Rezvan mencengkram kaus Erga. "Kau tahu kenapa dia terluka, Ga? Kenapa aku harus membawanya ke rumah sakit?" Erga mengerutkan kening. "Alisha ..., " ucap Rezvan. "Alisha?!" "Kau tanyakan sendiri saja pada wanita itu," tukas Rezvan. "Kau tahu kenapa Zeeta berbohong padamu? Itu karena dia ... memilih untuk mundur!" Pandangan Erga pecah ke seantero sudut ruangan. Bagaimana Alisha bisa tahu akan hal ini? Siapa yang menceritakan semua ini pada wanita itu? Ia tak habis pikir. "Jangan bermimpi, Ga!" Rezvan melepaskan cengkraman pada kaus Erga. "Urus saja kekasihmu yang kurang sopan santun itu!" ***Athikah_Bauzier*** "Aku ingin mengenalkanmu dengan keluargaku," ajak Rezvan. &
Zeeta pun menurut, "Hufthhh!" desahnya. "Entah di belahan bumi bagian mana kau tinggal? Apa-apa tidak bisa," cerca Rezvan. "Cepat, Tuaaannn!" Setelah berkeliling cukup lama memutari kota, Rezvan menghentikan mobil pada sebuah resto terkenal di tengah kota. "Kita makan di sini dulu," ajaknya kemudian. "Saya juga mau ke toilet, Tuan," tutur Zeeta terlihat lemas. ***Athikah_Bauzier*** Sesaat setelah memasuki resto, Zeeta mengarahkan pandangan pada seantero ruangan. Resto elit ini mirip seperti yang pernah ditontonnya di layar TV. "Wah!" gumamnya kemudian. "Zeeta! Jaga sikapmu! Jangan mempermalukan aku," lirih Rezvan, lalu mengedarkan pandangan mencari meja kosong. "Tuan, ini indah sekali! Se
Aku menatap sesosok wanita muda cantik di hadapanku. Di sampingnya duduk seorang lelaki paroh baya dengan rambut yang mulai memutih, namun gurat raut di wajahnya tampak bijak dan berwibawa. Hari ini, Tuan Rezvan mengajakku untuk menemui kedua orang tuanya. Sebagai seorang calon istri, aku pun menyanggupi walau tak tahu ke mana arah pernikahan ini akan dibawa. Aku tidak mencintai Tuan Rezvan. Ya, entah pernikahan macam apa ini? Aku hanya mengharap mendapatkan perlindungan dari pernikahan ini. Perlindungan dari kebejatan tangan-tangan durjana yang mencoba mengintai. Tidak lebih dari itu. Sungguh langkah ini benar-benar sangat menyiksa. Apa aku tampak begitu egois? Namun, apa yang dapat kulakukan? Sedangkan maksud Tuan Rezvan hendak menikahiku, entah apa yang pria itu pikirkan. Aku pun tak pandai meraba perasaannya. Hanya ingin melindungiku katanya.
