Olivia Finley
“Katakan.” Kuucapkan itu tanpa jeda dari ucapannya. Kutatap dia lekat-lekat sebagai pertanda bahwa aku sama sekali tidak peduli pada apa pun yang coba dia lancarkan padaku. Apalagi perasaan takut. Tidak, aku tidak takut.
Luigi pernah hampir memperkosaku dua tahun lalu, menjebakku, dan aku baik-baik saja bertemu dengannya sampai saat ini.
Dia tersenyum. Bagus, ada dua lesung pipi samar di sana. Menyebalkan sekali dua titik menggemaskan nan manis itu malah terbentuk di dua pipi miliknya.
“Temani aku.”
Tawaku meledak seketika, tapi tenang, aku bukan wanita gila. Setelah sepersekian detik aku langsung mampu menguasai diriku lagi. Jawabanku, “Tidak.”
“Akan kuminta Siren Davies menyebarkan berita buruk tentang Olive Dry and Cleaning.”
Sebenarnya aku merasa frustrasi dalam sekejap. Ini benar-benar menyulitkanku. Dia membawa-bawa nama penatu yang sudah kurintis setahun terakhir dengan susah payah.
Walau aku sudah menduga bahwa ini akan terjadi. Tapi kupikir yang akan mempermasalahkan hal ini tentu saja Siren, bukannya pria ini.
Sungguh, ini tidak mudah.
“Gunakan ancaman lain. Kau tidak pernah tahu bagaimana hidupku tanpa Olive Dry and Cleaning.” Nyaris bergumam, jujur saja aku tidak ingin merendahkan harga diriku. Aku yakin aku masih memilikinya.
Tidak ada cara lain selain reputasi baik penatu yang harus kupertahankan. Aku serius tidak akan menerima ajakan si sialan ini meski terdesak sekali pun.
Kuberitahu, andai di dunia ini hanya ada kami berdua saja, sungguh, aku tidak akan meminta pertolongannya meski aku bisa terancam mati kelaparan.
Jadi, apa harus kuadukan hal ini pada Rhys?
“Bagaimana ini? Aku tidak punya rencana lain.” Suaranya lagi-lagi menghina. Cibiran yang khas.
“Di mana Nona Siren? Aku akan bicara dengannya saja.” Tidak menunggu, aku memeriksa ke kamar mandi, membuka pintunya sambil memanggil-manggil namanya seolah aku tidak peduli pada pria sialan itu.
“Kau meremehkanku ya?” Dia tidak terdengar marah, walau biasanya ucapan seperti itu ditandai dengan nada penuh emosi.
Aku berbalik, menatapnya. Benar, aku meremehkannya sejak awal. Sejak dia menawarkan sisa kembalian yang kutolak dengan penuh harga diri tinggi.
“Tidak. Aku tidak meremehkanmu.”
“Jadi apa itu artinya bagiku?”
Benar-benar sialan.
“Artinya, aku ingin bicara dengan Nona Siren. Tolong pertemukan kami.” Berjalan mendekat, aku berdiri setelah kami berada dalam jarak pemisah sekitar dua meter.
“Aku sudah mengusirnya dari sini. Dia hanya tinggal menunggu perintahku. Jadi percuma saja kau coba bertemu dengannya, Olive.”
Kau merencanakannya sejak awal, berengsek!
“Baiklah. Setidaknya biarkan aku mencoba.” Kukeluarkan ponselku, mulai mencari panggilan terakhir yang kuterima dan nomor kontak Siren ada di sana.
Memang luar biasa mereka ini, nomornya tidak dapat dihubungi setelah beberapa menit terlewati. Benar-benar kerjasama yang baik.
“Menyerah saja, Olive. Aku tidak main-main dengan ajakan dan ancamanku.” Dia berdiri santai dibalik pintu masih dengan tangan terlipat di depan dada, tapi kini dia menyilangkan satu kakinya.
Gayanya memang seperti pria berengsek kaya raya. Hanya tampang dan uang. Semua mantan saudara laki-lakiku jelas lebih hebat darinya.
“Begini, Tuan.” Kuputuskan untuk bernegosiasi dengannya. “Bisakah kita akhiri ini saja dengan aku yang membayar ganti rugi sesuai keinginanmu?”
