Rumah berlantai tiga dengan nuansa Skandinavia terlihat dari kejauhan. Setelah lima tahun, Ethand akhirnya pulang ke rumah. Ia sangat merindukan suasana di rumah itu.
Bunyi klakson menggema di depan gerbang setinggi sepuluh meter. Tidak menunggu lama akhirnya gerbang itu terbuka secara otomatis.
Rumah dengan cat berwarna putih dengan deretan bunga mawar di depannya membuat Ethand langsung merasakan kasih seorang ibu. Terlihat di depan gerbang seorang wanita berusia sekitar empat puluhan tahun dengan mata berbinar menanti kedatangannya.
Segala rasa kerinduan berkecamuk di dalam dada Ethand. Sedingin-dinginnya dia menjadi lelaki dan segengsi-gengsinya ia di depan wanita, Ethand tetaplah seorang anak yang merindukan kasih seorang ibu. Setelah memarkirkan mobil, Ethand langsung berlari dan memeluk ibunya.
"Anak mama," ucap Ella dengan nada sendu. Ia juga sangat merindukan putra semata wayangnya.
"Mama sehat kan?" Terdengar nada khawatir dari lelaki yang tergolong tidak muda lagi.
"Mama baik-baik saja," jawab Ella sambil mengusap rambut putranya.
"Oh iya, Ma. Aku ada hadiah buat Mama." Ethand melepaskan pelukan ibunya dan kembali menuju mobil. Tidak lama kemudian, se-bucket bunga membuat Ella menutup mulutnya kaget.
"Bagaimana kamu mendapatkan mawar Sunsprite yang cantik ini?"
"Aku membelinya di toko bunga, Ma. Ternyata mawar ini sudah banyak disini. Jadi tidak perlu susah-susah lagi mencarinya ke luar negeri." Ethand terlihat senang saat melihat ibunya tersenyum senang.
"Setahu mama, mawar Sunsprite ini hanya ada di toko Jones Roses." Ella menerima mawar kesukaannya dan mencium aromanya yang menenangkan.
"Mama tahu toko bunga itu? Aku membelinya dari sana, Ma."
"Beberapa hari yang lalu mereka tidak menjualnya. Tapi karena ketampanan putra mama mampu meluluhkan hati gadis itu." Ella tersenyum senang. Sedangkan Ethand ikut tersenyum dan menyembunyikan kejadian yang sebenarnya. "Ayo masuk," ajak Ella. Ethand menganggukkan kepalanya. Keduanya memasuki rumah dengan tangan Ethand di pundak ibunya.
Raut wajah Ethand berubah ketika melihat seorang lelaki yang sedang duduk di sofa. Dia adalah Gregorio Alves, ayah Ethand.
"Sore, Pa." Ethand menyapa ayahnya. Ia melepaskan rangkulan di bahu Ella dan berjalan menuju ayahnya. Dalam hatinya, ia masih tidak bisa menerima perlakuan Gregorio yang melarangnya untuk pulang ke Vunia sebelum menyelesaikan studinya.
"Bagaimana kabarmu?" tanya Gregorio sambil menepuk punggung putranya yang memeluknya erat.
"Baik, Pa. Papa bagaimana kabar?"
"Papa baik-baik saja." Gregorio melihat bunga di tangan Ella, ia kemudian menatap putranya. "Mana hadiah untukku? Apakah hanya ibumu yang mendapat hadiah?"
Ethand menggaruk kepalanya. Ia kemudian tersenyum kikuk. "Sebenarnya ada, Pa. Tapi apakah Papa akan menerimanya?"
Gregorio menatap putranya sejenak. "Apapun yang kamu berikan akan papa terima dengan senang hati."
"Benar, Pa?" tanya Ethand memastikan.
"Iya." Gregorio menjawab dengan yakin.
Ethand mengeluarkan sesuatu dari sakunya. Sebuah kertas yang dilipat seadanya. Baik Gregorio dan Ella sama-sama bingung dengan apa yang akan diberikan oleh Ethand.
"Ini, Pa hadiahnya."
Gregorio tanpa ragu menerimanya. Ia perlahan membuka lipatan kertas itu. Setelah terbuka, dahi yang semula berkerut kini kembali pada tempatnya. Sebuah senyum kebanggaan terukir di bibirnya.
"Hebat kamu Ethand. Dana yang selama ini Papa cari akhirnya ditemukan."
