"Salam, Ayahanda."Pagi ini langit berawan membuat suhu terasa menyengat. Azhara memasuki ruangan terbuka yang terhubung ke halaman samping kediaman ayahnya. Di sana, sosok tua itu menunggunya di sisi meja dengan jubah berlapis yang menghangatkan dirinya."Duduklah." Raja Amarhaz menghela napas, terlihat menampilkan raut lega. "Bagaimana kabarmu? Aku tidak datang di perjamuan waktu itu. Aku jadi merasa bersalah. Sebenarnya saat cuaca sedang baik aku ingin mengunjungimu, tapi tubuhku belum sepenuhnya pulih. Karena itu aku memintamu datang ke sini. Aku ingin mengucapkan sendiri selamat untukmu. Maaf karena sangat terlambat, tapi selamat ulang tahun, Azhara.""Kesehatan Ayah adalah yang terpenting, jangan memikirkan hal yang tidak perlu. Asalkan Ayah sehat, Azhara akan senang." Azhara mengambil sisi lain meja sebagai tempat duduknya. Ditatapnya sendu tubuh tua yang dulu bugar itu, kini dia terlalu pekat dipenuhi aroma obat. Kondisi kesehatan yang tidak baik membuat wajah ayahnya tak sese
Azhara melangkah ringan ke dalam paviliunnya. Ketika ia sampai di ruangan yang menghadap ke luar, ia menangkap seseorang berdiri di atas atap. Tak perlu dilihat dua kali pun ia tahu siapa sosok itu. Namun, Azhara sudah memutuskan untuk menguatkan kembali tekadnya. Azhara akan melupakan semua hal yang sudah ia lalui bersama dengan gadis itu. Jadi, tidak seharusnya dirinya mendekati apa yang membuatnya goyah.Meskipun demikian, Azhara tidak bisa membuang semuanya begitu saja karena ia punya hutang budi. Dengan begitu, ada yang harus ia lakukan lebih dulu sebelum melepaskan perasaannya.Dengan kekuatannya, ia terbang dan mendarat di sisi Zhura. "Sedang apa kau di sini?""Guru, kau sudah kembali?!" tanya Zhura terkejut bukan main."Sedang apa kau?""Aku ... aku baru selesai latihan jadi tubuhku gerah. Kau pasti tahu kalau cuaca hari ini terik, jadi aku mencoba mencari udara segar." Zhura mengakhiri kalimatnya dengan tawa garing."Tidak ada orang yang mencari udara segar di atas atap." Azh
"Berikan tanganmu.""Untuk apa?" Zhura mendekatkan tangan kanannya dengan ragu-ragu.Dengan wajah datar Azhara menjentikkan jarinya. Saat itu juga, sebuah gelang perak berbentuk untaian sayap melingkar di pergelangan tangan Zhura."Kau membawaku terbang ke langit, lalu sekarang kau memberikan gelang indah ini, aku jadi merasa tidak enak," tukas gadis bermata hijau itu tidak dapat menyembunyikan wajah tersipunya.Itu merupakan gelang keramat yang Azhara dapatkan dari kuil suci setelah bersaing dengan jutaan orang. Dengan menggunakan gelang itu, Azhara akan tahu jika Zhura dalam masalah. Gelang itu juga bisa menyembuhkan luka dengan cepat. "Itu akan melindungimu dari berbagai macam bahaya. Hanya ini yang bisa kuberikan untuk membalas kebaikanmu. Selain aku, tak ada yang bisa melepasnya. Jadi, kau akan selalu aman."Mendengar penuturan itu, Zhura terdiam.Di tengah debaran jantungnya, terselip perasaan menyesakkan. Ia merasa sedih saat menyadari Azhara begitu peduli padanya. Itu karena d
