Erlan yang awalnya berbelok menuju rumahnya berhenti. Ia membalik lagi dan menatap kedua orang yang baru saja ditemuinya. Matanya memancarkan aramah. Tangannya pun masih terkepal erat. Hatinya benar-benar terasa panas melihat Andrea dengan pria yang bernama Dimas itu. Terlebih interaksi mereka yang benar-benar akrab. Pun senyum manis yang terlukis di bibir ranum Andrea itu harusnya untuknya bukan pria asing itu. Lihat saja nanti! Senyum itu akan ditujukan untuknya. Bukan hanya itu, bibir, wajah, tubuh, pokoknya semua yang ada pada Andrea akan menjadi miliknya. Ah! Jangan lupakan cinta gadis itu juga akan ia dapatkan. Setelahnya ia akan mengusir pria itu jauh-jauh dari desa ini hingga tidak lagi mengganggu hubungannya dengan Andrea.
Seringai Erlan mengembang di bibirnya saat memikirkan ia akan memiliki Andrea dan akan mengusir Dimas. Apa pun akan ia lakukan untuk mendapatkan Andrea. Bahkan harus berbuat nekat dan curang sekalipun.
"Eh Nak Erlan sedang apa di sini?
Tok ... tok ..."Kak! Kak Erni!"Suara ketukan itu membuat si empu rumah keluar. "Heh? Kenapa teriak begitu? Aku tidak tuli. Untung Mas Arkan sudah berangkat bekerja tadi, jika tidak pasti dia akan marah karena sikap tidak sopanmu ini," cerca Erni setelah mengetahui siapa yang mengedor pintu rumahnya.Tidak peduli pada teguran sang kakak, Erlan menggoyangkan lengan kakaknya, "Kak! Kapan kakak akan membantuku untuk mendapatkan Andrea? Aku sudah muak melihat dia dengan pria itu. Kapan, Kak? Kapan?" rengeknya."Heh? Jaga bicaramu! Bagaimana jika ada yang mendengar perkataanmu itu? Itu bisa mengacaukan semua dan menggagalkan rencana yang akan kita jalankan," pungkas Erni memarahi Erlan. "Dan apa-apaan itu? Merengek seperti anak kecil. Bagaimana kau bisa menjadi pasangan Andrea jika sikapmu masih kekanakan seperti ini?" lanjutnya mengomel.Erlan memberengut, tidak suka karena diomeli. "Ya makanya bantu aku, Kak! Setelah itu aku tidak akan merengek pada
"Apa yang sedang kau pikirkan, Dim? Kenapa dari tadi kau tampak termenung dari tadi?"Pertanyaan itu membuat Dimas tersentak dari lamunannya. "Eh Paman? Maafkan aku! Apa yang tadi paman tanyakan?"Danu menggeleng pelan. "Kau ini!" dengkusnya lalu kembali mengulang pertanyaannya tadi. Netra tuanya menatap teduh Dimas yang tampak berpikir. Sepertinya pemuda di hadapannya ini ragu untuk menjawab pertanyaannya."Tidak apa-apa jika kau tidak mau menjawab pertanyaan paman, tapi kau harus ingat satu hal. Kau bisa menceritakan apa pun pada paman. Kau pun bisa menceritakan apa yang mengganggu pikiranmu. Atau jangan-jangan hal yang membuatmu melamun itu karena kau mengingat sesuatu?"Dimas tersenyum mendengar perkataan Danu. Ia merasa mendapat perhatian dari orang tua yang selama ini ia rindukan. Namun seketika wajahnya menampilkan raut kecemasan saat Danu melontarkan pertanyaan terakhir. Takut jika pria paruh baya ini mulai menaruh curiga padanya. "Bukan itu yang
"Apa maksudmu, Dimas?""Itulah yang kurasakan, Paman!"Danu menatap Dimas dengan lekat. Mencari keyakinan dalam tatapan pria yang lebih muda. Ia memang tidak menemukan kebohongan di mata Dimas. "Kau tidak mengatakan hal ini karena cemburu bukan, Dim?" tanya Danu tidak bisa menahan rasa penasarannya."Aku mungkin cemburu, Paman, tapi aku tidak akan menjelekkan seseorang hanya karena hal itu.""Jika memang begitu, kenapa kau bisa berpikiran seperti itu?""Aku tidak tahu pasti! Hanya saja melihat bagaimana Erlan memandang Andrea membuatku resah. Aku bisa melihat obsesi pemuda itu saat dia menatap Andrea. Bukan hanya itu, dia juga berusaha untuk menjauhkanku dari Andrea. Ah! Bukan hanya aku tapi dari orang-orang di sekitarnya. Erlan berusaha menjauhkan kita dari Andrea. Belum lagi, Erlan juga menatapku dengan penuh kebencian. Dia berambisi untuk menjadikan Andrea menjadi miliknya sendiri, Paman. Apa paman tidak merasakan hal itu?"Penutura