Ella pun tidak mau diam dan ingin membaca isi surat itu.
"Jadi pak Leon yang mengambil uang itu, Pa?" Gregorio menganggukkan kepalanya.
"Jadi bagaimana hadiahnya, Pa? Apakah Papa menyukainya?" Goda Ethand pada ayahnya.
"Ini adalah hadiah terindah seumur hidup Papa setelah kehadiran mama dan kamu, Ethand," ucap Gregorio mantap.
Ethand dan ibunya tersenyum senang. Suasana yang tidak biasa itu membuat Gregorio merangkul anak dan istrinya dengan penuh kasih.
"Jadi, apakah kamu sudah memiliki kekasih?"
Pertanyaan tiba-tiba dari Gregorio sontak membuat Ethand menoleh ke ayahnya. Terlihat Gregorio dan Ella sangat menunggu jawaban dari Ethand.
Bagi banyak orang, kehidupan percintaan bisa sangat memengaruhi berbagai aspek kehidupan mereka, dan menjadi motivasi untuk senantiasa memperbaiki diri. Kendati demikian, nyatanya ada sebagian orang yang mengalami kesulitan untuk jatuh cinta. Ada juga yang menilai bahwa jatuh cinta adalah membuang-buang waktu dan tenaga.
Ethand Giorgino Alves seseorang yang tidak pernah berpikir untuk menjalin hubungan. Hal itu karena ia tidak menemukan esensi atau poin penting dari menjalin komitmen dengan lawan jenis. Alasan lainnya juga adalah ia terlalu mencintai diri sendiri dan menilai bahwa tidak ada wanita yang mampu disandingkan dengannya.
Ketika mendengar pertanyaan kedua orang tuanya membuat Ethand risau. Bagaimana mungkin ia memiliki kekasih sedangkan waktunya dihabiskan untuk belajar dan melakukan riset.
Melihat raut wajah penuh harap dari orang tuanya membuat Ethand terenyuh. Dipaksakannya sebuah senyum dan melihat ke arah orang tuanya.
“Secepatnya Pa, Ma. Untuk sekarang aku ingin konsentrasi pada perusahaan.”
Ella pun menoleh menatap pada suaminya. Bagaimanapun, niatnya untuk segera menimang cucu tidak terkabul. Gregorio membalas tatapan istrinya dan melingkarkan tangannya pada pinggang Ella, ia tidak mau istrinya kecewa.
“Kami senantiasa menunggu kabar gembira itu, Ethand. Jangan lama-lama, lihat ibumu sudah tidak sabar ingin menimang cucu.” Gregorio dengan nada khas seorang ayah. Ella mengangguk-anggukkan kepala menyetujui kalimat suaminya.
Mendengar kata cucu dalam kalimat Gregorio membuat kepala Ethand terasa pusing.
“Papa sama Mama tenang saja. Aku pasti akan menikah ada waktunya.”
“Baiklah.” Ella dengan nada yang tidak seperti biasanya. Jelas ia sedikit kecewa. Selama ini tidak pernah didengarnya bahwa Ethand memiliki kekasih. Ella juga sempat curiga jika putranya itu mengalami kelainan. Ia senantiasa berharap, dugaannya tidak benar.
Melihat raut wajah istri dan putranya yang tidak sejalan, Gregorio menghela napas panjang. “Istriku tersayang, kita makan apa malam ini?”
“Oh iya. Mama sudah masak makanan kesukaan kamu.” Ella dengan mata berbinar.
“Apakah ikan suwir, Ma?” tanya Ethand tidak kalah berbinarnya seperti Ella.
“Betul sekali. Ayo sudah berapa lama tidak mencicipi masakan Mama? Hm?” tanya Ella dengan nada khas keibuannya. Gregorio menghembuskan napas lega ketika melihat istri dan putranya kembali akur.
“Lima tahun, Ma.”
“Pergilah mandi. Mama sama Papa akan menunggu kamu di meja makan.”
“Iya, Pa.” Ethand pun beranjak menuju kamarnya. Ia menapaki tangga dan langsung melihat foto keluarga. Ia yang masih di sekolah menengah atas dengan rambut di belah tengah. Ayah dan ibunya mengapit Ethand dengan senyum ceria. Itu adalah foto sebelum Ethand berangkat kuliah.