Dia mendengus. Aku tahu itu untuk menghinaku lagi.
“Sejumlah yang kuinginkan?” Sebelah alisnya terangkat. Ah, sialan! Ingin sekali kutinju wajahnya itu.
“Berapa jumlah yang kau inginkan, Tuan?” Aku harus bersiap untuk segala kemungkinan uang yang harus kukeluarkan. Belum lagi biaya lain di—
“Lima ratus juta saja. Itu tidak banyak, bukan?”
Hanya untuk dua dress yang bahkan belum kulihat wujud rusaknya seperti apa? Oh, demi apa pun itu. Aku melayaninya hanya sebatas sopan santun karena dia mengancamku dan Siren tidak ada di sini.
Yang kupikirkan hanya sekali perintah dari si berengsek ini, maka Siren akan menggerakkan jarinya untuk menurunkan rating Olive Dry and Cleaning, dan bibirnya bisa saja mengucapkan berita bohong yang belum tentu kebenarannya.
Persetan! Aku tidak peduli!
Sekarang aku berjalan cepat menuju ke arahnya, mendorong tubuhnya ke samping karena aku harus membuka pintu dan keluar dari sini.
Terserahlah!
Aku tidak bisa membiarkannya bertindak hanya serupa gertakan angin. Biar kita lihat sejauh apa dia bisa mempengaruhiku.
Lagipula kami tidak punya keterlibatan secara khusus. Aku hanya berurusan dengan si jalang Siren yang nomor kontaknya bahkan tidak bisa lagi dihubungi.
Baik, kita lihat saja!
“Dengar ...” Suaranya di telingaku, membuatku menyingkir, tapi dia menarik pinggangku mendekat padanya, “aku sungguh-sungguh akan melakukannya, Olive.”
“Baik,” kataku, nyali menantangku berkobar, “aku menantikannya, Tuan.”
*****
Sudah lewat dari seminggu. Aku tenang berkat panggilan-panggilan telepon dari Rhys. Dia tidak bercerita tentang apa pun yang terjadi di Yellowrin. Hanya tentang kami.
Rhys cuma terus membahas hubungan kami. Tentang susunan rencana masa depan yang sering kali kuhindari saat dia memancingku untuk membicarakannya.
Menikah.
Dan aku belum siap.
Aku belum ingin memiliki bayi yang akan terus tumbuh besar, dan kemungkinan pasti mengikuti perangai keluarga Oxley. Meski tidak kukatakan secara langsung, tapi rasa-rasanya Rhys paham akan kekhawatiranku itu.
“Olive!”
Aku terperanjat. “Rhys, nanti kuhubungi lagi.” Nyaris merosot dari genggamanku, ponsel segera kumatikan setelah Rhys mengiyakan. Dia pasti mendengar panggilan Hyra karena dia juga mengenal temanku itu, dan pernah melihatnya beberapa kali saat berkunjung ke sini.
Hyra jarang mengganggu waktu istirahatku, bahkan bisa kukatakan hampir tidak pernah. Mungkin ada sesuatu di depan, di bagian meja kasir penatu.
Benar. Hyra berdiri dengan gerak tubuh salah tingkah dan wajah pucat. Dia memandangiku, lalu bergegas menghampiriku saat aku sudah sangat dekat dengannya.
Cengkeraman tangannya terasa menembus kulitku saat dia mengguncang lenganku. “Olive, seorang pria datang menunjukkan video dan artikel yang siap diluncurkan nanti malam mengenai kelalaian penatumu. Dia hanya meninggalkan nomor ini. Kau harus segera menghubunginya sebelum dia menyebarkan ini ke semua media.”
Ah, benar-benar. Sialan kau yang entah siapa namanya.
“Berikan padaku.” Aku menadahkan telapak tanganku dengan gerak tubuh yang tampak santai, sebisa mungkin santai dari luar, tapi siap meledak di dalam.
“Aku sudah membuka filenya di komputer. Kemarilah,” ajak Hyra, sangat tergesa-gesa. Tangannya menarik lenganku ke meja kasir dengan dua komputer.