"Kau tampak ceria sekali, hm? Ada sesuatu yang baik terjadi?"Dimas terus memerhatikan Andrea yang tidak berhenti mengumbar senyum sejak beberapa hari ini. Sungguh ia penasaran dengan hal ini. Tidak biasanya Andrea seceria ini sebelumnya. Jujur saja ia takut, takut jika yang membuat Andrea seceria ini adalah kedekatannya dengan Erlan. Ia takut tidak memiliki kesempatan lagi untuk mendekati Andrea, cinta pertamanya.Sudah tiga minggu ini ia melihat Erlan terus mendekati Andrea dan Andrea menerimanya dengan terbuka. Saat ia masih mengikuti Andrea dulu, ia tahu Andrea memang ramah dan berteman dengan siapa saja. Namun, untuk kali ini, perasaannya mengatakan Erlan bukanlah pria yang baik untuk dijadikan seorang teman. Ia mengatakan ini bukan karena ia cemburu pada kedekatan Andrea dengan Erlan, tapi ia memang ia menangkap gelagat buruk dari pemuda itu.Ia harap semua firasatnya ini tidak menjadi kenyataan. Namun seperti yang d
"Kau Dimas bukan?""Iya?" Dimas berbalik, melihat siapa yang menepuk bahunya. "Maaf Anda Mas Arkan bukan? Putra Paman Wirawan, kepala desa ini? Ada yang aku bisa bantu, Mas Arkan?" tanya Dimas dengan sopan pada pria yang menyapanya di halaman rumah Andrea. Tidak biasanya Arkan datang berkunjung. Pria ini baru tiga kali ditemuinya, itu pun hanya saling bertegur sapa. Mengingat pria ini bekerja di kota.Dahinya mengernyit saat melihat raut keraguan di wajah pria ini. Apa sebenarnya yang ingin pria ini katakan? "Mas Arkan baik-baik saja?" tanyanya lagi saat pria yang beberapa tahun lebih tua daripada dirinya ini masih belum bicara. "Mas Arkan jangan-jangan ke sini karena dimintai tolong oleh Paman Wirawan? Soalnya beberapa hari yang lalu Paman Wirawan mengatakan akan ada pendataan untuk keamanan dan kebersihan desa. Kalau memang benar demikian, aku akan memanggil Andrea. Dia yang paling tahu mengenai hal itu."Dimas meletakkan sapu lidi yang sedari tadi masih
"Maaf, aku terlambat Mas," ujar Dimas meminta maaf. Napasnya pun masih memburu karena buru-buru ke ladang. Tadinya ia hendak langsung ke sini setelah selesai menyapu halaman. Sayangnya, Andrea memintanya memindahkan beberapa barang untuk dibersihkan. Ia tidak kuasa menolak, lebih lagi barang itu cukup berat untuk diangkat oleh Andrea seorang diri."Tidak apa-apa. Aku juga baru sampai," balas Arkan.Dimas mengulas senyum. Ia tahu Arkan hanya merendah. Benar-benar pria yang baik. "Jadi apa yang Mas Arkan bicarakan denganku?" tanyanya.Hah! Desah napas Arkan mengalun berat. "Jujur! Aku tidak tahu harus mulai dari mana," ujar Arkan memulai pembicaraan. "Namun aku harus bicara. Jika sampai terjadi hal yang buruk, maka aku yang akan menyesal."Belum apa-apa, Dimas sudah dibuat bingung lagi oleh Arkan. Sebenarnya apa yang ingin pria ini bicarakan, sampai-sampai harus mengajaknya bicara di ladang, di mana sudah tidak ada petani yang masih bekerja, mengingat hari
