“Apa kau juga tahu bahwa bahwa Rhys sudah menyukaiku sejak dulu?”
Luigi berguling dari sisiku menuju tepi ranjang dan duduk di sana. “Jika kukatakan, apa kau akan percaya padaku?” Dia malah balik bertanya, membuatku bingung.
Dengan susah payah, aku mencoba mengangkat tubuh dan membenahi pakaianku yang acak-acakkan, lalu duduk di tempat aku berbaring. “Sudahlah. Lupakan. Ayo, kita pulang, Lui.”
Saatnya merapikan diri. Rambut dan pakaian tidak boleh berantakan. Aku tidak ingin terlihat berbuat tak senonoh dengan Luigi. Tidak akan kubiarkan orang-orang memandangku aneh dengan tatapan menghina.
Saat terhuyung ketika berdiri, aku tahu Luigi menangkap tubuhku. Kepalaku masih saja pusing seakan ada banyak benda di sekitarku bergerak, dan aku berputar hampir melayang.
“Tidurlah lagi. Kau tidak mungkin kembali dalam kondisi seperti ini.”
“Tolong ponselku, Lui.” Tidak peduli pada apa perkataa
Aku merasa tidak perlu ambil pusing untuk semua curahan hati Audrey Mika pada Eri. Jadi setelah kami benar-benar batal menyantap sesuatu yang dingin di cuaca panas, aku hanya mengantarkan Eri pulang dan berjanji akan lebih sering mengabarinya setelah pertemuan ini berakhir.Sekarang masih jam empat sore, dan aku sudah melihat hasil tes DNA yang memang menyatakan kebenaran bahwa sama sekali tidak masalah ketika aku ingin menjalin hubungan dengan salah satu Putra kebanggaan David Oxley.Aku bukan Anak mereka. Antara sedih dan senang begitu tipis kurasa di dalam hati dan jiwaku yang mengering.Saat ini aku enggan pulang ke rumah manapun, baik rumah Ayah Ibu yang bukan Ayah Ibuku, atau rumah Rhys.Menginap di rumah Eri mungkin tidak akan jadi masalah baginya, tapi bagiku, akan ada banyak kekacauan yang datang padanya nanti karena masih ada Dimitri Oxley dibelakang namaku.Mendadak aku mengingat bagaimana Luigi mengetahui sejarah masa sekolahku, aku lan
Nyonya besar keluarga Oxley, Tessa, kini merubah posisi menjadi bergelayut manja pada yang kuduga pasti tidak lain adalah kekasihnya.Hanya nada terkejut darinya yang terdengar saat memanggil namaku, tapi tidak dengan sikap yang tampak oleh kedua mataku. Apa harus kuadukan semua ini pada Ayah yang bukan Ayah kandungku?“ZeeZee, duduklah, Nak.” Ibu mempersilahkanku dengan telapak tangannya mengacu ke arah kanan, di mana ada sofa terpisah dari tempat Ibu dan teman kencannya duduk.“Aku di sini saja.”“Kau tampak terkejut, sayang.” Ibu beranjak, memberi isyarat pada pria itu dan mereka berpisah. Si pria pergi melewatiku menuju pintu.“Ya benar. Aku terkejut, Ibu.” Memberi penekanan pada penyebutan dirinya, membuat diriku sendiri terkejut. Apa aku masih ingin memanggilnya Ibu? Padahal aku tidak merasa sakit hati apalagi terluka terlalu dalam mengetahui kenyataan.Itu bukti bahwa hubungan Ibu dan An
Dangelo memelukku, sesaat setelah aku mengangguk memberikannya izin.“Kau masih sama, tetap hangat saat dipeluk.” Kutepuk-tepuk punggung Dangelo, bersembunyi di balik bahunya bersama air mataku yang masih bisa kutahan.“Hei, kenapa kau tidak berubah juga?” Dangelo menghela napas. “Jangan menahannya terus. Itu tidak baik untukmu, ZeeZee. Menangislah.”“Aku tidak ingin membasahi pundakmu dengan air mataku,” keluhku muram. Masih bersikeras menyimpan genangan air mata dari Dangelo yang paham watak keras kepalaku.“Ah, omong kosong. Apa perlu aku menciummu agar air matamu itu mengalir?” Dia melepas pelukan, menatapku yang berantakan dengan air mata menggenang.Aku mengunci tatapan pada pundaknya, lalu menunduk untuk mengelabui mata Dangelo, dan aku berhasil meninju salah satu pundaknya.“Aduh!” Dangelo terdengar meringis.Aku langsung mengangkat kepalaku untuk menertaw