Setelah menatap foto itu sejenak, Ethand berjalan menuju kamarnya. Sudah lima tahun ia tidak menempati kamar itu namun masih rapi dan hangat. Pasti Ella lah yang senantiasa membersihkannya. Nuansa skandinavia dan minim gambar membuat kamar itu sangat mewah. Beberapa barang kesukaan milik Ethand masih tertata rapi. Termasuk komik dan bola basket.
Sebuah komputer di atas meja mengingatkan Ethand pada sosok Emma yang pandai bahasa program. Wajah wanita dengan hodeed eyesnya memenuhi kepala Ethand. Entah kenapa ia tiba-tiba seperti itu. Ia pun menepis segala pikirannya. Bukankah segala yang menyangkut wanita tidak pernah terlintas di otaknya?
Ethand pun berjalan menuju kamar mandi. Ia ingin mandi sekaligus dapat menghilangkan bayangan wanita itu dari kepalanya.
***
“Apakah kamu yakin bisa menghabisi lelaki itu?” Jane dengan tatapan menyelidik. Siapa pun lelaki itu tentunya media sosial miliknya tidak akan aman. Yang dimaksudkan Emma bukanlah pergi memukul lelaki itu namun menghabisinya lewat dunia maya.
“Demi mawarku, aku tidak akan segan-segan, Jane.” Emma dengan wajah yang masih merah padam.
“Lalu kenapa kamu tidak menghabisinya di sini saja?” tanya Jane ingin tahu.
“Sebelum menghabisi lelaki itu, aku ingin memberi pelajaran ke Alin terlebih dahulu.”
“Apa?”
Yang bertabiat sabar seperti Emma pun bisa marah. Ia selama ini selalu sabar dan menekan amarahnya. Jika bukan karena mawar itu, ia tidak akan semarah ini. Dan yang lebih membuatnya marah adalah Alin yang jelas-jelas tahu bagaimana Emma sangat menyayangi bunga tersebut. Tanaman yang sangat disayangi oleh Emma pun dia tidak segan mengambilnya. Alin sudah terbiasa mengambil barang miliknya sehingga ia tidak takut dan menjadi terbiasa.Emma keluar dari kafe dan diikuti oleh Jane yang berjalan dengan tergesa-gesa lantaran Emma yang berjalan dengan cepatnya. Setelah sampai di parkiran, Emma melipat tangannya di dada dan pandangannya menatap tajam ke depan. Jane belum pernah melihat Emma semarah ini. Emma yang selalu sejuk dan ceria. Mawar sunsprite sudah seperti bayi kecil yang dirawatnya dengan penuh kasih.“Kontrol emosi kamu, Emma.” Pinta Jane seraya membuka pintu mobil. Emma tidak merespon ucapan Jane dan langsung masuk ke dalam mobil.Tidak mau menunggu lama dan berbasa-bas
Baik Jane maupun Ester sama-sama berkerut karena bingung. Ketika mendengar kata lelaki dari mulut Emma membuat pikiran Ester sudah kemana-mana.“Apakah kamu sudah punya pacar, Lin?” tanya Ester seraya memasuki kamar Alin. Ia yang semula mendengar dari luar kamar akhirnya memutuskan untuk masuk. Alin masih kelas satu sekolah menengah atas, membuat Ester harus memastikan sendiri apakah putri bungsunya benar-benar sudah memiliki kekasih.“Belum, Bu.” Cegah Alin.“Lalu siapa lelaki yang dimaksudkan Emma?” tanya Ester dan melihat ke arah Emma.“Lelaki yang mengambil mawarku, Ma,” ucap Emma kesal. “Alin menjualnya dengan harga lima juta pada lelaki itu.”Ucapan Emma sontak membuat Jane dan Ester melongo. Bagaimana bisa beberapa tangkai mawar seharga lima juta.“Apakah itu benar, Alin?” tanya Ester dan mendekati putri bungsunya itu. Alin tertunduk dan tidak berani menatap ibunya. “Kamu kan sudah tahu kalau kakak kamu sangat menyayangi mawar itu. Jangan karena