"Bagaimana?"Erni tersenyum dengan lebarnya. "Kau tenang saja, kakakmu ini sudah mempersiapkan semuanya. Tinggal eksekusi," ujarnya.Erlan tersenyum senang mendengarnya. Setelah sekian lama, akhirnya ia akan bisa memiliki Andrea. "Baiklah! Nanti akan aku lanjutkan setelah kakak memberiku kode.""Tapi kau ingat yang harus kau lakukan bukan? Dan ingat hal ini Erlan, kau harus tetap berhati-hati. Tetaplah bersikap biasa saja, jangan sampai orang-orang curiga.""Kau tenang saja, Kak. Semia warga akan sibuk dengan acaranya dan kita dengan leluasa menjalankan rencana yang telah kita susun."Mendengar Erlan bicara meremehkan keadaan membuat decakan mengalun dari bibir Erni. "Kau ini! Bisa tidak jangan menyepelekan sesuatu? Itu bisa jadi bumerang untukmu sendiri.""Sudah kakak jangan khawatir. Aku akan berhati-hati," balasnya. "Ayo! Kita ke sana sekarang! Jangan sampai mereka mencurigai kita karena terlalu lama di sini, terutama suamimu itu. S
Erni tersenyum lebar melihat Vandy melakukan tugasnya dengan baik. Bibirnya pun menyunggingkan seringai saat Andrea sudah meminum jus yang sudah dicampurnya dengan obat itu. Tugasnya sudah selesai sekarang. Hanya perlu menunggu waktu sampai obat itu bekerja dan Erlan melakukan apa yang harus ia lakukan.Ia mengedarkan pandangannya mencari keberadaan sang adik. Ah itu Erlan! Berkumpul bersama pemuda desa lainnya. Saat matanya bersitatap dengan Erlan. Ia mengangguk pelan, memberi isyarat pada adiknya jika ia sudah melakukan tugasnya dan giliran untuk Erlan yang melakukan tugasnya.Erlan yang melihat isyarat dari kakaknya tersenyum. Inilah yang ia tunggu. "Sudah! Kalian teruskan mengobrolnya. Aku ingin mengambil minum dulu," ujar Erlan pada teman-temannya. Ia menyisihkan diri dari mereka lalu bergegas pergi. Ia harus menunggu hingga waktunya obat itu bekerja dan ia bisa melancarkan rencananya untuk bisa memiliki Andrea.Sementara Dimas yang sedari tadi mengawasi Er
"Kalian beristirahatlah! Pasti lelah setelah mengikuti rangkaian prosesi pernikahan.""Benar yang dikatakan oleh pamanmu. Kalian istirahat saja, sisanya biar kami yang mengurusnya," imbuh Ratih menimpali perkataan suaminya.Dimas dan Andrea saling berpandangan sebelum mengiyakan perkataan paman dan bibi mereka. Tidak dipungkiri, mereka lelah setelah seharian mengikuti prosesi pernikahan. Terlebih mereka juga menerima kehadiran warga desa yang datang untuk memberi selamat dan doa untuk mereka. Keduanya beranjak menuju kamar masing-masing tapi baru beberapa langkah, celetukan Ratih menghentikan niat mereka."Kalian sudah menikah, apa kalian sudah lupa?"Baik Dimas dan Andrea berbalik dan menoleh. Keduanya tersenyum malu sembari menggeleng. Tentu saja mereka tidak lupa.Ratih bersedekap sembari menatap geli ke arah pasangan pengantin baru di depannya. Senyumnya mengembang melihat sikap malu-malu yang ditunjukkan oleh Dimas dan Andrea. "Lantas? Jika begitu kenapa kalian menuju ke kamar y
"Kau sudah siap?"Andrea sempat tertegun sebelum mengangguk. Danu yang bertanya hanya mampu memberikan senyumnya melihat reaksi Andrea. Sekalipun Andrea mengatakan baik-baik saja, tapi ia yakin itu hanya di bibir saja. Jauh dalam hatinya, gadis yang sudah seperti anaknya ini pasti merasa sedih. Siapa pun akan merasakannya saat harus menikah tanpa kehadiran orang-orang terkasih yang mendampingi, terlebih untuk Andrea yang seorang gadis.Danu mengulurkan tangannya dan disambut oleh Andrea. Keduanya keluar dari ruang tunggu, berjalan perlahan menuju ruangan tempat pernikahan akan dilaksanakan. "Kau cantik, Andrea. Sangat! Andai tuan dan nyonya besar masih ada, mereka pasti akan bahagia melihatmu menikah," ujar Danu pelan diiringi dengan hela napas. "Dan seharusnya bukan paman yang berada di sampingmu kini, tapi tuan Keenan."Andrea menghentikan langkahnya mendengar perkataan Danu. Tidak dipungkiri ada rasa sedi