“Lihat, Olive. Dia ini penyanyi pendatang baru yang keluar sebagai juara pertama dari posisi tiga besar pada ajang pencarian bakat menyanyi lima hari lalu. Dia sedang hangat-hangatnya jadi pembicaraan masyarakat. Idola baru. Apa kau tahu siapa namanya?”
Aku segera mengangguk saat mengetahui fakta ini. “Siren Davies.” Sungguh tidak pernah kusangka ada seorang penyanyi terkenal menggunakan jasa penatu milikku. “Dia menggunakan jasa penatu kita seminggu lalu. Dua dress dengan untaian mutiara.”
“Hem, kau benar.” Hyra mengangguk. Dia juga masih mengingatnya.
Pantas saja si pria sialan yang entah memiliki hubungan seperti apa dengan Siren, begitu percaya diri saat mengancamku.
“Lihat dan dengar pengakuannya tentang penatu milikmu, Olive.”
Bersambung.
Olivia FinleyKacau!Benar-benar kacau!Siren Davies mengaku bahwa penatu milikku telah menghancurkan dua dress mutiara miliknya yang seharga satu mobilku.Bukan lagi Chevrolet Colorado pull me over red yang selalu kubanggakan saat di Yellowrin dulu. Entah, jika Rhys masih memelihara mobil itu. Si merah mencolokku.Sekarang aku memilih sedan kecil tidak terlalu tua, untuk kukemudikan di jalanan kota Halbur yang kecil ini.Dan contoh berita di artikel yang akan diterbitkan itu juga sama persis isinya dengan yang diucapkan di video oleh Siren Davies.Benar-benar sangat berniat!Dia ingin menggangguku dan berharap aku meladeninya? Tidak akan. Aku lelah hidup seperti di Yellowrin.“Segeralah temui pria ini, Olive.” Ini saran kesekian kalinya dari Hyra Lewis. Dia begitu khawatir. Mirip nenek-nenek usia tujuh puluhan.“Tidak perlu. Aku akan menghubunginya saja.
Rhys Dimitri Oxley “Aku membutuhkanmu di acara itu, Rhys.” Apa keenggananku tidak terbaca jelas lewat ekspresi wajahku ini? “Jangan gunakan Megan sebagai alasan,” kataku tegas. Dia, Audrey Mika Dawson harus diberi penolakan secara pasti jika tidak ingin menjadi duri dalam kehidupanku sejakdia muncul beberapa tahun lalu, di depan ZeeZee, ah, maksudku, Olive. “Rhys, dengar ...” Mata gelapnya menatapku, tajam, “aku tidak peduli dengan rasa bersalah yang menggerogotimu karena mendiang Megan. Acara ini memang sudah jadi impiannya sejak dulu. Dia meminta kau turut serta di dalamnya. Apa perlu kutunjukkan surat wasiatnya padamu?” Itu tidak perlu. Aku tahu itu tidak ada. Megan Laura Dawson, mantan kekasihku yang malang itu tidak pernah sempat menuliskan hal-hal tidak berguna, selain dari imajinasi liarnya yang tertuang menjadi novel fantasi yang justru berhasil membuatku lupa padanya dalam sekejap kep
Olivia FinleyTidak banyak yang berubah, kecuali satu hal itu. Dari ratusan pelanggan, hanya menyisakan belasan saja untukku.Dan tentu saja, aku harus bekerja hingga tulangku terasa akan lepas di malam hari sebelum menjelang tidur, karena pagi hingga sorenya, aku bekerja sendirian di depan mesin cuci.Seperti kataku, Hyra Lewis tidak pantas menderita karena kesalahanku, tapi tidak. Tidak, tidak, aku sangat tidak sudi mengakui kesalahan yang tidak pernah kulakukan. Dasar berengsek!“Hei, Olive. Aku datang.”Benar-benar panjang umur. Hyra muncul dengan bungkusan plastik berwarna ungu—lambang dari kafe tempatnya bekerja memang identik dengan warna itu—tersenyum, menggoyangkannya dihadapanku yang tengah telentang di sofa ruang istirahatku.“Ini akhir pekan. Seharusnya kau pergi bersama kekasih, atau menemani Nenekmu seharian di rumah.” Walau berkata begitu, aku bersyukur dia berkunjung.D