Pagi ini Emma bangun lebih pagi. Ia sudah mandi dari subuh dan berdandan. Hari ini adalah hari pertamanya masuk kerja. Emma tidak ingin terlambat di hari kerja pertamanya. Ia harus menunjukan bahwa ia benar-benar kompeten dan bertahan di Alves Corp yang akan menjadi rumah keduanya.“Ini mama sudah siapkan bekal.” Ester menyerahkan tupperware cokelat pada Emma.”Jangan lupa dimakan.”“Iya, Ma. Makasih,” ucap Emma tulus. Setelah menerima bekal dari Ester, Emma pun pamit dan berangkat ke Alves Corp. Ia tidak ingin memakai sepeda motor, takut dandanannya berantakan akhirnya ia memutuskan untuk naik bus.Hari yang cerah. Emma melihat jam di pergelangan tangannya. Masih banyak waktu. Ia duduk di halte bus dan menunggu bus tujuannya.Sepuluh menit kemudian bus akhirnya tiba. Sebagian kaum Adam dari dalam bus terus menatap Emma. Penampilan Emma hari ini benar-benar cantik. Baju kemeja putih berbahan katun yang dilipat sampai siku dan office skirt black berbahan polyester dan mode
Suasana pagi ini terasa berbeda. Ethand dengan setelan jas hitamnya sedang memakai jam tangan bermerek Rolex edisi terbatas. Rambutnya terlihat lembab dengan wajahnya yang maskulin dan rahangnya yang tegas. Pakaian santai yang biasa dipakainya ketika berada di Amerika kini tergantikan dengan pakaian formal dan membuat dirinya terlihat berbeda. Ketika berada di Amerika ia menyembunyikan statusnya sebagai pewaris tunggal Alves Corp. Hal itu dilakukannya agar dapat menemukan lingkungan yang tulus tanpa memandang latar belakangnya.Tok…tokEthand segera membalikkan badannya yang semula menghadap cermin dan berjalan menuju pintu. Ia segera membukanya. Terlihat Ella dengan raut wajah keibuannya.“Ternyata kamu sudah siap?”“Sudah, Ma.” Ethand dengan suara baritonnya. Ella menatap wajah putranya yang seakan tumbuh lebih cepat dan sudah sangat matang untuk menikah itu.“Mama lupa kalau kamu sudah besar dan mandiri.” Suara Ella membuat Ethand melingkarkan tangan dibahu i
Emma berlalu menuju tempat sampah yang tidak jauh dari tempat mereka berdiri. Ethand menggigit bibir bawahnya dengan mata mengekori kemana Emma pergi. Ethand sedikit geram karena Emma tidak menjawab pertanyannya sehingga percakapan di antara keduanya menggantung. Emma menepuk-nepuk tangannya untuk sekedar membersihkan tangannya dari kotoran daun yang masih menempel di tangannya. Ia masih terus mengamati punggung wanita yang kini membelakanginya. Rambut hitam panjang dan pinggang yang ramping dan … Ethand sontak membuang tatapannya ke tempat lain karena Emma tiba-tiba berbalik dan mendapati manik hitamnya sedang menjelajahi tubuh Emma. Seperti pencuri yang ketahuan, raut wajah Ethand memerah dan ia sedang menahan napasnya. “Bodoh kamu, Thand.” Maki Ethand pada dirinya sendiri. Kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celana kerjanya dan perlahan menghembuskan napasnya untuk sekadar melegakan dadanya dan jantungnya yang memburu. Emma menyadari
Emma berusaha menahan rasa gugupnya. Ia menyesal dan memaki dirinya sendiri karena tidak bisa menahan diri ketika melihat yang cantik-cantik, yaitu bunga.“Jika aku bertemu dengannya lagi, akan ku pastikan hidungnya patah.” Nada suara Emma terdengar serius. Wanita mana yang akan terima jika dirinya dikatakan murahan oleh lelaki yang belum sama sekali mengenalnya.Ting!Pintu lift terbuka tepat di lantai empat puluh sembilan. Emma memperbaiki kerak baju kemeja putihnya sebelum dengan percaya diri memasuki ruangan yang akan menjadi rumah keduanya sehari-hari.Emma terpana dengan desain interior ruangan itu. Interior dengan gaya Victoria terlihat sangat elegan dan mewah. Ruangan itu bagaikan sebuah hotel jika peralatan elektronik tidak tersusun di atas sebuah meja panjang, pengunjung pasti akan salah mengiranya. Ruangan yang di dominasi oleh warna hijau sehingga memberi atmosfer sejuk dengan beberapa tanaman hijau di beberapa sudut ruangan. Permadani berwarna hi