"Kau sudah mendengarnya sendiri bukan? Andrea teguh dengan keputusannya untuk menikahimu. Jadi aku harap kau tidak akan mengecewakan kami, terlebih Andrea," tutur Aruni sembari menatap lekat ke dalam mata Dimas. Awalnya ia ingin meninggalkan suaminya dan Andrea bicara berdua, tapi saat hendak pergi dari ruang keluarga, ia mendapati Dimas masih berdiri di lorong yang menghubungkan ruang makan dan ruang tamu. Pada akhirnya ia pun mengurungkan niat untuk pergi. Memilih tetap tinggal dan mendengar pembicaraan suaminya dengan Andrea.Dimas yang sedari tadi memperhatikan Andrea dan Danu, mengalihkan pandangannya ke arah Aruni. Membalas tatapan wanita paruh baya di hadapannya. Ia akui ia sempat ragu akan keputusannya, tapi setelah mendengar pembicaraan antara Danu dan Andrea membuatnya lebih yakin. Jika Andrea bisa seyakin itu untuk menghadapi konsekuensi dari pilihannya di masa mendatang, ia pun bisa. Ia tidak boleh goyah lagi, terlebih keputusannya ini menyangkut hidup seseorang.
Aruni menghela napas panjang setelah Dimas pergi. Mengalihkan seluruh atensi pada suaminya dan Andrea. Danu sudah berjalan mendekati gadis yang sebenarnya adalah nona muda mereka. Gadis malang yang sudah tinggal bersama mereka di desa ini lebih dari tiga tahun lalu. Gadis malang yang terpaksa tinggal di desa ini karena keegoisan dan keserakahan beberapa orang. Netranya terus mengamati dua orang yang berdiri menghadap jendela itu.Tidak berniat untuk mendekat ataupun pergi. Memilih menjadi pendengar dengan duduk di tempat yang tadi diduduki Dimas. Ia tidak ingin mengganggu pembicaraan keduanya. Dibandingkan dengan dirinya dan Ratih.Danu dan Galang yang lebih dekat dengan Andrea. Mengingat Danu dan Galang-lah yang tetap bekerja pada keluarga Chandrawijaya dan mengikuti keluarga majikan mereka itu pindah ke Jepang lima belas tahun yang lalu, sedangkan ia dan Ratih memilih kembali ke desa mereka bersama anak-anak. Awalnya ia dan Ratih mengira semua baik-
"Kau yakin dengan keputusanmu ini, Andrea?"Andrea tidak urung berbalik dari depan jendela. Manik bulatnya tetap mengarah ke luar jendela, menatap pemandangan di luar rumahnya seakan pemandangan itu lebih menarik daripada yang lainnya. Pertanyaan dari Dimas pun tidak kunjung membuatnya mengalihkan perhatiannya. "Apa yang bisa kujelaskan lagi, Kak?Aku sudah menjelaskan semuanya di balai desa, tidak ada alasan lainnya lagi," jawab Andrea dengan tidak acuh berusaha mengabaikan kegusaran yang ia rasakan. Tangannya yang berada di kusen jendela terkepal erat berusaha menahan perasaannya yang berkecamuk. 'Aku takut sendiri lagi, Kak. Semua meninggalkanku sendiri. Papa, mama pergi, dan Kak Keenan? Dia meninggalkanku di desa ini sendiri. Bahkan dia tidak pernah sekalipun mengunjungiku. Aku takut sendiri lagi jika kakak pergi. Dan hatiku juga yakin jika Kak Dimas adalah pria yang tepat untukku dan menginginkan kakak selalu ada di sisiku,' batin Andrea sendu