Di bawah pepohonan rindang, Zhura tengah berlutut di samping makam seseorang. Kedua tangannya bertautan, ia sedang berdoa. Di sisi gadis itu, Ranzak pun turut berlutut seraya menutup mata. Sepertinya ia memilih menyembunyikan permohonannya dalam hati. Beberapa saat kemudian mereka mengakhiri doanya."Hai, bagaimana kabarmu? Maaf, ada banyak hal yang terjadi, aku jadi sangat sibuk akhir-akhir ini. Tolong jangan marah, aku berjanji akan datang lebih sering setelah ini," ungkap Ranzak menatap sendu makam adiknya.Di tempatnya, Zhura mendengar ucapan itu dengan perasaan campur aduk. Ia yakin bahwa Ranzak sangat merindukan adiknya, tapi di sisi lain pemuda itu mempunyai tugas sebagai prajurit yang harus bekerja keras demi rakyat."Tidak bisa kukatakan seberapa sulitnya hidup tanpamu. Aku sangat merindukan saat-saat kita bersama, Delia," kata pemuda elf itu ketika air hampir tergenang di matanya.Zhura termangut. Ranzak pernah bilang bahwa adiknya meninggal saat menjalani ritual pengorbanan
"Itu petanya. Aku sudah menyertakan jalur sungai dan darat, lengkap dengan penandanya."Zhura menyerahkan sebuah kertas pada Valea, kemudian membuka jendela agar udara segar masuk.Dengan kening berkerut, gadis merah itu mengamati lukisan Zhura. "Bagaimana bisa kau mendapatkan gambaran sedetail ini?" Terduduk di atas ranjangnya, ia masih menggunakan baju tidur karena baru bangun ketika Zhura datang membawa peta pelarian mereka."Kau tidak perlu tahu. Aku sudah memberitahu Inara soal peta itu, selanjutnya aku serahkan padamu." Zhura hendak keluar dari kamar itu tapi tertahan karena Valea menangkap sebelah lengannya.Ia menatap gelang Zhura dengan pandangan lebar. "Gelang ini, siapa yang memberikannya padamu?""Ini hanya aksesoris biasa dari Azhara." Zhura menarik tangannya menjauh. "Kenapa kau begitu terkejut?"Valea tahu itu bukan gelang biasa. Gelang itu adalah gelang Arbutus. Sebuah azimat suci kuil Azalea di selatan Silvermist. Hanya satu banding sepuluh juta orang yang bisa menda
Sesosok bertudung membungkuk pada orang di depannya. Seperti biasa, ruangan yang gelap dan sepi itu masih saja menjadi tempat rahasia mereka."Tuan, rencana pendekatan terhadap target sukses. Setelah ini kita bisa langsung mengeksekusinya.""Kerja bagus. Kau tidak pernah mengecewakanku. Demi mendapatkan kepercayaan gadis itu kau bahkan berpura-pura menjadi temannya," ujar si tuan mengetuk-ngetukkan tongkatnya ke lantai."Selama itu berarti saya bisa membantu Anda, saya tidak keberatan terus berpura-pura berteman dengan target kita," jawab sosok bertudung itu. Ia lalu teringat sesuatu, "Ada gelang Arbutus di tangan gadis itu. Sepertinya kita tertinggal satu langkah dari Azhara.""Gelang Arbutus?" Si tuan tercenung, ia tidak menyangka bahwa Putera Mahkota itu berani bertindak sejauh ini. "Karena mereka sudah terikat, kita tidak bisa langsung membunuhnya. Yang harus kita lakukan adalah memisahkan mereka. Tidak masalah, lagipula kita mempunyai sekutu yang menjalankan rencana ini dengan su
"Dia menyudutkan dirimu, apa kau punya sangkalan? Tidakkah kau ingin membela diri?"Bagi Zhura suara Carmina sudah terdengar seperti gong yang dipukul berulang kali, dan itu baru bergema saat Tuan Minra mengajukan pertanyaan tersebut.Azhara keluar dari perenungannya, ia berjalan ke sisi Zhura. "Mohon Ayahanda untuk menyelidiki ini sekali lagi. Aku yakin hal yang dituduhkan kepadanya adalah kesalahpahaman. Gadis ini selalu berperangai baik dan mematuhi peraturan. Dia tidak mungkin melakukan tindakan ini," jelasnya pada Raja Amarhaz."Situasi istana sedang kacau, banyak hal terjadi di luar kendali. Aku akan menganggap ini sebagai bentuk kelalaianmu sebagai gurunya. Semuanya bisa kembali seperti semula hanya jika Lailla mengakui bahwa ia tidak memiliki obsesi itu." Raja Amarhaz mengambil jalan tengah.Carmina tidak puas dengan jawabannya, ia lantas kembali berujar, "Kenapa Yang Mulia Azhara sangat yakin kalau Lailla tidak bersalah? Padahal semua bukti mengarah padanya. Apakah jangan-jan