Olivia FinleyHugo tampak cukup menikmati makan siangnya bersamaku. Setelah memperkenalkan pria tampan sejagat raya ini pada Hyra Lewis, aku dan Hugo pergi mengelilingi taman bunga tidak jauh dari tengah kota Halbur.Dia banyak bertanya tentang Halbur dan aku menjawab apa yang kutahu.“Hubungan kalian tampak tidak akur.”Saat itu juga aku menoleh untuk menatap tajam padanya. “Kenapa itu harus jadi urusanmu?”Hugo terbahak. Lalu menusuk pipi kananku menggunakan telunjuknya dengan perlahan. “Aku hanya berkomentar. Sama sekali tidak bertujuan untuk mencampuri urusanmu.”Dengan wajah masam, aku hanya tersenyum kecut. Untuk itu dia memperhatikanku melalui sepasang mata teduhnya.“Aku mencemaskanmu, ZeeZee.” Nadanya serius, tapi aku tidak tahu itu benar-benar serius atau hanya ucapan di bibir saja.“Karena pria itu Rhys?”Hugo mengangguk. &
Olivia FinleyBocah ini benar-benar mengacau. Dia berguling-guling di tanah yang berkerikil hingga tubuhnya yang tidak terlindung kaus juga celana usangnya, tergores di sana sini.“Hei, berhenti berguling!” Aku sudah membentak karena tidak tahan melihat ulahnya yang disengaja. Semua mata mengawasiku seolah aku bukan ibu yang becus menjaga seorang bocah.Dia bukan anakku! Aku terlalu muda untuk anak seusia bocah ini.Ingin sekali aku berteriak marah pada setiap orang yang melirik tajam ke arahku.Dia bukan bocah enam tahun, tapi sepuluh tahun! Dia cukup pintar untuk sekedar mengingat jalan menuju rumahnya. Terutama bersandiwara seperti sekarang ini.“Bawa aku ke tempat pamanku!” Teriakan dan tangisnya semakin menjadi-jadi.Aku kehilangan kesabaran walau dua puluh lima menit belum berlalu dan aku masih bertahan. Hebat!Setelah menghembuskan napas kasar, aku sengaja berbalik meni
Olivia FinleySi bocah nyatanya menjerit-jerit minta dilepaskan sembari meronta. Aku memang tidak bisa melihatnya, tapi telingaku mendengar dengan jelas bagaimana berisiknya si bocah coba melepaskan diri.Mansion ini sepi tanpa penjaga. Membuatku curiga bahwa memungkinkan sekali jika ini hanyalah jebakan. Tapi untuk apa? Siapa yang ingin dijebak?Perlahan sembari melihat ke kiri dan kanan, aku berjalan cepat dengan kedua ujung kaki berjinjit.Sekarang aku sudah masuk melalui sebuah jendela besar rendah tanpa jeruji atau penghalang apa pun. Seolah jendela ini bisa digunakan sebagai pintu untuk masuk ke mansion ini. Menggunakan jalur lain, selain pintu depan.Daripada mansion, tempat ini lebih mirip seperti rumah tua yang ukurannya cukup besar dengan halaman yang tidak kalah luasnya.Aku berjalan hati-hati. Melihat sekeliling dan kuyakin ruangan ini pasti digunakan untuk acara pertemuan atau rapat bahkan mungkin hal lainnya.
Rhys Dimitri Oxley“Apa ini?” Aku tegak berdiri saat Audrey Mika Dawson menghadangku di loby hotel tempat aku akan menghadiri pertemuan dengan salah satu rekan bisnis legalku.“Kenangan terakhir kakakku untukmu.” Dia tersenyum manis, menyodorkan sebuah kotak berukuran sedang padaku.“Siapa yang memintamu melakukan ini?” Kutatap tajam dia dengan tujuan agar mulai detik ini, berhenti mengikutiku di setiap dia memiliki kesempatan sekecil apa pun itu.Audrey Mika yang sangat tidak mirip dengan mantan kekasih lamaku yang sudah tiada itu, tersenyum sinis.“Tentu saja aku melakukan apa yang tidak pernah sempat dia lakukan untukmu, Rhys. Untuk semua rasa sakit yang dia terima darimu.”“Kau ingin balas dendam?”“Itu rahasia.”“Bagus. Coba saja.” Aku berjalan melewatinya. Sudah ada Lucas yang akan mengatasi Audrey untukku.