“Jadi katakan padaku, bagaimana caranya kau menyingkirkan wanita yang ingin membunuh Lui?” Kuperhatikan wajah Dangelo yang tampak enggan bicara padaku. “Hei, Dangelo, jangan abaikan aku dan pertanyaanku.” Sekarang kedua tanganku mencengkeram kerah kemeja Dangelo.Sikap kasar dan lebih berani selalu kutunjukkan pada Dangelo. Dia sengaja mengalah juga membiarkan aku berbuat sesuka hati pada dirinya.“Ya, ampun ZeeZee, kau kasar sekali! Lepaskan ini dulu. Kau bisa membuatku mati kehabisan napas.” Dangelo menepuk-nepuk tanganku.“Jangan banyak bicara yang tidak perlu. Jawab saja.”“Benar-benar keras kepala.” Dangelo bangkit ketika pintu diketuk dari luar. “Baiklah, baiklah. Tapi kau minumlah dulu,” katanya lagi sesaat setelah pelayannya masuk untuk meletakkan gelas berisi ice americano di meja tengah berbentuk bundar kecil.
“Kenapa? Kau tidak menyukai sentuhanku?” Rhys berhenti sejenak, mungkin menunggu reaksi beserta jawabanku.“Bukan begitu. Akan sulit melakukannya di sini,” keluhku, tapi kemudian tertawa karena Rhys menggelitik pinggangku, dibalik bagian dalam pakaian, langsung menyentuh kulit. “Hei, kita bisa terjatuh, Rhys!” Aku memperingatkannya ketika perlahan, setengah tubuhku merosot turun dari pangkuannya.Rhys menangkap tubuhku dengan mudah. Itu berarti berat badanku cukup ringan untuk seorang Rhys.“Siapa yang memberitahumu aku di sini? Apa itu Ibu?”Rhys memainkan tali pakaian dalamku, menarik-nariknya dengan pelan. “Itu tidak penting.”Aku menghela napas, mengusap rambut bagian depanku ke belakang. “Kau tahu apa yang dia kerjakan di sini, bukan?”“Tentu saja aku tahu, sayang.” Rhys kembali menyen
Tidak ada jawaban memuaskan bagi Rhys. Jadi habislah cerita enggan untuk semalam. Sekarang aku dihantui oleh rasa takut. Bagaimana jika aku hamil?Semalaman begitu nyaman, nikmat tak terbantahkan. Aku menikmatinya berulang kali, sampai pagi. Dan sejak awal, tidak ada pengaman.Telingaku mendengar Rhys membuka jendela, aku menoleh untuk melihat apa yang sedang dia kerjakan.Tersenyum senang, kusadari bahwa Rhys mungkin memahami perasaanku. Dia membuang keluar buku fantasy sialan itu.Rhys harus benar-benar melupakan Dawson bersaudara.“Kau membuangnya?” Ini pertanyaan basa-basi. Aku enggan turun dari ranjang karena masih merasakan lelah di seluruh tubuh.“Benda itu menjadikan seseorang seperti ZeeZee, mengamuk.” Rhys menutup jendela kembali, menarik tirai dan melangkah ke arahku.Berwajah masam, aku berbalik, memunggungi Rhys yang sudah duduk ditepi ranjang.“Ada banyak masalah yang mulai harus kuur
