa semua ketegangannya menghilang. Sekarang tidak ada yang bisa mengganggunya sama sekali.
Di kamar yang begitu indah, Edrea merasa seperti penyusup yang kotor. Dia melemparkan tasnya ke dalam lemari dan menutupnya. Di kamar mandi, dia mengutak-atik pancuran sampai dia menemukan cara untuk menyalakannya dan membiarkan airnya memanas. Dia menanggalkan pakaiannya dan mengunci pintu kamar mandi. Kamar mandi dipenuhi dengan sampo, kondisioner, sabun mandi, pencuci muka, gel mandi, dan pisau cukur baru bersama dengan loofa merah muda yang cantik.
Edrea melangkah di bawah aliran air dan meminta tangannya untuk berhenti gemetar. Dia terus menerus meyakinkan dirinya bahwa keluarga angkat baru bukanlah masalah besar.
Dia gemetar karena dia sendirian lagi. Benar-benar sendirian. Tidak ada yang mengenalnya atau memahaminya. Ibunya tidak hanya menghancurkan hidupnya, tetapi juga menghancurkan kehidupan Edrea. Untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun, Edrea percaya bahwa ibunya akan selalu bersamanya dia percaya bahwa hidupnya akan berubah, ibunya yang punya pekerjaan, memiliki pacar yang baik, dia selalu membayar tagihan dan memberi Edrea uang untuk membeli apa pun yang dia inginkan.
Dan kemudian dia menghancurkannya lagi. Ibunya adalah orang paling egois yang pernah dia temui.
Tanpa dia sadari air matanya sudah membasahi pipinya. Edrea menggelengkan kepalanya, menyeka air mata, menelan kembali gumpalan di tenggorokannya, dan membuka botol sampo dari rak. Membersihkan kotoran yang menempel ditubuhnya dan rasa jijik terhadap kehidupan lamanya, Edrea secara mental mempersiapkan dirinya untuk menjadi anak asuh yang cukup baik bagi keluarga Gene.
Sekali lagi, Erlangga memukul bahu Eros. Kali ini, Eros membalas. Erlangga menghindari tinjunya, tapi Eros menanganinya, dia tergelincir dari meja. *** Pada malam hari, Edrea menonton acara Talkshow, mulutnya yang kering memohon segelas air, dan dia tidak bisa menahannya lagi. Selama ini dia menghindari turun ke lantai bawah tidak peduli seberapa keras perutnya menahan lapar dan menahan haus. Meskipun dia sangat berharap keluarga Gene sudah tertidur saat dia turun dan mencari makan di lantai bawah, Tetapi dia tidak mendengar langkah kaki ke empat saudara itu menaiki tangga dan pergi tidur. Itu artinya mereka masih terjaga. Di ruang bawah tanah. Atau di tempat lain. Tetapi dia kelaparan. Edrea memutuskan untuk pergi ke lantai bawah dia mengenakan t-shirt dan celana pendek piyama flanel. Dengan langkah kec
"Hei kalian diamlah," Bara memperingatkan, seperti kakak yang baik. Perut Edrea keroncongan seolah diberi aba-aba untuk membawa popcorn. Dia menepuk perutnya dengan tangan, berharap tidak ada anak laki-laki yang mendengarnya. "Lapar? Ayo Bara, kurasa Rea di sini butuh sesuatu yang lebih mengenyangkan daripada popcorn," sela Erlangga "Tidak tidak!" Edrea bersikeras. "Aku baik-baik saja. Popcorn juga tidak apa." "Jangan bodoh." Darius memutar bola matanya. "Aku mendengar perutmu keroncongan sepanjang jalan di sini." Darius duduk di kursi bar di belakang meja dan memutar mata cokelatnya yang berkilau. Dia mengeluarkan ponselnya dan membuka kunci layar. Bara merobek plastik dari kantong popcorn dan melemparkannya ke dalam microwave. Dia menekan tombol popcorn otomatis dan menggosokkan kedua tangannya seolah sedang menyusun