Luka? Luka apa? Apakah Tuan Rezvan pernah terluka? Separah apa? Aku sedikit memutar otak keras. Entahlah mengapa aku menjadi begitu penasaran akan masa lalu Tuan Rezvan sendiri. Ada apa dengan pria itu sebenarnya? "Sebagai seorang ayah, saya merasa gagal dalam membimbing Rezvan. Saya, begitu sangat banyak melakukan kesalahan yang mungkin tidak bisa dimaafkan. Penyesalan itu memang sangatlah menyakitkan. Kami memang terlihat baik-baik saja. Namun, ibarat air dan minyak, batin kami tidak terkait antara satu sama lain. Ada batasan tak kasat mata yang tak bisa dilampaui oleh satu sama yang lain." "Saya harap, kau mampu menjadi harapan baru untuk Rezvan. Jujur, saya tidak pernah melihat pria muda itu seantusias ini ingin menikahi seorang wanita. Sebagai seorang pria yang sangat susah memegang komitmen atas sebuah hubungan, tidak mungkin tanpa sebuah alasan yang jelas dia berubah pikiran." Ucapan ayah Tuan Rezvan membuat bibirk
Walau Dennis Oxley mencoba bersikap bijak sekalipun, Rezvan seakan tak pernah mau mendengar. Apa yang dikatakan pria tua itu selalu dimentahkannya. Sebegitu besarkah amarah pemuda itu pada sosok yang dipanggilnya ayah? Mengingat kini ia seorang pria dewasa. Bukan lagi seorang anak kecil yang bahkan tak butuh waktu lama untuk sekadar mengembalikan senyum yang hilang hanya dengan bujukan sebuah permen Lolipop ataupun permen Kapas. Setelah menginap selama 2 hari di rumah utama keluarga Oxley, Rezvan berpamitan untuk segera kembali pulang. Pria itu benar-benar tak banyak bicara dengan seluruh keluarga. Tampak begitu dingin dan kaku. Sesekali Zeeta menatap Rezvan di balik kemudi. Terlalu banyak misteri yang membuat rasa ingin tahunya semakin membesar. "Kau memikirkan ibuku, bukan? Bertanya-tanya dia di mana?" Tiba-tiba Rezvan membuka suara. Sontak, pertanyaan itu membu
Pernikahan megah yang dengan penuh kesadaran tak kuinginkan ini pun dilaksakan di sebuah gedung megah berbintang. Tamu mulai kalangan menengah ke atas berdatangan dengan beraneka rupa gaun pesta indah, pria berjas. Sebagai wanita dari menengah ke bawah, hal seperti ini membuatku kikuk. Tak jauh di sana, sosok pria yang pernah sempat membuat hatiku terpaut padanya, bersama beberapa kawanan tengah menikmati hidangan yang disajikan. Sesekali pandangan pria itu menyorot sendu ke arahku. Tatapan itu masih sama, membuatku lena. Aku mencoba menekan perasaan. Menahan agar tak terisak. Walaupun hari ini adalah pernikahanku, tapi aku seakan mati rasa. Tak lama, Alisha mendekat dengan gaun indah bertabur Swarovski, menampakkan punggung putihnya hingga mencapai atas panggul. Belahan dadanya tampak sengaja dibiarkan terbuka mencuat terlihat indah bagi mereka yang menatap penuh nafsu. Namun walaupun begit
"Ta–tapi ... sa–saya ti–tidak siap, Tuan!" "Tidak siap?!" Ia mengangkat sebelah tangan, lalu meletakkan di belakang telinga. Seolah pura-pura tak mendengar apa yang baru saja kuucapkan. "Itu tandanya suatu saat kau akan siap, bukan?" Pria itu mengangguk pelan seraya menyorotiku tajam. Sejenak napasku tertahan di dada. Entah apa yang kuhadapi kali ini. Namun yang pasti, aku susah mengelak Tuan Rezvan saat ini. Karena pada dasarnya, tak dapat memungkiri, kini ... aku adalah milik sahnya secara hukum dan agama. "Arghhh! Sudahlah! Aku juga malas jika harus berhubungan dengan wanita pasif sepertimu. Tak akan ada seni saat berhubungan." Lalu, ia mengibaskan tangan tepat di depan wajahnya. Seketika aku menghela napas legah usai mendengar ucapannya. Setidaknya aku memiliki banyak waktu untuk m