Secepat aku merasa harus bertindak, secepat itulah aku memutuskan apa yang harus kukatakan pada Eri.“Eri, tenang. Dengarkan aku baik-baik, dan setelah ini, jangan bantah satupun perintahku, apa kau mengerti?” Kugenggam sekaligus mengguncang jemari lembab penuh aura ketakutan yang kentara milik Eri.Dia mengangguk, tampak tidak meragu sama sekali. Aku menengadahkan tanganku ke hadapannya. “Berikan ponselmu.”Cepat-cepat Eri menurutiku, dia meletakkan ponselnya di telapak tanganku tanpa protes apapun, saat aku mulai mencabut kartu seluler miliknya dan memasukkan itu di saku jaket jeans-ku.“Tidak perlu berharap kartu seluler-mu ini masih akan ada nantinya, aku tidak bisa menjamin. Akan kuberikan yang lain untukmu,” jelasku cepat. Kulihat Eri mengangguk patuh. “Di mana keluargamu?”“Mereka semua pergi ke rumah Pamanku di desa. Bibiku, istri Paman, kemarin malam baru melahirkan bayi kembar tiga,&rd
Tanpa menunggu aba-aba berikutnya, aku berlari tidak terlalu kencang untuk menghemat tenaga ketika nanti tujuh menit berlalu, dan Luigi coba mengejarku.Sudah berhasil memasuki hutan pinus dengan aman, aku merasa seperti sedang berolahraga lari di sore hari.Itu hanya perasaan sejenak yang kurasakan, karena saat melihat arloji di tanganku, lima menit ternyata sudah berlalu. Hutan ini terlalu luas dan sejauh mata memandang hanya ada kumpulan pohon pinus yang berjajar rapi menjulang tinggi.Aromanya menenangkan dan sejuk, tapi suasananya sedikit mencekam, karena senja sudah hampir menghilang. Gelap akan segera tiba, dan aku harus mencari jalan memutar, bukan rute yang sama, untuk kembali ke batang pohon di halaman rumah Luigi.Menoleh sekali ke belakang, aku belum melihat tanda-tanda Luigi menyusul. Jadi aku akan aman berlari sebisa mungkin tanpa menimbulkan suara yang begitu gaduh, atau meninggalkan jejak mencolok.Beberapa tupai yang melompat, meng
Rajin menghitung hari sebagai pengingat, agar aku yakin tidak melupakan momen-momen penting untuk perubahan hidupku, ini hari ke dua puluh satu setelah kejadian itu.Luigi dan aku tinggal serumah, itu benar. Tapi ketertarikanku padanya masih sama, hampir tidak ada. Walau sesekali dia coba untuk naik ke ranjang yang sama denganku di malam ke lima belas dan delapan belas, aku berpura-pura tidak tahu dan memilih tidur memunggunginya sampai pagi.Ada dua kamar di rumah ini, tapi dua malam itu dia mungkin coba melihat keadaanku, alih-alih berbaring di sisiku.“Lui, sebaiknya kau kembali. Ayah dan Ibu bisa sangat mencurigaimu karena hal ini,” kataku, memberi saran. Dia sedang menatapku, ketika sarapan pagi ala ZeeZee sudah disantap setengah jalan menjadi harapannya padaku setiap pagi.“Kau mengusirku?” Luigi menaikkan kedua alis, tapi tidak tampak marah sama sekali.“Untuk kebaikan bersama,” bantahku.Meneguk ha
“Minggir dari hadapanku, Lui.” Rhys mengeluarkan kalimat sedingin es dan terasa tidak menyenangkan jika aku yang mendengarnya.“Tidak, Rhys. Kita harus bicara.” Luigi menatapku, bukannya Rhys.Kulihat wajah Rhys yang mendadak semakin tidak biasa, tegang, dan penuh amarah.“Kau tidak lihat dia terluka?” Suara Rhys mirip geraman. Aku tahu dia sedang menahan diri untuk tidak memukul Luigi tanpa batasan, karena ada aku di sini.Luigi melihatku, tatapannya melunak, tapi aku tidak menyukai caranya menatapku. Dia membuat gambaran seolah kami memiliki hubungan yang bisa saling berbagi suka dan duka.“Akan kupercepat, kalau begitu.” Luigi kembali lurus menatap Kakaknya. Si sulung dan si bungsu yang saling menatap dalam tatapan tak suka. “Ini tentang rencana Ayah dan Ibu yang ingin membunuh ZeeZee dengan memasukkan racun ke makanan atau minumannya.”Sungguh, aku tidak terkejut sama sekali. Ak