"...tidak cenderung berbagi!" Darius menyela sambil memakan popcorn di tangannya. bara melanjutkan, "... jadi makanlah. Atau kelaparan." "Ini es krimmu!" Erlangga melompat ke sisinya dan mendorong semangkuk es krim ke tangannya sebelum dia bisa mengambilnya. Edrea meraba-raba mangkuk dan cangkir sampai dia terpaksa meletakkan mangkuk di atas meja agar dia tidak menjatuhkan sendok yang berdentang di sampingnya. Pikirannya kehilangan kesadaran hanya dengan melihatnya. Dia membutuhkan makanan. Edrea sangat putus asa dia tidak bisa menahannya lagi. "Jadi berapa umurmu?" Darius bertanya, menggali mangkuk popcornnya lagi. Dengan gugup, Edrea menggali sendok ke dalam tumpukan es krim dan memikirkan apa yang harus dia lakukan di sini. Dia benar-benar lapar, perlu makan, tetapi dia sangat tidak nyaman memakan makanan mereka. "Aku tujuh belas." "Kamu junior
*** Edrea bangun keesokan paginya. Sinar matahari menembus tirai tipis dan memercik ke tempat tidurnya. Cahaya matahari menghangatkan Edrea hingga ke tulang-tulangnya. Dia menghela nafas dan menarik selimut sampai ke hidungnya. Aroma deterjen yang tidak biasa di seprainya membangunkan indranya pada kenyataan bahwa dia tidak berada di tempat tidurnya, di rumahnya, di lingkungannya. Matanya terbuka dan dia melihat sekeliling, bingung. Seketika, dia ingat apa yang terjadi malam sebelumnya di rumah ini. Dia bertemu keempat saudara Gene, dia makan es krim di dapur mereka sementara keempat saudara itu menjelaskan sedikit tentang kehidupan mereka. Meskipun dia lebih suka tidur setidaknya satu atau dua jam lagi, Edrea dengan enggan berguling dan memeriksa waktu. Saat itu pukul dua belas siang! Dia tidak pernah tidur selama ini. Melempar kembali selimutnya, Edrea pergi ke kamar mandi dan menyika
Edrea dan Bara menikmati obrolan ringan yang nyaman di dalam mobil Jeep Grand Cherokee berwarna hitam. Mereka pergi ke mall setelah Bara membiarkan Edrea menelusuri sosmednya. Dia menunjukkan halaman khusus anak gadis yang ada disekolahnya, dan menunjukkan beberapa pakaian yang harus dia beli. Edrea mencatat dalam hati sambil menimbang kira-kira berapa harga pakaian branded seperti itu. Bara belum menetapkan biayanya, tetapi dari cara Edrea berbicara tentang apa yang dia beli, dia ingin menghabiskan beberapa juta untuk dirinya sendiri. "Temanku, Jeff, akan menemui kita di kedai bambu disamping mall itu. Kita ke sana dulu." Tanpa berkata-kata, Edrea mengangguk dan mengikuti Bara melewati tempat parkir. Tanpa sadar, Edrea menarik celana pendeknya bertanya-tanya orang seperti apa yang akan mereka temui di kedai. Secara singkat, Edrea mempertanyakan teman seperti apa yang bergaul dengan Bara. Dan dia bertanya-tanya apakah dia sepeti Bara yang memiliki tub
Edrea meniup rambutnya dari wajahnya dan menatap tumpukan pakaian di lengannya. Pakaian yang lebih bagus dari yang pernah dia miliki dalam hidupnya. "Ayo beli jeans," Jeff menyarankan. "Ide bagus. Berapa ukuranmu, Rea?" "Rea?" tanya Jeff. "Oh," dia tersenyum. "Aku suka itu." "Aku 25 atau 26." Satu-satunya alasan dia tahu ukuran celana branded yang biasanya disediakan khusus untuk celana jeans mewah adalah karena dia kebetulan menemukan beberapa pasang di toko barang bekas. "Ambil satu dari setiap warna," ucap Bara kepada Jeff. Lengan Edrea mulai sakit dengan semua pakaian yang menumpuk di lengannya. Dia memindahkan berat badannya dari satu kaki ke kaki lainnya dan melenturkan lengannya untuk mengatur ulang tumpukan. "Ini mungkin awal yang baik. Saatnya mencoba!" Bara bertepuk tangan dan mengantarnya ke aula pribadi dengan sofa bundar ditengahnya, diisi dengan bantal feminin yang mewah. "Tidak. Aku benar-benar tidak perl