Olivia FinleyAku selamat? Tidak juga.Dia hanya mendorongku masuk ke kamar dan membiarkan aku sendirian di sini. Tanpa bisa melawan. Bodohnya kau, ZeeZee!Kamar yang benar-benar sempit. Ini jelas kamar pelayan! Tidak ada celah untukku kabur. Sekarang apa? Tidur? Tidak, aku tidak bisa tidur di saat seperti ini. Walau aku justru merasa lelah dan mengantuk.Sial sekali memang. Ponselku kehabisan daya baterai saat kucoba memeriksanya sedetik lalu.Benar-benar sialan! Kutendang pintu berulang kali. Aku hanya cemas akan—“Ada apa, Olive?” Pintu terbuka sedikit. Hanya menampilkan setengah tubuh pria berengsek itu.“Katamu, kita akan bicara. Ayo, bicara sekarang. Aku tidak bisa menunggu sampai pagi. Aku harus pulang. Pekerjaanku banyak.” Aku melotot padanya. Kupegangi pundakku yang jadi pusat perhatiannya. Kemeja yang kukenakan dirobek olehnya di bagian pundak kananku.“O
Olivia FinleyPenata rias sedang menyentuh pipiku, ketika dia mengaduh karena melupakan alat makeup-nya yang entah apa penyebutannya tadi.“Aku akan segera kembali,” katanya.“Okay.” Sambil tersenyum, kutatap lekat gambaran diriku di cermin. Gaun pengantin baru akan kukenakan setelah riasan wajahku selesai.Aku terlonjak saat di menit pertama seseorang muncul di belakangku. Brady!“Kenapa kau—”“Aku cuma ingin bicara sebentar. Tidak akan ada yang tahu. Tenang saja.” Kedua tangannya berada di pundakku, menekan sedikit kuat agar aku tetap di sana dan tentu memaksaku untuk tidak memberontak.Brady membungkuk, menatapku dari pantulan cermin, begitu pun sebaliknya. Kami saling tatap. Bedanya, aku melihatnya penuh rasa benci. Tidak perlu berpikir berulang kali, tapi rasa benci ini tetap akan berakhir dengan kebencian pula.Salahku memang. Andai aku segera kembali ke pelukan Rhys, pulang ke Yellowrin sebelum bertemu Brady, pastinya hal mengerikan seperti ini, tidak mungkin terjadi. Kami tida
Rhys Dimitri OxleyAku akan pura-pura tidak tahu kalau ZeeZee bertemu Diana dan wanita sialan itu mengungkap fakta yang terjadi di antara kami berdua.Bergeming, ketika ZeeZee canggung padaku saat malam ini kami ada di kamar yang sama untuk membahas pernikahan besok.“Masih belum terlambat jika kau tidak siap kita menikah besok,” kataku lagi. Menjurus ke arah pembatalan pernikahan, karena kupikir, dia pasti kecewa, marah, sakit hati dan entah apalagi yang dirasakannya saat mendengar kebenaran itu.Dia malah tersenyum, meraih tanganku dan dibawa ke dalam pelukannya. “Sudah terlalu lama kita seperti ini, Rhys. Hubungan kita seakan jalan di tempat.”Aku terlalu takut untuk mengakui kesalahanku. Sangat pecundang, karena tidak berani mengakui kalau akhirnya aku tergoda oleh Diana yang menerobos paksa pertahananku.“Mungkin saja kau butuh waktu lagi, Sayang.” Bisa jadi dia berubah pikiran karena kesalahan besar yang telah kulakukan.Senyum ZeeZee menghancurkanku. Aku merasa semakin sangat b