"Ehemh!" Tuan Erga berdehem. Seketika pandanganku tertuju padanya. "Dress kode keluarga adalah Maroon. Ukuran pakaian kita sama," ucap Tuan Erga menatap Tuan Rezvan. "Untuk Zeeta, tubuhmu tidak jauh beda dengan adikku. Aku sudah pesankan untukmu memakai ukuran adikku." "I–iya, Tuan. Terima kasih." Jemariku masih sibuk mencoba melepaskan rekatan tangan Tuan Rezvan pada pinggangku. Namun, pandanganku tetap tertuju pada Tuan Erga. Sesekali kutangkap tatapan pria itu melirik ke arah tangan Tuan Rezvan yang bertindak sesukanya. Aku sungguh merasa kehabisan napas menyikapi keadaan ini. Tuan Rezvan membuatku malu dengan tingkah konyolnya di depan Tuan Erga. Entah apa maksud Tuan Rezvan bersikap seperti ini? Apa karena pria itu sudah merasa menghalalkanku, jadi ia merasa bebas dengan aksi nakalnya? Sungguh sikapnya jauh berbeda dengan
"Hemh! Kau yakin dengan yang kau katakan?" Rebecca menyipitkan pandangan. Ribuan kerikil tajam seolah berdesakan memenuhi kerongkongan Zeeta, sehingga begitu sulit baginya untuk menelan. Ia saling menautkan jari jemari, lalu meremasnya kuat. Berusaha untuk tetap tersenyum dalam getir. "Ya, Bu!" Rebecca tersenyum seraya menyesap cappucino miliknya yang mulai terasa dingin. "Aku perhatikan, ada yang tampak berbeda dari tubuhmu sejak terakhir kali kita bertemu." Ia memindai tubuh Zeeta dari ujung kepala, lalu sedikit menunduk hendak memerhatikan bagian bawah tubuh Zeeta yang terhalang oleh meja. Namun, seketika Rebecca membulatkan mata sempurna. "Katakan padaku, apa kau hamil?" tanyanya lagi, lalu meletakkan cangkir di meja. Walaupun mengenakan pakaian tertutup dan longgar, Rebecca dapat melihat perut Zeeta yang tampak membulat saat dalam posisi duduk. Tatapan Zeeta pecah ke seantero sudut ruangan. "Jangan hiraukan saya, Bu. Saya hanya berharap,
"Anu ... Tuan! Bibi sudah janji pada Non Zeeta agar tidak membocorkan masalah ini." Bi Netty pun akhirnya mengaku. "Jadi, Zeeta di rumah Bi Netty?" Tatap Erga penuh selidik. "I–iya, Tuan." Bi Netty tampak gugup. "Hemh! Sudah kuduga. Aku akan ke sana sekarang." "Maafkan bibi. Sebaiknya jangan dulu, Tuan. Non Zeeta ingin menenangkan diri katanya," cegah Bi Netty seraya menundukkan pandangan. "Tidak apa-apa, Bi. Aku cuma ingin menjelaskan padanya kalau hanya aku yang berwewenang membuat aturan di villa ini, bukan yang lain, apalagi Mama." Erga menatap Cindy yang tengah sibuk memasukkan amplop cokelat ke dalam tasnya. "Maaf, Tuan. Anggap bibi tidak menceritakan ini pada Tuan, ya. Pura-pura saja Tuan tidak tahu kalau sudah bibi kasih tahu." Bi Netty terlihat cemas dan meremas kedua tangan di depan dada. "Bagaimana keadaan dia, Bi?" "Sejujurnya, bibi sangat khawatir dengan keadaan Non Zeeta. Dia susah makan, Tuan. Semua