Berkat mereka Edrea belajar tentang memilih pakaian yang cocok untuk dirinya dan ingat untuk memasangkan sepatu bot, sandal, dan perhiasan dengan pakaian yang dia pilih sehingga dia bisa mencoba seluruh baju yang dibelinya.Dia memulainya dengan pakaian kasual.Memakai jam tangan di pergelangan tangannya dan mengikatkan sandal gladiator di kakinya sebelum dia keluar dari ruang ganti.Baik Bara maupun Jeff menganggukkan kepala mereka dengan penuh penghargaan. "Dari mana baju itu?!" Aku menyukainya!" tanya Bara.Edrea berdiri di depan cermin dan meraba ujung celana pendeknya. "Aku memilihnya.""Terlihat sederhana, tapi aku suka," kata Jeff sambil bersandar di salah satu kursi di area ruang ganti sambil menilai pakaiannya."Lanjut!"Edrea bergegas ke pakaian lain. Jika ada yang bertanya, dia akan menyangkal bahwa dia menikmati ini. Sungguh, dia terharu. Tidak pernah dalam hidupnya dia bisa pergi berbelanja. Dia tidak pernah tahu bahwa se
*** Edrea Letta Leteshia terbengong melihat rumah mewah di pinggiran kota. Di saat senja tiba, suasana dilingkungan itu sangat tenang dan damai, sangat jauh berbeda dengan lingkungan tempatnya dilahirkan yang penuh dengan penderitaan, penembakan, teriakan, makian, dan perkelahian secara terus-menerus sehingga membuatnya selalu terjaga di malam hari. Pekerja sosialnya yang tidak memperdulikannya menurunkannya di depan rumah barunya yang besar dan mewah, gadis itu membuka pintu mobil van yang berkarat lalu membanting pintu setelahnya. Pekerja sosialnya tidak mengeluarkan sepatah kata pun sebelum dia meninggalkan Edrea sendirian di depan gerbang yang menjulang tinggi dengan dua tas dan bantal dikedua tangannya. Edrea seharusnya sudah terbiasa dengan perlakuan buruk yang selalu ia terima. Namun, dia masih sangat kesal saat dia harus berjalan seorang diri untuk bertemu keluarga barunya. Edrea tidak bisa menebak
Berkat mereka Edrea belajar tentang memilih pakaian yang cocok untuk dirinya dan ingat untuk memasangkan sepatu bot, sandal, dan perhiasan dengan pakaian yang dia pilih sehingga dia bisa mencoba seluruh baju yang dibelinya.Dia memulainya dengan pakaian kasual.Memakai jam tangan di pergelangan tangannya dan mengikatkan sandal gladiator di kakinya sebelum dia keluar dari ruang ganti.Baik Bara maupun Jeff menganggukkan kepala mereka dengan penuh penghargaan. "Dari mana baju itu?!" Aku menyukainya!" tanya Bara.Edrea berdiri di depan cermin dan meraba ujung celana pendeknya. "Aku memilihnya.""Terlihat sederhana, tapi aku suka," kata Jeff sambil bersandar di salah satu kursi di area ruang ganti sambil menilai pakaiannya."Lanjut!"Edrea bergegas ke pakaian lain. Jika ada yang bertanya, dia akan menyangkal bahwa dia menikmati ini. Sungguh, dia terharu. Tidak pernah dalam hidupnya dia bisa pergi berbelanja. Dia tidak pernah tahu bahwa se