Olivia FinleyPercuma menyesal. Tidak akan ada gunanya. Apa yang kami lakukan telah terjadi.Aku di sini karena mencari tahu kebenaran untukku, sekaligus kesalahan Rhys padaku. Sebaliknya, dia memiliki kebenaran untuk dirinya sendiri dan kesalahanku padanya.Impas? Sungguh?Pesan Rhys yang menanyakan tentang keberadaanku, kuabaikan. Meski begitu, semenit kemudian kubalas dengan mengatakan bahwa aku perlu memilih pakaian dalam baru untuk malam pertama kami.Aku tidak peduli pada balasan selanjutnya, karena wanita itu sudah terlihat dari pintu kaca tembus pandang, sedang mendorong pintu pintu dan masuk.Mungkin wanita itu sudah memantauku dari luar, karena dia langsung tahu di mana aku duduk menunggunya. Dia menatapku sejenak sebelum akhirnya menghela napas dan mendatangiku yang berusaha tidak cemas, tetap waras.“Nona Olivia?”“Ya. Silakan duduk, ibunya William.” Oh, aku sengaja.Namun aku harus kecewa, karena dia tidak terkejut sama sekali. Malahan tersenyum. Pasti karena dia sudah me
Olivia FinleyAku hanya harus percaya. Andai bisa, tapi rupanya itu sulit.Begini. Selagi acara pernikahan kami masih sedang diurus, aku pun ingin sibuk. Melakukan sesuatu, apa saja. Dan yang terpikir adalah pergi mendatangi Osen Murald. Kata Lucas, pria itu di sini. Entah untuk kepentingan apa, tapi kurasa ada hubungannya dengan Luigi.Aku ... butuh bantuan.Karena sekembali Rhys dari luar mengantarkan Brady, kekasihku itu tidak bicara sama sekali soal kucing-kucing yang akan Brady titipkan padanya.Tapi Rhys justru berharap kami bisa bercinta tanpa pembicaraan.“ZeeZee, aku ingin ada di dalam dirimu. Tapi kuminta untuk tidak mengajakku terlibat obrolan apa pun. Kita harus menikmati percintaan ini dengan hanya saling menatap satu sama lain. Apa kau keberatan?”“Tidak.”Itulah jawabanku kemarin. Aku setuju. Kami hanya menyuarakan kenikmatan, menyebut nama satu sama lain, mendesah penuh minat, dan bibir yang terus sibuk. Sibuk, tapi bukan untuk mengobrol.Kami merasai penyatuan yang lu
Rhys Dimitri Oxley“Siapa?” ZeeZee menatap tajam pada Brady, bukan padaku.“Kucing-kucingku.” Brady tersenyum, pura-pura canggung sepertinya.“Kucing? Kau menitipkan kucing pada Rhys?” ejek ZeeZee. Tujuannya mungkin karena dia ingin mendesak Brady untuk punya jawaban lain, sehingga memiliki banyak alasan membenci pria itu.Andai aku pun bisa seperti ZeeZee, mungkin dengan bebas aku lebih dari mampu untuk mengekspresikan rasa benciku pada Brady White yang saat ini, setelah kulakukan penyelidikan lebih jauh, patut kucurigai hingga sampai ke persentase delapan puluh persen.Ludwig yang menyelidiki. Melarangku meminta bantuan Lucas.“Ya, kucing.” Brady tertawa pelan. Sikapnya pada ZeeZee seharusnya kucurigai sejak awal.“Kenapa, Sayang?” tanyaku sambil tetap berdiri di sini, tidak mendekat pada ZeeZee.ZeeZee menatapku, tatapannya sendu padaku, tidak demikian matanya saat melihat Brady. Dugaanku mungkin ada sesuatu, tapi aku tetaplah pria mengecewakan yang telah melakukan seks dengan wani
Olivia FinleyBrady membawa Eri pergi, entah ke mana, setelah satu kali dua puluh empat jam berada di rumah sakit yang ada di Yellowrin.“Brady lebih berhak karena kini Eri adalah calon istrinya,” kata Rhys, ketika aku protes kenapa dia membiarkan Brady melakukan itu pada sahabatku. Seolah memisahkan kami. Dengan sengaja pula.“Karena aku cuma teman, aku tidak cukup berhak, ya?” Rhys mengecup pelan bibirku selagi mengelus kulit lenganku.“Eri baik-baik saja. Percayalah, Sayang.”Kuembuskan napas tepat di dadanya yang kini menjadi sandaranku. “Katanya, kau ingin membicarakan hal serius denganku. Soal apa itu? Eri?”“Bukan, ZeeZee. Ini soal kita.”Spontan aku mendongak dan menatapnya dari bawah sini, namun rasanya kurang tepat. Keluar dari sandaran dekapannya setengah tidak rela, kutatap dia lekat-lekat.Sepertinya sudah sangat lama aku tidak diajak bicara seserius ini dengan pria terkasihku.“Kita? Kita kenapa?”Helaan napas Rhys membuatku tegang. Seperti ada sesuatu yang malah membuat