“Bukankah lantai empat puluh lima memang disediakan untuk para pegawai, Pak?” tanya Json , pria berkepala botak tadi.“Memang benar. Namun karena keterlambatan, maka Emma mendapat punishment dari beliau,” jelas Ryan.“Tapi, hari ini pekerjaannya lumayan banyak, Pak. Belum lagi komputer di sana harus kita perbaiki dan install ulang Windows-nya.” Mac merasa tidak tega juga mengingat begitu banyak pekerjaan yang harus diselesaikan hari ini.Emma hanya mengamati para lelaki itu berdebat secara bergantian. Ketika memasuki ruangan tadi, ia sudah melihat beberapa komputer di atas meja panjang. Perihal menginstal ulang, sudah biasa di lakukannya. Namun untuk memperbaiki kerusakannya perlu data dari pegawai yang sudah menganalisanya.Ryan terdiam sejenak dan berpikir. “Apakah kamu sanggup melakukannya, Emma?” tanya Ryan kemudian.“Bisa, Pak. Jika teman-teman lain dapat menjelaskan kerusakannya di bagian mana,” jawab Emma mantap.Ryan tersenyum lega. Para lelaki hanya mengge
Kampus Merbaya Tahun 2015.“Apakah benar situs web kampus telah di retas?” Suara seorang mahasiswa di tengah kerumunan yang sedang bergunjing. Mereka memegang ponsel sembari menutup mulut dan mata memelotot karena melihat web kampus berisi kritikan pedas dan gambar Rektor yang sudah di edit menjadi bentuk meme yang sangat lucu untuk di pandang.“Ini baru betul. Aku salut sama peretas ini.” Suara mahasiswa lainnya memuji dan manggut-manggut tanda setuju.Kampus Merbaya yang merupakan kampus ternama kini seakan terbalik. Di serang oleh peretas handal dan membocorkan beberapa rahasia kampus seperti pemberian beasiswa pada keluarga dan kerabat dosen dan pegawai kampus saja.“Mahasiswa jurusan Information Technology berkumpul di aula jurusan.” Terdengar pengumuman di seluruh kampus memanggil mahasiswa dan mahasiswi IT untuk berkumpul.“Semoga saja bisa menyelesaikan masalah kampus kita yah.” Beberapa mahasiswa harap-harap cemas. Mereka berharap agar
Setelah kejadian di menara jam Ester selalu setia menemani Darek di rumah. Merawat dan menjaga suaminya dengan penuh kasih. Seminggu sekali mereka berdua akan pergi mengunjungi Emma di rumah sakit.Sudah sebulan Emma belum sadarkan diri. Selama itu pula Ethand selalu setia mendapinginya. Setiap hari ia akan membacakan berbagai cerita novel dan juga mendengarka musik bersama. Ia akan bergantian bersama Alin dan Jane untuk menjaga wanitanya itu.Seperti hari ini, Ethand kembali membacakan sebuah novel romantic pada Emma. Perlahan Emma menggerakan jari telunjuknya. Hal itu tidak disadari Ethand. Lelaki itu dengan ekspresi mendalami cerita tersebut terus membaca novel pada kekasihnya. Sampai pada cerita itu selesai, Ethand meneteskan air matanya karena kisah dalam cerita novel itu sungguh bahagia berbeda dengan kisah cintanya bersama Emma. Sampai saat ini, Emma belum sadarkan diri.Ethand menangis tersedu-sedu sambil menggenggam tangan Emma. Ethand merasa nyaman ketika menggenggam tangan
Emma baru saja selesai mandi dan berniat untuk istirahat namun ponselnya terus berdering. Ia segera mengambil ponselnya. Matanya membelalak kaget ketika membaca isi pesan dari Johan Prima. Lelaki itu mengirim gambar wajah Darek yang sudah membiru.Tanpa pikir panjang Emma langsung mencari koordinat telepon Johan. Setelah mendapatkannya Emma langsung keluar dari rumah Caroline. Namun naas, ketika sampai di depan Wilobi mall, Emma sudah dibekap oleh sebuah sapu tangan yang berisi bius. Tidak lama kemudian wanita itu tidak sadarkan diri.Emma hanya bisa mendengar suara samar-samar para lelaki disekelilingnya. Kepalanya terasa berat dan pusing. Setelah itu Emma tidak mendengar apa-apa lagi dan gelap sepenuhnya.***Rasanya baru terlelap namun kini hawa dingin menerpa tubuh Emma. Ia perlahan membuka matanya. Kepalanya masih terasa berat namun karena pandangan di depannya terlihat asing ia berusaha sadar sepenuhnya. Ia sangat terkejut ketika melihat siapa lelaki yang duduk di depannya.Bar
