Entah chip seperti apa yang wanita itu berikan kepada Noah, yang pasti itu bukanlah benda sembarangan. Tangannya menggenggam erat benda kecil itu dan bergegas menuju ruang perawatan. Mungkin lebih baik untuk tidak menunjukkan benda ini ke sembarangan orang, jadi harus dia jaga baik-baik.
Wanita perawat itu duduk sambil merapikan balutan perban di tubuh Noah. Tulang rusuknya sedikit retak karena bantingan keras itu. Orang sangar itu sudah seperti beruang saja, badan dan tenaga sama besarnya.
“Sudah. Cepatlah kembali ke ruanganmu, istirahat!”
Sikap perawat wanita itu sedikit jutek kepada Noah, entah karena apa. Tapi jika dipikir-pikir, pergi ke ruang perawatan dengan tulang rusuk retak di jam satu dini hari memang sedikit tidak masuk akal untuk terjadi di markas yang tertib seperti ini.
Kebanyakan kandidat sudah tidur di ranjang mereka masing-masing, walaupun masih ada beberapa ranjang yang kosong. Noah merebahkan tubuhnya dan ber
Halo teman-teman pembaca The Deepest Emotions. Author ingin menyampaikan kabar yang kurang menyenangkan, karena mulai tanggal 2 Mei 2022 sampai tanggal 9 Mei 2022, novel The Deepest Emotions akan hiatus terlebih dahulu karena Author memiliki beberapa kesibukan. Sudah dua bulan novel The Deepest Emotions sudah berjalan, dan Author terus berharap agar novel ini bisa tamat dengan ending yang tidak pembaca sangka-sangka. Sedikit informasi, novel Thriller ini merupakan karya fiksi Author yang sedikit tertarik dengan jalan cerita dari serial Superhero Marvel, Hulk. Dan inilah karya orisinil dari Author dengan terinspirasi dari cerita tersebut. Namun karena hambatan yang sudah disebutkan di atas, novel ini akan rehat sejenak. Maka dari itu, Author memohon maaf dengan sebesar-besarnya. Tapi tenang saja, novel ini akan terus berlanjut hingga tamat. Karena itu, tetap dukung Author yaa...!!!
Senyuman manis dan haru mengembang di wajah wanita itu, seolah sudah lama tidak bertemu karena terakhir kali mereka berpisah di saat insiden pengeboman itu. matanya sempat berkaca-kaca namun sempat dia tahan, dan pelupuk matanya basah kemudian dia usap dengan tangannya.Noah merasa lega selega-leganya bisa melihat Vilma dengan kondisi prima seperti itu. Tapi sekarang dia perlu fokus dengan kewajibannya saat ini.Seluruh kandidat akhirnya diberikan perintah untuk mengikuti pemandu acara tadi ke ruangan mereka masing-masing.Noah menunggu suasana lebih sepi, selagi Vilma dan Tuan Chris yang perlahan turun dari podium dan menuju ke arahnya. Andi masih ada di sampingnya, tapi dia abaikan saja.Mereka bertiga, ditambah Andi yang hanya mengekor itu pun berkumpul di depan teras gedung. Vilma melompat ke arah Noah dan langsung memeluk pemuda itu sambil sesegukan pelan. Matanya sembab sambil mencoba menutup wajahnya di pundak pemuda yang beruntung itu.Kedu
Wanita itu berjalan ke depan dan membuka secarik kertas yang terlipat di tangannya. Dia adalah wanita yang pernah Noah temui sewaktu di jembatan. Kalau Noah tidak salah ingat, namanya adalah Mona.“Perkenalkan namaku adalah Mona, dan pria di sampingku ini adalah Mr. A. Kami di sini sebagai pengajar kalian selama kalian belajar teori pertarungan jarak dekat, dan aku ingatkan sekali lagi—sebagai pengajar yang baik, kelas ini hanya mengajar teori, kelas praktik akan berlangsung setelah kalian menyelesaikan tugas teori kalian masing-masing.”Semua kandidat melongo, kemudian menampakkan raut wajah kecewa. Tidak ada yang tahu kalau mereka akan benar-benar belajar secara teori tentang pertarungan jarak dekat.Kedua pengajar itu kemudian bertukar posisi dan kemudian salah satunya diberi kesempatan berbicara. Semuanya tidak diberi kesempatan untuk berbicara kecuali jika pengajar memberikan kesempatan. Hanya puluhan meja yang membentang di sana, dan manu
Lima menit sebelum pertarungan dimulai, Ms. Ferome tampak sedang berdiskusi dengan Mr. A entah tentang apa, yang pasti wanita itu tampak percaya diri setiap kepalanya mengangguk mendengar Mr. A yang membisik di telinganya.“Baiklah, Mr. Cassenn—sudah siap?”“Ya.”Mereka memulai pertarungan tanpa aba-aba. Tidak ada peraturan apa pun terkait pertarungan itu, entah tidak boleh menendang, menyekik, dan sebagainya.Ms. Ferome hanya melangkah kecil ke samping kiri dan kanannya, tidak menunjukkan sama sekali niat ingin menyerang pemuda di depannya itu, sedangkan Noah dengan perlahan mencoba mendekati wanita itu dari samping seolah tahu dengan strategi yang dibuat oleh Mr. A.Pemuda itu berpikir untuk menyerang wanita itu ketika matanya terlalu fokus dengan pergerakan Noah, sehingga dia punya kesempatan untuk menyerang secara mendadak tepat ke arah wanita itu.Tapi kepercayaan diri pemuda itu lenyap dalam sekejap ketika