Aku diam. Tidak berniat menanggapi lebih daripada ini. Jelas, aku meragukan ceritanya. Dari mana dia mengetahui semua alur cerita di saat itu, sementara dia sendiri tidak berada di sana?Kemungkinan terbesarnya hanya satu. Seseorang yang berkhianat pada keluarga Oxley menceritakan semua yang terjadi kala itu pada Audrey.Jika kukatakan aku tidak—“Ledakan! Lari, cepat lari!”Terjadi begitu cepat, kulihat dalam keadaan sadar, sisa orang-orang di dalam restoran cepat saji ini berlarian, berteriak dan menjerit histeris.Ada beberapa tubuh tergeletak dengan wajah penuh luka, tak sadarkan diri. Jeritan tangis melengking dari arah tak kuketahui ikut memasuki pendengaranku.Tempat yang kududuki kemudian bergetar. Aku melihat di depanku, kumpulan asap hitam berjarak hampir dua puluh meter terasa lebih dekat dan ingin menelanku.Lenganku sudah ditarik oleh Lucas, serta Audrey Mika yang ikut panik di sisinya. Semua terasa berj
Sepakat, kami memilih restoran cepat saji di dalam pusat perbelanjaan, dan aku meminta Lucas untuk tidak mengatakan apapun pada Rhys mengenai pertemuanku dengan Audrey.Aku tahu, meski kukatakan tidak, Lucas tentu saja lebih patuh pada yang membayar gajinya setiap bulan. Jadi tidak akan ada antisipasi untuk hal ini. Dan aku juga tidak peduli tentang semua itu. Jika Rhys bertanya, pasti akan kujawab dengan jujur.Lucas memilih meja ketiga dibelakang kami. Aku yakin sekarang dia sedang memberitahu Rhys mengenai Audrey Mika Dawson yang menikmati makan siang semeja denganku. “Kau pasti tahu bahwa dia akan memberitahu Rhys mengenai dirimu yang mengganggu waktu belanjaku.”Audrey Mika tersenyum, tapi kedua matanya terus fokus pada Lucas. Aku tidak melihat ke arah yang sama pada fokus Audrey, tapi tetap melanjutkan apa yang ingin kukatakan. “Jika kau sudah tahu, jangan sampaikan hal yang mungkin mudah ditebak oleh Rhys. Aku tidak pintar berbohong pada
“Menurutmu, begitu?”Aku menghela napas. “Aku yang bertanya. Tolong jawab saja pertanyaanku.”Rhys merubah posisi berdirinya. Menurunkan kedua tangan dari lipatan di depan dadanya. “Rahasia yang memang sengaja aku simpan jauh darimu. Siapapun yang berniat memberitahumu, meski itu Ayah atau Ibu, aku tidak segan untuk membuat perhitungan dengan mereka.”Bergidik, aku yakin, kata ‘perhitungan’ bukan hanya sekedar itu saja, tapi memiliki arti yang jauh lebih mengerikan jika itu Rhys yang mengucapkannya.Dia tidak pernah bercanda dengan perkataannya. Terutama padaku. Dia membuktikan semuanya, aku tahu itu.“Baiklah, itu artinya, kau akan memberitahuku sebelum ada yang coba mendahuluimu, bukan?” Dengan gugup yang tiba-tiba muncul, aku menyesal karena ingin tahu rahasianya. Tapi ini sudah terlanjur kutanyakan.Jika Rhys memilih untuk tidak memberitahuku, maka sebaiknya aku mencari tahu sen