Tujuan Emma dan Caroline datang ke Nuni’s Club dan bertemu Johan adalah untuk mendapatkan sidik jari lelaki tersebut. Database prima corp di setting menggunak sidik jari Johan sendiri. Sehingga Emma dan Caroline untuk bertemu dengan lelaki kejam itu.“Jadi bagaimana apakah kamu bisa masuk ke dalam database mereka?” tanya Caroline yang sudah tidak sabar.“Tentu saja, Carol. Lihatlah…” Emma mempersilahkan Carol melihat semua data penting yang disembunyikan Johan begitu rapat. Betapa kagetnya ia ketika melihat data kepemilikan Prima Corp adalah orang tua kandungnya.“Dasar brengsek!” Caroline mengepal kedua tangannya. Wajahnya memerah karena menahan marah. Ia boleh mengemis pada pamannya itu ternyata malah sebaliknya. Sungguh kejam Johan pada orang tuanya. “Aku tidak ingin menunggu sampai besok, malam ini juga dunia harus tahu betapa kejam dan tidak punya perasaan lelaki bernama Johan tersebut.Emma segera menuruti perkataan Caroline. Ternyata Prima Corp adalah miliki wanita yang menolon
Suasana Nuni’s Club malam ini mengingatkan Emma pada kejadian lampau. Dimana ia dipukul oleh Daniel Jiani dan diselamatkan oleh Ethand. Dimana ia diselamatkan kedua kalinya di hari yang sama. Hari terpuruk dan terendah dirinya.Emma mengenakan sebuah dress yang sedikit ketat dan menampakkan tubuhnya yang ramping. Rambutnya yang sebahu dibiarkan terurai. Wajahnya sedikit dipolesi riasan.Sedangkan Caroline memakai pakaian yang kurang kain. Bagian dadanya terbuka lebar dan dress di atas lutut. Di tambah dengan high heels yang membuatnya terlihat tinggi dan juga cantik. Apalagi dia lama hidup di Spanyol.Kedua wanita itu melangkah masuk ke dalam Nuni’s Club. Caroline memakai wig dan menambahkan sebuah tahi lalat di atas bibirnya. Sedangkan Emma tampil apa adanya. Hanya sedkit riasan yang membuatnya terlihat berbeda. Ia terlihat seperti wanita karir dengan uang melimpah.“Di mana ruangan mereka?” tanya Emma. Kedua kalinya ia ke tempat ini dan tidak mengetahui ruangan di klub malam tersebu
Setelah mendengar Emma berada di Bank Central Vunia, Ethand dan Ryan langsung menuju ke bank tersebut. Namun ia sedikit terlambat, Emma sudah pergi dari tempat itu.“Bolehkah saya melihat rekaman cctvnya?” tanya Ethand pada Ryan.“Ini, Pak.”Ethand segera melihat rekaman cctv tersebut. “Carol?” ucap Ethand. Ia ingat pakaian yang dikenakan mantan kekasihnya pagi ini. Ethand lebih terkejut lagi ketika melihat Emma dengan busana yang sangat berbeda dari biasanya. Ternyata punggung wanita familiar yang dilihatnya sebelumnya adalah Emma. Ethand membanting ponsel Ryan begitu saja dan menimbulkan suara gaduh di dalam mobil. Ryan yang duduk di kursi kemudia hanya bisa terdiam. Ethand sedang marah dan kesal.“Bagaimana bisa aku tidak menahannya pagi tadi?” Suara berat Ethand diiringi dengan hembusan napas kasar membuat Ryan memberanikan diri melihat atasannya lewat kaca spion di depannya. Ethand terlihat berantakan dan juga wajahnya sangat muram.“Apakah kamu bertemu mereka sebelumnya?” tanya