Sosok itu terlihat sedang memegang sebuah kantung berwarna cokelat sambil seolah menunggu kedatangan seseorang. Noah memicingkan matanya, berusaha melihat sosok itu dengan jelas dari kejauhan. “Vilma?” “Instruktur Mona memberitahuku kalau kau sedang menemui Mr. A.” “Ah...” Pemuda itu melihat Vilma yang perlahan menyodorkan kantung yang dipegangnya, kemudian wajahnya tampak serius memandangi wajah Noah yang tidak terlalu jelas karena gelap. “Aku membawa barang ini atas perintah ayahku. Kau akan memerlukannya nanti.” Pemuda itu meraih kantung tersebut dan melihat isinya. Hanya sebuah senter kecil dan selembar kertas kosong. Wajahnya tampak bingung, namun mendengar ucapan Vilma kalau barang ini akan diperlukan nanti, jadi ia tidak perlu memusingkannya sekarang. Mereka berjalan berdampingan menyusuri koridor yang gelap itu sambil berbincang ringan. “Bagaimana keadaanmu sekarang?” “Ah, iya. Aku tidak apa-apa, hanya saja aku masih perlu menemui psikolog untuk mengatasi traumaku. Ban
Noah menoleh ke arah rekannya, Davud. Mereka berdua mencoba menahan diri agar tidak mengeluarkan suara sedikit pun. Terlihat tangan Davud yang memberikan aba-aba agar tetap tenang selagi matanya melihat ke arah tim lain.Yang mereka lihat itu adalah tim cokelat. Mungkin hampir setengah pasukan yang mereka bawa. Memang benar sekarang Noah dan timnya menang jumlah, tapi mereka juga tidak bisa gegabah untuk menyerang secara brutal karena bisa saja ada tim lain yang mengintai seperti mereka sekarang ini.“Pantau yang ada di atas bukit.”Davud berbisik ke arah Noah sambil menunjuk sesuatu. Ternyata memang benar perkiraan Noah, tidak hanya mereka yang memantau tim cokelat. Tim biru juga sedang memantau dari kejauhan. Dan hebatnya lagi, entah bagaimana rekannya itu bisa melihat orang yang sedang bersembunyi dari jarak sejauh itu.“Mereka sudah tidak terlihat lagi, lebih baik kita pergi ke tenda dan memikirkan strategi.”Noah mengangguk. Kini mereka berdua perlahan berbalik dan bergerak menuj
Davud dan Matthew yang sudah berada di luar gua bergegas menghampiri Noah sambil menenteng gulungan tali lain untuk berjaga-jaga kalau saja ada mangsa lebih. Pemuda itu—sambil terengah-engah—hanya diam dan menatap wajah kadet di bawah lututnya.“Apa maksudmu?” dalih kadet itu. Tampak sekali wajahnya kesal, mungkin karena lutut Noah yang berada di atas punggungnya itu.“Yang mengintai tim cokelat kemarin itu kau, bukan? Kami meli—”“Kami tahu persis wajahmu waktu itu... diamlah.”Davud memasang mimik kesal karena kalimatnya dipotong oleh Noah dan kemudian berbalik, mencoba memanggil rekan mereka untuk keluar dari gua. Vior lebih dulu datang dan bertepuk tangan dari kejauhan sana.“Lumayan juga kau, Cassenn. Sepertinya kau lebih bisa berguna dibandingkan rekan-rekanmu di dalam gua sana.”“Apa kau perlu kuikat juga, hah?” geram Noah kemudian mengepalkan tangan kanannya yang masih mengenggam tali. sesuai dengan arahan dari instruktur, kadet yang gugur dalam tantangan akan di bawa kembali
Noah menahan napasnya yang sempat tidak teratur setelah memanjat pohon besar itu seorang diri. tangannya ia usap dengan pakaian di tubuhnya dan tetap menatap kedua kadet di depannya. Tim biru yang barusan menggugurkan Vior dan dua orang lainnya itu ternyata tinggal di atas pohon. Berarti ada sekitar lima pohon lain yang mereka tempati tersebar di hutan seluas ini. “Jangan bergerak sedikit pun. Kita biarkan mereka bergerak sampai sejauh mana. Pantau dari jauh.” Davud melangkah lebih jauh, mendahului rekan-rekannya yang bertahan di balik semak besar. Selang beberapa menit saja, kedua kadet tim biru itu didatangi rekan mereka yang lain: jumlahnya tiga orang. Mereka membawa seutas tali baru yang dipikul salah satu kadet berkacamata. “Tinggalkan saja! Pindah ke pohon yang satu lagi,” tegur kadet berkacamata itu sambil menunjuk sebatang pohon lain di sebelah barat. “Tapi—“ “Kau tidak lihat sisa tali di atas itu? Bekas potongan seperti itu pasti ulah seseorang, dasar bodoh!” bentaknya se