“Tidak! Aku tidak ingin bicara denganmu!” Entah mirip bentakan atau teriakan, aku bergegas berdiri dan bangkit untuk berlari lagi.“Kau sudah jelas tahu tidak akan bisa lari dariku. Kenapa tetap coba melarikan diri, huh?” Luigi sudah menarik, lalu mencengkeram kedua lengan dibalik punggungku. Mendekatkan bibirnya pada telingaku.Meronta, aku berusah menginjak salah satu kaki Luigi, tapi gagal. Dia sudah menduga lebih dulu gerakanku. “Dasar kau, berengsek!” Melompat, aku menyundul dagunya menggunakan puncak kepalaku.Terjatuh, aku menimpa tubuh Luigi. Berada di atasnya, lalu dia memelukku dengan erat. Aku tahu dia marah dan sedang menahan rasa sakitnya akibat ulahku.“Lepas, Lui!” Membentak dan berontak, aku coba berguling, tapi pelukan Luigi terlalu kuat hingga kami sama-sama berguling ke kiri.“Tidak bisakah kita bicara baik-baik?” Luigi balas membentak. “Atau kau mau aku meraba sem
“Aku tidak berpikir begitu, Ed.”“Wajah dan gerak tubuhmu mengatakan sebaliknya,” kata Adorjan, tersenyum.“Sudah, lupakanlah. Ayo, bicarakan hal apa yang ingin kau bicarakan padaku tadi.” Mengibaskan tangan di depan wajahku, kusembunyikan pembenaran itu di hatiku.Adorjan tertawa pelan, dia kini sedang mengedarkan pandangan ke sekeliling restoran. “Apakah aman jika kuceritakan di sini?” bisik Adorjan, memajukan sedikit wajahnya, hampir tanpa berjarak denganku.“Aman, Ed. Tenang saja.” Terkejut, aku memundurkan wajahku secepat mungkin.“Begini, ini tentang kau dan Rhys ....” Tubuh Adorjan menegak seketika, dia menunda bicaranya dan malah melihat ke arah lain, melewati kepalaku.Refleks, aku melakukan hal yang sama. Melihat ke arah pandangan Adorjan, dibelakangku.Kedua alisku terangkat, ini penanda bukan hanya aku terkejut karena kemunculannya yang selalu tiba-tib
Tidak ada yang lebih baik dari tidur bersama Rhys di kamarnya. Bahkan kini aku merasa kamarku tidak lagi aman, apalagi nyaman.“Kau harus segera pindah ke rumahku. Kenapa masih bersikeras tinggal di sini? Peperangan sudah dimulai, ZeeZee. Keadaan tidak lagi sama.” Itu ucapan Rhys saat semalam memelukku menjelang tidurnya.Rhys baru saja pergi. Dan aku juga ingin pergi. Setidaknya keluar rumah saat tidak ada hal yang perlu kukerjakan selain mengacau seperti perintah Ibu atau Ayah di waktu-waktu sebelumnya.“Kita harus bicara, ZeeZee.” Suara serak Adorjan di garasi mengejutkanku. Aku berbalik untuk melihatnya berjalan mendekatiku. Kutunggu dia dengan perasaan tidak aman. Apa lagi kali ini?“Ada apa, Ed?”“Tidak di sini.” Adorjan membuka pintu mobilku, dia menjadi pemimpin di depanku. Mengemudikan si merah mencolok tanpa inisiatif siapapun.Aku mengikutinya, duduk dengan perasaan ditenang-tenangka
Mulut senapan laras panjang milik David Oxley sudah menempel di pelipisku. Terbiasa, walau dalam tindakan yang berbeda, aku bergeming di tempat. Aku baru saja menunda percakapan dengan selingkuhan Ayah yang bukan Ayahku ini, karena saat wajah Martiana Neil memucat akibat pertanyaanku, kaki kami sudah tiba di depan pintu ruang kerja David.“Ini sambutan seorang Ayah untuk Putri bungsunya yang senang memberontak, suka ikut campur, dan selalu mau tahu.”Menelan kekecewaan yang entah untuk apa, aku tersenyum miring. Keberanianku setingkat lebih maju. “Terima kasih. Sambutan yang luar biasa, Ayah.”“Senang sekali rasanya saat tahu kau memenuhi undanganku, Nak.”“Aku Anak yang berbakti, Ayah.”Tawa David Oxley menggema di ruangannya. Bagiku, tawanya mirip Leon. Dia juga licik sama seperti keenam Putranya.“Hubunganmu dengan Rhys sudah terlalu dalam, padahal aku dan Tessa susah payah membuat jar