"Karena kau adalah gadis suci, ada perundingan untuk meringankan hukuman." Azhara menunjukkan gulungan kecoklatan yang berisi perjanjian antara guru dan murid yang pernah Zhura serahkan. "Jika kau bersedia, aku akan membantu menghapus seluruh perasaanmu. Dengan syarat kau berjanji tidak akan membuat kesalahan yang sama."Zhura yang berdiri di tempat eksekusi lekas mengeluarkan tawa kering. Di sekeliling gadis itu terdapat sekat berkilauan yang membatasinya untuk keluar. Ia terkurung di dalam mantra pembatas. "Kenapa kita harus berunding? Bukankah sejak awal aku tidak bersalah? Hanya karena aku mengakui perasaanku, kalian jadi menjadikanku kambing hitam!"Para saksi seperti Raja Amarhaz hingga para tetua terlihat tak menyangka dengan jawaban gadis itu."Segala bentuk ancaman harus dimusnahkan," ujar pemuda perak itu getir. "Kau sudah melanggar hukum dengan menyakiti rekanmu karena kedengkian, tidak ada alasan bagiku untuk membela kemungkaran.""Hei, Azhara. Satu-satunya yang kulakukan
Langkah kaki menapaki satu demi satu langkah. Aroma kayu-kayuan yang samar tercium saat ia akhirnya sampai di tempat penuh pepohonan itu. Suara hewan-hewan malam lebih nyenyat karena beberapa di antaranya berhibernasi. Malam yang dingin menjadi sepi yang menghanyutkan. Seperti kunang-kunang yang terbang untuk melihat cahaya sendiri di kepingan salju, Zhura melawan segala macam kegundahan demi memastikan sendiri jawaban atas kebingungannya.Dan di sinilah ia sekarang, terpaku. Tepat seperti ingatannya, ada rumah kayu di hutan. Rumah ini kembali untuknya, atau ia yang kembali untuk rumah itu? Sesaat Zhura menarik napas panjang lalu mulai mengetuk pintunya. Tak ada seorang pun yang merespon, tapi daun pintunya terbuka sendiri. Angin bertiup dari dalam, memadamkan lenteranya. Saat itu juga ingatan kejadian-kejadian aneh kembali menyerangnya. Ditinggalkan lenteranya, mengikuti suara di kepalanya yang mengajaknya masuk lebih dalam."Ra ...?"Satu langkahnya memasuki ruangan terasa bak dentu
Tengah malam saat Zhura masih saja termenung di kamarnya. Ia terus terngiang-ngiang perkataan ibunya mengenai dunia lain yang kakeknya percayai. Lalu, sosok bermata violet yang mendatangi ibunya. Zhura yakin pernah bertemu dengannya. Tapi, kapan? Diraihnya buku tua di atas ranjang, ia membuka halaman demi halaman. Berbagai gambar dan kalimat ditampilkan di dalamnya dengan pudar. Tintanya tergerus waktu, menipis semakin tak terlihat.Gadis itu mengernyitkan kening saat melihat gambar dua ekor naga yang digambarkan kakeknya. Tak lama ia terperangah saat bayangan pertempuran besar terkilas di dinding kamarnya. Ia bergegas keluar, menapaki tangga dan berakhir di halaman rumahnya. Bulan tidak tampak, salju terlalu serakah menghujani malam. Ditatapnya gelang di sebelah tangannya, Zhura yang begitu frustasi lantas berusaha melepaskan paksa benda itu.Tapi, gagal. Gelang itu tak bisa terlepas. Kepasrahan menerjangnya, ia kelelahan menerka apa yang terjadi pada dirinya. Zhura jatuh terbaring d