Edrea meniup rambutnya dari wajahnya dan menatap tumpukan pakaian di lengannya. Pakaian yang lebih bagus dari yang pernah dia miliki dalam hidupnya. "Ayo beli jeans," Jeff menyarankan. "Ide bagus. Berapa ukuranmu, Rea?" "Rea?" tanya Jeff. "Oh," dia tersenyum. "Aku suka itu." "Aku 25 atau 26." Satu-satunya alasan dia tahu ukuran celana branded yang biasanya disediakan khusus untuk celana jeans mewah adalah karena dia kebetulan menemukan beberapa pasang di toko barang bekas. "Ambil satu dari setiap warna," ucap Bara kepada Jeff. Lengan Edrea mulai sakit dengan semua pakaian yang menumpuk di lengannya. Dia memindahkan berat badannya dari satu kaki ke kaki lainnya dan melenturkan lengannya untuk mengatur ulang tumpukan. "Ini mungkin awal yang baik. Saatnya mencoba!" Bara bertepuk tangan dan mengantarnya ke aula pribadi dengan sofa bundar ditengahnya, diisi dengan bantal feminin yang mewah. "Tidak. Aku benar-benar tidak perl
Edrea dan Bara menikmati obrolan ringan yang nyaman di dalam mobil Jeep Grand Cherokee berwarna hitam. Mereka pergi ke mall setelah Bara membiarkan Edrea menelusuri sosmednya. Dia menunjukkan halaman khusus anak gadis yang ada disekolahnya, dan menunjukkan beberapa pakaian yang harus dia beli. Edrea mencatat dalam hati sambil menimbang kira-kira berapa harga pakaian branded seperti itu. Bara belum menetapkan biayanya, tetapi dari cara Edrea berbicara tentang apa yang dia beli, dia ingin menghabiskan beberapa juta untuk dirinya sendiri. "Temanku, Jeff, akan menemui kita di kedai bambu disamping mall itu. Kita ke sana dulu." Tanpa berkata-kata, Edrea mengangguk dan mengikuti Bara melewati tempat parkir. Tanpa sadar, Edrea menarik celana pendeknya bertanya-tanya orang seperti apa yang akan mereka temui di kedai. Secara singkat, Edrea mempertanyakan teman seperti apa yang bergaul dengan Bara. Dan dia bertanya-tanya apakah dia sepeti Bara yang memiliki tub
*** Edrea bangun keesokan paginya. Sinar matahari menembus tirai tipis dan memercik ke tempat tidurnya. Cahaya matahari menghangatkan Edrea hingga ke tulang-tulangnya. Dia menghela nafas dan menarik selimut sampai ke hidungnya. Aroma deterjen yang tidak biasa di seprainya membangunkan indranya pada kenyataan bahwa dia tidak berada di tempat tidurnya, di rumahnya, di lingkungannya. Matanya terbuka dan dia melihat sekeliling, bingung. Seketika, dia ingat apa yang terjadi malam sebelumnya di rumah ini. Dia bertemu keempat saudara Gene, dia makan es krim di dapur mereka sementara keempat saudara itu menjelaskan sedikit tentang kehidupan mereka. Meskipun dia lebih suka tidur setidaknya satu atau dua jam lagi, Edrea dengan enggan berguling dan memeriksa waktu. Saat itu pukul dua belas siang! Dia tidak pernah tidur selama ini. Melempar kembali selimutnya, Edrea pergi ke kamar mandi dan menyika
"...tidak cenderung berbagi!" Darius menyela sambil memakan popcorn di tangannya. bara melanjutkan, "... jadi makanlah. Atau kelaparan." "Ini es krimmu!" Erlangga melompat ke sisinya dan mendorong semangkuk es krim ke tangannya sebelum dia bisa mengambilnya. Edrea meraba-raba mangkuk dan cangkir sampai dia terpaksa meletakkan mangkuk di atas meja agar dia tidak menjatuhkan sendok yang berdentang di sampingnya. Pikirannya kehilangan kesadaran hanya dengan melihatnya. Dia membutuhkan makanan. Edrea sangat putus asa dia tidak bisa menahannya lagi. "Jadi berapa umurmu?" Darius bertanya, menggali mangkuk popcornnya lagi. Dengan gugup, Edrea menggali sendok ke dalam tumpukan es krim dan memikirkan apa yang harus dia lakukan di sini. Dia benar-benar lapar, perlu makan, tetapi dia sangat tidak nyaman memakan makanan mereka. "Aku tujuh belas." "Kamu junior