Semua orang bebas untuk memilih. Begitupun dengan Andrea dan inilah pilihannya. Menikah dengan Dimas bukan pilihan mudah yang bisa ia putuskan dalam sekejap. Namun jika dihadapkan pada pilihan tersebut, maka ia yakin ini keputusan yang tepat. Terlepas dari ia yang tidak ingin pergi dari desa ini dan tidak tahu harus ke mana jika pergi dari desa ini, ia memutuskan ini karena hatinya memang menginginkan Dimas dan menyakini pria itu memang yang terbaik untuknya."Kau yakin dengan keputusanmu itu, Andrea?"Pertanyaan dari Pak Wira menyadarkan Andrea, ia menegakkan tubuhnya dan kembali menoleh ke arah Dimas yang masih menatapnya. Wajah pria itu masih tampak syok dan Andrea mengerti hal itu. Siapa yang tidak terkejut dengan jawaban yang ia berikan tadi? Tidak ada, bahkan dirinya sendiri pun terkejut, tapi ia tidak menyesal dengan pilihannya."Aku yakin Paman," jawabnya sekali lagi lalu kembali menghadapkan ke arah depan. Menatap para perangkat desa yang menunggu jawab
Jawaban yang diberikan Andrea tak pelak membuat semua orang yang ada di balai desa itu terkejut. Mereka kira Andrea akan menolak atau tidaknya bernegosiasi lagi dengan mereka mengenai keputusan yang telah mereka jatuhkan padanya dan Dimas. Namun tidak, Andrea tanpa ragu menjawab mau menikah dengan Dimas. Lebih terkejut lagi dengan perkataan Andrea setelahnya."Aku setuju bukan karena aku mengakui perbuatan yang dituduhkan padaku dan Kak Dimas. Aku menyetujuinya karena tidak memiliki pilihan lain. Aku tidak memiliki tempat untuk pergi, tidak memiliki tempat tinggal selain di desa ini. Aku tidak memiliki tujuan untuk pulang," ujarnya.Tidak bisa dipungkiri Dimas merasa hatinya sakit dan kecewa mendengar perkataan gadis yang duduk di sampingnya ini. Andrea mau menikah dengannya hanya karena tidak memiliki pilihan lain. Apa tidak ada sedikit saja rasa yang tumbuh di hati Andrea untuknya? Namun perasaan sedih itu langsung hilang digantikan oleh rasa iba setelah mendengar ke
Tubuh keduanya membeku di kursi yang mereka duduki mendengar perkataan Pak Wira. Menikah? Mereka harus menikah? Kata-kata itu berputar dalam kepala mereka. Bagaimana mereka bisa menikah? Mereka tidak saling mencintai, bagaimana mereka bisa menikah? Memang tidak dipungkiri ada rasa nyaman saat mereka bersama. Pun ada getaran dalam hati mereka yang mereka rasakan saat dekat satu sama lainnya. Namun apa itu cukup disebut cinta? Bahkan dalam sebuah pernikahan cinta pun tidaklah cukup, ada komitmen, kepercayaan dan kesiapan diri di dalamnya. Sementara hubungan mereka selama ini tidaklah lebih dari pertemanan semata. Tidak ada komitmen apa pun dalam hubungan mereka. Lantas bagaimana mereka bisa menikah?Dalam diam mereka menyimak perdebatan antara Pak Wira dengan Erlan. Meski telinga mereka terbuka lebar untuk mendengar perdebatan itu, tapi tidak satu pun yang bisa ditangkap oleh mereka. Pikiran mereka masih dipenuhi dengan perkataan Pak Wira sebelumnya sampai pertanyaan dari Pak I
"Bagaimana itu mungkin?""Aku tidak menerima itu!"Seruan itu datang dari Erlan dan Erni. Senyum yang tadi menghiasi bibir keduanya saat mendengar Dimas dan Andrea harus pergi dari desa ini sirna sudah. Erlan bahkan sudah berdiri dengan raut kesalnya. "Kenapa mereka harus menikah? Andrea tidaklah salah dalam hal ini. Bagaimana kalian bisa memutuskan hal yang memberatkan Andrea? Ini tidak adil. Lagi pula aku sudah memberikan bukti jika Andrea korban dari kebrengsekan pria itu."Pak Wira tersenyum sinis mendengar seruan kedua kerabatnya itu. Sekarang ia yakin dugaannya mengenai Erlan dan Erni yang menjebak Dimas dan Andrea. "Kenapa tidak mungkin?"tanyanya dengan sinis. "Ya! Kau memang memberikan kesaksianmu, tapi itu tidaklah cukup untuk memutuskan Dimas adalah tersangka sedangkan Andrea adalah korban. Bahkan Andrea sendiri menyanggah kesaksianmu itu dan menyatakan kalau Dimas yang menolongnya di saat dia sedang dalam keadaan tidak berdaya tadi malam. Jadi t