Beberapa hari terakhir berjalan dengan begitu melelahkan. Banyak orang mendatanginya untuk bertanya tentang keadaannya. Entah hanya untuk memenuhi rasa penasaran atau sampai dimuat di surat kabar. Kepergian Zhura yang sebenarnya hanya semalam menggegerkan seluruh warga. Mereka mulai memikirkan spekulasi yang tak berdasar seperti adanya penyihir jahat yang bersembunyi di hutan atau kemungkinan adanya kekuatan misterius yang melingkupi tempat itu. Zhura bahkan terlalu lelah untuk menjelaskan bahwa tak ada apapun yang terjadi, tapi pada kesempatan itu tak ada orang yang mendengarnya. Orang-orang itu malah semakin meningkatkan ketakutan mereka terhadap hutan tersebut. Sedikit demi sedikit rumor hutan itu menyebar, membuat tak seorang pun yang berani mendekat atau memasukinya. Satu bulan kemudian, kehebohan sudah mereda, tetap saja kawasan hutan itu nihil dari lalu lalang.Libur akhir tahun tiba, hari-hari yang ramai di desa menjadi semakin ramai. Berbagai festival dan perayaan diadakan d
Aroma kayu-kayuan yang segar merisak penciumannya. Gelugutnya dingin membaur dari permukaan tempatnya terbaring. Satu dua embun menetes di wajahnya yang pucat. Pada saat matahari terbit lebih tinggi, mengantarkan kilau hangat yang membuatnya terjaga. Mata hijaunya beralih dari pohon satu ke pohon lain, ia berada di hutan. Tubuhnya segera terperanjat bangkit. Disingkirkannya salju yang menutupi sekujur tubuh seraya menatap ke sekeliling."Kenapa aku tidur di sini?"Gadis itu terlihat kebingungan, seakan-akan ia tak ingat dengan apa saja yang sudah ia lalui. Pada saat ia sibuk mencari tahu situasinya, suara langkah kaki terdengar mendekat."Hei, dia ada di sini!" Seorang yang ia kenali sebagai tetangganya mendekat, ia berteriak memanggil teman-temannya. Orang itu memperhatikan penampilan Zhura yang acak-acakan, lalu menanyainya banyak pertanyaan mengenai keadaannya. Tak lama kemudian orang-orang lain datang. Mereka tergopoh-gopoh mendekat dengan wajah lega."Zhura!" Seorang wanita paruh
"Tunggu!"Arlia berbalik saat ia mendengar seseorang menyerukan namanya. Gadis itu terlonjak saat melihat Ramia mendekat dengan napas tersengal-sengal. Sepertinya ia baru saja berlari mengejarnya sampai di dermaga."Kenapa sangat mendadak? Anda benar-benar harus pergi?" tanya Ramia gusar. Di balik jubahnya, pemuda itu masih menggunakan baju tidur. Ia belum bersiap saat mendengar kabar kepergian Arlia dari Inara. Dengan keadaan seadanya, ia melajukan kudanya mengejar Arlia yang hampir saja berangkat."Aku akan pergi ... sangat jauh," ujar Arlia.Keramaian yang ada di sekitarnya tiba-tiba senyap, seluruh perhatian pemuda itu terpusat pada bagaimana Arlia kini menatapnya dengan berkaca-kaca. Sisi yang selalu disembunyikannya rapat-rapat, ini pertama kalinya Ramia melihat betapa rapuhnya sosok itu."Kau pasti sudah tahu kalau keputusannya sudah dibuat. Yang Mulia Raja memberikan keringanan hukuman karena kontribusi ayahku pada bidang pemerintahan sebelumnya. Penyesuaian sudah disetujui ol
Keesokan harinya, orang-orang berkumpul di balai. Pagi yang hangat mengalirkan arus sendu di wajah mereka. Setelah sekian kegiatan penghormatan, kini saat untuk Zhura pergi tiba. Tepat di tengah-tengah ada pintu portal yang dibukakan oleh sepuluh orang. Mereka berdiri berhadapan di sisi jalan, di mana Zhura akan melangkah memasuki portal itu. Dipeluknya teman-teman dengan erat tanda perpisahan. Zhura menarik sudut bibirnya untuk memberikan ketenangan pada setiap pribadi yang muram."Jaga dirimu baik-baik," ujar Valea."Jangan pernah lupakan kami, ya?" Inara membuat raut sedih.Melihat tingkah temannya itu, Zhura pun menahan gelak. "Jangan khawatir. Aku pasti akan baik-baik saja dan akan selalu mengingat kalian semua.""Awas saja kalau kau ingkar janji." Valea membuat gerakan memotong leher.Tawa pecah dari bibir Zhura, ia berpindah pada Arlia. Mereka tersenyum satu sama lain sebelum kemudian berpelukan. Gadis itu terlihat lebih terbuka dan hangat, itu perkembangan yang baik.Melepaska