"Hei kalian diamlah," Bara memperingatkan, seperti kakak yang baik. Perut Edrea keroncongan seolah diberi aba-aba untuk membawa popcorn. Dia menepuk perutnya dengan tangan, berharap tidak ada anak laki-laki yang mendengarnya. "Lapar? Ayo Bara, kurasa Rea di sini butuh sesuatu yang lebih mengenyangkan daripada popcorn," sela Erlangga "Tidak tidak!" Edrea bersikeras. "Aku baik-baik saja. Popcorn juga tidak apa." "Jangan bodoh." Darius memutar bola matanya. "Aku mendengar perutmu keroncongan sepanjang jalan di sini." Darius duduk di kursi bar di belakang meja dan memutar mata cokelatnya yang berkilau. Dia mengeluarkan ponselnya dan membuka kunci layar. Bara merobek plastik dari kantong popcorn dan melemparkannya ke dalam microwave. Dia menekan tombol popcorn otomatis dan menggosokkan kedua tangannya seolah sedang menyusun
Sekali lagi, Erlangga memukul bahu Eros. Kali ini, Eros membalas. Erlangga menghindari tinjunya, tapi Eros menanganinya, dia tergelincir dari meja. *** Pada malam hari, Edrea menonton acara Talkshow, mulutnya yang kering memohon segelas air, dan dia tidak bisa menahannya lagi. Selama ini dia menghindari turun ke lantai bawah tidak peduli seberapa keras perutnya menahan lapar dan menahan haus. Meskipun dia sangat berharap keluarga Gene sudah tertidur saat dia turun dan mencari makan di lantai bawah, Tetapi dia tidak mendengar langkah kaki ke empat saudara itu menaiki tangga dan pergi tidur. Itu artinya mereka masih terjaga. Di ruang bawah tanah. Atau di tempat lain. Tetapi dia kelaparan. Edrea memutuskan untuk pergi ke lantai bawah dia mengenakan t-shirt dan celana pendek piyama flanel. Dengan langkah kec
Edrea melihat sekelilingnya, terlihat tempat tidur queen, sprai berwarna coklat muda dipasang diatasnya. Itu adalah tempat tidur yang selalu Edrea impikan dan sekarang dia memilikinya. Ruang loteng terlihat jelas dengan atap miring dicat putih seperti dinding. Lantai kayu yang kokoh berwarna terang sebagian besar ditutupi dengan karpet besar abu-abu gelap berbulu yang cocok dengan rak berwarna gelap tempat lusinan bantal empuk yang nyaman diletakkan. Selimut coklat diatas tempat tidur seperti menggoda Edrea untuk berbaring dan tidur siang. Dan ditambah kursi hammock digantung di langit-langit dengan bantal bohemian dan selimut yang tergantung dari kursi di depan jendela tinggi yang ditutupi dengan tirai tipis serupa dengan ruang keluarga di lantai bawah. Sebuah TV dipasang di dinding di atas lemari yang menopang beberapa dekorasi lucu dan tempat perhiasan kosong. Seluruh ruangan memancarkan keindahan. Interior modern yang belum pernah di
Edrea melihat perabotan yang indah di tata rapi di sekitar TV layar datar besar yang dipasang di dinding, karpet abu-abu berbulu modern diletakan di lantai dengan nyaman. Edrea merasa dia tidak akan lama berada di sini. "Selanjutnya adalah dapur," Mahesa membimbingnya. Tanpa berkata-kata, Edrea mengikuti mereka. Dapur yang terlihat bersih, Edrea mencium berbau bahan pembersih lantai segar seperti lemon, jeruk, dan pemutih. Selain keranjang besar yang diisi dengan buah-buah segar ditengah meja dengan kursi bar disatu sisi, tidak terlihat kotoran di mana pun. "Ini daftar barang-barang yang perlu kita beli di toko." Julie menunjuk ke arah lembar kertas yang ditempel di lemari es. "Jika kamu membutuhkan sesuatu, apa pun itu, tulis di sini dan kami akan membelinya." "Apa kamu butuh sesuatu untuk diminum?" Mahesa bertanya dengan ramah.