“Jadi katakan padaku, bagaimana caranya kau menyingkirkan wanita yang ingin membunuh Lui?” Kuperhatikan wajah Dangelo yang tampak enggan bicara padaku. “Hei, Dangelo, jangan abaikan aku dan pertanyaanku.” Sekarang kedua tanganku mencengkeram kerah kemeja Dangelo.
Sikap kasar dan lebih berani selalu kutunjukkan pada Dangelo. Dia sengaja mengalah juga membiarkan aku berbuat sesuka hati pada dirinya.
“Ya, ampun ZeeZee, kau kasar sekali! Lepaskan ini dulu. Kau bisa membuatku mati kehabisan napas.” Dangelo menepuk-nepuk tanganku.
“Jangan banyak bicara yang tidak perlu. Jawab saja.”
“Benar-benar keras kepala.” Dangelo bangkit ketika pintu diketuk dari luar. “Baiklah, baiklah. Tapi kau minumlah dulu,” katanya lagi sesaat setelah pelayannya masuk untuk meletakkan gelas berisi ice americano di meja tengah berbentuk bundar kecil.
“Kenapa? Kau tidak menyukai sentuhanku?” Rhys berhenti sejenak, mungkin menunggu reaksi beserta jawabanku.“Bukan begitu. Akan sulit melakukannya di sini,” keluhku, tapi kemudian tertawa karena Rhys menggelitik pinggangku, dibalik bagian dalam pakaian, langsung menyentuh kulit. “Hei, kita bisa terjatuh, Rhys!” Aku memperingatkannya ketika perlahan, setengah tubuhku merosot turun dari pangkuannya.Rhys menangkap tubuhku dengan mudah. Itu berarti berat badanku cukup ringan untuk seorang Rhys.“Siapa yang memberitahumu aku di sini? Apa itu Ibu?”Rhys memainkan tali pakaian dalamku, menarik-nariknya dengan pelan. “Itu tidak penting.”Aku menghela napas, mengusap rambut bagian depanku ke belakang. “Kau tahu apa yang dia kerjakan di sini, bukan?”“Tentu saja aku tahu, sayang.” Rhys kembali menyen
Tidak ada jawaban memuaskan bagi Rhys. Jadi habislah cerita enggan untuk semalam. Sekarang aku dihantui oleh rasa takut. Bagaimana jika aku hamil?Semalaman begitu nyaman, nikmat tak terbantahkan. Aku menikmatinya berulang kali, sampai pagi. Dan sejak awal, tidak ada pengaman.Telingaku mendengar Rhys membuka jendela, aku menoleh untuk melihat apa yang sedang dia kerjakan.Tersenyum senang, kusadari bahwa Rhys mungkin memahami perasaanku. Dia membuang keluar buku fantasy sialan itu.Rhys harus benar-benar melupakan Dawson bersaudara.“Kau membuangnya?” Ini pertanyaan basa-basi. Aku enggan turun dari ranjang karena masih merasakan lelah di seluruh tubuh.“Benda itu menjadikan seseorang seperti ZeeZee, mengamuk.” Rhys menutup jendela kembali, menarik tirai dan melangkah ke arahku.Berwajah masam, aku berbalik, memunggungi Rhys yang sudah duduk ditepi ranjang.“Ada banyak masalah yang mulai harus kuur
Secepat aku merasa harus bertindak, secepat itulah aku memutuskan apa yang harus kukatakan pada Eri.“Eri, tenang. Dengarkan aku baik-baik, dan setelah ini, jangan bantah satupun perintahku, apa kau mengerti?” Kugenggam sekaligus mengguncang jemari lembab penuh aura ketakutan yang kentara milik Eri.Dia mengangguk, tampak tidak meragu sama sekali. Aku menengadahkan tanganku ke hadapannya. “Berikan ponselmu.”Cepat-cepat Eri menurutiku, dia meletakkan ponselnya di telapak tanganku tanpa protes apapun, saat aku mulai mencabut kartu seluler miliknya dan memasukkan itu di saku jaket jeans-ku.“Tidak perlu berharap kartu seluler-mu ini masih akan ada nantinya, aku tidak bisa menjamin. Akan kuberikan yang lain untukmu,” jelasku cepat. Kulihat Eri mengangguk patuh. “Di mana keluargamu?”“Mereka semua pergi ke rumah Pamanku di desa. Bibiku, istri Paman, kemarin malam baru melahirkan bayi kembar tiga,&rd
Tanpa menunggu aba-aba berikutnya, aku berlari tidak terlalu kencang untuk menghemat tenaga ketika nanti tujuh menit berlalu, dan Luigi coba mengejarku.Sudah berhasil memasuki hutan pinus dengan aman, aku merasa seperti sedang berolahraga lari di sore hari.Itu hanya perasaan sejenak yang kurasakan, karena saat melihat arloji di tanganku, lima menit ternyata sudah berlalu. Hutan ini terlalu luas dan sejauh mata memandang hanya ada kumpulan pohon pinus yang berjajar rapi menjulang tinggi.Aromanya menenangkan dan sejuk, tapi suasananya sedikit mencekam, karena senja sudah hampir menghilang. Gelap akan segera tiba, dan aku harus mencari jalan memutar, bukan rute yang sama, untuk kembali ke batang pohon di halaman rumah Luigi.Menoleh sekali ke belakang, aku belum melihat tanda-tanda Luigi menyusul. Jadi aku akan aman berlari sebisa mungkin tanpa menimbulkan suara yang begitu gaduh, atau meninggalkan jejak mencolok.Beberapa tupai yang melompat, meng