Black Card sudah diterima Emma. Setelah urusan di bank usai, Emma dan Caroline segera keluar dari tempat itu. Emma berulang kali melirik ke arah cctv. Ia segera mempercepat langkahnya. Carolina juga demikian.“Aku lupa mengenakan masker. Sepertinya kita harus segera berangkat.” Emma dengan nada serius. Ia segera memasang sabuk pengamannya.“Bukankah itu adalah mobil Ethand?” tanya Caroline. Ia segera menghidupkan mesin mobilnya dan meninggalkan bank itu.Emma melihat dari kaca spion di depannya. Ia masih bisa melihat lelaki itu keluar dengan terburu-buru dari dalam mobilnya. Wanita itu langsung membuang tatapannya ke tempat lain dengan tatapan sendu menatap pada jalanan yang tampak ramai oleh kendaraan.“Apakah kamu baik-baik saja?” tanya Caroline.“Aku baik-baik saja,” balas Emma. Untuk membalas Prima ia harus bisa dan menahan rasa rindunya. Emma juga harus bisa membuktikan bahwa ayahnya sepenuhnya tidak bersalah. Semuanya karena perbuatan Johan Prima.Jika cinta merupakan penyakit m
Alves Corp hari ini digemparkan dengan adanya kunjungan tiba-tiba dari Johan Prima bersama putranya. Ethand yang mendengar kabar it uterus berdiam di dalam ruangannya. Ia membiarkan Ryan yang menemui mereka.“Selamat datang di Alves Corp, Pak Johan,” ucap Ryan dengan ramah. Dalam hatinya menahan kesal sekaligus marah ketika melihat senyum dari lelaki perusak Alves Corp tersebut.“Apakah atasan kalian begitu sibuk sampai memerintahkan sekretarisnya untuk menyambutku?” Johan dengan nada serius namun sekelebat senyum terukir di bibirnya. Jenaver yang berdiri di sampingnya hanya terdiam.“Setelah mendapat kunjungan dari investor Jerman, pak Ethand merasa lelah dan kini sedang beristirahat di ruangannya,” jawab Ryan sengaja membawa nama investor yang telah memutuskan kerja sama dengan Prima tersebut. Sontak raut wajah Johan terlihat kesal.“Saya ingin bertemu dengan atasanmu.” Nada suara Johan terdengar serius. Ryan melayangkan senyumnya pada lelaki itu.“Atasan kami tidak akan bertemu den
Fashion Ghotic style yang identik dengan warna gelap terutama hitam dan abu-abu kini dikenakan oleh Emma. Ia berubah sepenuhnya seperti wanita kelas atas yang cantik dan memesona. Wajahnya tetap memakai masker dan kacamata hitam yang menutupi hodeed eyes miliknya. Di tangannya tergantung sebuah tas merek chanel.Di samping Emma berjalan seorang wanita dengan dress yang lumayan ketat dan dipadukan dengan long coat abu-abu dan tidak lupa pula kacamata hitam yang selalu bertengger di hidungnya.Ketika mendekati lift, Emma merasa gugup jika kembali bertemu Jane atau pun yang lainnya. Apalagi lelaki yang dirindukannya semalaman. Caroline melihat kegugupannya dan tersenyum.“Kamu tidak jauh berbeda dengan kayu kering, Emma,” ucap wanita itu.“Aku takut ketahuan,” balas Emma.“Aku saja hampir tidak mengenalimu, apa lagi mereka.” Caroline berusaha menenangkan Emma.Emma mengambil napas dalam lalu dihembuskannya perlahan. Ia terus mengulanginya sampai ahtinya sedikit tenang.Ting!Lift terbuka
Ryan dan Jane sudah kembali setelah seharian mencari keberadaan Emma. Mereka bahkan mencari sampai di rumah lama Emma namun tidak menemukannya. Jane terlihat sedih begitu pula Ryan. Sepasang kekasih itu memutuskan untuk kembali.“Kamu temani ibu Emma dan adiknya. Aku harus menghibur Ethand.” Ryan yang membuka sabuk pengamannya dengan lemah. Sepertinya hari ini ia sudah banyak mengeluarkan tenaganya.“Baiklah. Kamu ingat istirahat, Sayang.” Jane dengan lembut memperlakukan Ryan. Walaupun hatinya sedang sedih.Ryan menganggukkan kepalanya lalu keluar dari mobil. Jane menunggu kekasihnya agar melangkah bersama menuju lift.“Padahal Ethand sudah berniat melamarnya.” Ryan dengan nada sedih. Jane di sampingnya seketika berhenti melangkah.“Be-benarkah?” tanya Jane.“Benar, Sayang,” jawab Ryan. Jane mendesah kesal dan merasa iba pada Ethand.“Emma juga sudah lama menantikannya. Namun, kenyataan membuat keduanya malah menjauh.”“Karena itu aku membelikan ini untukmu sebagai hadiah. Tunggu aku