"Wa–nita itu mengurungkan niat?! Itu berarti, wanita itu sadar sepenuhnya atas apa yang dilakukannya?" Zeeta ingin memastikan ucapan Ethan lagi. "Ya, tidak semuanya wanita yang kami tawarkan adalah hasil penculikan. Bahkan, sebagian dari mereka terang-terangan ingin menjual diri dengan sadar. Wanita itu mendesak ingin menjadi milik Rezvan, tapi Rezvan tidak sadar bahwa pilihannya tertukar. Sengaja aku memilihkan wanita sedikit terlihat liar untuk Rezvan. Kau tahu sendiri Rezvan berbeda dari Erga, bukan?" Dada Zeeta semakin terasa sesak tak tertahankan usai mendengar penjelasan Ethan. Belum juga masalah dengan Rezvan terselesaikan, kini terungkap lagi masalah yang semakin membuatnya semakin tergoncang. Erga yang selama ini ia percaya nyatanya .... "Erga marah besar padaku sehari setelah peristiwa malam di mana kau nyaris saja menjadi mainan kawan-kawan Rezvan. Tapi, ia berusaha terlihat tenang di hadapanmu dan juga Rezvan. Kau pikir apa alasan Erga selalu data
Bi Netty pernah mengatakan pada Zeeta bahwa Erga memiliki ruang pribadi di lantai atas yang tidak ada seorang pun diizinkan masuk ke dalamnya. Ruangan itu berisikan koleksi karya lukisan Erga. Beberapa waktu lalu Erga memang menunjukkan ruangan lain pada dirinya, bahkan mereka berdua beberapa kali menghabiskan waktu di tempat itu untuk melukis dinding. Namun, itu bukan ruangan yang Bi Netty maksud. Zeeta berdiri tepat di depan sebuah ruangan yang bisa jadi itu adalah ruang pribadi milik Erga. Namun, sayangnya ia mendapati ruangan itu terkunci. Ia pun mencari cara agar Bi Netty bisa menyerahkan kunci ruangan itu padanya. "Bi, aku membutuhkan sesuatu, tadi Tuan Erga menyuruhku untuk mengambil sesuatu di ruang pribadinya di atas," ucap Zeeta membuat alasan. "Benarkah, Non!?" Kedua mata Bi Netty berputar seolah merasa terheran. Selain dirinya yang dipercaya untuk membersihkan ruangan itu, tidak ada seorang pun ya
"Wilma ... Wilma! Siapa dia? Wajahnya tampak tak asing. Tapi di mana aku pernah bertemu dengannya?" Berulang kali Rezvan mencoba mengingat. Banyak wanita yang ditemui sehingga membuatnya lupa salah satu di antarnya. "Arrggghhh!" erangnya kemudian.Namun, tak berselang lama, pria itu mengingat sesuatu. "Wanita itu ... apa mungkin dia ... tapi bagaimana mungkin?" gumamnya."Tolong, periksa berkas jual beli lahan Green Bougenvil 5 tahun lalu," perintahnya kemudian pada salah satu staf.Setelah menunggu cukup lama, berkas yang diminta pun diantar ke ruang Rezvan. Lalu, pria itu pun menelisik secara seksama apa yang tertera pada setiap lembarnya. Sontak, ia mendongak seolah mulai mengingat sesuatu. Rentetan adegan beberapa tahun silam berkelebat dalam ingatan Rezvan. Namun, ia masih tak yakin akan terkaannya. Bisa saja itu hanya suatu kebetulan yang tak ada kaitannya sama sekali.Terdengar pintu ruang kerja diketuk pelan. Seorang karyawan masuk ke dalam ruanga
**Athikah_Bauzier*** "Non, istirahat saja, ya! Biar bibi saja yang selesaikan cuci piringnya. Non, kan, lagi hamil muda. Jadi harus banyak istirahat. Bibi juga takut kena marah sama Tuan Erga." Bi Netty meraih apa pun yang hendak Zeeta lakukan. "Bi, saya tidak enak kalau cuma diam saja. Sudah, bibi jangan bilang-bilang sama Tuan Erga kalau saya melakukan semua ini. Jadi, bibi tenang saja, ya!" elak Zeeta. "Tidak perlu, Non. Begini saja, lebih baik Non Zeeta lanjut melukis saja, ya. Biar cepat selesai. Open gallery sudah tinggal beberapa hari lagi, Non. Jadi, ini kesempatan buat Non Zeeta," saran Bi Netty. "Hemh! Baiklah kalau begitu, Bi. Pokoknya kalau Bibi butuh bantuan, panggil saya saja, ya." Zeeta pun mengikuti saran Bi Netty walaupun sebenarnya ia merasa tak nyaman jika tidak melakukan apa pun. Sudahlah menumpang, tapi mau enak-enakan. Itulah yang sering kali membuat Zeeta merasa tidak nyaman. ***Athikah_Bauzier*** "Zeeta!"