Rhys Dimitri OxleyYang kutemukan adalah kepanikan. Para pelayan rumah masih di sini, karena membantu menyelesaikan semua sisa dari acara pertunangan Brady dan Eri.Merekalah yang panik dan ketakutan.“Ada apa ini?”Bukan aku yang bertanya, tapi Hugo. Bahkan Leon dan Adorjan juga ada di sana.“Tu-tuan tamu, oh maksudku, tuan Brady dan tunangannya terjatuh dari lantai tiga.”“Kalian melihat langsung saat mereka terjatuh?” tanyaku sambil mendekat. Semua mata mendadak mengarah padaku. “Tidak, Tuan Rhys. Kami sedang di dapur saat kejadian berlangsung. Jeritan nona Eri mengejutkan kami. Saat kami keluar rumah, keduanya sudah ada di atas mobil tuan Leon dalam keadaan tidak sadarkan diri dan berdarah-darah.” Salah satu dari keempat pelayan memberi keterangan.“Bagaimana sekarang?” Leon bertanya padaku.Kenapa bertanya? Harusnya mereka bergerak untuk mengatasi hal ini atau setidaknya memastikan keadaan kedua orang itu.Karena memang sudah jadi kesepakatan antara kami dan para pekerja di rumah
Olivia Finley“Aku tidur di sini, ya?” Eri menggulung gaunnya menjadi buntalan, setengah telanjang di atas ranjangku. Hanya bra dan celana dalam. “Lakukan sesukamu, Nona cengeng.” Beranjak untuk berganti pakaian, pintu kamarku diketuk.Rhys!Pasti dia!Aku berlari ke arah ranjang, menarik selimut dan mengancam Eri dengan suara pelan. “Itu Rhys, jadi tutupi tubuhmu, Nona!”Eri terkikik, menutupi tubuh bahkan bersembunyi dibalik selimut.Pintu terbuka, bukan Rhys yang berdiri dihadapanku, tapi Brady.“Olive, a—”“Eri, calon suamimu datang!” Aku menyela dengan menyeru. Tujuanku tentu saja agar Brady tidak bertindak seperti saat sebelumnya dia datang ke kamarku.“Hah? Brady!” Suara Eri terdengar riang, bahkan lompatannya dari atas ranjang ke lantai bisa terdengar. Oh—“Hei, Eri! Pakai selimutmu!” Panik, aku melotot padanya, tapi wanita itu santai saja berlarian kecil menghampiri kami di pintu.“Meski tampilannya begitu, aku tidak tertarik.” Brady menatapku.“Apa?” Eri menyela. Langsung b
Olivia FinleyOh, si paling tampan di keluarga Oxley. Hugo.“Apa kabarmu, ZeeZee terkasih?” Dekat-dekat hanya untuk mengecup puncak kepalaku.Hei, hei. Dia satu tingkat lebih berani dari saat terakhir kali kami bertemu. Kudorong wajahnya yang ingin merapat padaku.“Hugo, hentikan.”“Rhys sedang memberi kata sambutan. Jadi dia tidak akan melihat kita,” bisik Hugo.Tinju seriusku mendarat di perutnya. “Berhenti bercanda, Hugo. Aku sungguh-sungguh saat memperingatimu.”Hugo tampak jelas berpura-pura tuli karena dia langsung beralih pada Eri yang sedang cekikikan melihat interaksi kami berdua.“Nona Eri yang cantik jelita, langsung pergi ke sisi calon tunanganmu sekarang. Rhys itu tidak pernah memberi sambutan panjang lebar.” Hugo dengan gaya pria sejati, membungkuk mempersilakan Eri seolah dia pengawal sang tuan putri.Terkikik geli, Eri menurutinya daripada aku yang sudah melotot dan tidak bisa menggapai tangannya sebab dia berlari pergi meninggalkan kami.“Wajahmu tampak tidak rela,” tu