Mulut senapan laras panjang milik David Oxley sudah menempel di pelipisku. Terbiasa, walau dalam tindakan yang berbeda, aku bergeming di tempat. Aku baru saja menunda percakapan dengan selingkuhan Ayah yang bukan Ayahku ini, karena saat wajah Martiana Neil memucat akibat pertanyaanku, kaki kami sudah tiba di depan pintu ruang kerja David.“Ini sambutan seorang Ayah untuk Putri bungsunya yang senang memberontak, suka ikut campur, dan selalu mau tahu.”Menelan kekecewaan yang entah untuk apa, aku tersenyum miring. Keberanianku setingkat lebih maju. “Terima kasih. Sambutan yang luar biasa, Ayah.”“Senang sekali rasanya saat tahu kau memenuhi undanganku, Nak.”“Aku Anak yang berbakti, Ayah.”Tawa David Oxley menggema di ruangannya. Bagiku, tawanya mirip Leon. Dia juga licik sama seperti keenam Putranya.“Hubunganmu dengan Rhys sudah terlalu dalam, padahal aku dan Tessa susah payah membuat jar
Tidak ada yang lebih baik dari tidur bersama Rhys di kamarnya. Bahkan kini aku merasa kamarku tidak lagi aman, apalagi nyaman.“Kau harus segera pindah ke rumahku. Kenapa masih bersikeras tinggal di sini? Peperangan sudah dimulai, ZeeZee. Keadaan tidak lagi sama.” Itu ucapan Rhys saat semalam memelukku menjelang tidurnya.Rhys baru saja pergi. Dan aku juga ingin pergi. Setidaknya keluar rumah saat tidak ada hal yang perlu kukerjakan selain mengacau seperti perintah Ibu atau Ayah di waktu-waktu sebelumnya.“Kita harus bicara, ZeeZee.” Suara serak Adorjan di garasi mengejutkanku. Aku berbalik untuk melihatnya berjalan mendekatiku. Kutunggu dia dengan perasaan tidak aman. Apa lagi kali ini?“Ada apa, Ed?”“Tidak di sini.” Adorjan membuka pintu mobilku, dia menjadi pemimpin di depanku. Mengemudikan si merah mencolok tanpa inisiatif siapapun.Aku mengikutinya, duduk dengan perasaan ditenang-tenangka
“Aku tidak berpikir begitu, Ed.”“Wajah dan gerak tubuhmu mengatakan sebaliknya,” kata Adorjan, tersenyum.“Sudah, lupakanlah. Ayo, bicarakan hal apa yang ingin kau bicarakan padaku tadi.” Mengibaskan tangan di depan wajahku, kusembunyikan pembenaran itu di hatiku.Adorjan tertawa pelan, dia kini sedang mengedarkan pandangan ke sekeliling restoran. “Apakah aman jika kuceritakan di sini?” bisik Adorjan, memajukan sedikit wajahnya, hampir tanpa berjarak denganku.“Aman, Ed. Tenang saja.” Terkejut, aku memundurkan wajahku secepat mungkin.“Begini, ini tentang kau dan Rhys ....” Tubuh Adorjan menegak seketika, dia menunda bicaranya dan malah melihat ke arah lain, melewati kepalaku.Refleks, aku melakukan hal yang sama. Melihat ke arah pandangan Adorjan, dibelakangku.Kedua alisku terangkat, ini penanda bukan hanya aku terkejut karena kemunculannya yang selalu tiba-tib
“Tidak! Aku tidak ingin bicara denganmu!” Entah mirip bentakan atau teriakan, aku bergegas berdiri dan bangkit untuk berlari lagi.“Kau sudah jelas tahu tidak akan bisa lari dariku. Kenapa tetap coba melarikan diri, huh?” Luigi sudah menarik, lalu mencengkeram kedua lengan dibalik punggungku. Mendekatkan bibirnya pada telingaku.Meronta, aku berusah menginjak salah satu kaki Luigi, tapi gagal. Dia sudah menduga lebih dulu gerakanku. “Dasar kau, berengsek!” Melompat, aku menyundul dagunya menggunakan puncak kepalaku.Terjatuh, aku menimpa tubuh Luigi. Berada di atasnya, lalu dia memelukku dengan erat. Aku tahu dia marah dan sedang menahan rasa sakitnya akibat ulahku.“Lepas, Lui!” Membentak dan berontak, aku coba berguling, tapi pelukan Luigi terlalu kuat hingga kami sama-sama berguling ke kiri.“Tidak bisakah kita bicara baik-baik?” Luigi balas membentak. “Atau kau mau aku meraba sem