Malam perayaan dilaksanakan penuh suka cita. Spemua orang di seluruh dataran kini berdiri di bawah langit malam yang bertabur bintang. Para gadis berkumpul di tempat luas bersama ribuan orang lain. Mereka semua kini tampil selayaknya sosok anggun dengan pemerah bibir. Semua penerangan pun dimatikan, hanya ada cahaya yang berasal dari lentera masing-masing. Dengan tinta yang harum, mereka menuliskan doa pada lentera, berharap kedamaian dan kemakmuran tercurah pada dunia baru.Beberapa saat kemudian, arahan dikeluarkan. Lentera-lentera mulai diterbangkan, detik itu juga malam menjadi berkepingan emas. Zhura pun ingin menerbangkan lentera miliknya. Tapi ia hampir putus asa menuliskan tinta di lenteranya hingga itu menjadi kusut. Maklum, permukaannya mudah robek jadi ia kesulitan. Pada saat atensinya terfokus pada kegiatannya, Azhara datang. Zhura sontak terkesiap kikuk berhadapan dengan pemuda itu.Melihat gelagat istrinya, menciptakan kerutan di kening Azhara. Menyadari kecanggungannya
"Ibu, berapa orang yang kau ajak ke sini?!"Kegiatan dilanjutkan dengan ramah tamah dan jamuan. Masyarakat berkumpul menjadi satu di halaman kuil yang luas. Maklum, tamu yang datang tidak hanya dari Silvermist, melainkan dari seluruh Firmest. Valea duduk di tempat jamuan bersama sanak keluarganya yang juga hadir. Dengan tinta biru di kening yang terlihat mencolok di keramaian, gadis merah itu tampak anggun terbalut gaun putihnya. Meskipun begitu, wajah bulatnya justru terlihat sangar karena melihat apa yang dilakukan keluarganya. "Ibu tidak mungkin meninggalkan mereka di desa dan pergi hajatan meriah sendiri. Jadi kita ajak saja semua orang," jelas Shawarya abai, ia tak mengindahkan kekesalan putrinya dan malah sibuk mengurusi hidangan untuk semua keluarganya.Ayah Valea yang duduk di sisi istrinya pun mengangguk. "Benar, kita hendak mengajak seluruh desa tapi tumpangan terbatas, jadi kami hanya bisa membawa sedikit saudara."Valea memperhatikan satu per satu sanak saudaranya. Termas
Dersik angin bertiup mengibaskan kain-kain berumbai yang dipasang menghiasi seluruh kota. Papan-papan bertuliskan ucapan selamat dipajang di setiap kediaman tanda suka cita pemiliknya. Kuil Halyziar yang menjadi tempat dilangsungkannya upacara, kini tampak memukau dengan dekorasi serta karpet besar nan tebal tergelar di ruangannya.Berbaris di kanan dan kiri altar, ratusan orang memenuhi tempat itu. Keluarga kerajaan, gadis suci, dan sisanya tamu undangan baik dari dalam atau pun luar Silvermist. Bukan hanya pakaian putih mereka yang seragam, sudah jelas tatapan mereka pun tertuju ke satu arah. Setiap sudut bibir kini menyajikan senyum sehangat mentari.Sepasang mempelai itu kini berjalan membelah kekaguman para tamu. Sinar matahari memaparkan kehangatan, tapi sedikit kegugupan justru yang membuatnya menggigil. Mengenakan jubah merah khas pengantin, Azhara dan Zhura berjalan beriringan. Bunga-bunga harum ditaburkan oleh dayang seiring langkah mereka. Sesekali kaki Zhura menginjak ujun