"Aku sudah berusaha jujur padamu. Seharusnya aku tidak mengatakan ini mengingatmu sudah menjadi milik Rezvan. Tapi, melihatmu merasa terluka atas perlakuan Rezvan, entah mengapa keinginan itu kembali tumbuh." Zeeta merasa tak menyangka bahwa Erga bisa berpikir sejauh ini. Namun, hati Zeeta tak dapat memungkiri bahwa ia pun sesungguhnya masih memiliki rasa yang sama terhadap pria itu. Akan tetapi, ia harus menyadari posisinya kali ini. Dirinya sudah menjadi milik Rezvan, bahkan saat ini tengah mengandung benih dari pria itu. Jadi, bagaimana mungkin ia melangkahi takdir yang sudah tertulis? "Tuan, saya berterimakasih karena Anda sudah peduli pada hidup saya. Ta–tapi, bisakah kita tidak perlu membahas hal yang sudah berlalu?" pinta Zeeta kemudian dengan tatapan meremang. "Zeeta ... jawab pertanyaanku setidaknya sekali saja. Supaya aku yakin, langkah apa yang harus atau tidak harus aku lakukan setelah ini," Erga terdengar sedikit menekan walau ucapannya terdengar
Zeeta mengamati beberapa lukisan indah yang terpampang pada dinding sebuah padepokan yang berada tepat di belakang Villa. Padepokan itu memiliki ciri khas arsitektur klasik ala pedesaan yang didesign dengan kayu dan bambu. Ditambah berlokasi tepat di tengah bukit hijau, begitu sangat menenangkan pikiran. "Di sini kau rupanya?" Sebuah suara mengejutkan Zeeta yang tengah berkonsentrai menyimak tanda tangan di sudut kanan bawah lukisan. Lantas ia pun menoleh menatap sang pemilik suara. "Tuan Erga! Anda sudah pulang?" "Hemh!" Erga mengangguk seraya mengulas senyum tipis. "Kau suka lukisan?" "Ah, iya, Tuan. Lukisan ini sangat cantik sekali. Begitu realistis. Apakah pelukisnya beraliran Naturalisme dan Realisme, Tuan?" "Hei, rupanya kau banyak tahu tentang aliran lukisan rupanya, ya?" "Sedikit saja, Tuan." Kembali Zeeta mengamati lukisan di hadapannya. "Lukisan di sini bukan karya satu orang saja. Aliran mereka pun berbeda-beda." Erg
**Athikah_Bauzier*** "Hilang?! Bagaimana bisa, Pak? Apa ada orang lain yang masuk ke mari?" Rezvan menatap layar CCTV. Ia berniat untuk mengambil rekaman sejak sebulan lalu tepat di malam percumbuannya dengan wanita yang menyebut dirinya sebagai Wilma. Namun, ternyata rekaman sejak sebulan lalu itu raib. "Saya juga tidak mengerti, Tuan. Saya hanya bisa menemukan rekaman seminggu terakhir." "Apa-apaan ini?! Mengapa sistim keamanan bisa buruk seperti ini, hah!?" hardik Rezvan seraya berkacak pinggang. Amarah dalam dirinya membuncah dan meletup bagai lahar. "Percuma kalian semu kugaji!" "Maafkan saya, Tuan. Saya siap menerima sanksi." Pak Dody menundukkan kepala, "Ta–tapi, jangan pecat saya, Tuan! Anak istri saya makan apa?" Amarah masih menggelegak dalam hati Rezvan. Namun, ia mencoba mengatur napas untuk menetralisir emosi yang tak tertahan. "Arrghhh! Sudahlah!" Ia pun mengibaskan tangan. Rezvan menyadari sesuatu. Ia menatap ruangan, be